Sebelumnya telah dijelaskan tentang substansi hukum-politik dari referendum nasional di Palestina, dan sekarang akan diulas tentang substansi kemanusiaan program referendum nasional di Palestina yang digagas Iran.
Republik Islam Iran sudah menyampaikan strateginya untuk Palestina dengan nama Referendum Nasional di Palestina. Strategi ini memiliki dua bagian. Bagian pertama adalah perlawanan dalam menghadapi ekspansionisme, dan kejahatan rezim Zionis Israel, selama eksistensi politik Israel belum berakhir.
Bagian kedua adalah penentuan nasib Palestina oleh rakyatnya sendiri. Kenyataannya program referendum adalah penyempurna perlawanan untuk merebut hak bangsa tertindas Palestina yang dirampas. Referendum pada hakikatnya mengandung sebuah konsep luhur di dalamnya. Referendum sebenarnya adalah indikator kemanusiaan yang luhur dan Ketuhanan sebagai kelanjutan dari perlawanan, dan realitasnya akan menyempurkan seluruh proses.
Wakil Hamas di Iran, Khaled Al Qaddoumi menjustifikasi secara penuh program referendum, dan menekankan berlanjutnya perlawanan bersenjata serta perlindungan terhadap penduduk Al Quds. Menurutnya, Iran adalah pendukung terpenting perlawanan Palestina, dan hal ini diketahui oleh semua orang. Program Iran dari sisi moral dan hak kemanusiaan juga dibenarkan oleh Hamas, akan tetapi harus diketahui ia menegaskan prinsip demoksrasi dan hak asasi manusia, tidak hanya sekadar retorika seperti yang dilakukan para pejabat negara-negara Barat.
Oleh karena itu, rakyat Palestina bersikeras menggunakan opsi perlawanan sampai kemerdekaan penuh. Pasalnya, perlawanan terhadap penjajahan rezim Zionis adalah hak pasti rakyat Palestina, dan kelompok perlawanan. Di sisi lain perlawanan rakyat Palestina juga memperhatikan dimensi politik, diplomatik, dan media. Alasan dukungan terhadap program yang digagas Iran adalah rekam jejak Republik Islam dalam membela hak legal rakyat tertindas Palestina, dan kelompok-kelompok perlawanan.
Iran percaya, Palestina akan merdeka dengan perlawanan, bukan dengan proyek-proyek politik. Prinsip ideologis dan kenyataan di lapangan menegaskan pandangan Iran ini. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei juga meyakini bahwa perlawanan memiliki akar dalam ajaran agama dan Al Quran.
Program referendum sebagai sebuah program hukum-politik dipilih untuk memperkuat perlindungan dan perlawanan sehingga berbagai gerakan konservatif yang lebih mengedepankan perundingan dan penyelesaian politik atas masalah pendudukan Palestina, akan menyadari standar ganda yang digunakan Barat dalam masalah Palestina, dan mereka pada akhirnya memahami bahwa tidak ada jalan lain selain perlawanan.
Dari sini program referendum yang digagas Iran diposisikan untuk memperkuat perlawanan, bukan untuk melemahkannya. Proyek Kesepakatan Abraham sepenuhnya membuktikan bahwa Amerika Serikat membuka kesempatan seluas-luasnya bagi Israel untuk melakukan berbagai kejahatan dan pelanggaran terhadap aturan internasional, bahkan resolusi PBB, sehingga rezim Zionis tidak merasa dibatasi di Tepi Barat.
Presiden AS Donald Trump, Joe Biden, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah melanggar sekitar 50 resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Tepi Barat, sebagai sebuah wilayah pendudukan, dan juga Al Quds Timur. Masalah ini menjelaskan bahwa Barat tidak pernah memegang prinsip kepatuhan pada hukum, tapi kepatuhan pada kekuatan, dan mendukung kejahatan Israel.
Substansi kemanusiaan program referendum nasional di Palestina, dan demokrasi, sama sekali tidak bertentangan dengan strategi jihad dan perlawanan bersenjata terhadap penjajah. Alasannya karena strategi mengerikan yang dipakai pihak lawan. Selama 73 tahun sejak berdiri, Israel menjadi rezim paling jahat, paling banyak membunuh anak-anak, dan organisasi yang paling banyak melakukan teror di muka bumi, oleh karena itu perlawanan bersenjata dan perang melawan penjajah secara fisik harus terus dilakukan, dan setiap hari harus diperkuat, karena ide perlawanan sesuai dengan Piagam PBB, dan aturan hukum internasional berbasis pembelaan diri secara legal.
