Kali ini kita akan mengkaji apa yang ditulis oleh Victor-Marie Hugo tentang Nabi Muhammad Saw. Victor-Marie Hugo adalah salah satu pendiri aliran romantisme pada abad ke-19 dan sering dianggap sebagai salah satu penyair terbesar Prancis.
Banyak orang mengenal Victor Hugo karena novel terkenalnya seperti, Les Miserables, Notre-Dame de Paris, dan The Man Who Laughs. Ia juga meninggalkan banyak kumpulan puisi dan sejumlah karya teater.
Cerita dan puisi-puisi karyanya umumnya berdasarkan realitas yang terjadi di masyarakat. Salah satu ucapan Victor Hugo adalah, “Engkau hanya bisa menemukan berlian di perut bumi dan kebenaran hanya di kedalaman pikiran. Apakah kita benar-benar mencari kebenaran? Jika demikian, kenapa kita tidak membebani pikiran kita (untuk berpikir)?”
Salah satu buku kumpulan puisi Vitcor Hugo berjudul “Les Orientales” (The Orientals). Dalam kata pengantar, dia menulis, “Pada masa Louis XIV, semua orang mengenal Yunani. Hari ini kita harus menjadi seorang orientalis dan memanfaatkan budaya dan adat-istiadat masyarakat Asia. Belum pernah ada begitu banyak pemikir yang mencoba melakukan penelitian di Asia yang luas. Oleh karena itu, warna-warna dunia Timur dengan sendirinya telah menguasai semua pikiran dan fantasi saya.”
Kumpulan lain dari buku puisi Victor Hugo berjudul, “La Legende des Siecles” (The Legend of the Ages). Dia menulis karya puiti ini di pengasingan antara tahun 1855 dan 1876. Bab ketiga dari buku ini memuat sebuah puisi panjang dengan judul tahun kesembilan Hijriyah yang bercerita tentang peristiwa di hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah Saw.
Puisi-puisi dalam bab ketiga ini menunjukkan bahwa Victor Hugo mempelajari sejarah kehidupan Rasulullah secara mendalam dan ia memuji sosok Nabi Muhammad Saw.
Dia memulai bab ini dengan membandingkan Nabi Muhammad Saw dengan Nabi Nuh as. Seolah-olah Victor Hugo ingin menghapus gambaran keliru tentang Rasulullah, yang disuguhkan oleh kaum orientalis yang fanatik dan orang-orang yang berpikiran sempit di Barat selama bertahun-tahun.
Dia menulis, “Dia seakan-akan Nuh dan tahu rahasia banjir dahsyat. Dia adalah seorang hakim yang sabar di mana setiap kali orang-orang membawa pertikaian mereka ke hadapannya, ia membiarkan satu pihak untuk menerimanya, sementara yang lain membantah dan mengolok-oloknya.”
Sepertinya Nuh mengetahui rahasia banjir dahsyat. Jika pria datang untuk menyelesaikan perkara kepadanya, hakim ini membiarkan yang satu menerima dan yang lain tertawa dan menyangkal.
Dia (Muhammad) makan sedikit dan terkadang menempelkan batu ke perutnya untuk melawan rasa lapar. Dia memerah susu dombanya sendiri, duduk di atas tanah seperti orang miskin dan menjahit pakaiannya dengan tangannya sendiri. Meskipun usianya tidak muda lagi, selain bulan Ramadhan, dia juga berpuasa pada hari-hari lain.
Sebelum Muhammad Saw diutus menjadi nabi, ia selalu memikirkan tentang tanda-tanda keberadaan Tuhan. Muhammad sering mendatangi Gua Hira untuk waktu yang lama dan merenungkan rahasia penciptaan. Victor Hugo kemudian berkata, “Dia sepertinya sedang melihat surga, melihat cinta, masa depan dan masa lalu tampak baginya di depan matanya.”
Hugo lalu menulis tentang karakteristik Rasulullah Saw, “Dia menyimak dalam diam dan menjadi orang yang terakhir yang berbicara, dan dia selalu berdoa.”
Dalam pandangan Victor Hugo, Rasulullah Saw adalah sosok yang sangat berwibawa dan bijak, di mana ia tidak mencela orang lain. Setiap kali melewati lorong-lorong, orang akan memberikan salam kepadanya dan ia menjawab salam itu dengan ramah.
Nabi Muhammad Saw memperkenalkan Ali as sebagai penggantinya pada berbagai kesempatan sehingga dia dapat melanjutkan risalah ilahi dan menunjukkan jalan menuju kebahagiaan kepada masyarakat. Victor Hugo juga menulis tentang itu dalam puisinya:
“Dia diam dan tenang, tapi tatapannya seperti elang yang terbang tinggi dan terpaksa harus meninggalkan langit. Dia membawakan al-Quran dari sisi Tuhan kepada masyarakat, dia telah membacanya kembali secara utuh. Dan kemudian panji Islam diserahkan kepada pembawa panji, Ali sambil berkata, ‘Ini adalah fajar terakhir dalam hidupku, Tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa, berjuanglah di jalan-Nya.’”
