Kesetaraan Warna dan Ras di Sirah Ahlul Bait as

Rate this item
(0 votes)
Kesetaraan Warna dan Ras di Sirah Ahlul Bait as

 

Rasulullah Saw sangat ramah, bermuka manis dan tersenyum ketika menghadapi orang-orang beriman. Beliau tak segan-segan berinteraksi dan duduk bersama pelayan, orang miskin dan mereka yang memiliki warna kulit berbeda. Tak hanya itu, Rasul juga duduk dan makan bersama mereka.

Agama-agama ilahi berusaha untuk memimpin manusia menuju kesempurnaan, tanpa memandang warna atau ras. Masalah ini adalah salah satu ajaran indah dari Al-Qur'an, para nabi ilahi dan sopan santun Nabi (SAW) dan para imam dari generasinya. Dalam ayat-ayat pedomannya, Al-Qur'an menyangkal segala bentuk diskriminasi rasial.

Terkait hal ini ayat 13 Surah al-Hujurat menyebutkan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.”


Menurut ayat ini, Allah Swt menciptakan manusia dari berbagai ras, bahasa dan nasab keturunan serta keunggulan seseorang bukan tergantung pada warna kulit dan ras. Allah Swt dengan kedilan-Nya menentukan takwa sebagai tolok ukur keunggulan manusia sehingga tidak ada manusia yang merasa berhak untuk congkak dan menzalimi yang lain karena warna kulit serta fasilitas yang dimilikinya.

Dengan memeriksa perilaku dan karakter Nabi Muhammad Saw, kita melihat poin dan hukum yang signifikan dalam penolakannya terhadap rasisme. Nabi Suci Islam diutus sebagai nabi pada saat ketidaktahuan orang Arab mencapai puncaknya dan masalah diskriminasi ras, kelas, dan etnis menyebar secara tragis. Sebaliknya, orang non-Arab dan kulit hitam tidak memiliki hak istimewa dan hanya digunakan sebagai budak untuk kesejahteraan dan kepentingan aristokrasi Arab.

Sejak awal pengutusannya, Muhammad Saw mencap batil semua kebiasaan dan takhayul dari era pra-Islam berdasarkan ayat-ayat Alquran dan perintah Ilahi. Dia menolak rasisme dan menyerukan kebebasan dan martabat bagi budak. Selama 23 tahun risalahnya, Nabi (saw) pada berbagai kesempatan dan peluang memperingatkan orang-orang Arab agar tidak membual tentang kesombongan nasab keturunan dan kesukuan.

Rasul pasca penaklukan Mekah (Fathu Makkah) dan di pidatonya paling sensitif, memperingatkan masyarakat untuk menjahui diskriminasi rasial dan menyatakan, “Wahai manusia! Sadarlah bahwa Allah Swt Satu dan ayah kalian juga satu (Nabi Adam as). Oleh karena itu, ketahuilah bahwa bukan Arab atau ajam atau sebaliknya, dan bukan hitam atau putih dan sebaliknya, tidak ada keunggulang masing-masing, kecuali takwa. Apakah hal ini telah aku sampaikan? Mereka menjawab, Benar. Nabi kemudian bersabda, sampaikan hal ini kepada mereka yang tidak hadir.”

Di antara sahabat nabi ada yang dari kulit hitam dan termasuk sahabat terdekat Nabi. Sementara Nabi juga memujinya. Misalnya Rasul sangat mencintai Bilal Habasyi dan memuji suara merdu Bilal. Bilal sahabat nabi berkulit hitam dan awalnya ia seorang budak yang disiksa kaum Quraish karena beriman.

Setelah penaklukan kota Mekah, Nabi meminta Bilal naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan azan. Rasul menyebut Bilal sebagai salah satu penghuni surga karena ketakwaannya. Nabi berulang kali bersabda, “Surga rindu kepada tiga orang, Ali, Ammar dan Bilal.” Atau di hadis lain, Nabi bersabda, “Tiga orang kulit hitam penghulu surga, Luqman Hakim, Najashi dan Bilal Habasyi. Nabi senantiasa duduk dan berinteraksi dengan orang beriman seperti Salman, Abu Dzar, Bilal dan lainnya...tidak ada bedanya bagi Nabi orang beriman ini keturunan mulia atau orang miskin, kulit berwarna atau kulit putih.

Suatu hari, seorang budak kulit hitam berselisih dengan Abdul Rahman bin Auf, salah satu pemuka Arab. Abdul Rahman menjadi marah dan berkata kepada budak itu: “Hai anak hitam! Ketika Nabi (saw) mendengar ini, dia kesal dan berkata: "Tidak ada anak kulit putih lebih unggul dari anak kulit hitam kecuali dalam kebenaran (takwa).

Perilaku indah Rasul terhadap berbagai lapisan masyarakat, ras dan kulit berwarna membuat orang-orang sombong menjadi kesal dan mengadu kepada Rasul. Suatu hari para pemimpin Quraisy dengan marah mendatang Nabi dan berkata, “Wahai Muhammad! Apakah kamu senang dengan orang-orang ini dan berharap kami mengikuti mereka serta duduk bareng dengan mereka? Jika kamu menjauhkan mereka dari dirimu, mungkin kita akan bersamamu dan mengikutimu serta kami akan menjadi sahabatmu.”

