Salman terukir namanya dalam sejarah sebagai figur pencari kebenaran. Orang yang telah mencapai kebebasan sejati dan mengabaikan kebebasan dirinya hingga bersedia menjadi budak demi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw hingga menjadi Muslim. Bahkan, Rasulullah Saw mengatakan, "Salman bagian dari kami, Ahlul Bait".
Di kalangan masyarakat Muslim dewasa ini barangkali tidak ada yang tidak mengenal nama "Salman Farsi", yang menunjukkan status istimewanya sebagai sahabat Nabi Muhammad Saw. Pernyataannya bagaimana orang non-Arab bisa mencapai kedudukan seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw, "Salman bagian dari kami, Ahlul Bait", menunjukkan sebuah fakta mengenai sosok pencari kebenaran ini meninggalkan tanah kelahirannya untuk memluk agama Islam.
Salman, terlahir dengan nama Roozbeh di sebuah masyarakat penganut Zoroster yang taat. Ayahnya adalah seorang tokoh agama kota Ji (salah satu distrik lama kota Isfahan). Dia menginginkan Roozbeh menggantikan posisinya sebagai tokoh agama. Tetapi hati dan jiwa Roozbeh tidakn menyukai kedudukan penting ayahnya. Salman tidak senang berkeliling taman indah yang dinikmati keluarganya, tapi masyarakat biasa tidak bisa menikmatinya
Ia mengkritik kesenjangan sosial yang tajam di tengah masyarakatnya. Ketika dia melihat orang-orang beribadah, dia berkata kepada dirinya sendiri, "Bagaimana mereka menyembah api, padahal mereka yang menyalakan api dan keabadiannya berada di tangan mereka sendiri?" Pertanyaan ini terus menjejali benak pemikiran Roozbeh yang membuatnya enggan untuk menyalakan api sebagai bagian dari ajaran agama yang dianutnya ketika itu.
Renungan Roozbeh membawanya menuju masalah paling subtansial mengenai sang pencipta alam semesta ini. Pencipta yang menciptakan api untuk digunakan manusia. Dia tidak bisa menerima bahwa Tuhannya senang dengan dominasi orang kaya terhadap orang miskin. Roozbeh memprotes kondisi sosial ketika itu yang menggunakan agama untuk kepentingan sosial. Dalam kondisi gelisah saat itu, dia berdoa memohon kepada Tuhan supaya ditemukan dengan orang yang bisa menuntunnya kepada kebenaran sejati.
Ayah Roozbeh ingin putranya menggantikan posisinya di Pusat Agama kota Ji. Dia berkata tentang ayahnya, "Saking sayangnya ayahku membuatku merasa seperti seorang gadis di rumah sampai aku menjadi pelayan kuil api." Tampaknya, ayah Roozbeh sudah membaca keingintahuan yang tinggi dari anaknya, dan spirit kebebasan yang berada dalam batin sang anak.
Suatu hari, ayahnya yang sibuk meminta Roozbeh pergi ke desa. Ia pun berangkat untuk memenuhi perintah ayahnya. Tetapi dalam perjalanan dia melihat sebuah gereja, berdiri di depannya, mendengarkan suara-suara dari dalam dan kemudian masuk. Di sana dia melihat sekelompok orang berdoa. Kerendahan hati dan perhatian mereka kepada Allah dalam doa-doa mereka mengejutkannya. Dia pergi ke uskup gereja dan berbicara kepadanya dengan santun. Berjam-jam berlalu dan percakapan antara Roozbeh dan uskup itu selesai. Akhirnya, uskup berbicara tentang Sham, tempat kelahiran agama Kristen.
Ketika Roozbeh kembali ke rumah, dia menghadapi ayahnya yang gelisah. Tapi, Rouzbeh berkata dengan tenang, "Saya bertemu sekelompok orang Kristen yang berdoa di gereja mereka, apa yang saya lihat mengejutkan dan saya menemukan bahwa agama mereka lebih baik daripada kita." Ayah yang selalu mempersiapkan putranya untuk bertanggung jawab atas kuil api setelahnya dan memaksanya untuk melakukan semua ritual agama Zoroaster, melihat putranya berkata, "Tentu saja, agama Kristen lebih baik daripada agama kita. ".