Rasulullah Saw adalah utusan terakhir Tuhan serta penerus jalan para nabi dan rasul yang telah tiada. Dia adalah penyempurna mata rantai para utusan Tuhan dan dengan kedatangannya, sejarah umat manusia mengalami perubahan besar.
Victor Hugo menggambarkan hal itu dalam puisinya sebagai berikut: “Aku adalah sebuah kalimat dari lisan Tuhan, aku abu seperti manusia dan aku api seperti para nabi – pemberi kehangatan dan penerangan – Al Masih adalah pendahulu kedatanganku… Putra dari Maryam adalah sosok yang lembut dan indah bertutur kata, tetapi aku sebuah kekuatan yang menyempurnakan cahaya yang dibawa oleh Isa. Orang-orang yang hasut menumpahkan kebenciannya kepadaku, mereka menolak aku, tetapi karena aku merasakan kebenaran dalam diriku, aku bangkit untuk bertarung, aku sendirian dan masih sendirian… mereka menyerang aku dengan kejam, tapi akhirnya kalah dan aku tidak mundur selangkah pun.”
Ketika Nabi Saw merasa ajalnya sudah dekat karena penyakitnya, ia pergi ke masjid dan berkata kepada masyarakat, “Adakah aku berhutang dengan kalian? Aku ingin menyelesaikan hutang tersebut. Karena aku tidak mau jika bertemu dengan Allah dalam keadaan berhutang dengan manusia.”
Masyarakat terharu dan menangis mendengar ucapan itu. Semua terdiam, tetapi tiba-tiba seorang lelaki bangkit dari barisan dan berkata, “Ya Rasulullah! Aku ingin sampaikan masalah ini. Seandainya ini dianggap hutang, maka aku minta kau selesaikan. Seandainya bukan hutang, maka tidak perlulah engkau berbuat apa-apa. Aku masih ingat ketika Perang Uhud dulu, satu ketika engkau menunggang kuda, lalu engkau pukulkan cemeti ke belakang kuda. Tetapi, cemeti tersebut tidak mengenai kuda dan terkena pada dadaku.”
Rasulullah Saw berkata, “Sesungguhnya itu adalah hutang.” Sahabat itu berkata, “Kalau begitu aku ingin segera membalasnya wahai Rasulullah.” Para sahabat terkejut dan bercampur marah mendengar itu. Rasulullah kemudian mengangkat bajunya pertanda siap dituntut balas, namun sahabat tersebut melempar cemeti itu jauh-jauh dan memeluk tubuh Rasulullah Saw. Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku sengaja melakukannya agar aku dapat merapatkan tubuhku dengan tubuhmu. Karena sesungguhnya aku tahu bahwa tubuhmu tidak akan dimakan oleh api neraka. Dan sesungguhnya aku takut dengan api neraka. Maafkanlah aku ya Rasulullah.”
Victor Hugo mengabadikan kejadian itu dalam puisinya dan menggambarkan kondisi Rasulullah Saw yang datang ke masjid sesaat sebelum wafat untuk bertemu dengan masyarakat, mendoakan mereka, dan mengucapkan salam perpisahan.
“Wajah pucat dan dengan tubuh yang gemetar dia berkata, ‘Wahai manusia! Sebagaimana hari yang cerah akan berakhir dengan malam yang gelap, kehidupa anak manusia juga akan berakhir dengan kematian, kita semua diciptakan dari dunia yang fana dan tidak berarti, dan hanya Tuhan yang kekal dan esa.”
Sebagai rasa hormat dan pengakuannya atas Nabi Muhammad Saw, Victor Hugo menulis wasiat terakhir yang disampaikan Rasulullah kepada umatnya dalam bentuk puisi.
“Wahai manusia! Berimanlah kepada Allah dan bersujud kepada-Nya, bersikaplah ramah dan bertakwa, dan berlaku adil. Beruntunglah engkau tetap berada di balik tembok yang memisahkan surga dari jurang neraka, tidak ada orang yang tanpa kesalahan tetapi ia berusaha agar terbebas dari siksaan.”
Penyair Prancis ini kemudian menjelaskan kisah pertemuan terakhir Nabi Saw dengan masyarakat di masjid. “Ia kemudian terdiam lalu larut dalam pikiran, orang-orang memandangnya dengan penuh kasih, untuk sosok gagah ini yang telah menjadi sandaran mereka seumur hidupnya.”
Victor Hugo melanjutkan puisinya dengan menggambarkan detik-detik terakhir kehidupan Rasulullah Saw.
“Di malam hari, malaikat maut muncul di depan pintu rumah dan meminta izin untuk masuk. Nabi mengizinkannya, dan orang-orang yang bersamanya melihat bagaimana tatapannya memancarkan cahaya. Mereka melihat cahaya yang sama di matanya seperti yang mereka lihat hari itu, saat ia terlahir ke dunia. Kemudian nafas terakhir keluar dari mulutnya dan Muhammad telah wafat.”