Dekade keempat revolusi Islam oleh Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei ditetapkan sebagai dekade kemajuan dan keadilan. Penekanan pada dua hal, yakni kemajuan dan keadilan, oleh Rahbar mengisyaratkan bahwa keadilan tanpa kemajuan tak bisa dirasakan oleh masyarakat dan kemajuan tanpa keadilan juga bukan hal yang diharapkan.
Pandangan yang saat ini mengemuka di dunia dan getol dikampanyekan oleh Barat tak pernah menyentuh soal keadilan kala membicarkan kemajuan. Bahkan sejumlah ekonom kapitalis menyatakan bahwa kemajuan ekonomi dan keadilan tak mungkin bisa didapatkan secara bersamaan. Kesenjangan ekonomi dalam skala luas, menurut mereka, adalah sebuah keniscayaan paling penting dalam mewujudkan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Karena itu, mereka tidak menganjurkan kebijakan pembagian yang adil sebelum kemajuan dicapai dalam bentuknya yang sangat pesat. Sementara, dalam sistem ekonomi Islam kemajuan minus keadilan tidak bernilai sama sekali.
Atas dasar itu, Ayatollah al-Udzma Khamenei menekankan kemajuan yang berjalan seiring dengan keadilan. Penekanan itu didasarkan pada pandangan dan ajaran Islam. Dari sisi lain, keadilan akan terwujud ketika seluruh anggota masyarakat memperoleh kesempatan yang memadai untuk memiliki pekerjaan yang layak, keamanan berinvestasi, pendidikan yang sesuai, serta kesehatan dan kesejahteraan yang memadai. Dalam sistem ekonomi Islam, ada serangkaian mekanisme yang memungkinkan untuk menegakkan keadilan ekonomi yang sejalan dengan kemajuan dan pembangunan.
Sejak awal diciptakan, manusia sudah mengenal keadilan. Tak heran jika manusia sepanjang sejarah mendambakan tegaknya keadilan di tengah masyarakat. Semua pemikir dan para tokoh agama ilahi khususnya Islam menekankan soal keadilan yang mesti ditegakkan. Plato dan Aristoteles adalah contoh pemikir besar dalam sejarah yang banyak menyinggung soal keadilan dalam karya-karya pemikiran mereka. Dalam ajaran agama Ilahi, keadilan merupakan tujuan utama yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Kata keadilan sangat erat hubungannya dengan hak manusia dan seluruh makhluk di alam semesta. Keadilan dalam maknanya yang benar adalah memberikan kepada setiap sesuatu apa yang sesuai dengannya.
Imam Ali (as) dalam menafsirkan makna keadilan mengatakan, “Keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.” (Nahjul Balaghah hikmah nomer 437). Dari penjelasan itu dapat difahami bahwa keadilan akan terwujud ketika setiap yang memiliki hak memperoleh haknya. Sejatinya, alam semesta diciptakan di atas landasan keadilan, dan kelestraiannya juga bergantung pada tegaknya keadilan. Karenanya, penistaan terhadap keadilan dengan segala bentuknya berarti penistaan terhadap aturan alam semesta yang tentunya akan menimbulkan dampak yang sangat buruk.
Sebagai makhluk yang diberi ikhtiyar dan hak memilih, manusia berpotensi dan bisa untuk keluar dari garis keadilan yang dampaknya akan terjelma dalam bentuk kezaliman. Karena itu, agama Ilahi menyeru manusia untuk tetap berada di jalan keadilan dan menghindari kezaliman. Akal dan naluri manusia juga menolak ketidak adilan. Namun sayangnya, terkadang manusia mencampakkan seruan akal dan wahyu dan lebih tertarik untuk menuruti bisikan hawa nasfu untuk berbuat zalim dan keluar dari jalur keadilan. Hal inilah yang membuat manusia selalu memerlukan bimbingan dan arahan supaya tetap menjaga keadilan dan memperbaiki setiap penyimpangan yang mungkin terjadi. Allah Swt tidak membiarkan manusia dengan kondisinya seperti itu, sehingga Dia mengutus para Nabi dan Rasul dengan membawa syariat Ilahi untuk menunjukkan kepada umat manusia jalan keadilan.
