Iran dan Kesalahan Strategis Barat

Rate this item
(0 votes)

Meskipun Iran termasuk salah satu eksportir utama minyak mentah dan menyimpan cadangan gas alam terbesar di dunia, namun negara itu sekitar setengah abad lalu mengidentifikasi kebutuhan untuk memproduksi 20 ribu megawatt listrik dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

 

Pada saat itu, Iran memandang bahwa untuk merealisasikan program tersebut, negara harus mencapai kapasitas yang diperlukan untuk memperkaya uranium sebagai bahan bakar reaktor.

 

Barat antusias menyambut argumen itu dan memuji ambisi Shah Reza Pahlevi untuk memodernisasi Iran. Selama dekade 1960-1970, Iran menghabiskan dana miliaran dolar untuk membangun program nuklir dan mendidik ribuan ahli nuklir di Barat sampai Revolusi Islam Iran menumbangkan sistem monarki pada tahun 1979.

 

Setelah Iran mengeluarkan banyak biaya untuk membangun infrastruktur bagi industri nuklir yang komprehensif, perusahaan-perusahaan Barat meninggalkan negara itu begitu saja.

 

Para pemimpin baru Iran mengakui pentingnya program nuklir modern untuk kemajuan di bidang kedokteran, pertanian, industri, dan energi. Mereka menempuh banyak cara untuk menemukan mitra asing guna merampungkan proyek tersebut, tapi tidak mencapai keberhasilan signifikan.

 

Kemajuan dalam pengembangan program nuklir dilanjutkan setelah rakyat Iran memahami bahwa kesuksesan hanya akan diraih dengan mengandalkan kemampuan mereka sendiri dan para ilmuwan mereka.

 

Amerika Serikat ÔÇô yang antusias mendukung program nuklir Iran pada era Shah Pahlevi ÔÇô sekarang berubah menjadi musuh utama Republik Islam. Washington tanpa henti mengancam negara-negara lain untuk menghentikan kerjasama dengan Tehran. AS tidak hanya menekan sekutu-sekutunya untuk menjauhi program nuklir Iran, tapi juga memperingatkan mereka untuk tidak berinvestasi di industri minyak dan gas negara itu.

 

Isu nuklir kemudian menjadi alasan bagi AS dan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi berat terhadap Iran.

 

Terlepas dari semua sikap bermusuhan Barat, Iran berulang kali menekankan bahwa jika AS mengakui dan menghormati Republik Islam sebagai sebuah negara independen dan berdaulat, peluang untuk menjalin hubungan baik masih terbuka. Para pejabat Tehran telah sering menyatakan bahwa menghormati hak-hak Iran, termasuk hak untuk memanfaatkan energi nuklir damai di bawah Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), merupakan prasyarat untuk normalisasi hubungan dan secara signifikan akan mengurangi ketegangan regional.

 

Mayoritas rakyat Iran yakin bahwa tawaran negara mereka untuk rekonsiliasi ditolak oleh AS dan mitra Baratnya karena penentangan Republik Islam terhadap rezim Apartheid di Palestina dan pengaruh besar lobi Zionis di AS.

 

Saat ini, Presiden Iran Hassan Rohani mengadopsi pendekatan konstruktif terhadap Barat dalam rangka memberikan kesempatan kepada AS agar mempertimbangkan kembali sikap emosional dan irasionalnya terhadap Republik Islam.

 

Untuk tujuan itu, Iran mengadopsi pendekatan yang disebut oleh Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei sebagai "fleksibilitas heroik," untuk menguji apakah Barat serius tentang penyelesaian isu nuklir Tehran atau tidak.

 

Meskipun sudah dicapai beberapa kemajuan dalam perundingan nuklir, namun para pejabat AS terus mengancam Iran dengan serangan militer dan menolak untuk secara eksplisit mengakui hak nuklir Tehran.

 

Fenomena itu telah meningkatkan kecurigaan di tengah masyarakat Iran bahwa Washington masih menjalankan kebijakan destruktif terhadap Tehran dan para pejabat Gedung Putih percaya bahwa Rohani bisa ditekan untuk mengabaikan hak-hak Iran. Sebenarnya, masalah ini muncul dari kesalahpahaman Barat tentang posisi Presiden Iran dan kebijakan Republik Islam.

 

Kebijakan AS di negara-negara seperti Irak, Afghanistan, Libya, Mesir, Bahrain, dan Suriah dalam beberapa tahun terakhir telah merusak posisi strategis negara itu di dunia internasional. Dalam hal ini, kasus Iran dan Ukraina adalah contoh menarik tentang bagaimana kerusakan lebih lanjut citra Washington di dunia akibat kebijakan-kebijakan arogan mereka.

Read 1767 times