Hari ini bertepatan dengan peringatan hari syahidnya. Imam Ali bin Husein Zainal Abidin Al-Sajjad. Ia merupakan salah satu saksi hidup tragedi pembantaian Imam Husein as dan keluarganya di padang Karbala. Namun berkat ijin ilahi, beliau berhasil bertahan hidup, sehingga jejak perjuangan ayahnya, Imam Husein as tetap bisa dilanjutkan.
Imam Ali Zainal Abidin Al-Sajjad as lahir di kota Madinah pada tahun 38 H. Ketika tragedi Karbala tahun 61 H terjadi, beliau berumur 23 tahun. Saat itu, beliau tengah menderita sakit parah sehingga hanya bisa terbaring dan tidak mampu ke medan laga. Sejarah mencatat, tatkala pertempuran di padang Karbala bergolak, Imam Sajjad as mendengar suara ayahnya, Imam Husein as yang berkata, "Siapakah yang menolongku?", dalam keadaan lemah beliau pun berusaha bangkit seakan hendak memenuhi panggilan ayahnya. Namun melihat hal itu, Ummu Kultsum, bibi beliau pun berusaha menahannya pergi lantaran masih lemahnya kondisi kesehatan Imam Sajjad as. Dengan penuh harapan, beliau berkata, "Bibi, ijinkan aku pergi berjihad bersama putra Rasulullah Saw". Akan tetapi, karena lemahnya kondisi jasmani beliau, Imam pun tak mampu mengantarkan dirinya ke garis pertempuran. Hingga akhirnya takdir pun menyelamatkan beliau dan cita-cita kebangkitan Imam Husein dapat terus diperjuangkan.
Sejarah kehidupan sosial, budaya, dan politik Imam Sajjad as bisa ditinjau dari berbagai sisi. Tragedi berdarah Asyura yang berakhir dengan syahidnya Imam Husein as pada tanggal 10 Muharram 61 H di padang Karbala, merupakan tonggak awal perjuangan Imam Sajjad as. Kondisi kritis pasca tragedi Karbala menempatkan Imam as pada situasi baru. Dengan kata lain, sejak saat itulah masa penyebaran misi kebangkitan Imam Husein as atau Revolusi Huseini dan penegakan cita-citabnya pun dimulai.
Peran dan aksi Imam Zainul Abidin as dalam menyebarkan pesan dan misi Revolusi Huseini patut dipuji. Beliau bersama dengan bibinya, Zainab as, dengan piawainya dan tanpa kenal menyerah terus menyebarkan pesan keadilan Imam Husein di tengah kondisi yang sangat sulit dan penuh ancaman. Tuturan dan gerak juang Imam Sajjad as pasca tragedi Asyura menunjukkan kebijaksanaan dan keluhuran hikmah yang beliau miliki.
Sejatinya, orasi, khotbah dan peringatan yang mengungkap tragedi dalam peristiwa Asyura semuanya itu memiliki arah dan tujuan. Saat Imam as digelandang bersama para tawanan Karbala dan sampai di kota Kufah, beliau melontarkan orasi yang sangat memukau dan menyentuh, sampai-sampai seluruh warga kota Kufah seakan tersihir oleh orasi beliau. Setelah memaparkan tentang keutamaan Ahlul Bait Nabi dan Imam Husein as, beliau berbicara kepada warga Kufah, "Wahai umat manusia, demi Allah aku bersumpah dengan kalian, apakah kalian ingat, kalian sendiri yang telah menulis surat kepada ayahku, namun setelah itu kalian menipunya? Kalian menjalin janji dan berbaiat kepadanya, namun kalian juga yang memeranginya? Lantas dengan mata yang mana lagi kalian akan melihat saat Rasulullah saw di Hari Kiamat kelak berkata, ‘Kalian telah bunuh Ahlul Baitku dan mematahkan kehormatanku!'"
Puncak orasi Imam Sajjad as saat beliau berpidato di hadapan khalifah zalim, Yazid bin Muawiyah di Syam. Seluruh kejahatan dan kebobrokan penguasa zalim itupun diungkap secara jelas oleh Imam as sampai-sampai Yazid pun kehilangan muka. Dalam salah satu bagian pidatonya, Imam Sajjad as menuturkan, "Wahai umat manusia, Akulah putra Fatimah, akulah putra seorang yang syahid saat bibirnya kering kehausan". Imam pun terus menegaskan keutamaan diri dan keluarganya hingga masyarakat Syam pun menangis penuh penyesalan. Untuk memotong pidato Imam Sajjad, Yazid pun memerintahkan untuk membacakan azan.
