Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (3)

Rate this item
(0 votes)
Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (3)

Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap keluarga?

Pada dasarnya, Imam Khomeini sangat ketat terkait hubungan dengan non mahram. Ketika putra saya dan putranya Haj Ahmad Agha berusia lima belas sampai enam belas tahun dan kami diundang untuk makan siang di rumah ayah [Imam Khomeini], anak-anak lelaki tidak boleh datang. Kalaupun mereka datang, kami tinggal di rumah ibu dan makan di sana, sementara mereka berada di rumah Haj Ahmad Agha, supaya anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan tidak makan bersama. Tidak hanya jangan bercampur dalam satu jamuan makan, tapi jangan saling mengucapkan salam. Karena tidak wajib.

Bagaimanapun juga, ayah [Imam Khomeini] menilah haram; model pertamuan para wanita dan pria non mahram dan duduk bersama-sama dalam satu jamu makan.

Saya masih ingat, waktu itu saya berusia lima belas tahun ketika almarhum Agha Eshraghi menikah dengan saudari saya dan menjadi menantu kami. Suatu hari kami semua diundang ke rumahnya. Ketika saya dan Imam Khomeini masuk ke rumahnya, saya melihat Agha Eshraghi datang menyambut. Kepada Imam Khomeini saya berkata, “Ayah, saya ucapkan salam? Beliau berkata, “Tidak wajib.” Karena saya juga tidak enak kalau tidak mengucapkan salam, akhirnya saya masuk melewati taman supaya tidak berhadap-hadapan dengan Agha Eshraghi.

Ketika Imam Khomeini diasingkan ke Turki, paman saya [Ayatullah Pasandideh] mau menjenguk ayah ke Turki. Beliau datang ke rumah kami dan dari balik pintu berkata, “Saya ingin bicara dengan ibu, barangkali ada pesan secara langsung yang akan disampaikan untuk ayah.” Oleh karena itu, ibu terpaksa mengucapkan salam kepadanya. Kemudian, saya masih ingat bahwa ibu merasa tidak enak. Karena ini adalah salam pertama kali yang diucapkan kepada lelaki non mahram di saat ayah tidak ada dan beliau berkata, “Bagaimana kalau ayah [Imam Khomeini] tidak rela?”

Jangan sampai tidak tersampaikan, ayah tidak masalah terkait urusan wajib dan genting. Tentunya harus berbicara secara serius. Bukannya, percuma duduk-duduk bersama dan mengucapkan salam. Begitu juga bila Imam Khomeini melihat sesuatu tidak sesuai dengan kedudukan seseorang, maka beliau memotres. Misalnya, salah satu keluarga kami memakai baju, meskipun warnanya hitam, namun menurut Imam tampak mewah. Waktu hari raya dan kami di rumah Imam Khomeini. Beliau berkata:

“Baju ini tidak tepat. Jangan dipakai.”

Orang yang ditegur mengatakan, “Ini adalah hitam.” Imam Khomeini berkata:

“Iya. Tapi ini tidak sesuai dengan posisimu.”

Orang itu menerima dan pergi mengganti bajunya. Tentunya bila sesuatu terpikirkan oleh beliau, maka beliau menegur. Namun teguran beliau sangat halus. Selain itu, teguran itu hanya ditujukan sesuai kepada orangnya.

Imam Khomeini sangat memberikan kebebasan kepada orang-orang terkait dalam menjalankan sesuatu yang hukumnya mubah. Namun terkait dengan hal-hal yang haram beliau sangat tegas. Saya masih ingat, beliau berbeda dengan para mujtahid yang lainnya. Ketika para mujtahid ngotot agar istrinya memakai cadar [penutup wajah] dan semacamnya, tapi Imam Khomeini sama sekali tidak mempersulit masalah ini.

Dalam menjawab sesuatu, Imam Khomeini tidak akan berlama-lama. Ucapan yang akan kalian sampaikan kalian pikirkan sebelumnya selama berhari-hari, maka Imam Khomeini akan menjawabnya segera. Ini karena bersumber dari logikanya. Misalnya, sekali waktu saya diundang ke Cina. Suatu hari saya menemui beliau. kabar ini saya sampaikan di sela-sela pembicaraan bahwa karena ada undangan resmi perkumpulan para wanita Cina, saya ingin pergi ke Cina. Beliau tidak mengatakan sesuatu. Hanya langsung mengangkat kepalanya dan berkata:

“Kamu ingin pergi ke Cina?”

Saya tertawa dan berkata, “Sekarang saya lihat dululah.”  

Saya merasa beliau tidak setuju dengan kepergian saya. Tapi tidak menyampaikannya. Kali berikutnya ketika saya menemui beliau. kepada saya beliau berkata:

“Berdirilah ke depan sini.”

Saya maju ke depan dan di dekat telinga saya beliau berkata:

“Jangan pergi ke Cina.”

Saya berkata: “Iya.”

Waktu itu berlalu. Ketika saya menemui beliau kembali, saya berkata, “Mengapa Anda membisikkan di telinga saya? Beliau berkata:

“Lantas, kau ingin aku menyampaikannya ke telapak kakimu?”

Saya berkata, “Tidak. Maksud saya; coba Anda menyampaikannya saat sepi.”

Beliau berkata:

“Iya. Aku telah memangilmu dari keramaian dan menyampaikan kepadamu di saat sepi.”

