Perjalanan Hidup Sayyidah Zainab Binti Jash RA

Rate this item
(0 votes)
Perjalanan Hidup Sayyidah Zainab Binti Jash RA

 

Sayyidah Zainab Ra adalah salah satu istri Rasulullah Saw. Ayahnya bernama Jahsh bin Ri’ab dan ibunya Umaymah Binti Abdul Muthalib, Bibi Rasululullah Saw. Salah satu peristiwa yang terjadi pada tahun kelima Hijriah adalah pernikahan Rasulullah Saw dengan Sayyidah Zainab binti Jahsh.

Dalam perihal pernikahan Rasulullah saw dengan Ummul Mu’minin Sayyidah Zainab binti Jahsh, seyogyanya dijelaskan terlebih dahulu peristiwa pernikahan Sayyidah Zainab dengan suami pertamanya, Zaid bin Haritsah Ra.

Dikatakan bahwa  laki-laki kedua yang beriman kepada Rasulullah Saw adalah Zaid bin Haritsah Ra. Beberapa tahun sebelum hari diutusnya Rasulullah Saw  beliau datang ke rumah Ummul Mu’minin Sayyidah Khadijah Ra dalam keadaan budak dan Rasulullah Saw mengambilnya dari Sayyidah Khadijah Ra dan memerdekakannya dan setelah itu ia menjadi anak angkatnya Rasululullah Saw dan masyarakat Mekkah pun setelah itu menamainya Zaid bin Muhammad.

PERISTIWA PENAWANAN DAN PERBUDAKAN ZAID

Dia adalah seorang pemuda dari kabilah Kalb dan karena pertengkaran antara kabilah tersebut (Kalb) dengan salah satu kabilah arab lainnya, mereka menawannya dan di pasar Ukadzh ia diperjualkan sebagai budak lalu Hakim bin Huzam-keponakan Sayyidah Khadijah Ra- sesuai dengan permintaan Sayyidah Khadijah untuk membeli seorang budak, membeli Zaid dan membawanya ke Mekkah ke hadapan Sayyidah Khadijah Ra. Setelah Rasulullah saw menyunting Sayyidah Khadijah, Beliau menyukai Zaid sampai-sampai memanggilnya “Zaidul Hubb” (Zaid tercinta). Sayyidah Khadijah melihat rasa suka Rasulullah saw tersebut sehingga memberikannya kepada Rasulullah Saw.

Zaman berlalu hingga sekelompok dari kabilah Bani Kalb melaksanakan Haji dan kemudian melihat Zaid dan mengenalinya, Zaid pun mengenali mereka dan berkata: “ aku tahu ayah dan ibuku bersedih dan panik karena ketiadaanku dan dia bersya’ir untuk keselamatan dan keridhoannya dan memuji (beryukur) kepada Allah Swt karena telah tinggal di rumah Rasulullah Saw yang mulia.  

فانّی بحمد اللّه ِ فی خیرٍ اُسْرَةٍ کرامٍ مَعَدٍّ کابرا بعد کابر

“Sesungguhnya aku memuji Allah Swt telah berada dalam kebaikan keluarga mulia…”

Rombongan Bani Kalb menyampaikan kabar kepada ayahnya Zaid bahwa ia masih hidup dengan tepat waktu.  Ayah dan pamannya Zaid mendatangi Rasulullah Saw untuk membayar Fidyah dan memerdekakan Zaid dan berkata: “Wahai putra Abdul Muthalib! Wahai putra Hashim! Wahai putra pemimpin kaumnya! Kami datang untuk membicarakan perihal anak kami, kasihinilah kami, berbaiklah kepada kami, ambillah fidyah dan merdekakanlah dia”. Nabi Saw bertanya:” Siapa dia?”. Mereka menjawab: “Zaid bin Haritsah”. Rasululullah saw berkata: “mengapa tidak membicarakan permintaan lain?”, mereka bertanya: “permintaan apa?”, Rasul berkata: “Panggillah dia dan berikanlah pilihan padanya, jika dia memilih kalian, maka dia adalah milik kalian dan jika dia memilihku, aku bersumpah demi Allah Swt, barang siapa yang memilihku, aku tidak akan berurusan dengan orang yang mau mengambilnya dengan cara apapun dan dengan siapapun. Mereka berkata: “Kau berbicara dengan adil kepada kami dan engkau berbuat baik kepada kami”.

