Di dalam ajaran Islam, setiap tindakan manusia tidak lepas dari sebuah hukum yang mengikatnya. Hukum tersebut dikenal sebagai fikih atau syariat. Tindakan manusia bisa dihukumi halal atau haram, dikategiorikan wajib atau sunnah, semua hukum itu bersumber atas petunjuk Al-Quran, Sunnah Nabi SAW dan Ahlulbait Nabi AS.
Pada praktiknya, tidak setiap orang memiliki kapasitas dan keilmuan dalam memahami petunjuk Al-Quran, Sunnah Nabi dan Ahlulbait, sehingga mereka mampu menentukan hukum suatu tindakan. Oleh karenanya, dalam fikih ada tiga kategori orang yang melakukan tindakan;
Pertama Mujtahid. Mereka adalah orang-orang yang secara individu memiliki kapasitas dan keilmuan yang mumpuni dalam memahami Al-Quran, Sunnah Nabi dan Ahlulbait. Oleh karena itu, mereka dapat berijtihad atau mengidentifikasi (sendiri) hukum suatu tindakan berdasarkan sumber utama tersebut. Mereka juga dapat mengeluarkan fatwa yang bisa dijadikan rujukan oleh para pengikutnya.
Kedua Muhtath. Mereka adalah orang-orang yang tidak dapat berijtihad, namun juga tidak mengikuti fatwa dari seorang Mujtahid tertentu. Mereka adalah orang-orang yang mengedepankan prinsip kehati-hatian (ihtiyath) dalam menentukan atau memilih hukum suatu tindakan yang difatwakan oleh para Mujtahid.
Misalnya, ketika ia dihadapkan atas dua fatwa yang saling bertentangan, seperti hukum merokok, ada yang menghalalkan, namun ada pula yang mengharamkan, maka seorang Muhtad akan memilih untuk tidak melakukan tindakan tersebut, karena fatwa itu lebih aman dan bisa menyelamatkannya.
Di sisi lain, seorang Muhtath juga akan memilih amalan yang lebih rumit apabila dihadapkan atas dua fatwa yang berbeda terhadap suatu tindakan. Misalnya dalam hal membasuh saat berwudhu, ada yang berfatwa membasuh minimal dua kali, ada pula yang menyebutnya minimal tiga kali, maka seorang Muhtath harus mengkitu fatwa yang tiga kali, sebab dengan begitu, ia dianggap telah melaksanakan pula fatwa yang mudah, yaitu minimal dua kali.
Di samping itu juga, misalnya, ketika seorang Muhtath dihadapkan atas dua fatwa berbeda terkait salat, yang satu mengharuskannya salat Dzuhur dua rakaat (qashar) karena sudah memenuhi ketentuan sebagai musafir, sementara fatwa yang lain mewajibkannya untuk tetap melaksanakan salat empat rakaat (tamam) karena belum memenuhi kategori sebagai musafir, maka seorang Muhtath wajib melaksanakan kedua fatwa tersebut, dengan melakukan dua kali salat Dzuhur, qashar (ringkas) dan tamam (sempurna). Contoh ini juga berlaku dalam hal puasa.
Ketiga Muqallid. Mereka adalah orang-orang yang menyandarkan ketentuan hukum suatu tindakan berdasarkan fatwa seorang Mujtahid tertentu, oleh karena itu amalan mereka disebut pula sebagai amalan taqlid.
Dalam madzhab Ahlulbait, taqlid adalah suatu keniscayaan apabila seseorang tidak memiliki kapasitas menjadi seorang Mujtahid dan tidak pula memiliki kemampuan menjadi seorang Muhtath. Karena setiap amalan akan dipertanggung jawabkan, maka tindakan amalan tersebut harus memiliki dasar, apakah dasarnya itu adalah ijtihad, ihtiyath, ataupun taqlid.
Seorang Muqallid tidak wajib memahami dasar atau argumentasi atas setiap fatwa yang dikeluarkan oleh Marja’ Taqlid yang diikutinya, namun seorang Muqallid wajib memiliki argumentasi, mengapa mereka harus bertaqlid.