
کمالوندی
Jalaluddin Rumi
Maulana Jalaluddin Mohammad Maulavi yang lebih dikenal dengan sebutan Rumi hingga kini namanya masih bersinar terang berkat karya-karyanya yang memukau. Pemikiran dan karyanya yang berbahasa Farsi telah menyebar ke segenap penjuru dunia dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Maulavi adalah arif dan penyair terkemuka Persia abad ketujuh hijriah atau abad ketiga belas masehi. Kebanyakan para peneliti mengungkapkan bahwa Maulavi dilahirkan tanggal enam Rabiul Awal 604 Hijriah, atau bertepatan dengan 30 Desember 1207 Masehi di Balkh.
Ayah Maulavi, Baha Valad memutuskan untuk meninggalkan Balkh, karena situasi politik dan sosial di kota itu yang tidak kondusif akibat ancaman serangan Moghul. Bersama keluarganya, beliau menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan singgah di berbagai kota besar seperti: Nisabur, Baghdad, Syam hingga Hijaz.
Maulavi memiliki berbagai karya terkemuka di antaranya: Makatib, Fihi Ma Fihi dan Majalis Sab’ah dalam bentuk nasr. Di bidang syair, ada Divan Kabir dan Matsnavi-e Maknavi. Selain Makatib yang terdiri dari sebagian surat Maulavi kepada seseorang dan tokoh terkemuka di zamannya, para peneliti meyakini Maulavi tidak memiliki karya lain di bidang tulisan selain syair.
Syair Maulavi disusun oleh murid setianya, Hessamuddin Chilbi, dan ia juga membacakan kembali syair yang ditulisnya kepada Maulavi untuk diperiksa. Kitab Fihi Ma Fihi dan Majalis Sab’ah juga dikumpulkan oleh para muridnya. Fihi Ma Fihi adalah kitab yang merupakan catatan dialog Maulavi di berbagai pertemuan dan kelas.
Divan Kabir yang dikenal dengan nama Divan Shams berisi enam ribu bait syair yang terdiri dari ghazal, rubaiyah dan tarjiat Maulavi.Alasan penamaan kitab syair ini menjadi Divan Shams Tabriz, sebab seluruh syair yang ditulis Maulavi dalam buku ini lahir setelah pertemuannya dengan Shams, yang mengubah jalan hidupnya. Selain itu, ghazal dalam buku tersebut didedikasikan untuk mengingat Shams Tabrizi.
Menurut peneliti sastra Persia, Shafeie Kadkani, unsur-usur afeksi dalam syair Maulavi dari awal hingga akhir menunjukkan keluasan horizonnya. Peneliti sastra Persia tersebut menuturkan, “Horizon pemikirannya seluas semesta, dan masalah partikular dan menengah tidak muncul dalam syairnya.”
Hal tersebut disebabkan karena penguasaan Maulavi terhadap ilmu aqli sangat tinggi. Beliau juga sangat menguasai ilmu-ilmu naqli. Selain berbagai pengetahuannya yang tinggi tersebut, Maulavi juga menggunakan pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan ini sebagai bekal untuk memandang masalah dengan kedalaman dan keluasan horizonnya.
Keluasan alam semesta, dari awal hingga akhir dunia, hubungan Tuhan dan dunia, wahdatul wujud, dan akhirnya masalah manusia serta unsur-unsur yang berkaitan dengannya seperti cinta, kebebasan, kesempurnaan dan jalan yang menghubungkan manusia menuju Tuhan, termasuk pemikiran mendasar yang dituangkan Maulavi dalam bentuk syair yang menawan.
Saking luasnya horizon imaji Maulavi, awal dan keabadian saling terikat dan digambarkan dalam bentuk syair yang menarik. Para kritikus sastra menilainya sebagai karya baru dan orsinil. Maulavi menilai keindahan dalam kesederhanaan dan kenaturalan sesuatu. Ia menggunakan terma baru dan lama dengan penggambaran yang memukau. Untuk mencapai tujuan tersebut, Maulavi menggunakan unsur-unsur penggambaran pendahulunya, tapi dengan makna baru yang memikat dan berbobot.
Doktor Shafeie Kadkanie berkeyakinan bahwa “Kelahiran baru Maulavi terjadi ketika bertemu dengan Shams Tabrizi”. Shams-i-Tabrizi atau Shams al-Din Malekdad Tabrizi adalah orang Tabriz, provinsi Azerbaijan Timur Iran saat ini, dan wafat di Khoy, provinsi Azerbaijan barat.
Shams dikenal sebagai guru spiritual Maulavi. Bahkan Maulavi menulis karya sebagai bentuk penghormatan kepada gurunya itu berjudul Divan-i Shams-i Tabrizi. Makam Shams-i Tabrizi dinominasikan menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO.
Mengenai latar belakang kehidupan Shams, tidak banyak yang dijelaskan oleh para sejarawan. Kebanyakan bersandar kepada perkataan Maulavi mengenai gurunya itu. Menurut pengakuan Maulavi sendiri, Shams adalah orang yang mengenalkan cinta bukan kepemikiran sebagai jalan menuju kebenaran.
Menurut Sipah Salar, teman dekat Rumi yang menghabiskan empat puluh tahun dengan dia, Shams adalah putra Imam Ala al-Din. Dalam sebuah karya berjudul Manaqib al-'Arifīn (eulogi Gnostik), Aflaki menyebut nama Ali sebagai Ayah Shams-i Tabrizi dan kakeknya bernama Malik Dad. Menurut Aflaki, mendasarkan perhitungan Haji Bektasy Wali dalam bukunya Maqālāt, Shams tiba di Konya pada usia enam puluh tahun. Namun, sebagian sarjana meragukannya.
Shams menerima pendidikan di Tabriz dan merupakan murid dari Baba Kamal al-Din Jumdi. Sebelum bertemu Rumi, ia tampaknya melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain sebagai penenun dan menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Haji Bektasy Wali dalam bukunya menjelaskan seorang pria dengan setelan serba hitam dari kepala sampai kaki datang ke penginapan di Konya, namanya Shams-i Tabrizi. Dia mengaku sebagai pedagang keliling. Dia sedang mencari sesuatu di Konya, dan akhirnya bertemu dengan Maulavi.