Kemudian, Nabi Saw memanggil Zaid dan berkata: “Kau mengenali mereka?”. Dia menjawab: “Iya, mereka adalah ayah dan pamanku”. Nabi saw berkata:”Aku sebagaimana yang kau kenal dan teman dudukku yang kau lihat, aku atau mereka yang kau pilih?”.  Zaid menjawab: “aku tidak mau mereka. Aku tidak akan memilih orang lain selain kamu. Kamu adalah pengganti ayah dan pamanku”. Ayah dan paman Zaid berkata: “ Wahai Zaid! Kamu tak tahu malu, apakah kamu lebih memilih menjadi budak daripada merdeka dan daripada ayah, paman dan keluargamu?”. Zaid berkata: “Iya, Orang ini memiliki keutamaan-keutamaan yang aku tak akan  memilih orang kecuali dia”. Ketika Rasululullah Saw melihat hal tersebut, dia membawanya ke Hijir Isma’il dan mengumumkan: “Wahai orang-orang yang hadir di sini! Jadilah saksi bahwa Zaid adalah anakku, dia mewarisiku dan aku mewarisinya. Ayah dan pamannya melihat hal tersebut, mereka bahagia dan mereka pun kembali ke tanah kelahiran mereka dengan tenang tanpa memikirkan hal ini lagi.

Setelah Nabi Muhammad saw diutus sebagai Nabi dan Rasul dan bebrapa tahun dari peristiwa tersebut telah berlalu sesuai dengan Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 6-5:

ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (٥) النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا (٦)

“Panggilah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(5). Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Demikianlah telah tertulis dalam kitab (Allah)(6)”(QS. Al-Ahzab:5-6)

Hukum tersebut dinashkan dan ditetapkan bahwa anak-anak angkat dipanggil dengan nama-nama orang tua asli mereka. Dan setelah itu Zaid pun dipanggil Zaid bin Haritsah.

PERNIKAHAN ZAID BIN HARITSAH DENGAN ZAINAB BINTI JAHSH

Salah satu bentuk cinta Rasulullah Saw kepada Zaid adalah dengan memilihkan Zaid seorang istri, oleh karena itu Beliau datang ke hadapan Zainab binti Jahsh. Pada mulanya Zainab dan keluarganya bahagia karena mengira Rasululullah Saw datang untuk melamar atas dirinya sendiri dan siap menjawab kesediaan, tetapi pada saat mereka tahu bahwa lamaran ini untuk Zaid bin Haritsah, mereka menyesal dan menyampaikan pesan kepada Rasulullah Saw bahwa pernikahan ini melanggar adat keluarga mereka dan  karenanya mereka tidak bersedia menyambung hubungan tersebut. Pada saat surat Al-Ahzab ayat 36 turun:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)

“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, Dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata”(QS. Al-Ahzab:36)

 

Kemudian Zainab mengumumkan kesediaannya dan kemudian menikah dengan Zaid.

Selang beberapa waktu, masalah di antara mereka berdua berdatangan. Zaid mengadukan hal ini kepada Rasul Saw dan menginginkan perceraian dengan Zainab, tetapi Nabi Saw menyuruhnya untuk bersabar dan bersabda:” pertahankanlah istrimu”. 

