Edisi kali ini menyoroti kemenangan timnas sepak bola Prancis pada Piala Dunia 2018 Rusia, di mana sepertiga pemainnya tercatat sebagai Muslim. Fakta ini menarik perhatian sejumlah media dan pengguna Twitter.
Setelah kemenangan Prancis pada Piala Dunia 2018 Rusia dan mengingat kontribusi pemain Muslim dan imigran dalam kemenangan ini, akhirnya banyak pengguna Twitter menekankan perlunya mengakhiri kebijakan xenofobia dan Islamophobia di negara itu.
Paul Pogba, salah satu pencetak gol timas Prancis di laga final, dan enam rekan satu timnya adalah Muslim. Hampir 80 persen dari pemain timnas Prancis di Piala Dunia 2018 merupakan anak-anak imigran dan sepertiga dari mereka beragama Islam. Imigran membentuk sepuluh persen dari total populasi Prancis.
Setelah Prancis membawa pulang trofi Piala Dunia, banyak pengguna Twitter berpendapat bahwa pemerintah Paris harus mengakhiri pendekatan standar ganda terhadap warga imigran dan Muslim.
Seorang pengguna Twitter menulis, "Terlepas dari semua undang-undang anti-Islam yang diadopsi Prancis, tidak boleh dilupakan bahwa orang-orang Muslim-lah yang membantu Prancis memenangkan Piala Dunia."
Menurut pengguna lain, orang-orang Afrika dan Muslim mempersembahkan kemenangan untuk Prancis dan sekarang Paris harus memberi mereka keadilan.
Pengguna lain menyebut kebijakan anti-asing dan anti-Muslim yang diadopsi Prancis sebagai memalukan, karena orang-orang Muslim dan Afrika berkontribusi atas kemenangan Prancis pada Piala Dunia 2018.
Prancis memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa. Lembaga-lembaga resmi Prancis memperkirakan jumlah Muslim di negara itu mencapai enam juta orang. Namun, Muslim Prancis menghadapi semua bentuk diskriminasi, pembatasan, dan serangan bermotif rasial.
Prancis memelopori gerakan anti-Islam di Eropa dengan melarang pelajar Muslimah mengenakan jilbab di sekolah-sekolah pada pertengahan 1990-an. Larangan ini tidak terbatas pada penggunaan jilbab di sekolah, tapi kehadiran perempuan dan wanita berjilbab juga dibatasi di banyak ruang publik di Prancis.
Tindakan pemerintah Paris membatasi warga Muslim didasari pada tuntutan kelompok sayap kanan dan anti-Islam. Gerakan-gerakan pro-Zionis juga sangat mendukung pembatasan itu.
Paul Pogba dan rekan-rekannya di Piala Dunia 2018 Rusia.
Saat ini komunitas Yahudi Eropa memiliki jumlah terbesar di Perancis. Zionis dan rezim Zionis memiliki lobi berpengaruh di pemerintah Prancis. Banyak pejabat politik, intelijen, dan keamanan Prancis memiliki ikatan dengan Yahudi karena garis keturunan atau alasan lain.
Mereka selalu berusaha mencari dukungan pemerintah Paris dengan membesar-besarkan isu anti-Semitisme dan menutupi kejahatan rezim Zionis di wilayah Palestina pendudukan.
Prancis menghadapi beberapa serangan terorisme dalam beberapa tahun terakhir. Tindakan ini berakar pada perlakuan diskriminatif pemerintah Prancis terhadap warga Muslim serta dukungan negara itu kepada kelompok-kelompok takfiri dan teroris di Suriah, Irak, dan Libya.
Realitas kehidupan di Barat menunjukkan bahwa kontribusi umat Islam secara umum baik mereka yang tinggal di Prancis, Jerman atau Inggris, berguna dan positif. Warga Turki memainkan peran penting dalam membangun Jerman pasca Perang Dunia II. Pada saat yang sama, kaum Muslim di Afrika Utara berimigrasi ke Prancis selama era kolonialisme dan tetap setia pada negara dan Konstitusi Prancis meskipun menghadapi diskriminasi dan perlakuan buruk.
Kebijakan anti-Islam dan pelanggaran hak-hak sipil Muslim, menyebabkan sebagian pemuda merasa tidak nyaman. Prancis yang mengaku mendukung kebebasan berekspresi, telah membantai jutaan Muslim di Afrika Utara selama abad ke-19 dan 20 Masehi. Bahkan sampai berakhirnya Perang Dunia II, Prancis melanjutkan praktik kolonialisme di Afrika Utara.
Namun, pemerintah Paris memandang pemicu tindakan teroris di Prancis adalah ekstremisme Islam dan al-Quran dalam mendukung kekerasan, tanpa melihat sejarah perlakuan buruk Prancis terhadap Muslim Afrika khususnya Aljazair, dan konsekuensi mendukung kelompok teroris takfiri seperti Daesh di Suriah.
Prancis kemudian melakukan kampanye anti-Muslim dan Islamophobia serta menjustifikasi pengekangan terhadap warga Muslim meskipun itu melanggar hukum kebebasan beragama yang dijamin oleh Konstitusi Prancis dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kampanye ini hanya akan menyebabkan komunitas Muslim termarginalkan.
Orang-orang Muslim yang sekarang menjadi pemain timnas Prancis, bekerja keras tanpa menikmati dukungan khusus dan mereka berhasil tampil sebagai pemain profesional di dunia dan diundang ke timnas. Mereka menganggap kemenangan dalam Piala Dunia sebagai kehormatan besar bagi diri mereka sendiri dan Prancis.
Muslimah Prancis memprotes larangan penggunaan jilbab.
Para pemain Muslim ini bangga dengan Prancis. Sama seperti orang tua mereka yang berperang untuk Prancis pada Perang Dunia I dan II. Beberapa tahun yang lalu, kuburan sejumlah tentara Muslim Prancis yang terbunuh selama Perang Dunia I dan II dirusak oleh kelompok anti-Islam dan Zionis.
Mereka menghancurkan batu nisan makam tentara Muslim dan menuliskan gambar salib di atasnya. Presiden Prancis waktu itu, Nicolas Sarkozy mengatakan batu nisan yang telah dirusak itu milik tentara Muslim Prancis, dan menyebut tindakan tersebut sebagai noktah hitam dalam sejarah Prancis.
Lalu, apakah serangan ke masjid-masjid, ancaman membunuh wanita berjilbab, serangan terhadap pelajar Muslimah, dan penyampaian pidato kebencian terhadap warga Muslim, bukankah ini noktah hitam bagi Prancis, negara yang mengklaim dirinya sebagai tanah lahirnya kebebasan berekspresi dan demokrasi. Tindakan memelopori pembatasan terhadap umat Islam di Eropa, bukankah sebuah aib bagi pemerintah Prancis?
Salah satu penggunan Twitter, Shahab Esfandiyari dalam sebuah pesan menulis, "Prancis yang terhormat, selamat atas kemenangan Piala Dunia. 80 persen dari tim Anda adalah imigran Afrika. Jadi, tolong akhiri rasisme dan heterofobia di Prancis. 50 persen dari tim Anda adalah Muslim. Tolong akhiri Islamophobia di Prancis. Mereka memberi Anda Piala Dunia kedua. Tolong berikan mereka keadilan."
Diharapkan bahwa dengan kemenangan yang telah dipersembahkan orang-orang Muslim kepada timnas Prancis, gelombang Islamophobia akan dihentikan selamanya di negara itu dan membuka mata dunia tentang kebohongan-kebohongan yang dibuat untuk menyudutkan Islam.