Sesuai penjelasan Maqālāt, pada akhir Jumadil Akhir tahun 642 Hijriah (akhir Oktober 1244 M) Shams memasuki Konya. Pertemuan antara Shams dan Maulavi terjadi yang dimulai dengan tanya jawab. Kemudian setelah enam belas bulan terjadi interaksi intens antara Maulavi dan Shams, Shams mengunjungi Konya untuk menjumpai Maulavi tahun 643 Hijriah (1245 M).
Pertemuan Maulavi dengan Shams menimbulkan perubahan besar dalam dirinya. Kehadiran Shams di Konya membawa warna baru bagi Rumi. Maulavi sendiri termasuk orang yang tekun belajar sekaligus mufti besar di zamannya. Selain menguasai dengan baik ilmu-ilmu keislaman, ia mengenal dengan baik tasawuf dan Irfan.
Tapi ketika bertemu dengan Shams, Maulavi seolah menemukan jalan baru, yang tidak ditemuinya di masa lalu. Profesor sastra Persia, Doktor Sirus Shamisa mengutip syair Maulavi menjelaskan, “Hangus, dari mentah menjadi matang, az khami beh pokhtegi rasideh bod, sokht”. Jika perjalanan hidup Maulavi dituliskan dengan tiga kalimat,”Dulu mentah, lalu matang dan terbakar. “Kham bodam, pokhteh shodam, sokht”.
Profesor Zerin Koub dalam bukunya “Tangga-tangga menuju Tuhan” menjelaskan tentang pertemuan penting antara Maulavi dan Shams. Pakar sastra Persia ini menuturkan, “Pertemuan dengan orang asing karismatik mengubah kehidupan faqih dan ulama besar Iran di Konya, dan bagi Maulana menjadi awal kehidupan baru. Kehidupan baru seorang zahid dan khatib menjadi seorang arif dan pencinta.”
Di hadapan Shams, Maulavi seolah tampak menjadi murid yang baru belajar alif ba, dan dituntun menuju tiap tangga maknavi yang harus ditempuhnya. Maulavi bertutur:
Zahed keshvari bodam saheb manbari bodam
Kard ghaza mara eshgh-o kap zanan to
[dahulu zahid, sang pemilik mimbar
tapi jadi pencinta di telapak tanganmu]
Apa yang disampaikan Shams sebenarnya telah dipelajari dan dijalankan oleh Maulavi sebelum bertemu dengannya. Shams membawa Maulavi menuju alam maknawi yang dahulu dipelajarinya di rumah sang ayah ketika masih kecil. Shams mengingatkan Maulavi dan membimbingnya menuju jalan ketaatan kepada Tuhan dan melepaskan kecintaan kepada dunia dengan jalan cinta. Sebab, keterikatan terhadap dunia menjadi penghalang mencapai Tuhan, sekaligus hijab untuk mencapai fana fillah.
Menurut Zerin Koub, “Maulavi menghabiskan usianya untuk mencari Allah dan dunia ghaib. Meskipun sibuk memberikan nasehat kepada masyarakat dan pelajaran kepada para muridnya, tapi ia tidak pernah meninggalkan pencarian menuju kebenaran. Baginya, Shams adalah kepingan dari alam maknawi. Kehadiran Shams membawa Maulavi menuju insan kamil dan cita-citanya.”
Ketika itu Maulavi meliburkan kelas yang diampunya. Ceramah dan pelajarannya dihentikan. Sebagai gantinya ia menghadiri majlis Shams. Tentu saja kehadiran Maulavi di majlis itu membuat suasana semakin meriah.
Diliburkannya kelas dan ceramah Maulavi membuat sebagian muridnya kecewa. Mereka menuding Shams sebagai penyebabnya. Sebagian dari murid Maulavi mulai melakukan tindakan tercela terhadap Shams supaya Maulavi kembali mengajar dan meninggalkan Shams. Akhirnya Shams meninggalkan Konya tanpa pamit kepada Maulavi hingga setahun lamanya tanpa kabar.
Tapi, ketidakhadiran Shams justru menimbulkan masalah bagi Maulavi. Ia murung dan tidak mau menyampaikan pelajaran dan ceramah. Kemudian, Maulavi mengirimkan pengikutnya untuk mencari Shams, tapi mereka tidak menemukan tanda-tanda hingga surat Shams dari Damaskus sampai di tangan Maulavi. Akhirnya Maulavi sendiri menemui Shams.
Profesor Annemarie Schimmel dalam bukunya “Keagungan Shams” menjelaskan kehidupan Maulavi setelah bertemu dengan Shams. Peneliti sastra Persia dari Jerman ini menuturkan, “Kehidupan Maulana dilalui dengan ibadah dan tafakur serta diskusi serta pertemuan Sama’...tiga tahapan dalam diri Maulavi terulang, setelah mengalami terbakar dalam gairah cinta Shams al-Din, ia tenang dalam pembicaraan Salah Al-Din Zerkub, dan akhirnya pengaruh Hesamuddin Chilbi menyempurnakan pemikirannya. Setelah mencapai puncak cinta Shams-i Tabrizi, dan ketenangan dalam persahabatan dengan Zerkoub, kemudian kembali menjadi mursyid dan sheikh di dunia dalam bentuk seorang guru”.
Pada musim gugur tahun 672 Hq atau 1273 M, Maulavi jatuh sakit hingga dokter tidak berdaya untuk mengobatinya. Ulama, penyair, arif sekaligus ilmuwan Iran ini wafat pada 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 M di usia 68 tahun.
Muhammad bin Ali bin Syahr Asyub Sarawi Mazandarani
Ibnu Syahr Asyub adalah seorang ilmuwan besar yang menduduki derajat tinggi di berbagai disiplin ilmu keislaman dan fokus mendidik murid-muridnya, melakukan penelitian, dan menulis buku sampai akhir hayatnya.
