Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 29 November 1977, dengan suara mayoritas, menetapkan tanggal 29 November setiap tahun sebagai Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina.
PBB meminta negara-negara anggota untuk memasukkan hari itu dalam kalender nasional mereka dan memperingatinya. Langkah PBB ini tampaknya bertujuan untuk menyita perhatian global terhadap masalah rakyat Palestina.
Namun, fakta menunjukkan bahwa PBB bukan hanya tidak bertindak untuk membela rakyat Palestina, tetapi juga dengan dukungan dari beberapa negara Eropa, Amerika Serikat, dan rezim Zionis, selalu mengabaikan hak-hak rakyat tertindas Palestina.
Pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB mengeluarkan sebuah resolusi yang membagi wilayah Palestina menjadi negara Yahudi dan Palestina, di mana 55 tanah Palestina diberikan kepada rezim Zionis. Melalui resolusi ini, yang dikenal sebagai resolusi 181, sebenarnya benih pertama masalah rakyat Palestina telah ditaburkan.
Resolusi PBB itu secara kejam memecah-belah masyarakat Palestina, mengabaikan bagian dari sejarah mereka di tanah Palestina, dan menyerahkan milik mereka kepada Zionis.
30 tahun kemudian yaitu pada 1977, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi yang dikenal sebagai Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina. Meskipun tujuan awal PBB adalah untuk menyita perhatian dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina, namun sekarang, 44 tahun setelah resolusi itu disahkan, selalu muncul pertanyaan di antara masyarakat dunia yaitu "Apa yang sudah dilakukan PBB dalam menyikapi kejahatan rezim Zionis terhadap rakyat Palestina?
Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dari kondisi memilukan rakyat Palestina serta penindasan dan pendudukan Israel yang terus berlanjut terhadap bangsa tertindas itu.
Peristiwa lebih dari tujuh dekade agresi dan penjajahan menunjukkan bahwa hanya dengan menetapkan hari yang disebut "Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina," penindasan yang menimpa bangsa ini tidak dapat dihilangkan. Israel melanggar banyak ketentuan Piagam PBB selama bertahun-tahun dan bertanggung jawab atas penggusuran lebih dari lima juta warga Palestina.
Sebelum keluarnya resolusi 181 PBB, rakyat Palestina tinggal dan menjadi pemilik asli atas seluruh tanah Palestina seluas 27.000 kilometer persegi. Namun, setelah resolusi itu keluar, Zionis dengan menggunakan kekerasan, pembantaian terorganisir, dan intimidasi serta beberapa perang, telah menduduki wilayah tersebut dan menggusur rakyat Palestina.
Pada dasarnya, penindasan terbesar dalam beberapa abad terakhir terjadi di tanah Palestina. Dalam peristiwa yang tragis ini, semua yang dimiliki oleh sebuah bangsa, tanah airnya, rumah, ladang pertanian, propertin, kesucian, dan identitasnya telah dirampas.
Blokade kejam Gaza dan penerapan hukuman massal adalah contoh nyata dari penindasan rakyat Palestina, yang melanggar semua hukum dan norma internasional. Tidak adanya langkah untuk menindak pelanggaran hukum internasional di tanah pendudukan Palestina telah mendorong rezim Israel untuk melanjutkan kejahatan kejinya terhadap rakyat Palestina, terutama anak-anak.
Sejalan dengan kebijakan genosida, Israel telah membantai anak-anak tak berdosa setelah menduduki tanah Palestina pada 1948 dan bahkan pengesahan Konvensi 1989 tentang Hak Anak-Anak, tidak menghentikan mereka. Situasi ini membawa anak-anak Palestina keluar dari dunia mereka (dunia anak-anak).
Pembantaian rakyat Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan yang tidak berdaya, selama bertahun-tahun sejak pendudukan ilegal Israel, merupakan salah satu kasus yang tidak pernah ada tindakan serius dari PBB untuk menghukum rezim penjajah Zionis.
Lebih dari 50.000 anak-anak dan remaja Palestina di bawah usia 18 tahun ditahan sejak 1967, dan bahkan ratusan anak-anak dan remaja masih ditahan di pusat-pusat penahanan horor milik Israel. Temuan lembaga-lembaga hak asasi manusia Barat dan internasional, tidak pernah menjamin hak-hak anak Palestina yang tertindas, karena prinsip non-diskriminasi telah lama dikalahkan oleh kebijakan standar ganda.