Saat itu turunlah ayat 52 Surah al-An’am kepada Nabi yang artinya, “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya....” Di ayat ini Allah Swt kembali menyatakan bahwa tolok ukur keunggulan manusia bukan kemiskinan, ras atau warna kulit tapi takwa dan amal saleh. Rasul hingga akhir hayatnya tetap komitmen dengan jalan ini dan tidak pernah tunduk kepada tuntutan orang congkak dan kaum Quraisy. Rasul sangat ramah, bermuka manis dan tersenyum ketika menghadapi orang-orang beriman. Beliau tak segan-segan berinteraksi dan duduk bersama pelayan, orang miskin dan mereka yang memiliki warna kulit berbeda. Tak hanya itu, Rasul juga duduk dan makan bersama mereka.

Bukan hanya Rasul, tapi Ahlul Baitnya pun merupakan penentang keras rasisme, diskriminasi dan kesukuan. Para pemberi hidayah ini bertindak sesuai dengan ajaran al-Quran dan sirah Nabi Muhammad Saw serta menyerukan kebahagiaan dan kebaikan. Mereka meyakini bahwa tolok ukur keutamaan mansuia adalah takwa dan amal saleh.


Imam Ali as pemuka keadilan dan penentang perbudakan. Beliau membeli lebih dari seribu budak dan kemudian membebaskannya. Imam Ali as selama lima tahun pemerintahannya dan mengadapi keragaman etnis, bahasa, warna kulit dan berbagai wilayah, mengerahkan segenap upayanya untuk menegakkan keadilan.

Dalam hal ini, Imam Ali sangat keras terhadap bawahannya dalam berurusan dengan masyarakat. Di suratnya beliau menekankan bawahannya untuk memperhatikan keadilan dan prinsip kehormatan manusia. Di salah satu instruksinya kepada Malik al-Asytar, Imam Ali berkata, Wahai Malik! Biasakanlah hati Anda dengan belas kasihan bagi rakyat Anda dan kasih sayang dan keramahan bagi mereka. Jangan berdiri di atas mereka seperti hewan rakus yang merasa cukup untuk menelan mereka, karena mereka itu adalah salah satu dari dua jenis, saudara Anda dalam agama atau sesama Anda dalam ciptaan. Mereka mungkin bertindak salah, dengan sengaja atau karena lalai. Maka ulurkanlah kepada mereka keampunan dan maaf Anda, sebagaimana Anda menyukai Allah mengulurkan keampunan dan maaf-Nya kepada Anda, karena Anda di atas mereka dan imam Anda yang bertanggung jawab adalah di atas Anda, sementara Allah di atas orang yang telah mengangkat Anda. la (Allah) menghendaki Anda mengelola urusan mereka (rakyat) dan menguji Anda melalui mereka.”

Meski sepintas ungkapan ini seperti perintah moral, namun hal ini menunjukkan puncak kasih sayang Imam Ali terhadap berbagai kaum dan etnis serta rakyat.

Di pembagian harta baitul mal dan bantuan kepara kaum miskin, Imam Ali tidak pernah melakukan diskriminasi. Suatu hari dua perempuan, satu Arab dan lainnya non Arab mendatangi Imam Ali dan meminta bantuan. Imam memberi masing-masing uang dan makanan yang sama. Wanita Arab berkata kepada Imam Ali, “Aku dari keteturunan Arab dan perempuan tersebut non Arab! Imam berkata, Aku bersumpah! Aku tidak membedakan Arab dan non Arab di pembagian harta ini.

Suatu hari, semua orang pergi ke padang pasir untuk berdoa meminta hujan. Doa semua orang sudah berakhir, tetapi hujan tidak turun. Seorang budak hitam di puncak bukit, jauh dari mata semua orang, sujud dan mulai berdoa. Ia belum bangun dari sujudnya kemudian hujan turun. Dia adalah seorang mukmin dan salah satu hamba serta sahabat Imam Sajjad as.

Siapa pun yang menetapkan karakter dan perilaku Ahlul Bait as sebagai panutannya, akan mencapai ketakwaan dan kedekatan dengan Tuhan. Apakah itu kulit hitam atau putih; Ya, Tuhan menjawab doa dengan hati yang tulus dan tulus lebih cepat. Jawn bin Huwai  juga seorang budak kulit hitam yang meminta syahid bagi Allah di bawah jejak Imam Hussein (AS) dan Tuhan menjawab doanya.

Jawn bin Huwai salah satu sahabat Imam Husain as yang mendatangi beliau di hari Asyura dan meminta ijin untuk berperang. Imam Husein as dengan penuh kasih sayang berkata, “Kamu tidak harus berperang, jangan membuat dirimu sulit. Jawn berkata, Wahai pemimpinku! Aku dalam kondisi senang dan aku biarkan kamu dalam kesulitan! Aku bersumpah, meski bau badanku busuk dan warna kulitku hitam serta keturunanku bukan mulia, tapi Anda wahai Imamku membuat bau badanku wangi dan warna kulitku menjadi putih serta menjanjikan surga! Aku bersumpah, tidak akan berpisah darimu hingga darah hitamku bergabung dengan darah muliamu.

Imam Husein as yang mendengar perkataan Jawn ini akhirnya mengijinkan ia untuk berperang dan kemudian ia berperang dengan gagah berani serta meraih cawan syahadah. Imam Husein mendatangi jenazah Jawn dan berkata, Ya Allah! Putihkan warna wajahnya dan jadikan baunya wangi serta kumpulkan ia bersama orang-orang baik serta kenalkan dan kumpulkan ia bersama Muhammad serta keluarganya. Saat itu, wajah Jawn menjadi putih dan baunya wangi.

Benar di sirah Ahlul Bait, warna kulit tidak bermasalah, dan juga ras. Hanya hati yang bercahaya yang rindu kepada Allah yang berharga.

Read 950 times