Kehidupan Ibnu Syahr Asyub sarat dengan spiritualitas dan antusiasme, dan para tokoh menganggapnya teladan dalam takwa dan jihad. Muhammad bin Ali bin Syahr Asyub Sarawi Mazandarani yang lebih dikenal dengan Ibnu Syahr Asyub dilahirkan pada bulan Jumadil Akhir tahun 488 H. Keluarganya berasal dari kota Sari di Provinsi Mazandaran, Iran, atau tepatnya di pantai selatan Laut Kaspia, tetapi ayah dan kakeknya tinggal di Baghdad.
Apakah Ibnu Syahr Asyub lahir di Sari atau Baghdad, ini masih menjadi perdebatan di antara sejarawan. Sebagian orang memandang dia berasal dari Sarawi dan lahir di Mazandaran, tapi sebagian yang lain meyebutkan kelahirannya di Bagdad.
Ayahnya bernama Syekh Ali yang merupakan salah satu ahli hukum, pakar hadis, dan ulama besar di dunia Syiah, dan dia bekerja keras dalam mendidik putranya itu.
Di bawah asuhan ayah yang alim dan berakhlak mulia, Muhammad menorehkan banyak prestasi. Pada usia 8 tahun, dia telah menghafal seluruh al-Quran, dan karena akhlaknya yang baik dan kata-katanya yang sopan membuatnya sangat disayangi oleh orang-orang di sekitarnya. Semangat belajar dan melakukan penelitian adalah warisan yang ditularkan ayahnya kepada Muhammad.
Rezeki halal yang diperoleh ayahnya telah membantu hati dan pikiran sang anak dalam menerima kebenaran dan berjalan di jalur kesempurnaan. Ayahnya sangat perhatian dengan masalah ini dan ia menjauhkan makanan yang haram dari raga dan jiwa anak-anaknya. Islam sangat menekankan masalah pengaruh makanan halal terhadap kesuksesan manusia dalam mencapai kesempurnaan.
Setelah mempelajari al-Quran dan mata kuliah pengantar, Ibnu Syahr Asyub menekuni ilmu-ilmu agama seperti, fiqih dan ushul fiqih, hadis, teologi, ilmu rijal, dan tafsir. Ulama besar seperti Syeikh Tabarsi dan Allamah Qutbuddin al-Rawandi termasuk di antara guru-gurunya. Juga kakeknya yaitu Syahr Asyub Sarawi (penduduk kota Sari) termasuk di antara guru yang sangat berjasa padanya.
Ibnu Syahr Asyub menimba ilmu di berbagai hauzah Iran dan belajar kepada para ulama besar selama perjalanan ilmiahnya ke berbagai kota di Iran seperti, Mashad, Qom, Rey, Kashan, Naishabur, Isfahan dan Hamedan. Ia kemudian hijrah ke kota Baghdad. Di masa itu, Baghdad adalah pusat ibukota Dinasti Abbasiyah dan pusat ilmu Islam yang paling terkenal. Para ilmuwan hebat dari berbagai penjuru datang ke kota itu untuk kegiatan-kegiatan ilmiah.
Tidak lama kemudian, Ibnu Syahr Asyub pindah ke kota Hillah (Irak Tengah) yang bersejarah dan terkenal di dunia, dan setelah bertahun-tahun di sana, ia meninggalkan Hillah menuju ke kota Mosul. Setelah lama tinggal di Mosul, dia pergi ke kota Aleppo (Halab), Suriah dan menetap di sana sampai akhir hayatnya. Pada waktu itu, Aleppo menjadi tempat kediaman para ulama besar dan masyarakat di kota itu memperlakukan orang Syiah dengan baik dan menghormati ulama Syiah.
Banyak ulama dan ilmuwan yang sangat dihormati yang hidup sezaman dengan Ibnu Syahr Asyub, tetapi Ibnu Syahr Asyub memiliki keunggulan dan derajat ilmunya diakui lebih tinggi. Dia selalu bersanding dengan para ulama besar di setiap kota di wilayah negara Islam yang ia singgahi, kegiatan kuliah dan ceramahnya selalu lebih ramai daripada yang lain. Lautan pengetahuan dan kemampuannya yang luar biasa membuat banyak orang belajar kepadanya.
Bangunan Makam Ibnu Syahr Asyub di Aleppo.
Ibnu Syahr Asyub sangat tekun dalam beribadah dan selalu berwudhu. Dia adalah sosok yang baik budi, jujur, rendah hati, dan lembut tutur kata. Di samping kegiatan ilmiahnya seperti mengajar dan menulis, ia tidak melupakan tugas lain yaitu menyampaikan ceramah dan nasihat kepada masyarakat. Dengan cara ini, Ibnu Syahr Asyub menularkan ilmunya kepada masyarakat awam dan ulama.
Salah satu ciri khas yang membuat Ibnu Syahr Asyub lebih menonjol dari ulama lain pada masanya adalah memiliki pandangan ilmiah yang moderat dan unggul. Pandangan ilmiahnya memiliki landasan dan argumen yang kuat, dan meskipun seorang ulama Syiah, ia sangat menguasai sumber-sumber teologi dan sejarah Sunni melebihi para ulama Sunni yang hidup sezaman dengannya. Karakteristik ini membuat sebagian ulama pencari kebenaran dari Sunni – di samping ulama Syiah – memuji dan mengagumi ulama besar ini.
Ibnu Syahr Asyub juga terkenal di bidang penulisan. Ia meninggalkan buku-buku yang inovatif di sebagian besar ilmu Islam termasuk, fiqih, yurisprudensi, teologi, hadis, sejarah, tafsir, dan ilmu rijal, yang selalu menjadi rujukan bagi para ulama dan ilmuwan.