Dalam salah satu pidatonya pada peringatan Hari Quds Sedunia, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Hari ini, dunia menghitung satu per satu jumlah korban Corona di seluruh dunia, tetapi tidak ada yang bertanya siapa pembunuh dan pihak yang harus bertanggung jawab atas kematian ratusan ribu syuhada, tawanan, dan juga orang hilang di negara-negara tempat Amerika Serikat dan Eropa mengobarkan perang?
Siapa yang bertanggung jawab atas semua pertumpahan darah di Afghanistan, Yaman, Libya, Irak, Suriah, dan negara-negara lain? Siapa yang bertanggung jawab atas semua kejahatan, perampasan, penghancuran, dan penindasan di Palestina?
Mengapa tidak ada yang menghitung jutaan anak-anak yang tertindas, wanita, dan pria di Dunia Islam? Mengapa tidak ada yang menyampaikan belasungkawa atas pembantaian terhadap umat Islam? Mengapa jutaan orang Palestina harus hidup dalam pengasingan selama 70 tahun jauh dari rumah mereka sendiri? Mengapa Quds Sharif, kiblat pertama umat Islam dilecehkan dan dinistakan? Lalu apa fungsi PBB yang tidak menunaikan tugasnya?
Lembaga yang disebut PBB, tidak menunaikan tugasnya dan organisasi yang dikenal sebagai lembaga hak asasi manusia, sudah mati. Slogan "Membela hak anak-anak dan perempuan" tidak termasuk anak-anak dan perempuan tertindas di Yaman dan Palestina. Beginilah kondisi kekuatan-kekuatan Barat dan lembaga-lembaga internasional yang dependen."
Sekarang setelah Hari Internasional Solidaritas dengan Rakyat Palestina berusia 44 tahun, PBB seringkali memilih diam dalam menghadapi kejahatan rezim Zionis terhadap rakyat Palestina, dan terkadang dengan kelambanannya, ikut memperburuk penindasan terhadap rakyat Palestina.
Keanggotaan perwakilan Israel di beberapa komisi dan komite PBB atau persetujuan penggunaan nama Ibrani untuk kota-kota dan situs bersejarah di Palestina, dapat menjadi bukti yang jelas atas sikap pasif dan kerja sama PBB dengan rezim Zionis dalam menindas rakyat Palestina.
Pendudukan dan kejahatan rezim Zionis terhadap rakyat Palestina terus berlanjut selama bertahun-tahun, sementara PBB tetap bungkam dalam menghadapi pelanggaran hak-hak rakyat Palestina dan pengusiran jutaan orang. Hal ini menjadi bukti atas perpecahan politik dan sinyal dari kelemahan serta dukungan PBB kepada rezim Zionis.
Dari sudut pandang ini, dapat dikatakan bahwa deklarasi Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina oleh PBB sebenarnya merupakan slogan yang tidak dibarengi dengan tekad untuk bertindak. Namun, pelaksanaan kegiatan-kegiatan untuk membela rakyat Palestina harus tetap menjadi sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.
Perlu dicatat bahwa solidaritas semu yang tidak diikuti dengan aksi nyata, hanya akan membuat penindasan dan pendudukan tetap berlanjut di tanah Palestina. Masyarakat internasional harus memberikan solidaritas nyata kepada rakyat Palestina dan mendukung bangsa yang telah menjadi korban penindasan terbesar dalam sejarah.
Dalam hal ini, Republik Islam Iran percaya bahwa perdamaian yang adil dan menyeluruh di dunia tidak akan tercapai kecuali dengan menghentikan penindasan dan arogansi, menghormati hak-hak bangsa dan nilai-nilai agama dan budaya, dan mematuhi prinsip penentuan nasib sendiri oleh bangsa-bangsa.
Masyarakat internasional juga mengharapkan PBB untuk menghormati hak semua bangsa secara adil. Hak untuk kembali dan hak untuk menentukan nasib sendiri serta hak untuk mendirikan negara merdeka Palestina adalah bagian penting dari hak-hak bangsa tertindas Palestina berdasarkan hukum internasional.