
کمالوندی
Sheikh Murtadha al-Ansari
Sheikh Murtadha al-Ansari salah satu ulama fikih dan Syiah terkenal abad 13 H. Melalui inovasinya, ilmu usul fiqih dan fikih Syiah memasuki babak baru. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan Khatam al-Fuqaha wal Mujtahidin serta Sheikh Adham.
Sheikh Murtadha al-Ansari salah satu ulama terkenal Syiah abad 13 H. Salah satu karya terkenal marja besar Syiah ini adalah kitab al-Makasib dan Rasail yang kini menjadi pelajaran wajib di seminari (Hauzah Ilmiah) Syiah.
Sheikh Murtadha al-Ansari dilahirkan pada tahun 1214 H di kota Dezful, salah satu kota di selatan Iran. Mengingat kelahirannya bertepatan dengan Hari Raya Ghadir Khum, dan untuk menghormati Imam Ali as, maka ia diberi nama Murtadha. Ayahnya bernama Mohammad Amin al-Ansari, salah satu ulama terkenal dan keturunan Jabir bin Abdullah al-Ansari, sahabat terkenal Rasulullah Saw, dan ibunya juga muslimah yang bertakwa dan dari keluarga ulama serta taat agama.
Sheikh Murtadha Ansari
Sebelum kelahiran Murtadha al-Ansari, ibunya dalam mimpinya bertemu dengan Imam Shadiq as dan beliau memberi hadiah al-Quran kepadanya. Ia kemudian menceritakan mimpinya tersebut kepada salah satu anak ulama terkenal. Oleh karena itu, ia kemudian selalu menyusui sang anak ini dalam kondisi suci dan dengan wudhu, serta berusaha keras dalam mendidiknya.
Murtadha mempelajari ajaran Al -Qur'an dan Islam sejak kanak-kanak dan menjadi master dalam ilmu fikih dan usul fiqih sebelum usia dua puluh dan pergi ke Karbala pada saat yang sama. Dia sekarang adalah pemuda yang anggun dan berbakat karena bakatnya dalam ilmu pengetahuan, dan di Irak menjadi perhatian ulama besar seperti Allamah Mohammad Mujahid, pemimpin Hauzah Ilmiah Karbala, dan ia menetap di Karbala atas permintaan ulama besar ini untuk melanjutkan pendidikannya.
Sheikh Murtadha di daerah Karbala belajar di bawah bimbingan guru besar seperti Allamah Mujahid, Sharif Mazandarani dan Sheikh Musa Kashf ul-Ghita, dan saat itu, meski ia telah menjadi Mujtahid, ia tetap kembali ke Iran untuk belajar dari ulama Iran yang hebat. Dia pergi ke Kashan dan menghadiri kelas Mullah Ahmad al-Naraqi dan kemudian pergi ke Isfahan dan menghadiri kelas Hujjatul Islam Shafti.
Sheikh Murtadha al-Ansari, rela menderita dan jauh dari keluarga demi menuntut ilmu Ahul Bait as dan pindah dari satu kota ke kota lain. Dan di mana pun ia menemukan ulama yang mumpuni, ia pun rela menghadiri pelajarannya, dan berkat kesalehan dan kecerdasan, Sheikh Murtadha mencapai posisi tinggi sampai ia tidak lagi menemukan guru yang melebihi kemampuannya di hauzah ilmiah (seminari).
Setelah Sheikh Murtadha al-Ansari setelah menguasai pelajaran guru besar Hauzah Ilmiah, ia kembali ke Dezful dan mulai mengajar dan mengepalai seminari. Tapi jiwanya yang besar tidak mau tenang, Sheikh Murtadha kembali memutuskan untuk kembali ke Irak. Kali ini, ibu dari Sheikh, yang telah merindukan anaknya selama bertahun-tahun, menyatakan ketidakpuasan dan memintanya untuk tinggal di Dezful. Sheikh tinggal bersama ibunya untuk sementara waktu, tetapi tugas yang dia rasakan di bahunya telah mengambil darinya. Sheikh Murtadha tahu posisi ilmiah dan kemampuan serta bakat yang dimilikinya dalam fikih, usul fiqih dan ilmu agama lainnya adalah berkah dari Tuhan dan ia memikul tugas berat karena berkah ini, tugas untuk menjaga aliran dan mazhab Ahlul Bait as. Oleh karena itu, ia berbicara dengan ibunya dan akhirnya ia melakukan istikharah.
