Benarkah Nabi Muhammad SAW Pernah Sesat?

Rate this item
(0 votes)
Benarkah Nabi Muhammad SAW Pernah Sesat?

 

Setelah sederet pembahasan mengenai Ishmah atau kemaksuman para nabi dan khususnya Nabi Muhammad saw yang telah kita kaji bersama dalam tulisan-tulisan sebelumnya, sekarang kita mulai beralih pada kajian mengenai beberapa keterangan yang secara zahir menunjukkan hal yang berseberangan dengan konsep Ishmah itu sendiri.

Artinya dalam hal ini terdapat beberapa penjelasan dalam literatur Islam baik Al-Quran maupun hadis sendiri yang menggambarkan sosok para nabi -khususnya yang menjadi topik kita adalah sosok Nabi Muhammad saw- yang seolah bertolak belakang dengan konsep Ishmah yang ada. Dan sebagai imbasnya adalah memunculkan pertanyaan bagi kita sendiri mengenai kebenaran yang ada terkait kedua jenis literatur tersebut.

Oleh sebab itu sangat penting untuk mengkajinya dan mempelajari maksud yang dikandung dari literatur-literatur tersebut, seperti yang sudah kita lakukan pada beberapa di antaranya pada pembahasan-pembahasan yang lalu. Sebab dengan inilah kita akan mengenal kebenaran mengenai sosok agung nabi kita sendiri.

Pada kesempatan kali ini penulis akan membawakan kajian tentang sebuah ayat yang dinilai secara zahir menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw pernah mengalami kesesatan atau kebingungan dan tidak mengetahui tujuan. Ayatnya adalah sebagai berikut:

وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (Ad-Dhuha: 7)

Dalam ayat di atas, Allah swt secara langsung berbicara kepada Nabi Muhammad saw, bahwasannya Dia mendapati nabi dalam keadaan yang tersesat (Dhalla secara bahasa bermakna tersesat atau menyimpang), sementara dalam terjemahan di atas dimaknai dengan “yang bingung” sebagai konsekuensi dari tersesat atau menyimpang dari jalan. Kemudian setelah itu Allah swt memberikannya petunjuk.

Dari gambaran di atas secara zahir hal ini menunjukkan bahwa dulunya nabi adalah orang yang tidak berada pada jalur yang dikehendaki Allah swt, artinya waliyadzu billah beliau berada dalam penyimpangan, ketika menyimpangan berarti melakukan kesalahan dan berbuat dosa. Dan hal ini bertolak belakang dengan apa yang telah kita bahas dalam kajian-kajian sebelumnya bahwa beliau saw terjauh dari kesalahan dan dosa seutuhnya.

Terkait hal ini, Imam Fakhru Razi dalam tafsirnya mula-mula menjelaskan bahwa sebagian orang memahami dari ayat di atas menunjukkan pada sosok nabi yang dulunya adalah seorang yang kafir yang berada di tengah kaum yang tersesat, kemudian dihidayahi oleh Allah swt ke dalam tauhid.

Namun kemudian penulis tafsir Al-kabir ini juga menyebutkan bahwa sekelompok ulama lainnya memiliki pandangan lain terhadap ayat ini dan mereka sepakat bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah kufur atau jadi seorang yang kafir terhadap Allah swt walau sesaat. Bahkan Mu’tazilah menganggap hal ini adalah mustahil secara logis, adapun menurut kelompoknya hal ini tidaklah mustahil secara logis, sebab bisa saja seorang yang sekarang ini kafir kemudian dikaruniai keimanan oleh Allah dan kemudian dimuliakan dengan kenabian (menjadi nabi). Namun menurutnya hal tersebut meskipun mungkin terjadi akan tetapi dalil (wahyu) menunjukkan bahwa hal yang mungkin tersebut tidak terjadi, sebagaimana firman-Nya:

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوٰىۚ

kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak (pula) keliru. (An-Najm: 2)

Dengan ini ia menafikan bahwa maksud dari Dhall pada ayat tadi sebagai penyimpangan atau kesesatan.

Setelah itu ia membawakan beberapa kemungkinan yang menjadi maksud dari lafal tersebut, diantaranya adalah riwayat dari Ibnu Abbas yang memaknainya dengan bahwa nabi sebelumnya tidak memiliki ilmu tentang hukum syar’i.[1]

Sementara itu, Syekh Makarim Syirazi berbicara mengenai ayat yang sama, pertama-tama ia menjelaskan bahwa lafal tersebut berkaitan dengan risalah dan kenabian, dimana sebelumnya hal tersebut tidak ada pada diri Nabi Muhammad saw kemudian Allah swt memberikan karunia itu. Sehingga yang dinafikan dari sosok nabi (Dhall) pada ayat tadi bukanlah keimanan sehingga disebut kafir sebagaimana pada penjelasan Fakhru Razi, melainkan yang dinafikan di sini adalah ilmu atau ma’rifah nabi terhadap hakikat kenabian dan risalah hukuk-hukum Islam.[2]

Kesimpulannya berdasarkan penafsiran di atas, ayat ketujuh surat Ad-Dhuha ini tidak berbicara mengenai kondisi Nabi Muhammad saw yang berada dalam kesesatan karena tidak adanya iman dalam dirinya, melainkan kondisi beliau yang belum memperoleh ilmu tentang kenabian dan risalah yang akan didakwahkan olehnya. Sehingga melihat ayat tadi dengan kaca mata ini tidak bertentangan dengan konsep Ishmah yang ada pada ayat-ayat lainnya seperti yang sudah dibahas.

Selain itu hal ini justru semakin menegaskan nilai dari tauhid amali (praktis) bahwa sesungguhnya hanya Allah swt -lah satu-satunya Dzat pemberi hidayah. Adapun selain-Nya adalah seluruhnya membutuhkan pada hidayah-Nya termasuk para nabi dan khususnya dalam kasus di atas adalah Nabi Muhammad saw.

[1] Fakhru Razi, Muhammad Ar-Razi Fakhruddin, Tafsir Al-Kabir,  jil: 31, hal: 216-217 , cet: Darul Fikr, Beirut.

[2] As-Syirazi, Nashir Makarim, Al-Amtsal, jil: 29, hal: 308-309, cet: Al-A’laami, Beirut.

Read 635 times