Buku berharga, Manaqib Al Abi Thalib adalah karya Ibnu Syahr Asyub yang paling terkenal yang telah dicetak berulang kali sampai sekarang. Kitab yang memuat sejarah kehidupan dan keutamaan 14 imam maksum ini, dengan jelas menunjukkan tingkat keterampilan dan penguasaan penulis terhadap sejarah dan hadis. Kitab Manaqib Al Abi Thalib diawali dengan uraian tentang kabar gembira pengutusan Rasulullah Saw, sejarah hidupnya, mukjizat, nama dan gelar, dan mikraj nabi. Setelah itu, ia membahas tentang konsep imamah dan ayat-ayat serta riwayat yang terkait dengannya, kemudian menjelaskan biografi para imam maksum serta Sayidah Fatimah Zahra as dan keutamaan-keutamaan mereka satu per satu.
Buku kecil tapi berharga, Ma'alim al-Ulama merupakan karya lain dari Ibnu Syahr Asyub yang memuat nama dan biografi dari 1.021 ulama Syiah. Buku ini lebih lengkap daripada kitab al-Fihrest karya Syeikh Tusi yang membahas topik yang sama, dan penulis memperkenalkannya sebagai penyempurna al-Fihrest.
Foto lama dari Makam Ibnu Syahr Asyub di pinggiran kota Aleppo, Suriah.
Ibnu Syahr Asyub juga menulis sebuah buku tentang tafsir al-Quran yang berjudul, Mutasyabih al-Quran wa Mukhtalafuhu yang mendapat perhatian khusus dari para ulama dan dapat dianggap sebagai kitab pertama di bidangnya. Dalam buku ini, Ibnu Syahr Asyub mengkaji ayat-ayat mutasyabih dalam al-Quran.
Ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang sifatnya kompleks dan memiliki banyak arti, dan maknanya baru dapat diketahui dengan benar dengan merujuk pada ayat-ayat yang tegas dan jelas.
Ibnu Syahr Asyub, ulama fiqih yang bijaksana dari mazhab Ahlul Bait, meninggal dunia pada Jumat malam, 22 Sya'ban tahun 588 H di kota Aleppo, Suriah setelah menjalani hidup hampir 100 tahun.
Jenazah suci ulama besar ini dimakamkan di Mashhad al-Siqth atau Jabal Jawshan di pinggiran kota Aleppo. Menurut masyarakat Syiah Halab, tempat ini adalah lokasi dimakamkannya Muhsin al-Siqth, putra Imam Husein as. Oleh karenanya ia dikenal dengan nama Mashhad al-Siqth.
Meski ia telah tiada, semilir ajaran Ahlul Bait yang dibawakan olehnya tetap menjadi penghapus dahaga bagi para para pencari kebenaran. Imam Ali as berkata, “Orang alim tetap hidup meskipun ia telah meninggal, dan orang bodoh telah mati meskipun ia masih hidup.”
Gerakan Fatah Palestina akan Batalkan Semua Kesepakatan dengan Israel
Sekjen Komite Pusat Gerakan Fatah, Jibril Rajoub mengatakan gerakan ini akan membatalkan semua kesepakatan dengan rezim Zionis Israel.
"Fatah ingin membangun front politik tunggal dan keterlibatan nasional dengan seluruh faksi Palestina termasuk Gerakan Hamas dan segera membatalkan semua kesepakatannya dengan Israel," tegasnya seperti dilaporkan televisi al-Mayadeen, Lebanon, Selasa (6/10/2020) malam.
Sebelum ini, Sekjen Gerakan Jihad Islam Palestina, Ziyad al-Nakhalah mengatakan Fatah tidak boleh mengakui rezim Zionis dan harus membatalkan segala bentuk kesepakatan dengan Israel.
"Gerakan Fatah harus menyerahkan sebuah struktur baru bagi semua orang Palestina berdasarkan sebuah kerangka kerja yang komprehensif," imbuhnya.
Al-Nakhalah menegaskan bahwa faksi-faksi Palestina menentang normalisasi hubungan dengan rezim Zionis, dan Jihad Islam Palestina juga terlibat aktif dalam kegiatan masyarakat yang menentang normalisasi hubungan.
Setelah Uni Emirat Arab dan Bahrain menjalin hubungan resmi dengan Israel pada 15 September lalu, faksi-faksi Palestina mengambil langkah-langkah untuk membentuk front bersatu Palestina demi melawan konspirasi Zionis dan AS.
Suriah akan Kembalikan Pengungsi Palestina ke Kamp Yarmuk
Seorang pejabat Palestina mengatakan, pemerintah Damaskus berniat mengembalikan pengungsi Palestina ke kamp pengungsian Yarmuk di Suriah.
Kepala Humas Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina, Anwar Raja menambahkan pemulangan pengungsi Palestina ke Yarmuk akan menciptakan stabilitas sosial.
"Pemerintah Suriah telah mengabarkan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina bahwa pengungsi akan ditempatkan di rumah-rumah yang layak huni," ujarnya seperti dilaporkan surat kabar al-Watan, Suriah, Rabu (7/10/2020).
"Langkah-langkah praktis sudah diambil untuk memfasilitasi pemulangan pengungsi Palestina yang terusir akibat kelompok-kelompok teroris takfiri," jelasnya.
Raja mencatat bahwa kamp Yarmuk akan menjadi basis perlawanan dan tempat untuk kegiatan nasional Palestina di Suriah.
Kamp pengungsi Yarmuk dibebaskan dari pendudukan teroris Daesh pada 21 Mei 2018.
Pemerintah Suriah kemudian memimpin kegiatan renovasi sebagaimana di daerah-daerah lain yang dibebaskan dari pendudukan teroris.
Nasrullah: Kemenangan Revolusi Islam Peluang Penyelenggaraan Arbain
Sekjen Gerakan Perlawanan Islam Lebanon (Hizbullah) Rabu (7/10/2020) malam di pidatonya bertepatan dengan peringatan Arbain Huseini mengatakan, “Kemenangan Revolusi Islam di Iran dan transformasi regional yang diciptakan revolusi ini telah membuka peluang bagi penyelenggaraan ritual Arbain.”