اَن زیدا جاء یشکوا زوجتُهُ فَجَعَلَ النَبی یقُولُ: اِتَقِ الله وَ اَمسِک عَلیک زَوجک

Bahwasanya Zaid mengadu kepada Nabi saw perihal istrinya, kemudian Rasul bersabda: “Bertakwalah kepada Allah Swt dan pertahankanlah istrimu”

Beberapa waktu kemudian, Zaid mendatangi Rasululullah saw lagi dan mengabarkan bahwa hubungan dengan istrinya sudah hampir hancur dan keduanya sudah mendekati perceraian. Pada saat demikian wahyu turun dan Allah Swt berfirman:

“وَ اِذ تَقول لِلَذی اَنعَمَ اللهُ عَلَیهِ وَ اَنعَمت عَلَیهِ اَمسِک عَلَیکَ زَوجَکَ وَ اتَقِ اللهَ وَ تُخفی فی نَفسِکَ ما اللهُ مُبدیهِ وَ تَخشَی النَاسَ وَ اللهُ اَحَقُ اَن تَخشَهُ فَلَمَا قَضَی زَید مِنهَا وَطَرا زَوَجنَکَهَا لِکَی لایَکونَ عَلَی المومنینَ حَرَج فی اَزوَاجِ اَدعِیائِهِم اِذا قَضَوا مِنهُنَ وَطَرا وَکان اَمرُ اللهِ مَفعُولا”

“Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap isterinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS. Al-Ahzab:37)

 

Lalu apa yang membuat Rasul menyembunyikannya karena takut kepada masyarakat? Allah Swt khendak menetapkan suatu hukum dan mengajarkan cara lain kepada masyarkat yang hukumnya berlainan dan tidak  sama dengan hukum dan adat orang jahiliyyah. Jika orang-orang Arab mengangkat seorang anak, mereka memberikan nasab kepada anak tersebut dan tidak menisbatkan kepada orang tua aslinya sebagaimana yang tertuang dalam surat Al-Ahzab ayat 40:

ما کان مُحَمَد اَبا اَحَد مِن رِجَالِکُم وَلَکِن رَسُولَ اللهِ وَ خَاتَمَ النَبیینَ وَ کانَ اللهُ بِکُلِ شَی ء عَلیمَا

“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”

 

Maka Allah swt khendak mengakhiri adat tersebut dan khendak  membangun hukum dan adat baru dalam Islam. Bagaimana pun Akhirnya Zainab dan Zaid bercerai.

PERNIKAHAN RASULULLAH SAW DENGAN ZAINAB BINTI JAHSH

Allah swt bersabda kepada Rasulullah Saw:  “Zainab menikah dengan seorang yang memiliki derajat yang lebih rendah darinya karena untuk keridhoan Allah Swt., menentang kebiasaan orang-orang Arab dan kehendak batin dia mau menikah dengannya; Allah Swt akan memuliakannya dan menjadikannya istrimu”

Sayyidah Zainab yang merupakan salah satu dari kaum muhajirin dan dari keluarga yang terhormat di Mekkah, setelah diceraikan pada tahun ketiga atau kelima Hijriyyah,  sesuai dengan wahyu Illahi, pada umur 35 tahun dia menikah dengan Rasulullah Saw, untuk mensyukuri ni’mat yang Allah berikan, dia berpuasa selama dua bulan.

Setelah menikah dengan Rasulullah Saw, Sayyidah Zainab membanggakan dirinya dan beberapa kali berbicara dengan istri-istri Rasululullah saw yang lain: “aku dengan kalian berbeda karena kalian dinikahkan dengan Rasulullah Saw oleh keluarga kalian, tetapi saya dinikahkan dengan Rasulullah Saw oleh Allah swt dari atas langit ketujuh”

فکانت تفخر علی ازواج النبی "ص" و تقول: زوجکن اهالیکن و زوجنی الله من فوق السموات

“Dan dia berbangga atas pernikahannya dengan Nabi saw dan berkata: pernikahan kalian oleh keluarga kalian, dan pernikahanku oleh Allah Swt dari atas langit-langit”

Sayyidah Aisyah berkata: “tidak ada istri-istri Nabi Saw yang berkompetensi denganku kecuali Zainab”

Rasululllah Saw mengenalkan istrinya itu “اَواه” yang bermakna orang yang khusyu’ dan rendah hati.