Awalnya, sang ayah mencoba membujuk putranya dengan berbagai cara, tetapi Roozbeh menolak alasan sang ayah satu demi satu. Dan pada akhirnya dia berkata kepada ayahnya, "Ayah, Anda meniru leluhur kita dalam menyembah api, tetapi beri tahu saya bagaimana status api ini yang kita bakar dengan tangan dan tongkat kering kita sendiri? Hidup dan matinya benar-benar berada di tangan kita, jadi bagaimana mungkin bisa menjadi Tuhan kita?" Mendengar pernyataan anaknya ini, kemarahan sang ayah meledak, memenjarakannya di rumah.
Dia dikurung selama beberapa hari sampai salah seorang pelayan mereka, yang sesekali mengirimnya ke uskup, berkata, "Uskup telah memberi tahu saya bahwa besok malam dia akan pergi ke Sham." . Kebahagiaan muncul di wajah Roozbeh, sebelum fajar menyingsing perlahan, ia sudah meninggalkan rumah dalam kegelapan malam. Bergerak bersama angin meninggalkan Iran menuju Sham.
Akhirnya Roozbeh tiba di Damaskus, dan ia bertemu dengan orang paling bijak dari Nasrani. Warga kota membimbingnya ke keuskupan. Roozbeh dengan tekad baja pergi ke rumah Uskup Nasrani Ketika dia sampai di sana, uskup bertanya kepadanya, “Siapa kamu dan apa yang kamu inginkan?” Roozbeh berkata, “Saya seorang pria dari kota Ji Isfahan. saya ingin mencari ilmu. Terimalah saya dan jadikan temanmu. Ajari aku apa yang Tuhan ajarkan padamu! " Pembicaraan yang baik ini mengejutkan uskup, lalu ia menatap wajah pemuda itu. Di matanya dia melihat kecerdasan.
Berbulan-bulan berlalu. Roozbeh berada bersama uskup mengajar dan meneliti, ada waktu untuk beribadah, dan waktu untuk mendengar penjelasan tentang ayat-ayat Alkitab. Tapi kemudian nasib berkata lain. Uskup meninggal dan mereka,berpihak. Sejak itu, Salman melanjutkan perjalanannya mencari kebenaran dengan menempuh perjalanan panjang melewati gunung-gunung dan padang pasir. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya bepergian dari satu negeri ke negeri lain dan dari kuil ke kuil lain.
Tanpa kelelahan dan kebosanan, ia berusaha mencari oprang yang bisa memenuhi dahaga spiritualitasnya, yang akan menemukannya dengan cinta, kebebasan, persaudaraan, dan kesetaraan sejati. Sampai saat terakhir dalam perjalanannya yang melelahkan, ia mencapai Medinah. Di mana dia bertemu dengan Nabi Muhammad Saw yang bimbingannya menuju jalan kebenaran. Akhirnya, Roozbeh menerima ajaran Islam dan namanya berganti menjadi Salman.
Suatu hari muncul mengenai rencana Abu Sufyan untuk menyerang Madinah bersama suku-suku Arab lainnya dengan tujuan menghancurkan umat Islam yang dianggap melemahkan agama warisan leluhur mereka.Sejarah mencatat 10.000 petarung siap untuk menyerang Madinah di bawah komando Abu Sufyan.
Berita ini mengguncang hati banyak Muslim. Lalu Nabi Muhammad Saw mengumpulkan para sahabat dan membentuk dewan perang untuk merancang pertahanan menghadapi sepuluh ribu petarung tangguh Arab. dalam pertemuan itu, Salman menyampaikan pendapatnya, "Wahai Rasulullah, mari kita menggali parit di sekitar Madinah sehingga mereka tidak bisa memasuki Madinah."
Nabi Muhammad Saw menyambut usulan ini dan segera memerintahkan penggalian parit dimulai. Saat menggali parit, semua tokoh Muslim baik dari Muhajirin maupun Ansar mengungkapkan penghormatannya kepada Salman. Ketika itu, orang-orang muhajirin berkata, "Salman dari kami,". Ansar juga berkata, "Salman milik kita dan kita lebih pantas mendapatkannya,". Ketika itu, Nabi Muhammad Saw tangan di bahu Salman dan berkata, "Salman dari kami Ahlul Bait."
Ketika itu para sahabat Nabi mengitari dia, dan berkata kepadanya, "Selamat untukmu, wahai Salman dari Persia, kepada siapa Rasulullah menganugerahkan kepadamu kehormatan besar." Pada saat yang sama, Nab dengan penuh cinta, mengatakan kepada mereka, "Jangan katakan Salman Persia, tetapi katakan, Salman Al-Muhammadi."