“Peristiwa Karbala merupakan indikasi budaya revolusi, perjuangan, keberanian dan kepahlawanan,” ungkap Sayid Hasan Nasrullah di awal pidatonya menyambut peringatan Arbain kepada para pengikut dan pecinta Ahlul Bait as seperti dilaporkan IRNA.
Sekjen Hizbullah Lebanon lebih lanjut mengisyaratkan pawai jutaan pecinta Imam Husein as di acara Arbain dan mengatakan, “Gerakan kebangkitan Islam dan kemenangan Revolusi Islam Iran serta tumbangnya rezim Saddam, telah membuka pintu bagi jutaan warga Irak dan pecinta Ahlul Bait as di luar Irak untuk berzirah ke pusara Imam Husein as.”
Pawai Arbain
Sekjen Hizbullah menyebut pawai akbar jutaan orang di hari Arbain sebagai fenomena penting dan menambahkan, bangsa dunia akhirnya menyadari kebangkitan Imam Husein as dan tujuannya setelah menyaksikan jutaan peziarah cucu Rasul ini melalui layar televisi.
Di pidatonya Sayid Hasan Nasrullah juga mengisyaratkan pandemi Corona dan dampaknya bagi acara pawai Arbain dan mengatakan, “Di kondisi baru, para peziarah Imam Husein di luar Irak tidak dapat berpartisipasi di acara akbar ini seperti tahun-tahun sebelumnya, namun di dalam negeri Irak, jutaan warga menggelar pawai ini menuju Karbala.”
Kamis (8/10/2020) bertepatan dengan 20 Safar 1442 H, hari ke-40 gugurnya cucu Rasul, Imam Husein as di Padang Karbala atau yang dikenal dengan Arbain.
Di tahun-tahun sebelumnya, jutaan peziarah Imam Husein dari seluruh penjuru dunia, beberapa hari sebelum Arbain Huseini berjalan kaki dari kota Najaf dan berbagai kota Irak lainnya menunju pusara Imam Husein di Karbala.
Namun tahun ini, para peziarah asing tidak dapat mengikuti ritual agung ini karena pandemi Corona dan acara pawai akbar Arbain hanya digelar oleh warga Irak.
Mengapa Penguasa Lalim Takut dengan Arbain Huseini?
Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon Sayid Hassan Nasrullah dalam pidatonya memperingati Arbain pada Rabu (7/10/2020) malam mengatakan, acara ini selalu ada sepanjang sejarah, namun pada zaman modern, rezim Saddam Irak melarang peringatan Arbain dan tidak mengizinkan warga Syiah untuk melakukan Pawai Arbain, bahkan pada beberapa tahun, rezim ini menarget para peziarah Imam Husein as dengan pesawat dan helikopter.
Lalu mengapa penguasa lalim dan kekuatan-kekuatan dunia takut dengan peringatan Arbain? Ada beberapa alasan terkait hal ini. Di antaranya adalah dimensi religius dari Arbain Huseini ini.
Imam Husein as bangkit di Karbala untuk melindungi kemurnian agama Islam dan membebaskan agama ini dari tangan orang-orang munafik yang menggunakannya hanya sebagai alat untuk meraih kepentingannya. Imam Husein as bersama keluarga dan sahabatnya bangkit melawan kezaliman yang telah parah di masa itu.
Syahid Murteza Mutahhari dalam bukunya Epik Huseini menulis, efek terbesar dari tragedi Karbala adalah lenyapnya selubung kemunafikan, dan terpisahnya secara praktis pemerintahan monarki dari agama.
Bani Umayyah berusaha menggunakan agama sebagai alat untuk memerintah masyarakat tanpa mengikuti prinsip-prinsip dasar agama. Di dunia saat ini, rezim Al Saud mengklaim sebagai pemimpin dunia Islam dan menganggap dirinya sebagai penjaga dua tempat suci Islam, namun dalam praktiknya, rezim ini memerangi negara Muslim Yaman yang telah berlangsung selama sekitar 6 tahun. Pasukan rezim tersebut juga membunuh dan melukai ratusan ribu warga Yaman dan membuat jutaan orang mengungsi. Apa yang dilakukan rezim Al Saud ini adalah sejalan dengan kepentingan musuh-musuh Islam .
Model Islam yang dipraktikkan Al Saud dan didukung oleh kekuatan-kekuatan Barat pimpinan Amerika Serikat, adalah contoh dari "Islam sekuler", istilah kontradiktif yang berusaha "menurunkan" Islam dari nilai-nilainya. Pendukung Islam sekuler bergerak menuju normalisasi hubungan dengan rezim Zionis Israel, padahal rezim ini tidak menahan diri dari kejahatan apapun terhadap negara Muslim Palestina.
Sebaliknya, Arbain Huseini adalah salah satu tanda nyata dari Islam murni dan Islam Muhammadi, yaitu Islam yang menekankan solidaritas, altruisme, perdamaian dan martabat manusia lintas batas, di mana ini hadir dalam acara Arbain Huseini.
Oleh karena itu, Arbain Huseini adalah contoh konfrontasi antara Islam murni dan Islam sekuler yang didukung oleh Barat, dan oleh karena itu, pihak yang berlawanan dengan Islam murni ini takut pada peringatan Arbain yang dihadiri oleh jutaan orang.
Dimensi lainnya adalah bahwa Arbain adalah untuk mempertahankan identitas politik Asyura Huseini. Asyura Huseini adalah peristiwa multidimensi yang memiliki dimensi politik yang kuat. "Kewilayahan" dan anti-penindasan adalah dua pesan politik utama dari Asyura Huseini.
72 sahabat Imam Husein as memahami bahwa mereka akan syahid dalam menghadapi puluhan ribu pasukan Yazid, tetapi mereka mengikuti logika Huseini untuk menghadapi para pengikut Yazid, dan ini adalah puncak dari "Kewilayahan". Logika politik Asyura adalah anti-penindasan dan perlawanan terhadap tiran.
