Riya, Penyakit yang Membinasakan Manusia

Rate this item
(0 votes)

Di tengah masyarakat ada saja orang yang melakukan perbuatan demi mendapat pujian orang lain atau untuk menunjukkan apa yang sudah dilakukannya. Orang seperti ini biasanya tidak melihat Allah sebagai tujuan dalam melakukan sesuatu. Tidak peduli dengan Allah Swt dalam perbuatan dan ucapan serta kecintaan yang luar biasa akan masalah lahiriah memunculkan penyakit yang bernama riya. Perbuatan ini dilarang keras dalam Islam. Karena orang yang riya berada dalam lingkaran kesyirikan dan membuat terjatuh dari derajat kemanusiaan.

Arti kata riya sendiri adalah menampakkan dan memamerkan sesuatu dan dalam istilah berarti manusia yang melakukan satu pekerjaan baik dengan tujuan pamer di hadapan manusia, bukan kepada Allah Swt. Perbuatan riya bisa terjadi dalam ibadah dan juga dalam perbuatan biasa seperti membantu orang lain. Orang yang riya begitu senang akan pujian orang lain. Orang seperti ini akan terus berusaha agar apa yang dilakukannya dilihat oleh orang lain, sementara ketika tidak ada yang mengetahui, ia tidak begitu terdorong untuk melakukannya. Sejatinya, orang yang riya berusaha sedemikian rupa sehingga menjadi perhatian orang lain lalu dipuji. Bila tidak demikian, ia tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu.

Riya menghancurkan amal perbuatan manusia dan seperti rayap yang memakan dan merusak kayu dari dalam. Riya membuat perbuatan manusia tidak memiliki kandungan apapun. Manusia yang melakukan ibadah yang disertai riya, maka ketika berbuat semua perhatiannya tertuju pada bagaimana perbuatannya diterima orang lain. Menjadi tidak penting baginya apakah Allah Swt juga menerima ibadahnya atau tidak. Sementara orang mukmin berkeyakinan bahwa Allah menyaksikan perbuatan yang dilakukan hambanya, sekaligus memberikan balasan atas perbuatan baiknya. Dengan demikian, ia tidak lagi menanti orang lain memujinya.

Sangat mungkin bahwa pada awalnya seseorang tidak mampu memilih dan memilah perbuatan yang terpolusi dengan riya atau tidak, tapi salah satu tanda paling jelas dari orang yang riya adalah pamrih. Bila seseorang melakukan satu pekerjaan dan dengan pekerjaan itu ia berusaha mengungkit-ungkitnya kepada orang lain dan dengan cara ini amal perbuatannya menjadi sia-sia. Allah dalam al-Quran menyamakan mengungkit, mengganggu dan riya. Karena ketiganya sama membatalkan sedekah dan perbuatan baik. Bahkan disebutkan juga bahwa orang yang riya tidak beriman kepada Allah Swt dan hari akhirat.

Allah Swt dalam Al-Quran berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. al-Baqarah: 264)

Islam sangat menentang sikap riya dan menyebut siapa yang berbuat riya bukan seorang mukmin. Imam Shadiq as berkata, "Seluruh riya adalah syirik dan barangsiapa yang berbuat karena manusia maka pahalanya juga dari manusia dan barangsiapa yang bekerja untuk Allah Swt maka pahalanya juga akan diberikan oleh-Nya."

Masalah niat sangat penting dalam ibadah kepada Allah Swt, bahkan boleh dikata niat merupakan ruh dari ibadah itu sendiri. Nilai dari sebuah ibadah memiliki hubungan erat dan penuh dengan niat manusia. Bila niat manusia bermasalah dan tidak untuk Allah Swt, maka sekalipun perbuatan yang dilakukan sangat besar dan agung, tapi tidak ada manfaatnya bagi manusia. Dalam pekerjaan sehari-hari, kita sangat memperhatikan masalah niat dan memberikan nilai yang tinggi. Sangat penting sekali bagi manusia niatnya dalam bekerja itu benar atau tidak.

Sebagai contoh, ketika bertemu dengan seorang teman yang berkata kepada kita "saya rindu bertemu denganmu". Bila kita melihat bahwa ucapannya itu benar-benar dari hati yang dalam atau jujur, maka pernyataannya itu sangat bernilai bagi kita dan secara alami kita juga menunjukkan perasaan yang sama. Sebaliknya, bila kita mengetahui bahwa apa yang disampaikan tidak benar adanya dan sekadar rayuan untuk memanfaatkan kita, maka pernyataan yang semacam itu tidak bernilai sama sekali, bahkan mungkin kita akan tidak menyukainya. Semakin ia mengulangi kata-kata itu, maka semakin bertambah pula kebencian kita kepadanya. Sementara pada tampak lahiriahnya, apa yang dilakukan itu sama, tapi dengan niat yang berbeda. Dengan demikian, sebagai satu kaidah umum bahwa manusia yang cerdas tidak akan menilai sebuah pekerjaan dari tampak lahiriahnya saja, tapi melihat sampai pada niat di balik perbuatan itu.