Ibnu Sina mengenai pengutusan para Nabi berkata, “Manusia adalah makhluk yang hidup bermasyarakat. Namun ia tak mampu membuat undang-undang yang bisa mengatur kehidupan sosial dan bahkan individunya berdasarkan keadilan yang bisa membawanya kepada kesejahteraan yang sesungguhnya. Karena itu, Allah dengan kebijaksanaanNya membimbing manusia ke arah itu.” (Al-Syifa’: 557)
Masalah keadilan dan membelanya adalah satu prinsip dasar yang sangat penting dan merupakan salah satu tujuan diutusnya para nabi dan turunnya kitab-kitab Ilahi. Keadalan adalah salah satu asas yang terpenting dalam agama Islam. Perspektif Islam dan al-Qur’an berkenaan dengan masalah ini menunjukkan kepedulian agama dan kitab suci ini yang sangat besar pada masalah keadilan. Ayat 25 surat al-Hadidi menegaskan;
“Sesungguhnya Kami telah mengutus para nabi dengan dalil yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan Mizan supaya mereka menegakkan keadilan.”
Berdasarkan ayat suci ini, tujuan dari diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah untuk mengajak manusia kepada keadilan. Di ayat ini, Allah Swt menyinggung tentang mizan atau neraca. Sebab bergerak di jalur keadilan memerlukan neraca yang menjadi tolok ukur kebenaran dalam masalah politik, budaya, sosial dan ekonomi. Poin penting yang disinggung ayat suci tadi adalah gerakan umat manusia dalam menegakkan keadilan. Untuk mewujudkannya umat memerlukan ajaran dan bimbingan para nabi yang mendidik mereka dengan benar untuk menjadi eksekutor penegakan keadilan di muka bumi.
Tidak ada seorang muslimpun yang menolak dan tak peduli dengan keadilan sebagai prinsip utama dan cita-cita agung Qur’ani. Salah satu ranah penegakan keadilan adalah bidang ekonomi dan hubungan ekonomi. Ada banyak definisi yang dipaparkan oleh para pemikir Muslim dalam menjelaskan keadilan menurut pandangan Islam. Namun secara garis besar, keadilan ekonomi dalam Islam bermakna terciptanya kesejahteraan umum, terbukanya kesempatan yang sama dan keseimbangan dalam pembagian kekayaan dan pendapatan. Dengan makna ini, dari satu sisi Islam menekankan prinsip memerangi penimbunan harta dan memberantas kemiskinan, dan di sisi lain menegaskan soal pembagian kekayaan secara adil di tengah masyarakat. Islam menentang penimbunan dan menafikan ketidakmerataan dalam kesempatan berkiprah di bidang ekonomi. Semua itu digariskan Islam dalam bentuk kewajiban yang dipikulkan di pundak setiap Muslim. Jelas bahwa program memerangi kerakusan dan memberantas kemiksinan akan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat dan menjaga kelestarian agama.
Menilik kondisi berbagai masyarakat di dunia saat ini menyadarkan kita akan adanya ketidakadilan yang luas di sejumlah masyarakat yang cukup maju dan berkembang secara ekonomi. Menurut para pakar dan pemerhati ekonomi, kesenjangan di tengah umat manusia, kemiskinan dan ketidakadilan yang nampak nyata ini disebabkan oleh sistem yang kejam dan zalim dalam hubungan antara komponen-komponen pelaku ekonomi, khususnya antara pekerjaan dan modal. Misalnya banyak ekonom yang meyakini bahwa pembagian kekayaan secara tidak adil, seperti distribusi tanah, modal, dan sarana produksi serta adanya kebebasan ekonomi yang tidak seimbang adalah faktor ketidakadilan dalam pendapatan. Padahal dalam sistem ekonomi Islam, seiring dengan pemanfaatan seluruh potensi pada diri manusia dan alam untuk mencapai kemajuan secara materi, ajaran Ilahi dan norma insani juga mesti ditegakkan dengan menyertakan penyusunan undang-undang dan aturan ekonomi yang bisa mengikis kesenjangan sosial dan memperluas kesejahteraan umum.
Dalam sistem ekonomi Islam, keadilan ekonomi bisa diwujudkan melalui dua cara. Pertama dengan memberi hak kepada seluruh anggota masyarakat untuk memiliki kehidupan insani yang layak dan terhormat, dan kedua menerapkan aturan yang menyeimbangkan kekayaan dan pendapatan.