Wakil Bi'tsah Rahbari untuk Irak Hujjatul Islam wal Muslimin Najaf Najafi Rouhani mengatakan, budaya Asyura memperkuat perlawanan. Budaya Asyura inilah yang menginspirasi perlawanan dalam Perang Pertahanan Suci (perlawanan rakyat Iran menghadapi serangan militer rezim Baath Irak selama delapan tahun). Budaya inilah yang membuat Hizbullah menang di Lebanon, dan budaya ini pula lah yang telah menimbulkan perlawanan di kawasan Asia Barat terhadap penindasan.
Saat ini, para penentang Poros Perlawanan di kawasan Asia Barat menilai bahwa penguatan poros ini dan perubahan keseimbangan kekuatan yang menguntungkan Poros Perlawanan disebabkan oleh pesan dan ajaran Asyura dan ritual Arbain. Oleh karena itu, pelemahan Arbain diupayakan dalam bentuk perang media yang lunak dan perpecahan antarnegara, khususnya antara Republik Islam Iran dan Irak.
Mengapa Penguasa Lalim Takut dengan Arbain Huseini?
Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon Sayid Hassan Nasrullah dalam pidatonya memperingati Arbain pada Rabu (7/10/2020) malam mengatakan, acara ini selalu ada sepanjang sejarah, namun pada zaman modern, rezim Saddam Irak melarang peringatan Arbain dan tidak mengizinkan warga Syiah untuk melakukan Pawai Arbain, bahkan pada beberapa tahun, rezim ini menarget para peziarah Imam Husein as dengan pesawat dan helikopter.
Lalu mengapa penguasa lalim dan kekuatan-kekuatan dunia takut dengan peringatan Arbain? Ada beberapa alasan terkait hal ini. Di antaranya adalah dimensi religius dari Arbain Huseini ini.
Imam Husein as bangkit di Karbala untuk melindungi kemurnian agama Islam dan membebaskan agama ini dari tangan orang-orang munafik yang menggunakannya hanya sebagai alat untuk meraih kepentingannya. Imam Husein as bersama keluarga dan sahabatnya bangkit melawan kezaliman yang telah parah di masa itu.
Syahid Murteza Mutahhari dalam bukunya Epik Huseini menulis, efek terbesar dari tragedi Karbala adalah lenyapnya selubung kemunafikan, dan terpisahnya secara praktis pemerintahan monarki dari agama.
Bani Umayyah berusaha menggunakan agama sebagai alat untuk memerintah masyarakat tanpa mengikuti prinsip-prinsip dasar agama. Di dunia saat ini, rezim Al Saud mengklaim sebagai pemimpin dunia Islam dan menganggap dirinya sebagai penjaga dua tempat suci Islam, namun dalam praktiknya, rezim ini memerangi negara Muslim Yaman yang telah berlangsung selama sekitar 6 tahun. Pasukan rezim tersebut juga membunuh dan melukai ratusan ribu warga Yaman dan membuat jutaan orang mengungsi. Apa yang dilakukan rezim Al Saud ini adalah sejalan dengan kepentingan musuh-musuh Islam .
Model Islam yang dipraktikkan Al Saud dan didukung oleh kekuatan-kekuatan Barat pimpinan Amerika Serikat, adalah contoh dari "Islam sekuler", istilah kontradiktif yang berusaha "menurunkan" Islam dari nilai-nilainya. Pendukung Islam sekuler bergerak menuju normalisasi hubungan dengan rezim Zionis Israel, padahal rezim ini tidak menahan diri dari kejahatan apapun terhadap negara Muslim Palestina.
Sebaliknya, Arbain Huseini adalah salah satu tanda nyata dari Islam murni dan Islam Muhammadi, yaitu Islam yang menekankan solidaritas, altruisme, perdamaian dan martabat manusia lintas batas, di mana ini hadir dalam acara Arbain Huseini.
Oleh karena itu, Arbain Huseini adalah contoh konfrontasi antara Islam murni dan Islam sekuler yang didukung oleh Barat, dan oleh karena itu, pihak yang berlawanan dengan Islam murni ini takut pada peringatan Arbain yang dihadiri oleh jutaan orang.
Dimensi lainnya adalah bahwa Arbain adalah untuk mempertahankan identitas politik Asyura Huseini. Asyura Huseini adalah peristiwa multidimensi yang memiliki dimensi politik yang kuat. "Kewilayahan" dan anti-penindasan adalah dua pesan politik utama dari Asyura Huseini.
72 sahabat Imam Husein as memahami bahwa mereka akan syahid dalam menghadapi puluhan ribu pasukan Yazid, tetapi mereka mengikuti logika Huseini untuk menghadapi para pengikut Yazid, dan ini adalah puncak dari "Kewilayahan". Logika politik Asyura adalah anti-penindasan dan perlawanan terhadap tiran.
Wakil Bi'tsah Rahbari untuk Irak Hujjatul Islam wal Muslimin Najaf Najafi Rouhani mengatakan, budaya Asyura memperkuat perlawanan. Budaya Asyura inilah yang menginspirasi perlawanan dalam Perang Pertahanan Suci (perlawanan rakyat Iran menghadapi serangan militer rezim Baath Irak selama delapan tahun). Budaya inilah yang membuat Hizbullah menang di Lebanon, dan budaya ini pula lah yang telah menimbulkan perlawanan di kawasan Asia Barat terhadap penindasan.
Saat ini, para penentang Poros Perlawanan di kawasan Asia Barat menilai bahwa penguatan poros ini dan perubahan keseimbangan kekuatan yang menguntungkan Poros Perlawanan disebabkan oleh pesan dan ajaran Asyura dan ritual Arbain. Oleh karena itu, pelemahan Arbain diupayakan dalam bentuk perang media yang lunak dan perpecahan antarnegara, khususnya antara Republik Islam Iran dan Irak.
Putra Mahkota Kuwait Tegaskan Negaranya Komitmen Janji Internasional
Putra mahkota baru Kuwait di acara sumpah pelantikan di parlemen menyatakan, negaranya akan tetap patuh terhadap komitmen regional dan internasional.
Mishal Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah, putra mahkota baru Kuwait Kamis (8/10/2020) mengucapkan sumpah di depan parlemen negara ini.
