Bisingnya deru mesin propaganda media massa AS dan Israel dalam menggembosi KTT GNB ke-16 di Tehran, ternyata tidak mempengaruhi keputusan para pemimpin dunia untuk menghadiri pertemuan tersebut. Pasalnya, hingga hari ini (Jumat,24/8) tercatat sudah 50 pemimpin negara dunia, termasuk presiden, wapres maupun perdana menteri yang siap menghadiri KTT GNB itu. Sebagian negara lainnya mengirimkan delegasi setingkat menteri dan ahli. Di luar mereka, Sekjen PBB, Ban Ki-moon juga menyatakan siap menghadiri pertemuan tersebut. Lewat juru bicaranya, Martin Nesirky,Sekjen PBB memastikan akan datang ke Tehran. Padahal Israel dan Amerika Serikat sudah mendesak Ban Ki-moon supaya membatalkan lawatannya itu.
Amerika Serikat berulangkali mengirim sinyal negatif kepada Sekjen PBB mengenai konferensi tingkat tinggi yang akan digelar di Tehran pada 26 hingga 31 Agustus.
"Fakta bahwa pertemuan berlangsung di satu negara yang melanggar begitu banyak kewajiban internasional dan mengancam negara-negara tetangga...mengirim sinyal sangat aneh berkaitan dengan dukungan bagi tatanan internasional," kata Jubir kemenlu AS, tidak lama setelah Nesirky mengungkapkan kehadiran Ban Ki-moon di KTT GNB ke-16 Tehran.
"Iran adalah tempat yang tidak cocok untuk pertemuan itu," ucap Victoria Nuland tendensius.
Gelombang tekanan terhadap Sekjen PBB untuk membatalkan kehadirannya di KTT GNB mengalir deras. Sepekan sebelumnya, Ketua komisi hubungan luar negeri Senat AS menulis surat kepada Ban Ki-moon. "Sebaiknya anda jangan mengunjungi Tehran. Sebab, Republik Islam mendukung Bashar Assad di Suriah, dan Iran tidak mematuhi ketentuan Dewan Keamanan PBB," tulis Robert Casey dalam suratnya.
"Saya khawatir kehadiran Anda di Tehran akan menaikkan kredibilitas Republik Islam. Padahal publik internasional harus seirama menentang Iran," tegas Casey, seperti dilansir majalah Foreign policy.
Wakil AS di PBB, Susan Rice juga menyampaikan kekhawatirannya kepada Ban Ki-moon dan mendesak Sekjen PBB itu mengurungkan niatnya menghadiri KTT GNB di Tehran.
Gelombang penentangan lebih keras dilancarkan Tel Aviv. Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu menyebut rencana kunjungan Ban Ki-moon untuk menghadiri KTT GNB di Iran sebagai "big mistake", bahkan jika itu demi tujuan yang baik sekalipun.
"Tempat anda bukan di Tehran !," ujar Netanyahu dengan intonasi meninggi saat menelpon Ban Ki-moon, seperti ditulis Koran Zionis Haaretz.
Kepanikan tidak bisa disembunyikan dari raut wajah Netanyahu saat mendengar keputusan sekjen PBB menghadiri hajatan akbar Iran pekan depan.
Netanyahu terus mendesak Ban Ki-moon untuk mempertimbangkan keputusannya itu. "Saya tahu, selama ini track record anda sangat baik sebagai sekjen PBB. Sebuah kesalahan besar jika Anda mengunjungi Tehran meski itu bertujuan baik. Sebab yang akan dikunjungi adalah negara yang menghendaki kehancuran Israel," ucap Netanyahu berupaya meyakinkan Ban.
Fenomena kepanikan AS dan Israel menyikapi lawatan Ban Ki-moon ke Iran memunculkan pertanyaan besar. Mengapa para pemimpin dua negara itu begitu risau Sekjen PBB menghadiri KTT GNB di Iran ?
Pertama, KTT GNB ke-16 digelar di Iran yang selama ini menjadi lawan politik AS dan Israel. Dan Washington berulangkali menggunakan Dewan Keamanan untuk menggerus lawannya itu. Kehadiran Sekjen PBB dalam KTT GNB di Tehran akan menjadi bentuk pengakuan terhadap peran Iran dalam konstelasi internasional. Ini tentu merugikan Washington dan Tel Aviv.
Selama ini AS menggunakan status dirinya sebagai "polisi dunia" yang merasa "paling tahu" dan "mewakili" masyarakat internasional. Washington menggunakan Dewan Keamanan PBB sebagai alat untuk menegaskan identitas kepentingan politik luar negerinya. Kehadiran Sekjen PBB di Tehran sedikit banyak akan melunturkan identitas "Iran sebagai musuh masyarakat internasional" yang didefinisikan oleh Washington melalui berbagai kebijakannya di PBB.
Kedua,perhelatan akbar di Tehran kali ini digelar di tengah derasnya tekanan sanksi AS dan Uni Eropa terhadap Iran. Partisipasi besar para pemimpin negara-negara dunia dan organisasi internasional semacam Sekjen PBB dalam "hajatan agreng" itu menjadi soft power bagi Iran untuk melunakkan sanksi itu.
Di sela-sela KTT GNB ke-16 digelar pertemuan bilateral antara wakil Iran dengan berbagai negara dunia untuk membicarakan berbagai hal dari politik hingga ekonomi dan budaya. Di luar agenda pertemuan tersebut, Iran menjadikan KTT GNB kali ini sebagai "ruang besar" untuk menyiasati sanksi AS dan Uni Eropa.
Secara sosiologis, masyarakat Iran adalah kaum Bazaari, masyarakat pedagang, yang punya seribu cara untuk menciptakan dan memanfaatkan peluang, termasuk di ruang politik. Mereka dikenal lihai bernegosiasi, bahkan dalam kondisi yang paling buruk sekalipun. Pengalaman lebih dari tiga dekade berada dalam tekanan sanksi Barat cukup untuk membuktikan separuh fakta itu. Bagi Iran, KTT GNB itu juga pasar yang bisa mempertemukan supply dan demand antara Iran dengan 120 negara anggota GNB. Kalau sudah begini buat apa lagi sanksi AS dan Eropa! (IRIB Indonesia)