Salah satu kendala untuk mewujudkan cita-cita Palestina adalah karena sikap kompromi Arab dengan Amerika Serikat dan rezim Zionis. Kubu pro-kompromi Arab mengetahui bahwa pelaksanaan referendum di Palestina akan berujung pada kehancuran Israel dan kemenangan bagi Palestina dan front perlawanan Islam.
Para penguasa Arab yang pro-kompromi, karena mereka tidak punya basis massa dan merupakan pemerintahan boneka, tidak memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina, mereka memilih melayani kepentingan AS. Kepentingan AS juga menuntut eksistensi Israel sebagai sekutu strategisnya di Asia Barat.
Dalam beberapa tahun terakhir, para panguasa pro-kompromi bahkan telah mengabaikan sikap yang berpura-pura membela hak-hak rakyat Palestina. Masalah normalisasi hubungan dipromosikan secara terbuka tanpa memperhatikan kepentingan rakyat Palestina, dan negara-negara Arab telah melupakan prasyarat sebelumnya untuk normalisasi.
Keputusan Uni Emirat Arab (UEA) menormalisasi hubungan dengan rezim Zionis dalam konteks Perjanjian Abraham menunjukkan bahwa kubu pro-kompromi di dunia Arab, tidak percaya pada hak-hak rakyat Palestina yang tertindas. Sebelumnya, dan khususnya pada KTT Beirut tahun 2002, kubu pro-kompromi menyatakan siap untuk memulihkan hubungan dengan Israel, asalkan rezim penjajah ini mundur ke perbatasan sebelum tahun 1967.
PM Israel Menachem Begin, Presiden AS Jimmy Carter dan Presiden Mesir Anwar Sadat setelah menandatangani perjanjian kompromi di Camp David.
Namun, kemenangan kelompok perlawanan pada perang 33 hari dan 22 hari membuat para penguasa pro-kompromi berkesimpulan bahwa pada akhirnya kelompok perlawanan-lah yang akan memimpin di wilayah ini. Berangkat dari fakta ini, mereka mulai mengabaikan pertimbangan tradisional dan sikap kepura-puraan, mereka bergerak menuju normalisasi dan peresmian hubungan dengan Israel.
Para penguasa Arab pro-kompromi memiliki keyakinan yang keliru dan mereka percaya bahwa penarikan AS dari Timur Tengah, bermakna bahwa sebuah tatanan yang diimpikan oleh Washington sudah terbentuk dan tatanan baru ini dipimpin oleh Israel. Oleh karena itu, negara-negara Arab sekutu Amerika bergegas untuk mendapatkan tempat dalam tatanan baru ini dan juga bergegas untuk menormalisasi hubungan.
Mereka bahkan mengabaikan prakarsa Iran tentang pelaksanaan referendum nasional sebagai solusi untuk konflik Palestina. Sikap ini diambil karena para penguasa Arab tidak memiliki basis massa di negaranya. Hal ini kembali ke tahun 2011 dan kebangkitan rakyat yang terjadi setelahnya. Aksi protes menentang kediktatoran telah membuat para penguasa Arab mengkhawatirkan keamanannya dan pecahnya pemberontakan di dalam negeri.
Di tengah gejolak ini, dinas keamanan dalam negeri Israel (Shin Bet) dan lembaga lembaga keamanan rezim ini secara diam-diam dikirim ke negara-negara Arab. Mereka datang sebagai perusahaan berbasis pengetahuan yang bergerak di bidang analisis situasi, peringatan dini, dan sejenisnya, untuk memberikan masukan kepada penguasa Arab.
Oleh sebab itu, beberapa pemerintah Arab telah mengesampingkan isu Palestina dengan harapan mendapatkan bantuan dari Israel untuk menumpas protes rakyat.
Perwakilan Gerakan Hamas di Iran, Khaled al-Qaddumi percaya bahwa tidak seorang pun dan tidak ada apa pun yang bernilai bagi penguasa Arab selain kekuasaan dan keamanan. Untuk alasan ini, kita bahkan akan menyaksikan bahwa mereka akan menumpas kelompok-kelompok Palestina. Bagi mereka, rakyat Palestina tidak berharga.
"Prakarsa Iran dan pelaksanaannya di tanah Palestina akan menjadi sebuah model bagi dunia Arab. Masyarakat di negara-negara pro-kompromi juga akan memperjuangkan pemilu dan melarikan diri dari monarki otoriter. Hal ini secara serius mengancam keamanan para penguasa Arab," jelasnya.
Gerakan pro-kompromi adalah sebuah kelompok yang membentuk sebuah pemerintah di bawah Kesepakatan Oslo di Palestina dengan tujuan untuk mengurangi biaya keamanan Israel. Kelompok ini pada dasarnya menentang perlawanan dan menghambat kegiatan perlawanan di Tepi Barat.
Namun, kelompok ini tidak mendapat banyak dukungan dari masyarakat Palestina. Oleh sebab itu, mereka menganggap referendum, yang akan menghapus Israel sebagai entitas politik dan memberikan hak kepada rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya, sebagai aksi bunuh diri yang juga akan mengakhiri karirnya di kancah politik Palestina.
Karena dua alasan tersebut, prakarsa untuk melaksanakan referendum di Palestina tidak didukung oleh kelompok pro-kompromi. Tentu saja, peran negatif Arab Saudi dalam menekan kekuatan perlawanan Palestina sangat dominan dan perlu ditegaskan bahwa negara-negara Arab pimpinan Riyadh yang menentang perlawanan, berada di pihak Israel dan itulah sebabnya, mereka menentang prakarsa Iran.
Dalam rangka menghapus keterkaitan Palestina dengan Islam dan menghancurkan ideologi perlawanan, kekuatan hegemoni dan kelompok Arab pro-kompromi melakukan upaya-upaya, yang berfokus pada dua isu utama yaitu menciptakan perpecahan di antara negara-negara Muslim dan mendistorsi prinsip-prinsip perlawanan.
Mereka mencoba untuk mengubah pandangan dan pendekatan masyarakat Muslim tentang perlawanan dan mendorong mereka untuk melupakan ideologi perlawanan. Pendekatan ini sama seperti yang selama ini diadopsi oleh Barat dan strategi ini akan terus dijalankan.
Para penguasa Arab pro-kompromi dengan Israel.
Gerakan pro-kompromi dan beberapa negara Arab tidak menanggapi prakarsa Iran tentang referendum Palestina, hal ini karena ada perselisihan fundamental antara Iran dan gerakan tersebut.
Hal yang secara praktis ditindaklanjuti oleh rezim penjajah adalah menghalangi berdirinya negara merdeka Palestina. Para penguasa Arab tidak mendukung prakarsa referendum, karena gerakan kompromi di negara-negara Arab tidak menginginkan berdirinya sebuah negara merdeka di Palestina.
Pada dasarnya, para penguasa Arab ingin memuaskan baik rezim Zionis maupun kekuatan hegemoni, dan juga membiarkan rakyat Palestina untuk memperoleh sebagian kecil dari tuntutannya. Dengan demikian, mereka secara praktis menentang prakarsa demokratis pelaksanaan referendum di Palestina.
Rezim kompromi Arab yang diktator, menganggap dirinya harus sejalan dengan pendekatan Barat, ini karena hubungan dan ketergantungan mereka dengan beberapa negara Barat. Meskipun pendekatan itu bertentangan dengan Islam dan perjuangan Palestina, para penguasa Arab tidak dapat menolaknya karena ketergantungan pemerintah mereka.