Tarik-menarik antara Amerika Serikat dan Israel menyangkut serangan ke Republik Islam Iran tampaknya semakin intensif. Para pejabat Washingon dan Tel Aviv tidak mampu lagi menyembunyikan perselisihan mereka dengan basa-basi diplomatik.
Indikasi yang paling mencolok terkait perbedaan mereka dapat disaksikan dari pernyataan Jenderal Martin Dempsey, Kepala Staf Gabungan AS. Dia baru-baru ini mengatakan dalam sebuah konferensi pers di London bahwa dirinya tidak ingin terlibat jika Israel memilih menyerang Iran. Dempsey pun memandang, bila Israel melangsungkan serangan itu, maka hal tersebut dianggap sebagai tindakan ilegal.
Harian Yediot Ahronoth menilai sikap Demspsey itu menunjukkan tajamnya friksi antara pejabat Israel dan Amerika.
Jenderal AS ini berpendapat bahwa serangan Israel hanya akan menunda pengembangan program nuklir Iran, tapi tidak akan menghancurkan itu sepenuhnya.
Ini adalah pukulan terbaru bagi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan kabinetnya. Meski demikian, Menteri Peperangan Israel Ehud Barak dan mereka yang pro-aksi militer, percaya serangan ke Iran sebelum negara itu mencapai kemampuan nuklir akan memiliki konsekuensi lebih sedikit daripada ketika mereka menguasai nuklir.
Iran membantah keras tudungan Barat soal pengembangan senjata nuklir. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei dengan tegas menyatakan haram hukumnya mengembangkan atau memproduksi senjata pembunuh massal tersebut.
Berbagai laporan intelijen AS sampai sekarang gagal menemukan bukti pengalihan program nuklir sipil Iran ke aspek militer. Namun, Israel menegaskan ambisi Iran memperoleh senjata nuklir dalam upaya untuk membentuk sebuah front bersatu melawan Republik Islam. Rezim Zionis itu tidak memiliki alasan rasional untuk membenarkan serangan militer terhadap Iran. Jenderal Dempsey bahkan menegaskan bahwa laporan intelijen tidak menjelaskan ambisi Tehran.
AS menegaskan prinsipnya untuk mempertahankan sanksi ekonomi terhadap Iran dan percaya bahwa serangan Israel akan menghancurkan aliansi internasional yang telah dibangun oleh Washington untuk menekan Tehran. AS mendesak Israel memberi waktu lebih lama untuk berdiplomasi dengan Iran dan mempertahankan sanksi internasional atas Tehran.
Ketua Komite Intelijen DPR AS Mike Rogers mengatakan, Tel Aviv berpikir bahwa mereka akan mampu meyakinkan Washington untuk bergabung dalam serangan militer ke Iran setelah pemilu November.
Menurut Yedioth Ahronoth, Netanyahu mengkritik tajam kebijakan lunak Presiden Barack Obama terhadap Iran. Dia mengatakan, "Obama dan orang-orangnya justru menekan kita untuk tidak menyerang fasilitas nuklir Iran."
Netanyahu akan berbicara mengenai bahaya program nuklir Iran dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB di New York, September mendatang. Namun belum jelas apakah ia akan bertemu dengan Obama selama kunjungan ke Negeri Paman Sam pada 27-30 September. Pertemuan terakhir Netanyahu dan Obama terjadi pada Maret lalu di Gedung Putih.
Sebenarnya, masalah antara AS dan Israel tidak berhubungan dengan waktu kemungkinan serangan. Tapi ini berkaitan dengan perkiraan konsekuensi dari perang yang akan menyebar ke luar Timur Tengah.
Di pihak lain, Tehran telah mengeluarkan peringatan keras bahwa jika Tel Aviv membuat kesalahan dengan melancarkan serangan terhadap Iran, maka hal itu akan berarti kehancuran bagi Israel. (IRIB Indonesia/RM)