Sheikh Ansari mengambil al-Quran dan dengan yang diinginkan ibunya, ia membuka Kitab Suci ini. Jawaban dari istikharah tersebut adalah ayat ini:
وَ لا تَخافِی وَ لا تَحْزَنِی إِنَّا رَادُّوهُ إِلَیک وَ جاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِین
Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. (QS: 28: 7)
Ayat ini ditujukan kepada ibu Nabi Musa as, dan berkaitan dengan pengiriman anaknya ke laut. Dengan demikian ayat ini membuat ibu Sheikh Ansari tenang. Ia seorang perempuan mukminah dan menyakini bahwa jauh dari anak karena ia ingin mendapatkan keridhaan Tuhan. Sheikh Ansari tahun 1249 H saat berusia 35 tahun, untuk selamanya hijrah ke Irak dan melanjutkan pelajarannya.
Selama masa ini, keutamaan dan kesempurnaannya untuk para pelajar dan guru besar besar seminari Syiah di Iran dan Irak telah diklarifikasi. Pada bulan Rajab 1266 H, ketika Sahib Jawahir, marja dan ulama besar Syiah sakit, dan di jam-jam terakhir usianya, ia mengundang ulama Najaf. Para ulama dan mujtahid tiba di hadapan Sahib Jawahir. Ketika Sahib Jawahir tidak melihat Sheikh Murtadha dalam kelompok ulama ini, dia mengirim seseorang untuk mencarinya.
Ternyata saat itu, Sheikh Murtadha tengah berada di makam Imam Ali as dan bertawasul kepadanya dan berdoa supaya sang guru besar ini tidak melimpahkan tugas marja Syiah kepadanya. Sheikh Murtadha kemudian mengunjungi gurunya yang tengah sakit ini. Dalam pertemuan tersebut, Sahib Jawahir di tengah para ulama dan mujtahid Syiah menoleh ke Sheikh Murtadha dan berkata, "Saya akan menyerahkan kepadamu urusan agama yang berhubungan dengan saya, dan ini adalah amanat Tuhan yang dipercayakan kepadamu. Setelah saya, Kamu akan menjadi marja taqlid Syiah. "
Dengan demikian, dengan persetujuan Sahib Jawahir, yang memiliki kebesaran di antara para ulama Syiah, Sheikh Ansari menjadi ketua seminari Najaf dan menjadi marja Syiah selama 15 tahun dari 1266 H hingga 1281 H.
Sheikh Ansari memiliki banyak karya tulis, di mana setiap ulama dan peniliti Syiah wajib untuk mempelajari karya ini. Karya paling terkenal Sheikh Ansari adalah kitab al-Makasib dan Rasail. Kitab al-Makasib menjadi kitab terpenting fikih Syiah di bidang muamalah, dan menjadi mata pelajaran wajib Hauzah Ilmiah Syiah sejak penulisan hingga saat ini. Dalam kitab ini, penulis membahas bab muamalah dengan argumentatif, dan pendapat para ulama fikih sebelumnya dikaji dan dianalisa.
Sheikh Ansari dalam bukunya al-Makasib membahas tiga isu utama;
1. Makasib Muharamah (yakni perdagangan dan muamalah yang diharamkan dalam Islam)
2. Bai' atau pembahasan jual beli.
3. Khiyarat (Hak yang diberikan kepada pihak yang bertansaksi atau bermuamalah untuk membatalkan muamalahnya).
Di akhir pembahasan kitab Makasib juga dibahas bab lain seperti keadilan, warisan, pernikahan dan lainnya. Ulama terkenal seperti Akhund Khurasani, Mirza Mohammad Taqi Shirazi, Muhaqiq Naini dan lainnya juga menulis syarah atau catatan untuk kitab ini. Karya penting lain Sheikh Ansari adalah Faraid al-Usul atau Rasail yang mencakup pembahasan logis (aqli) Usul Fiqih. Kitab ini juga termasuk mata pelajaran penting seminari Syiah dan banyak ulama Usul Fiqih menulis syarah dan catatan untuk kitab ini.
Sheikh Ansari memiliki kelas yang ramai dihadiri para santri, dan dikutip bahwa setiap pelajarannya dihadiri sekitar 500 orang, dan ada yang menyebutkan bahwa santri yang belajar langsung darinya sekitar seribu orang, di antaranya adalah karakter terkemuka yang menonjol dan setiap dari mereka menjadi pemimpin komunitas Syiah di berbagai sudut dunia Syiah. Di antara murid tersebut adalah Ayatullah Mirza Shirazi, Ayatullah Kooh Kamari Tabrizi, guru besar Hauzah Ilmiah Najaf, Ayatullah Mohammad Kazem Khorasani Shahib Kifayah al-Usul, Sayid Jamaluddin Asadabadi pejuang anti-kolonialisme dan pendiri Persatuan Islam.
