Imam Musa bin Jakfar al-Kazim as dilahirkan di tengah keluarga mukmin dan taat beragama. Ia adalah putra dari Imam Jakfar Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, dan ibunya bernama Hamidah Khatun.
Hamidah Khatun dikenal sosok yang bertakwa sehingga Imam Shadiq as memberinya gelar al-Musaffa, yaitu orang yang sudah terbebas dari semua aib dan noda. Mengenai penguasaannya tentang ilmu pengetahuan dan persoalan agama, Imam Shadiq as selalu meminta Hamidah mengajari dan memberikan bimbingan kepada komunitas perempuan Muslim.
Di masa kehidupan Imam Musa al-Kazim (Imam ketujuh umat Muslim Syiah), nilai-nilai Ilahi mulai memudar di tengah masyarakat Muslim. Para penguasa yang seharusnya mengabdi kepada masyarakat dan agama, justru terperosok dalam perilaku korup, ketamakan, dan penilapan kekayaan publik.
Ulama dan faqih kerajaan sibuk memuji para penguasa lalim dan dengan menjilat para penguasa Bani Abbasiyah, mereka menjustifikasi perilaku batil sebagai sebuah kebenaran di depan masyarakat.
Dalam situasi seperti itu, Imam al-Kazim as bangkit melawan mereka dan menggunakan setiap kesempatan untuk memberikan pencerahan sehingga publik memahami bahwa para penguasanya tidak bermoral dan berilmu. Imam mengajak masyarakat untuk berpikir dan mengingatkan bahwa segala sesuatu ada petunjuknya dan petunjuk orang yang berakal adalah berpikir. Beliau berkata, “Bukti akal adalah berpikir dan bukti dari berpikir adalah diam.”
Orang bijak akan memberikan nutrisi kepada akalnya dengan berdiam dan kemudian memperkuat akal dengan cara berpikir.
Salah satu kegiatan sentral Imam Kazim adalah mendidik ratusan ulama hadis, tafsir, dan mubaligh di berbagai bidang agama. Meskipun situasinya tidak kondusif untuk meningkatkan kegiatan ilmiah dan budaya sama seperti periode ayahnya Imam Shadiq as, namun Imam Kazim telah mengambil langkah besar untuk menyebarluaskan budaya Islam dan mendidik para ulama.
Para murid madrasah Imam al-Kazim sangat mahir di bidang fiqih, hadis, tafsir, dan kalam sehingga tidak ada yang sepadan dengan mereka. Dengan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, mereka mampu menjawab paham-paham pemikiran dan teologi yang menjamur pada masa itu. Para pakar teologi masa itu takluk di hadapan mereka dan mengakui kelemahannya dalam setiap perdebatan dengan murid-murid Imam Kazim as.
Ketakwaan dan popularitas para murid Imam Kazim di tengah masyarakat, telah memicu ketakutan musuh terutama penguasa. Mereka sangat mengkhawatirkan kebangkitan para murid Imam yang berpeluang besar diikuti oleh masyarakat.
Penguasa Bani Abbasiyah, Harun al-Rasyid dalam sebuah ucapannya mengenai Hisyam bin Hakam (salah satu murid Imam al-Kazim) berkata, “Dia lebih berbahaya daripada ratusan pasukan berpedang.”
Salah satu kegiatan Imam Kazim as adalah memperluas badan perwakilan. Badan ini dibentuk pada masa Imam Shadiq dengan misi mengumpulkan dan mendistribusikan pengeluaran wajib seperti khumus, zakat, dan nazar. Di sini, para wakil Imam juga berperan sebagai jembatan antara Imam dan para pengikutnya.
Setelah ayahnya gugur syahid, Imam Kazim as mampu mempertahankan jaringan perwakilan ini dan bahkan memperluasnya. Para wakilnya tersebar di berbagai wilayah kekuasaan Islam seperti Kufah, Baghdad, Madinah, Mesir, dan daerah lain sehingga pengikut Syiah dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan materialnya melalui jaringan perwakilan ini.
Kesabaran dan ketabahan telah menjadi salah satu identitas Ahlul Bait Nabi as. Imam Kazim juga menyandang sifat ini dan ia melewati segala kesulitan dan musibah dengan penuh kesabaran. Ia memilih menahan diri terhadap orang-orang yang menghinanya atas dasar kebodohan atau hasutan pihak lain, serta meredam kemarahannya demi meraih keridhaan Allah Swt.
Disebabkan kesabarannya yang besar dan kemampuannya mengendalikan amarah dalam menghadapi orang yang berperilaku buruk padanya sehingga ia digelari sebagai al-Kazim.
Tentu saja sifat ini tidak menghalangi Imam Kazim untuk bersikap keras di hadapan para penguasa lalim. Ia menunjukkan sikap yang tegas dalam menghadapi orang-orang zalim dan bahkan melarang muridnya untuk bekerja sama dengan rezim.
Salah seorang murid Imam, Ziyad bin Salamah menuturkan, “Aku memiliki keluarga dan aku bekerja di pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.” Imam Kazim berkata kepadanya, “Aku lebih memilih jatuh dari bangunan yang tinggi dan tercabik-cabik daripada harus memikul salah satu tugas dari tugas-tugas mereka atau menginjakkan kakiku di salah satu permadani mereka.”
Imam Kazim as memanfaatkan setiap kesempatan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai Zain al-Mujtahidin yaitu hiasan orang-orang yang beribadah dan berjuang di jalan Allah. Detik-detik terindah dalam hidupnya adalah ketika ia berkhalwat dengan Sang Pencipta dan puncak keindahan adalah ketika ia menunaikan shalat dan melaksanakan kewajiban Ilahi.
Jiwa dan raganya tenggelam dalam penghambaan kepada Allah, dan tetesan air matanya jatuh membasahi tempat sujudnya. Imam Kazim as memiliki suara yang merdu dalam membaca al-Quran, seakan suara ini keluar dari seluruh wujudnya. Bacaannya menggetarkan batin orang lain sehingga mereka tanpa sadar terdiam menyimak ayat-ayat yang keluar dari lisan Imam Kazim.
Lebih dari itu, Imam mempelajari pelajaran perlawanan dan kesabaran dari al-Quran dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Imam Kazim memikul tanggung jawab imamah (kepemimpinan) umat Islam hampir 35 tahun dan sebagian besarnya dihabiskan di penjara dan tempat pengasingan. Harun al-Rasyid telah memenjarakan Imam Kazim selama dua kali dan kali kedua berlangsung selama empat tahun.
Lingkungan penjara membuat orang-orang tertekan dan depresi, namun Imam Kazim dengan kegiatan ibadah telah mengubah penjara menjadi lingkungan yang ramah. Oleh karena itu, Harun al-Rasyid berulang kali memindahkan lokasi penahanan Imam sehingga para sipir penjara tidak terpengaruh olehnya.
Penjara terakhir tempat mengurung Imam Kazim dijaga oleh seorang sipir berhati batu yaitu Sandy bin Syahik. Disebutkan bahwa Harun al-Rasyid sangat terganggu atas hubungan umat Syiah dengan Imam Kazim dan juga karena ketakutan bahwa keyakinan Syiah pada imamah, akan melemahkan pemerintahannya.
Syeikh Mufid berkata, "Atas perintah Harun al-Rasyid, Sandy meracuni Imam Musa al-Kazim as dan tiga hari setelah itu ia gugur syahid.” Kesyahidannya bertepatan dengan 25 Rajab 183/799 H di kota Baghdad, Irak.