Syahadah; Sirah Para Nabi dan Maksumin

Rate this item
(0 votes)
Syahadah; Sirah Para Nabi dan Maksumin

 

Sepanjang sejarah, syahadah merupakan sirah para nabi Ilahi dan mereka yang senantiasa menerapkan hukum dan ajaran agama di muka bumi, menjalankan keadilan dan menghancurkan kejahatan musuh agama.

Para Imam Maksum yang juga mengikuti sirah para nabi, untuk meraih tujuan ini mengerahkan segenap upayanya dan bahkan rela mengorbankan jiwa serta orang-orang yang mereka cintai demi meraih keridhaan Allah dan Imam Husein as melalui kebangkitannya di hari Asyura merupakan cermin dari gerakan ini.

Sirah Husein dan kebangkitannya memiliki akar di sirah Imam Ali bin Abi Thalib as dan sirah Imam Ali mengikuti sirah Rasulullah Saw. Imam Husein as mengumumkan bahwa tujuan dari kebangkitannya menentang pemerintahan Bani Umayyah adalah memperbaiki umat kakeknya, Muhammad Saw dan ayahnya Ali bin Abi Thalib as.


Allah Swt di awal surah Ibrahim mengisyaratkan risalah para nabi, sunah dan sirah mereka dalam membimbing dan memberi petunjuk manusia. Allah Swt di ayat pertama Surah Ibrahim menyebutkan salah satu misi para nabi adalah mengeluarkan manusia dari kegelapan dan membimbing mereka ke cahaya yang terang dan kepada nabinya, Allah berfirman yang artinya, “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”

Allah Swt di ayat kelima Surah Ibrahim memerintahkan Musa memimpin kaumnya dan mengeluarkan mereka dari kegelapan serta membimbingnya ke cahaya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah". Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.”

Sementara itu, Allah Swt di ayat ke-25 Surah al-Hadid menyatakan bahwa tujuan dari pengutusan para nabi dan penurunan kitab samawi adalah menerapkan keadilan di bumi. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

Dengan memperhatikan pengertian dari dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa tujuan final dari risalah para nabi adalah membuat umat bersinar dan keluar dari kegelapan serta pastinya masyarakat yang bersinar dan keluar dari kegelapan kinerjanya akan bertumpu pada keadilan.

Agar umatnya ditinggikan dan dicerahkan, dan untuk pelaksanaan keadilan dan keadilan dalam masyarakat, perlu dibentuk pemerintahan Islam yang di bawah naungannya hukum-hukum Ilahi akan dilaksanakan dan program yang disiapkan oleh sang Pencipta akan diikuti. Untuk mencapai pemerintahan Islami seperti ini dibutuhkan seorang pemimpin Ilahi yang telah tercerahkan dan ditunjuk oleh sang Pencipta untuk membimbing makhluk-makhluk dan membawa mereka menuju kesempurnaan manusia, dan akhirnya membawa mereka kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Al-Quran menyebutkan sirah Rasulullah Saw adalah mencerahkan masyarakat dan di ayat 157 Surah al-A’raf dinyatakan, “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”


Tidak diragukan lagi, para pemimpin pemerintahan Islam, yang merupakan model praktis dari nilai-nilainya, memiliki jalan yang curam untuk mencapai tujuan mereka dan harus selalu meminta pertolongan Tuhan.  Selain itu, untuk mencapai tujuan yang transenden, mereka tidak perlu takut pada musuh dan ancaman mereka, karena mereka memiliki keyakinan yang tulus pada kebenaran apa yang mereka lakukan dan mereka menyerahkan diri kepada Tuhan.

Sirah Nabi Ibrahim as sebagai model tauhid pertama dalam Islam tidak takut mati dan justru "mencari syahadah". Ketakutan akan kematian tidak ada di pemikiran Ibrahim (AS) dan meskipun dia diancam dengan kematian terburuk - yaitu melemparkannya ke dalam api - tidak sedikit pun ketakutan yang menguasainya. Dia percaya bahwa Tuhan mengetahui proses ini dan melihat dia dan membantu Ibrahim dengan cara apa pun yang dia anggap sesuai. Dalam pandangan Ibrahim as, kematian dan kemartiran bukanlah cacat, sehingga dia memohon kepada Tuhan untuk tidak membakarnya, jika itu bijaksana baginya untuk tidak dibakar, dia mengenal Tuhan sendiri. Ini adalah sirah Ibrahim dan sikapnya terhadap kemartiran.