Kebalikan dari riya adalah ikhlas. Keikhlasan adalah sifat dimana seorang melakukan perbuatan murni hanya untuk melakukan perintah Allah Swt dan tidak ada niatan selain-Nya. Orang seperti ini tidak mau menunjukkan perbuatannya kepada orang lain dan memamerkannya guna mendapat pujian dari orang, tapi yang dilakukannya hanya untuk Allah Swt. Mungkin saja ia melakukan perbuatannya di depan orang lain dan mendapat pujian, tapi yang penting adalah niatnya berbuat tidak untuk mendapat pujian orang lain.

Perlu diketahui bahwa bila seseorang memurnikan niatnya hanya untuk Allah dan melakukan satu pekerjaan karena Allah, di sebagian kasus, bahkan perbuatan di hadapan orang lain menjadi sunnah hukumnya dan itu merupakan ibadah lain. Allah Swt dalam ayat 31 surat Ibrahim berfirman, "Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan."

Membersihkan perbuatan dari riya merupakan pekerjaan besar. Siapa yang berhasil melakukan perbuatannya hanya karena Allah Swt dan tidak punya motifasi lain kecuali Allah akan mendapat maqam yang tinggi di sisi Allah. Surat al-Insan diturunkan untuk menjelaskan perbuatan Ahli Bait Nabi Saw, yakni Imam Ali, Sayidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husein as. Keluarga ini memberikan makanan berbuka puasa mereka kepada orang miskin, yatim dan budak selama tiga hari. Perbuatan ini dilakukan mereka dengan niat hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karenanya, Allah Swt menerima perbuatan mereka yang didasari keikhlasan dan surat al-Insan diturunkan untuk memuji perilaku ini, sehingga mereka menjadi teladan bagi orang lain.

Sebagian ulama dan urafa menjelaskan bahwa bila kalian ingin aman dari penyakit riya, berusahalah bahkan untuk tidak memikirkan perbuatan baik yang dilakukan dan katakan bahwa itu semua berkata pertolongan dan kecintaan Allah. Bila seseorang sangat menikmati bahkan berlebihan mencintai perbuatannya sendiri dan berulang kali memikirkannya di benaknya, maka pada dasarnya ia telah mengurangi tingkat keikhlasan perbuatan itu. Dengan demikian, bila engkau menolong orang lain, berjihad di jalan Allah, menulis karena Allah, dan perbuatan baik lainnya, maka berusahalah untuk tidak mengurutkannya di benakmu. Karena riya berasal dari kata raa yang berarti melihat dan itu berarti menyaksikan perbuatan. Dengan memikirkannya kembali, maka engkau akan melihat perbuatanmu lebih besar dari apa yang sudah dilakukan. Dengan demikian engkau akan menanti pujian yang lebih dari orang lain.

Satu lagi cara lain untuk menyelamatkan diri dari riya adalah introspeksi diri. Artinya, seseorang menjelang berakhirnya hari itu, ia mengevaluasi kembali perbuatan, sikap dan ucapan yang disampaikannya. Perbuatan ini memberi kesempatan kepada manusia untuk menilai niatnya lebih teliti, sehingga dapat melihat semua niat yang tersembunyi dalam perbuatannya. Dalam evaluasi ini, seseorang tidak boleh mentoleran dirinya sendiri, sehingga evaluasi ini dapat membantunya mengenal akar dan cabang riya lalu berusaha membinasakannya.

Demi menyempurnakan upaya introspeksi diri ini, kita menyimak penjelasan Imam Khomeini ra dalam bukunya Chehel Hadis, "Wahai saudaraku! Sadarlah dari kelalaianmu dan memikirkan perbuatanmu serta memandang lembaran amal perbuatanmu. Takutlah dari perbuatan yang engkau anggap benar seperti shala, puasa, haji dan lain-lain, ternyata di alam sana menjadi penyebab masalah dan kehinaan. Evaluasilah dirimu di alam ini sehingga mendapat kesempatan memperbaikinya dan timbanglah amal perbuatanmu... Bila di sini engkau tidak mengevaluasi diri dan tidak meluruskannya, maka di sana engkau akan diperhitungkan dan perbuatanmu akan dihitung. Pada waktu itu engkau akan mendapat musibah yang besar. Takutlah akan keadilan ilahi dan jangan sampai sombong. Dan pada saat yang sama jangan sampai meninggalkan usaha keras."(IRIB Indonesia)

Read 2166 times