Sayyidah Aisyah perihal tersebut bersabda:

" ما رایتُ امراه قط خیرا فی الدین من زینب ، و اتقی لله، و اصدق حدیثا، و اوصَلُ للرحم، و اعظم امانه و صدقه "

“Aku tak melihat seorang wanita pun yang lebih beragama, lebih bertakwa kepada Allah Swt, lebih jujur, lebih bersilaturahmi, lebih dipercaya, lebih banyak bersedekah (selain Zainab)”

Sayyidah Zainab selain wanita yang sholeh dan bertakwa, dia juga sangat kerja keras dan aktif, dia selalu mewarnai kulit-kulit, menjahit pakaian, dan terkenal juga dia sering berpuasa dan sholat malam.

Pekerjaan yang menurutnya baik, dia kerjakan dengan tangannya sendiri dan menyedekahkan hartanya di jalan Allah kepada Fakir miskin dan yang membutuhkan, dan yang lebih penting dari semuanya adalah Sayiidah Zainab perawi Hadits dan menukilkan hadits dari Rasulullah saw sekitar sebelah ribu hadits.

KEHIDUPAN SAYYIDAH ZAINAB SETELAH WAFATNYA NABI MUHAMMAD SAW

Dari keutamaan Sayyidah Zainab di antara istri-istri Nabi yang lainnya adalah dia memiliki harta yang paling banyak kedua setelah Sayyidah Khadijah dan selalu menginfakkan dan memberikan hartanya kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan.

Allah Swt memudahkan keadaan Sayyidah Zainab dengan harta yang diberikan kepada keluarga Sayyidah Zainab, selalu dan tanpa terputus Dia berikan. Walaupun dia selalu menguliti hewan, menganyam karpet dan menjualnya kemudian uangnya disedekahkan; dengan istri-istri Nabi Saw yang lainnya pun selalu berkata yang baik.

Suatu hari Rasulullah Saw bersabda pada saat sedang duduk-duduk dengan para istrinya: “siapapun yang tangannya lebih panjang (murah hati), akan lebih cepat menyusulku”

 

.

Dari perkataan tadi, mereka menyimpulkannya secara zhahir,  mereka memanjangkan tangan mereka sampai melihat tangan siapa yang paling panjang. Tetapi kemudian mereka paham maksud Rasulullah saw tersebut adalah  siapa yang paling banyak memberikan hartanya di jalan Allah Swt yang tiada dari mereka kecuali Sayyidah Zainab binti Jahsh.

Sayyidah Zainab setelah wafatnya Rasulullah Saw masih tetap bertakwa dan selalu menolong orang-orang fakir dan yang membutuhkan. Tentang kedermawanan Sayyidah Zainab disebutkan bahwa pada zaman khalifah Umar bin Khattab Ra, dari bagian harta yang memang diberikan kepada istri-istri Rasulullah Saw dia tak pernah gunakan, kecuali dua belas ribu dirham pada setiap tahunnya yang dia dapaat dari bagian tersebut dia bagikan kepada para yatim dan kemudian berdo’a “jangan karuniakanlah lagi saya harta pada umur saya, karena harta adalah fitnah”

Istri-istri Rasulullah Saw setelah wafatnya sayyidah Zainab yang terjadi pada tahun 20 Hijriyah pada umur 53 tahun baru paham bahwasanya Zainab paling dermawan dari semuanya karena dia tidak meninggalkan satu dinar dan dirham pun dan semua hartanya telah dia sedekahkan di jalan Allah Swt.

Sayyidah Zainab binti Jahsh dimakamkan di pemakaman Baqi’.

 

 

 

 

 

 

 

Read 1409 times
More in this category: « Sejarah Hidup Ummu Salamah