Imam Khomeini merasa senang dengan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana seperti pergi salat Jumat dan ikut serta demonstrasi. Ketika beliau melihat kami pergi salat Jumat. Dengan mudah kami bisa menyaksikan kerelaan di wajahnya. Begitu juga ketika ada demonstrasi, secara tidak langsung mengatakan:

“Kalian [kan] besok mau pergi.”

Selama hidupnya, beliau hanya sekali atau dua kali menasihati kami. Sekali ketika pernikahan putri kami. Ketika beliau menyampaikan khutbah nikah, kami berada di sisi beliau dan Imam Khomeini menasihati putri saya seraya berkata:

“Ketika suamimu pulang dan marah dan bahkan dia menuduhmu dan berbicara tidak sesuai kenyataan. Jangan katakan apapun padanya. Bersabarlah. Ketika kemarahannya sudah redah, katakan, ucapanmu adalah tuduhan [fitnah].”

Kemudian menghadap kepada pengantin pria dan berkata:

“Kamu juga harus demikian. Ketika kamu pulang ke rumah dan istrimu marah, maka pada saat itu kamu jangan menegurnya.”

Ketika pernikahan putri saudariku; putri Agha Eshraghi dan menantunya Agha Khatami. Beliau juga menasihati. Tentunya, karena pengantin lelaki bukan mahram kami, dia tidak ada. Imam Khomeini berkata:

“Kamu siapkan rumah sedemikian rupa dan kamu sendiri harus sedemikian rupa sehingga ketika suami teringat ingin kembali ke rumah, dia datang dengan senang dan semangat, bukan dengan ketidaksukaan.”

Ibu saya mengatakan, “Suatu hari saya berkata kepada Imam Khomeini, kemana saja Anda pergi saya ikut. Apa saja yang terjadi pada Anda, saya bertahan menyertai Anda. Namun sekarang saya menginginkan sesuatu dari Anda. Bila Anda masuk ke surga maka bawalah saya bersama Anda. Mengingat Imam Khomeini bukan orang yang suka basa basi, beliau berkata:

“Tidak. Sampai di mana saja Anda menyertai saya, saya mengucapkan terima kasih. Namun di sana [surga] setiap orang adalah dirinya sendiri dan amalnya. Di sana saya tidak bisa [membawamu].”

Imam Khomeini membuat teh sendiri. Beliau juga yang mencuci sendiri ceret dan gelasnya. Bahkan ketika kami menjenguk beliau, beliau yang membuatkan teh dan menyuguhkan kepada kami. Imam Khomeini dengan kedudukan dan usianya, beliau tidak pernah mengatakan kepada saya yang sebagai anak kecilnya, “Bangkit dan kerjaan pekerjaan fulan atau ambilkan fulan sesuatu.”

Selain malam-malam bulan Ramadhan, bila Imam Khomeini mau berpuasa dan yang lain tidak berpuasa, beliau tidak akan membangunkan yang lain untuk urusan sahur. Dengan pelan beliau bangun dari tidur. Kemudian menyalakan samavar [tempat merebus air] dan membuat teh. Makan sahur Imam Khomeini hanya sebutir telur.

Meski Imam Khomeini tidak pernah menasihati, namun dengan tegurannya tepat waktunya dan dengan perilakunya beliau membimbing kami. Suatu hari saya mendengar bahwa salah satu pembantu rumah Imam Khomeini dibawa ke penjara karena satu kesalahan. Beberapa hari berikutnya saudari saya bertanya kepada saya tentang orang tersebut. Saya bilang, dia sudah tidak ada. Dan saya menceritakan kejadian yang ada. Waktu itu cerita saya belum selesai, Imam Khomeini berkata:

“Ini adalah Ghibah.”

Saya berkata, “Perbuatan dia terang-terangan dan dia sekarang di penjara.”

Imam Khomeini berkata: "Tidak. Dia berbuat sesuatu. Dan kewajiban mereka adalah memasukkannya ke dalam penjara. Tapi kamu tidak boleh menjatuhkan harga dirinya di tempat lain.”

Sekali waktu beliau memanggil semua anggota rumah dan berkata:

“Saya berencana untuk menyampaikan sesuatu ketika kalian semua berkumpul.”

Kemudian berkata: “Kalian tahu bahwa ghibah hukumnya haram?”

Kami menjawab, “Iya.

Beliau berkata: “Kalian tahu bahwa betapa besarnya dosa membunuh seseorang dengan sengaja?”

Kami menjawab, “Iya.

Beliau berkata: “Ghibah [dosanya] lebih besar.”

Kemudian berkata:

“Kalian tahu bahwa betapa besarnya doa perbuatan di luar syariat yang bertentangan dengan harga diri [zina]?”

Kami menjawab, “Iya.

Beliau berkata: “Ghibah [dosanya] lebih besar.”

Imam senantiasa memperhatikan perilaku dan kehidupan kami. Ketika hari libur beliau melihat saya belajar, beliau berkata:

“Kamu tidak akan sukses, karena waktunya istirahat, kamu harus istirahat.”

Masalah ini sangat serius disampaikan kepada putra saya di depan saya seraya berkata:

“Saya tidak menggunakan satu jam pun waktu istirahat saya untuk belajar dan tidak menggunakan satu jam pun waktu belajar saya untuk istirahat.”

Yakni segala sesuatu ada waktunya sendiri. Beliau juga menasihati putra saya seraya berkata:

“Kamu harus punya kesempatan istirahat. Kalau tidak punya, maka kamu tidak bisa menyiapkan diri untuk belajar.” (Emi Nur Hayati) 

Dikutip dari penuturan Fahimeh [Zahra] Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.

Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh

Read 2857 times