Lembaran emas dari kehidupan Sheikh Murtadha Ansari tidak terbatas pada ketinggian ilmu dan potensi besarnya di bidang ilmu fikih dan usul fiqih. Membahas sisi kehidpan dan kepribadian besar hamba saleh yang mewakafkan usinya selama bertahun-tahun untuk mempelajari dan menyebarkan ajaran Islam murni Muhammadi serta ajaran Ahlul Bait as tidak dapat diringkas dalam beberapa program saja. Kita membutuhkan kesempatan lebih untuk mengkaji sosok ulama besar ini.
Ayatullah Sheikh Abu al-Hasan Mohammad Baqir Qa'ini Birjandi
Abad 14 Hijriah dapat disebut sebagai masa keemasan ilmu pengetahuan dan maraknya Hauzah Ilmiah di dunia Syiah. Di masa ini, banyak ulama dan tokoh terkenal di Iran dan berbagai wilayah Islam lainnya.
Di antara tokoh terkenal di abad ini adalah Ayatullah Sheikh Abu al-Hasan Mohammad Baqir Qa'ini Birjandi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Muhaddits Birjandi, seorang ahli fikih, sastra, syair dan teologi besar.
Mohammad Baqir dilahirkan pada Rabiul Awwal tahun 1276 H atau bertepatan dengan tahun 1238 Hijriah Syamsiah di desa Gazar, kota Birjand, Khorasan selatan saat ini. Keluarganya adalah orang berpengatuan, ahli ilmu, terhormat, penyair dan ahli sastra. Kakeknya baik dari ayah maupun ibu adalah ulama dan ahli zuhud yang senantiasa melawan kezaliman dan tempat berlindung bagi orang-orang tertindas.
Ayah Mohammad Hasan Qa'ani adalah salah satu ulama terkenal di daerah Birjand dan guru dari banyak ulama. Kakeknya, Mulla Muhammad Baqir termasuk salah satu murid Allamah Majlisi dan ia memiliki perpustakaan besar, dan terbakar dalam kerusuhan di akhir masa pemerintahan Dinasti Safawiyah serta banyak kitab yang berharga dirampok.
Allamah belajar di bawah bimbingan kakeknya hingga berusia 12 tahun, dan ia belajar sastra dan ilmu-ilmu dasar darinya. Kemudian Allamah belajar ilmu lanjutan di sekolah Ja'fariyah Qa'in. Kira-kira dua setengah tahun setelah Allamah berada di sekolah ini, suatu hari salah satu pejabat pemerintah datang ke sekolah Ja'fariayh dan meminta guru sekolah ini untuk menyelesaikan sejumlah masalah pajak, tapi tidak ada yang mampu memberi jawaban yang memuaskan. Tapi hanya Sheikh Mohammad Baqir yang masih belia mampu memberi jawaban yang memuaskan. Hal ini membuatnya dikirim ke Madrasah Mirza Ja'far di kota Mashhad.
Mohammad Baqir Qa'ani selama enam tahun penuh belajar fikih, usul fikih, filsafat dan teologi (kalam) di bahwa bimbingan ulama besar Mashad, dan di usia 20 tahun beliau menuju kota Najaf, Irak untuk melanjutkan belajar di Hauzah Ilmiah Najaf. Ia belajar di Hauzah Ilmiah Najaf selama empat tahun dan di tahun 1300 H, ia pergi ke Samarra dan belajar di bawah bimbingan Ayatullah Mirza Shirazi, ulama dan marja Syiah waktu itu selama enam tahun.
Allamah Mohammad Baqir Birjandi
Mohammad Baqir Qa'ani atas instruksi gurunya, Mirza Shirazi, menulis kitab Watsiqah al-Fuqaha (وثیقة الفقهاء). Setelah menyelesaikan jilid pertama, ia menyerahkannya kepada sang guru. Mirza Shirazi mempelajari buku tersebut selama satu hingga dua bulan. Kemudian Mirza Shirazi sangat puas dengan karya muridnya ini dan mendorongnya untuk melanjutkan karyanya tersebut.
Ketika berusia 30 tahun, Mohammad Baqir Qa'ani menyelesaikan pelajarannya di Irak dan ia melakukan perjalanan ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian ia kembali ke kota kelahirannya, Birjand dan menikah. Di kota Birjand, tokoh dan pemuka agama memintanya untuk manjadi hakim syar'i dan menjadi rujukan masyarakat dalam menyelesaikan masalah mereka dan penerimaan khumus serta hal-hal lain. Akhirnya beliau menerima tanggung jawab ini setelah mendapat ijin dari gurunya.