Tentu saja, putusnya pidato Imam as membuat kondisi kota Syam sebagai pusat pemerintahan dinasti Umayah menjadi makin tidak menentu. Sampai-sampai para petinggi Bani Umayah memutuskan untuk segera membawa Imam Sajjad as dan para tawanan keluarga Nabi lainnya ke Madinah. Dengan demikian, pidato Imam Sajjad berhasil membangkitkan nurani masyarakat kota Syam yang selama ini dikuasai kekelaman. Bahkan di wilayah pusat pemerintahan Bani Umayah sekalipun. Perlahan aksi pencerahan Imam Sajjad as telah membangkitkan semangat perlawanan umat Isma di berbagai kota untuk bangkit menentang kezaliman. Karena itu, pasca tragedi Karbala muncul pelbagai gerakan kebangkitan menentang ketidakadilan pemerinatahan Bani Umayah.
Saat memasuki kota Madinah, Imam Sajjad terus melanjutkan aksi pencerahan dalam mengungkap kezaliman penguasa Bani Umayah. Sementara di sisi lain, para penguasa Umawi pun makin berlaku sewenang-wenang. Dalam kondisi yang sangat sulit itu, perjuangan utama Imam Sajjad as bertumpu pada upaya untuk meluruskan pandangan masyarakat dan meningkatkan taraf pengetahuan dan kesadaran mereka.
Salah satu peran dan jasa berharga Imam Sajjad as dalam tahun-tahun pasca tragedi Asyura ialah menyebarkan risalah doa dan munajat yang sangat luhur. Kini kumpulan doa-doa dan munajat beliau itu dihimpun dalam satu kitab bernama Sahifah Sajjadiyah. Kendati doa dan munajat Imam Husein merupakan naskah doa, namun di dalamnya mengandung muatan ajaran Islam yang sangat luhur mengenai filsafat hidup dan penciptaan, masalah keyakinan, etika pribadi dan sosial serta beberapa masalah politik.
Salah satu kandungan penting dalam doa beliau ialah semangat menentang kezaliman, dan upaya menegakkan keadilan, penyebaran nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan. Dalam salah satu doanya, Imam Sajjad as mengatakan, "Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan bidah-bidah, serta melaksanakan kewajiban Amar Makruf danNahi Munkar."
Sejarah hidup Imam Sajjad menunjukkan bahwa beliau selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk mengungkap misteri di balik tragedi Karbala. Terkadang ia menitiskan air matanya saat menceritakan peristiwa pembantaian yang menimpa keluarga Nabi di hari Asyura. Duka yang ditunjukkan Imam Sajjad as itulah yang akhirnya mampu membangkitkan semangat juang umat Islam untuk bergerak menentang kezaliman Bani Umayah.
Imam Sajjad as dikenal sebagai sosok yang sangat pemaaf, pengasih dan merakyat. Sedemikian menyatunya Imam Sajjad as dengan duka yang dihadapi umatnya, dan sedemikian cintanya beliau untuk berkhidmat kepada rakyat, sampai-sampai hampir tiap malam beliau memikul karung-karung makanan dan membagikannya kepada warga miskin. Beliau melakukan hal itu secara diam-diam, di tengah kegelapan malam, dan dengan pakaian samaran. Anehnya, setelah beliau meninggal barulah perbuatan mulia beliau ini diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas dakwah beliau tidak pernah menghalangi beliau dari langkah-langkah kemanusiaan dan penyebaran keutamaan akhlak secara praktis.
Kemuliaan akhlak dan perilaku Imam yang demikian bijak itu membuat siapapun mengagumi beliau. Sejarawan muslim terkenal, Ibnu Syahr Asyub, menuturkan, "Suatu ketika Imam Sajjad as menghadiri acara pertemuan yang digelar Khalifah Umayah, Umar bin Abdul Aziz. Saat Imam as meninggalkan pertemuan itu, Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada orang-orang di sekitarnya dan berkata,"Siapakah orang yang paling mulia di sisi kalian?"
Semuanya berkata, "Anda wahai khalifah!"
Namun ia balik menjawab, "Bukan sama sekali. Orang yang paling mulia adalah sosok yang baru saja meninggalkan pertemuan kita. Semua kalbu dibuat terpesona kepadanya, hingga siapapun ingin menjadi seperti dia."
Marilah kita menyimak beberapa kata-kata bijak dari Imam Sajjad as. Beliau berkata, "Salah satu ciri dari makrifat dan tanda kesempurnaan agama seseorang adalah menghindari ucapan yang sia-sia, sedikit berdebat, dan selalu bersikap sabar dan santun".
Beliau juga menuturkan, "Berpikir adalah cermin yang memperlihatkan kepada manusia kebaikan dan keburukan dirinya". (IRIB Indonesia)