Setelah mengucapkan sumpah, ia mengatakan Kuwait akan melanjutkan jalannya sebagai sebuah negara yang bersandar pada konstitusi dan prinsip demokrasi.
Putra mahkota baru Kuwait menjelaskan bahwa negaranya tetap patuh terhadap komitmennya di Teluk Persia, kawasan dan internasional.
Nafaf al-Ahmad, emir baru Kuwait hari Rabu menunjuk saudaranya, Mishal al-Ahmad al-Sabah sebagai putra mahkota negara ini.
Qatar Ingin Beli Pesawat F-35 dari Amerika Serikat
Berbagai sumber menyebutkan, Qatar mengajukan permohonan untuk pembelian pesawat F-35 kepada Amerika Serikat.
Menurut laporan Reuters, permintaan pembelian pesawat siluman ini telah dikirim ke Washington dalam beberapa pekan terakhir.
Reuters mengutip jubir Kemenlu AS menyatakan, Washington tidak dapat memberi komentar selama usulan penjualan pertahanan belum dikirim kepada DPR.
Harga generasi kelima F-35 sekitar 80 juta dolar dan perundingan untuk transaksi seperti ini biasanya memakan waktu bertahun-tahun.
Berita ini dirilis ketika Amerika sebelumnya setuju membahas penjualan F-35 kepada Abu Dhabi. Kesepakatan terkait hl ini merupakan salah satu konsesi yang dijanjikan kepada Uni Emirat Arab (UEA) sebagai imbalan normalisasi hubungan dengan rezim Zionis Israel.
Asyura dan Inspirasi untuk Melawan Penguasa Zalim
Imam Husein as adalah Cucu Tercinta Rasulullah SAW. Beliau gugur syahid di padang Karbala untuk menegakkan agama kakeknya, Nabi Muhammad SAW.
Perjuangan Imam Husein as telah menginspirasi perjuangan rakyat tertindas di berbagai belahan dunia untuk melawan para penguasa lalim dan pasukan asing yang menduduki wilayah mereka.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari tragedi di Karbala yang bisa dipetik umat Islam untuk melawan para penindas dan penguasa zalim.
Rakyat Republik Islam Iran telah mengadakan acara duka setiap malam pada 10 hari pertama Muharam hingga tanggal 10 Muharam yang jatuh pada hari Minggu, 30 Agustus 2020.
Mereka memperingati hari-hari duka untuk mengenang kesyahidan Cucu Tercinta Rasulullah SAW di Karbala. Para peserta mengikuti acara dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku untuk mencegah penyebaran Virus Corona, COVID-19.
Imam Hussein as, keluarga dan para sahabatnya gugur syahid pada 10 Muharam 61 Hijriah di Karbala atau yang dikenal dengan Tragedi Asyura. Meski telah berlalu berabad-abad, namun peristiwa heorik itu tidak pernah berkurang urgensi dan kedudukannya, bahkan semakin berlalu, pesan Asyura justru semakin tersebar luas.
Tahun ini acara-acara duka mengenang kesyahidan Imam Hussein as di berbagai kota Iran sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena pandemi Virus Corona. Acara-acara duka ini lebih banyak digelar di ruang terbuka dengan tetap menjaga protokol kesehatan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan Iran.
Kebangkitan Imam Hussein melawan pemerintahan tiran Yazid bertujuan untuk menjaga kelangsungan agama Islam yang terkena erosi kerusakan di berbagai sendi kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, motivasi perjuangan Imam Husein demi menjaga kesucian Islam dari berbagai penyimpangan yang dilakukan penguasa lalim di masanya. Imam Husein bangkit melawan Yazid bin Muawiyah bukan karena menghendaki kekuasaan, tapi karena ketulusannya membela ajaran agama Islam dan mengembalikan umat Islam dari berbagai penyimpangan.
Imam Hussein salah salah satu munajatnya berkata,"Ya ilahi, Engkau tahu tujuan kebangkitanku bukan bersaing untuk meraih kekuatan politik atau merebut kekayaan dan kemegahan dunia. Tetapi motif utama kebangkitanku demi menghidupkan kembali ajaran-Mu, mengibarkan tanda-tanda keagungan agama-Mu dan memperbaiki urusan di muka bumi. Kami akan membela hak-hak mereka yang dilanggar dan mengembalikannya kepada mereka. Kami akan mengikuti aturan yang telah Engkau wajibkan kepada para hamba-Mu untuk mengikutinya..."
Imam Husein dalam munajatnya ini dan berbagai perkataannya yang lain memiliki motif ketuhanan yang terlihat jelas di berbagai bidang, termasuk dalam gerakan perlawanannya menghadapi rezim lalim Yazin bin Muawiyah. Salah satu rahasia lain dari keabadian Asyura, karena setiap tindakan Imam Husein yang diikuti para pengikut setianya di Padang Karbala mengambil warna ilahiah, sehingga terbentuk totalitas dalam gerakannya demi memperjuangkan nilai-nilai Islami, sebagaimana dalam surat Ar Rahman ayat 26 dan 27 yang menegaskan, "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan".
Para wali Allah SWT dan ulama yang meneruskan jejak para Nabi berperan besar dalam menjaga obor petunjuk kebenaran petunjuk supaya tetap menyala untuk menerangi umat. Demikian juga yang dilakukan Imam Hussein dengan menyampaikan pidato penyadaran kepada para ulama dan tokoh masyarakat di zaman dengan mengatakan, "Jika Anda tidak membantu kami dan tidak bergabung dengan kami dalam memperjuangkan kebenaran, maka para penindas akan memiliki lebih banyak kekuatan untuk melawanmu dan akan menjadi lebih aktif dalam memadamkan sinar matahari yang bersinar dari Nabi kalian."
