Lembaran awal sejarah hingga kini menunjukkan perang dan kekerasan menjadi masalah dunia. Tetapi, selalu ada tokoh dan pemikir berpengaruh yang berusaha mencegah agresi dan penindasan sepanjang sejarah manusia.
Di dunia kontemporer dewasa ini ada pemerintah yang memelopori pengurangan kekerasan dan ekstremisme, termasuk salah satunya Republik Islam Iran dengan berbagai kiprahnya. Pada tanggal 18 Desember 2013, Republik Islam Iran mengajukan resolusi yang diusulkan kepada Majelis Umum PBB mengenai "Dunia Melawan Kekerasan dan Ekstremisme", yang disetujui dengan suara bulat dari perwakilan 190 negara.
Penetapan "Hari Menentang Kekerasan dan Ekstremisme Sedunia" menunjukkan kepada para pendukung perdamaian, kerja sama dan interaksi, bahwa mereka harus memaksimalkan keseriusannya dalam memerangi kekerasan dan ekstremisme demi mencapai pemahaman bersama tentang penyebab kekerasan.
Terlepas dari kemajuan luar biasa yang telah dicapai manusia di berbagai bidang di abad ke-21, tapi hingga kini salah satu perhatian utama umat manusia mengenai upaya untuk menjaga dan memelihara keamanan global, termasuk penyebaran moderasi dan penolakan setiap perilaku kekerasan dan ekstremisme. Masalahnya, struktur dan relasi kekuasaan di dunia saat ini menyebabkan meluasnya kekerasan dan ekstremisme. Sehingga akibatnya kini hampir tidak ada bagian dunia yang tidak menyaksikan ekstremisme dan kekerasan.
Fenomena mengerikan dalam satu dekade terakhir ini telah merenggut sebagian besar korbannya dari kalangan Muslim tak berdosa di berbagai negara, terutama Irak, Suriah dan Afghanistan, juga Muslim Rohingya. Kekerasan semacam itu telah begitu merajalela di seluruh dunia yang menyebabkan begitu banyak orang tak bersalah kehilangan nyawanya.
Tumbuhnya ide-ide seperti neo-Nazisme atau aliran sayap kanan di Eropa merupakan fenomena yang muncul dari budaya politik Barat dan pengaruh aliran tersebut dapat dilihat pada penguatan kekerasan dan ekstremisme yang tumbuh dari ide-ide ekstremis rasis dan anti-agama di masyarakat Barat.
Selama beberapa tahun terakhir, individu, gerakan, dan partai ekstremis sayap kanan di Eropa telah berulang kali mempertajam Islamofobia, termasuk menghina Nabi Muhammad Saw, menghina Al-Qur'an, dan menggambarkan Muslim sebagai teroris, yang menimbulkan masalah dalam kehidupan mereka.
Tentu saja, peran pemerintah dan pemimpin Eropa dalam mempromosikan Islamofobia secara langsung atau tidak langsung dan menghasut media Eropa terhadap fenomena ini dan menampilkan citra Islam yang menyimpang tidak boleh diabaikan. Bahkan, kubu sayap kanan mengamini ideologi Islamofobia yang ditanamkan di dalamnya oleh media Barat.
Sheikh Reyhan Reza Al-Azhari, seorang ahli studi Islam di Barat menunjukkan fakta ini dengan mengatakan, "Tren aksi anti-Islam di Eropa sedang meningkat."
Mencermati lebih dalam situasi kisruh yang bercampur dengan kekerasan di dunia, tampaknya budaya politik Barat menggunakan kekerasan maupun dukungannya terhadap kelompok kekerasan dan teroris sebagai sarana untuk mencapai tujuannya.
Kenyataan yang lebih pahit dalam setengah abad terakhir mengenai kebrutalan di bawah bendera palsu Islam dan ideologi yang dibuat di sekolah-sekolah bentukan kolonialisme Barat. Munculnya kelompok teroris dari al-Qaeda hingga Daesh, Jabhat al-Nusra, Boko Haram, al-Shabab, Ahrar al-Sham dan puluhan kelompok berbahaya lainnya adalah produk dari pemikiran yang sama. Mereka memenggal dan membakar wanita dan anak-anak, dan menghancurkan warisan sejarah masyarakat manusia yang menjadi stempel Islamofobia yang disematkan Barat terhadap umat Islam.
Bukti ini telah menunjukkan peran Amerika Serikat dan Inggris serta sekutu regional mereka dalam memunculkan kelompok-kelompok teroris seperti al-Qaeda dan Daesh. Dengan kata lain, kekerasan dan ekstremisme yang tidak terkendali harus dilihat sebagai cerminan dari tindakan mereka.
Berbagai bukti menunjukkan bahwa semakin dekat orang pada gagasan koeksistensi damai antara mereka dengan yang lain, maka semakin tinggi toleransi dan moderasi di antara mereka. Tapi sebaliknya, semakin banyak orang yang tidak menghargai pemikiran pihak lain, maka semakin dengan dengan kekerasan dan ekstremisme.
Contoh nyata dari tren tersebut dapat dilihat pada aksi kelompok ekstremis seperti Daesh. Dengan pemahaman Islam yang ekstrim, para pengikut Daesh telah mencoba untuk mendikte pemikirannya terhadap pihak lain. Untuk mencapai tujuan ini, mereka tidak ragu-ragu menumpahkan darah ribuan orang yang tidak bersalah.
Namun, kekerasan adalah fenomena yang sangat kompleks di mana banyak faktor berperan dan faktor spesifiknya tidak pernah dapat didefinisikan. Oleh karena itu, setiap peristiwa yang terjadi di manapun di dunia mempengaruhi nasib seluruh dunia.
Faktanya, fitur terpenting dari situasi baru ini adalah "ketidakamanan permanen" global, dan semua negara yang merdeka dan berpikiran bebas harus berusaha untuk menggantikan dunia yang diwarnai ekstremisme dan kekerasan dengan dunia yang damai dan tenteram. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman terhadap akar ekstremisme. Untuk mengidentifikasi dan memberantas terorisme dan ekstremisme, tentu saja harus memperhatikan penyebab dan faktor eksternal dan internal, konteks politik, sosial, ekonomi, dan mencerabut ideologisnya.
Pengesahan resolusi yang diusulkan Iran tentang dunia melawan kekerasan dan ekstremisme sebenarnya adalah seruan untuk menjauhkan diri dari masa lalu dan untuk percaya pada nilai dan martabat manusia. Seruan ini tidak hanya untuk kepentingan Iran, tetapi berakar pada pandangan dunia Revolusi Islam, yang menuntut dunia yang penuh perdamaian dan jauh dari kekerasan demi kepentingan semua negara dan bangsa.
Dari perspektif Islam, terorisme dan kekerasan adalah masalah seluruh umat manusia dan momok peradaban, kemajuan dan kenyamanan manusia. Tentu saja, ini penting ketika gagasan perdamaian dunia serta penghindaran kekerasan dan ekstremisme diperkuat dengan mengadakan pertemuan, konferensi regional dan trans-regional serta mendukung kelompok dan gerakan anti-perang.(