Program referendum adalah sebuah gerakan dalam kerangka perlawanan aktif, artinya jawaban terhadap mereka yang tentang perlawanan bersenjata mengatakan, “Siapa pun yang meyakini kemerdekaan Al Quds hanya memegang senjata, dan negara-negara pendukungnya hanya membantu senjata.” Akan tetapi program referendum nasional juga mengandung komponen kekuatan lunak, dan prakarsa hukum serta politik. Iran berdasarkan program ini, bisa menegaskan bahwa semua orang yang ingin kembali ke tanah air aslinya, mendapat dukungan politik dan hukum, dan Tehran memiliki program-program praksis untuk mereka.
Wakil Jihad Islam di Iran, Nasser Abu Sharif meyakini bahwa sebab dan alasan prakarsa Iran adalah untuk menguji dunia, yaitu ujian tentang penegakan keadilan dan kebebasan.
“Kami percaya prakarsa Rahbar Iran tidak lain adalah prakarsa yang sedang diupayakan oleh rakyat Palestina, dan merupakan prinsip demokrasi. Pasalnya, rezim Israel, menjajah Palestina, dan orang-orang Yahudi dari berbagai wilayah Eropa Timur, dan Barat, menduduki Palestina, dan menginjak-injak hak serta keadilan. Jika penjajah dilibatkan, referendum yang adil tidak akan bisa laksanakan, dan kami tidak akan bisa memiliki sebuah pemerintahan komprehensif, karena masuknya mereka telah merusak keadilan dan kebebasan, dan menghilangkan kebebasan kami. Israel tidak bisa membentuk pemerintahan yang di dalamnya keadilan ditegakan, karena karakteristik penjajah yang dimilikinya. Masa depan Palestina hanya bisa ditentukan oleh partisipasi politik warga asli Palestina. Tumpuan perlawanan bersenjata Palestina adalah Iran, sebagai sebuah pilar aman bagi perlawanan. Kubu perlawanan percaya bahwa tanah air Palestina harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan kami akan membangun negara kami dari awal. Karena mustahil pemerintahan bersama antara Zionis dan rakyat Palestina dibangun,” paparnya.
Salman Razavi, pengamat masalah Palestina asal Iran menekankan substansi kemanusiaan dari program referendum nasional di Palestina, dan meyakini bahwa program ini adalah penyempurna, dan kelanjutan dari perlawanan. Program referendum pada kenyataannya adalah penyempurna perlawanan, dan hakikatnya merupakan strategi perlawanan untuk masa ketika penjajah belum mundur dari posisinya.
Kenyataannya, dalam perlawanan tidak dikenal pandangan tentang agresi, dan perlawanan sebagaimana nampak dari namanya adalah membela diri dari musuh zalim yang hanya mengerti bahasa senjata dan pemaksaan, dan selama kita tidak melawannya dengan senjata, mereka tidak akan pernah mengakui hak kita sedikit pun. Sebagaimana kita saksikan selama 73 tahun Israel melakukannya, dan kapan pun bahasa dialog serta perdamaian disampaikan kepada mereka, bukan hanya tidak menjamin hak-hak rakyat Palestina, bahkan langkah demi langkah terus memperkokoh posisinya di daerah pendudukan dengan berbagai skenario dan konspirasi.
Maka dari itu, perlawanan satu-satunya strategi untuk memukul mundur musuh. Akan tetapi mungkin saja masyarakat dunia bertanya jika perlawanan bersenjata menghadapi musuh berhasil dimenangkan, pada tahap selanjutnya strategi apa yang akan digunakan terhadap Israel. Jawabannya adalah referendum. Realitasnya, Iran sama sekali tidak memiliki strategi non-kemanusiaan untuk Palestina, tapi dalam rentang waktu sekarang ini, rakyat Palestina harus mengambil keputusan untuk negaranya sendiri.
Pengamat masalah Palestina lain asal Iran, Mahdi Shakibaei percaya bahwa Israel telah menjajah wilayah geografis Palestina, dan memaksa rakyatnya mengungsi serta menduduki tanah airnya. Akan tetapi rezim Israel, dan para pendukungnya yaitu negara-negara adidaya dunia, menyebut perlawanan rakyat Palestina sebagai kekerasan dan terorisme. Kekuatan-kekuatan dunia itu menutup mata atas kekerasan yang dilakukan terhadap rakyat Palestina, dan menggulirkan beraneka program politik dengan tujuan yang diklaim sebagai upaya mengatasi konflik Palestina.
Dengan cara ini, negara-negara adidaya dunia itu selain ingin menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa Israel dan para pendukungnya adalah pemain asli demokrasi, juga menyampaikan bahwa Palestina dan Iran sebagai pendukung kekerasan. Program yang digagas Iran pada hakikatnya bertujuan untuk menunjukkan kemunafikan Israel, dan para pendukungnya dengan menyampaikan program yang sepenuhnya memiliki substansi kemanusiaan .