Melanjutkan pidatonya, Imam Husein bersandar pada prinsip ketauhidan dengan menjelaskan, "(jika Anda tidak membantu kami) Tuhan cukup bagi kami, dan kami bertawakal kepada-Nya, sebab takdir kita ada di tangan-Nya. Kita semua akan kembali pada-Nya". Selain menjelaskan prinsip ketauhidan, Imam Hussein setiap pidatonya, Imam Hussein mengajak orang lain dengan cara yang baik dalam memperjuangkan nilai-nilai ketauhidan.
Para pencari kebenaran sejati memandang seluruh kehidupan manusia dilakukan demi meraih ridha Allah swt. Sebab, dalam posisi tinggi ini, manusia menyerahkan seluruh keberadaannya kepada Tuhan dalam menghadapi semua peristiwa terjadi. demikian juga dengan Imam Hussein yang menyampaikan khutbah di Mekah, termasuk menyinggung peristiwa getikyang diprediksi akan terjadi padanya. Beliau dengan totalitas ketakwaan dan ketawakalannya berkata: "Apapun yang Allah tetapkan, aku ridha, dan aku akan bersabar dalam menghadapi kesulitan dan rintangan yang menghadang".
Menghadapi pihak-pihak yang menentang perjalanan Imam Hussein ke Karbala, beliau mengajak orang-orang yang tulus berjuang demi meraih ridha Alalh dengan sebagai prinsip utama perjuangannya dengan mengatakan, "Ketahuilah, siapa pun yang siap berjuang di jalan ilahi ini, maka bersiaplah untuk berangkat bertemu Allah (menjemput kesyahidan)..."
Manifestasi lain dari ketauhidan sebagai poros perjuangan Hussein ibn Ali dapat dilihat dengan jelas dalam tanggapan Imam terhadap surat perlindungan yang diberikan 'Umar ibn Sa'id, penguasa Mekah yang disampaikan Abd al-Ja'far, suami Sayidah Zainab, dengan yang mengatakan, "Orang yang beramal salih dan berserah diri kepada-Nya, niscaya tidak akan menentang Allah dan Rasul-Nya ..... Namun mengenai surat perlindungan yang telah kalian bawa, ketahuilah bahwa jaminan keselamatan terbaik hanya dari Allah swt. Keamanan dari Allah berada dalam agama. Jika tidak takut kepada Allah, maka tidak akan aman di akhirat. Dalam pandangan ilahi, takut kepada Allah di dunia ini, akan menyelamatkan kita di akhirat nanti".
Imam Hussein berkata, "Aku bersumpah demi Tuhan, jika aku terbunuh sejengkal lebih jauh dari Mekah, maka lebih aku sukai dari pada darahku tumpah di tempat suci ini, dan jika aku terbunuh dua kali lebih jauh dari Mekah, maka lebih baik bagiku.". Pernyataan ini disampaikan Imam Husein sebagai reaksi atas kelaliman Yazid dan kerusakan yang dilakukannya dengan mengatasnamakan sebagai khalifa Muslim. Imam Husein bersedia sayahid demi menjaga kesucian Kabah yang berusaha dinodai oleh penguasa lalim semacam Yazid.
Tidak seperti dinasti Umayah yang duduk di atas takhta kekuasaan dengan menghancurkan nilai-nilai Islam yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya, Hussein bin Ali yang dibesarkan di tengah keluarga Nubuwah dan Imamah sangat prihatin menyaksikan penodaan terhadap ajaran Islam dan berupaya mengembalikan umat menuju jalan kebenaran.
Oleh karena itu, Imam Hussein menyampaikan seruannya,"Sadarilah bahwa mereka adalah orang-orang mengikuti setan dan telah meninggalkan ketaatan kepada Tuhan, menyebarkan kerusakan dan kehancuran, serta melanggar syariat Allah, juga menjarah properti umum dan memonopolinya, dan menghalalkan yang diharamkan oleh Allah swt maupun sebaliknya. Sementara aku akan datang untuk mencegah berlanjutnya situasi ini dan mengubahnya.".
Dukungan terbesar dari para pejuang yang mengorbankan dirinya demi mengharapkan ridha Allah swt merupakan hasil dari ketauhidan sebagai prinsip paling utama dalam hubungan antara Imam Husein dengan Allah swt, yang menginspirasi para pengikutnya untuk berjuang demi mempertahankan nilia-nilai agung dan luhur.
Pada malam Asyura, ketika pasukan musuh mengepung tenda-tenda Imam Husein dan pengikutnya, Imam Hussein sedang tenggelam dalam munajat dan doa. Di hadapan pengikutnya, beliau berkata "... Aku ingin menunaikan shalat dan marilah kita memohon ampunan ilahi. Allah tahu bahwa aku menyukai doa, membaca al-Quran, shalat dan manajat serta banyak beristigfar,".
Dengan ketauhidan yang begitu kuat terhunjam, Imam Hussein dan para sahabatnya yang setia tenggelam doa dan ibadah yang sangat khusuk. Mereka hidup seolah-olah tidak memiliki kekhawatiran sedikitpun tentang peristiwa Asyura dan kesyahidan yang akan menimpanya, meskipun musuh sedang mengepung mereka di luar.
Sebelum peristiwa Asyura terjadi, salah seorang sahabat bernama Abu tsamamah bin Saidi mengingatkan waktu shalat segera tiba kepada Imam Hussein. Ketika itu Imam Hussein kepada pengikutnya berkata, "Kamu sudah mengingatkan kami akan waktu sholat. Allah menjadikanmu sebagai salah seorang yang mengingat Allah."
Ketika dzuhur tiba, Imam Husein meminta sedikit waktu untuk bermunajat kepada Allah untuk terakhir kalinya. Musuh menolak permintaan itu, tetapi Imam tetap mendirikan shalat tanpa peduli dengan tekanan dan hujanan panah musuh, dua sahabatnya gugur syahid dalam peristiwa itu.
Kekhusyukan dan ketenangan Imam Husein dalam shalat membuat para sahabatnya menitikkan air mata. Fenomena ini mengingatkan mereka pada sosok ayahnya, Imam Ali yang tidak pernah melewatkan shalat dalam perang dan berkata, "Kita berperang untuk menegakkan shalat."