Sementara itu, Imam  Husein as yang meneladani kakek tercintanya, juga memiliki spirit syahadah di dirinya dan rela dengan keputusan terbaik Tuhan. Oleh karena itu, di pidatonya di Mekah ketika akan bergerak ke Kufah, Imam Husein mendorong masyarakat untuk meraih kesyahidan dan berkata, “Kematian bukan belenggu atau pemaksaan, tapi sebuah kalung dan keindahan.” Pesan Imam Husien di Mekah ini merupakan indikasi dari cinta kesyahidan dan kemartiran Ibrahim as.

Oleh karena itu, Imam  Husein as mengikuti jejak Ibrahim as, baik itu kematian melalui api atau pedang. Sementara anak-anak Imam Husein as juga mengikuti jajak Ibrahim as. Anak Imam Husein setelah musibah di peristiwa Asyura, mereka tidak menyerah dan tidak pernah lalai memprotes kebijakan busuk Bani Umayyah. Imam Sajjad as menyampaikan khutbah di istana Yazid yang tidak pernah dilupakan sejarah mengenia kebangkitan Imam Husein dan kemazlumannya serta keluarga dan sahabat Imam Husein as.

Kebangkitan Imam Husein as adalah Islam dan Islam adalah agama yang komprehensif dan mencakup semua. Karenanya, kebangkitan Imam itu untuk reformasi umat secara menyeluruh. Seperti halnya dengan sirah kakek dan ayahnya, itu adalah reformasi umat Islam yang komprehensif. Agama Ilahi selain tindakan ibadah, perdagangan, dan hukum individu, memiliki batasan dan aturan syariah, hukuman, dan hubungan internasional.

Kebangkitan Imam Husein as - yang merupakan penerus Nabi (SAW) dan pemimpin agama Ilahi- adalah kebangkitan komprehensif untuk menghidupkan kembali keefektifan agama Ilahi, dan mereformasi urusan umat tidak mungkin dilakukan tanpa perjuangan yang komprehensif. Seperti yang beliau nyatakan dalam keinginannya bahwa Imam Husain telah bangkit untuk mereformasi umat nenek moyang mereka.

Jadi, ternyata Imam Husein as datang untuk mengimplementasikan agama yang tidak terpisah dari politik, dan menjelaskan politik agama dengan baik, dan jelas bahwa pekerjaan ini membutuhkan pedang dan pengorbanan. Kebangkitan Imam Husein as meneladani kebangkitan para nabi di masa lalu, menjelaskan kepada orang-orang di dunia apa itu sistem benar dan salah. Untuk memahami hal ini, Imam Husein tidak punya pilihan selain mengorbankan darah, mengorbankan anak-anaknya, nyawa dan harta benda, karena begitu banyak sedimen jahiliyah Bani Umayyah sehingga tidak mungkin untuk mengumpulkannya melalui ceramah dan surat.


Al-Quran memiliki ayat-ayat yang menunjukkan pembunuhan para nabi. Ayat-ayat ini merujuk pada fakta sejarah bahwa para taghut dan pemberontak di semua periode berusaha untuk menghancurkan kebenaran dan para pencari kebenaran, sehingga para nabi ilahi berperang melawan mereka dan kehilangan nyawa mereka dengan cara ini.

Misalnya di ayat ke 61 Surah al-Baqarah mengisyaratkan pengkhianatan Bani Israel dan pembunuhan para nabi, “....Dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” Para nabi harus memerangi para taghut dan di jalan ini mereka tidak pernah lalai, tetapi terkadang tidak mudah untuk mengenali orang-orang ini, karena orang-orang munafik dan bidah selalu menyergap untuk menyerang agama Ilahi.

Oleh karena itu, Allah Swt di ayat 11 Surah al-Baqarah berfirman yang artinya, “Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". Berdasarkan ayat ini, sebagian orang yang mengaku sebagai reformasi di muka bumi, justru menjadi orang paling rusak dan merusak serta orang munafik di muka bumi. Dan jika ada yang memerintahkan mereka untuk bertakwa, mereka justru melawan dan menganggap dirinya sebagai reformis sejati.


Allah Swt berjanji akan menghapus dosa orang-orang bekerja meninggikan syiar Ilahi, rela menderita di jalan ini dan bahkan mengorbankan nyawanya. Dan Allah menjanjikan mereka dengan surga. Di ayat 195 Surah Al Imran, Allah berfirman, “....Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik".

Para nabi dan Imam Maksum di kondisi apapun senantisa menyeru kebenaran dan keadilan sehingga umat manusia mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Sepanjang sejarah kesiapan untuk syahid merupakan sirah para Nabi Ilahi  dan mereka senantiasa berusaha menerapkan ajaran agama di muka bumi, menerapkan keadilan dan menyebarkan keadilan di tengah umat serta menghancurkan kejahatan musuh. Imam Husein pun tidak terkecuali dalam hal ini.

Read 955 times