Pada hari-hari pertama kedatangan Allamah di Birjand, Amir Alam, penguasa Birjand, mengundangnya ke sebuah pertemuan. Mullah Ibrahim Hanafi, salah satu ulama Sunni, juga hadir dalam majelis ini. Ia yang dikenal banyak bicara dan berdebat serta selalu terlibat perdebatan dengan ulama Syiah, kali ini berdebat dengan Allamah Birjandi tentang masalah Imamah. Perdebatan ini diakhiri dengan kemenangan Allamah atas Mullah Ibrahim dan peristiwa ini membuat Allamah terkenal di kalangan masyarakat.
Madrasah Mirza Ja'afr di Mashad
Setelah itu, semua orang di wilayah Qa'in dan Birjand bahkan orang Afghanistan, dari Sunni Hanafi dan Syiah, merujuknya dalam masalah agama, dan dia mengeluarkan fatwa tersendiri menurut agama masing-masing. Kejadian ini menyebabkan Allamah Birjandi diberi gelar "Mufti al-Fariqain" (Mufti dua kelompok) dalam pidato resmi para ulama Herat dan pemerintah Afghanistan. Sejak itu, pendapat dan keputusannya menjadi keputusan akhir tentang banyak masalah sosial.
Hampir tiga tahun berlalu sejak kehadiran Allamah di Birjand, ketika Amir Alam, penguasa Birjand, meninggal dunia, dan kedua putranya berselisih tentang pengambilalihan kekuasaan sang ayah. Masing-masing pendukung mencoba menambah api perselisihan ini untuk mencapai kepentingan mereka sendiri, perselisihan ini akan berubah menjadi perang skala penuh di wilayah Qa'inat dan Sistan, namun mediasi Allamah Mohammad Baqir Birjandi menyebabkan perselisihan berakhir dan perdamaian dan keamanan ke daerah pulih.
Allamah Mohammad Baqir Birjandi, selain mengajar dan melatih murid-muridnya setiap hari, juga aktif menulis buku-buku tentang mata pelajaran penting seperti fikih dan usul fikih, sejarah, tafsir, hadits, teologi dan sastra, hingga sekitar 62 karyanya tersisa, manuskrip Allameh sendiri tersedia di perpustakaan mendiang Ayatullah al-Udzma Marashi Najafi, salah satu muridnya, di kota suci Qom.
Salah satu kitab penting dan terkenal yang ditulis oleh Allamah Mohammad Baqir Birjandi adalah kitab کِبْریت اَحْمَر فی شَرائط الْمَنْبَر. Kitab ini membahas tata cara menyampaikan khutbah dan wejangan, manfaat dan posisi mimbar serta keutamaan wejangan dan nasihat. Poin lain yang disebutkan beliau di bukunya ini dan sangat ditekankan adalah bukan sembarang orang berhak untuk duduk di mimbar dan menyampaikan wejangan kepada masyarakat. Beliau menyebutkan 20 poin dan karakteristik bagi mereka yang ingin duduk di mimbar dan memberi nasehat kepada orang lain.
Di bagian lain buku ini, Allamah Mohammad Baqir Birjandi berjuang melawan distorsi Asyura. Di bagian ini, dia menyelidiki Muqatil dan mengkritik beberapa distorsi Asyura. Buku ini telah diterbitkan berkali-kali di Iran dan India dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu.
Almarhum Allamah Birjandi, selain posisinya yang tinggi dalam ilmu-ilmu Islam, ia juga seorang sastrawan yang menulis puisi dalam bahasa Arab dan Persia. Puisi-puisinya yang disusun oleh putranya, Ayatullah Sheikh Mohammad Hossein Ayati Ziyaei, berjumlah sekitar dua ribu bait. Nama belakangnya dalam puisi-puisi ini terkadang "Safi" dan terkadang "Aasi".
Allameh Birjandi sangat percaya bahwa setiap orang harus siap untuk hari Jihad, sehingga wajib mempelajari teknik militer. Dia sendiri akan mengambil senapannya setiap hari dan pergi ke padang pasir bersama sekelompok tetua kota untuk berlatih menembak dan bertarung. Dia bahkan membayar beberapa pemuda dari dana zakat dan agama untuk menjadi ahli menembak dan mengajar orang lain.
Perpustakaan Ayatullah Marashi Najafi di Qom
Memiliki pendapat seperti itu dan, yang lebih penting, berpegang pada pendapat ini dalam praktik, bisa sangat berbahaya pada saat itu, karena Allamah Birjandi hidup dalam periode sejarah yang bertepatan dengan banyaknya orang asing di Iran dan arogansi mereka karena pemborosan raja-raja Qajar membuat warga Iran menderita kekacauan politik dan ekonomi dan dihadapkan pada peradangan yang disebabkan oleh kemunduran kerajaan Qajar.
Dalam situasi sosial seperti ini, persiapan kaum muda untuk berperang dan berjihad oleh seorang ulama berpengaruh bisa menjadi bahaya besar bagi mereka yang berkuasa. Pemberitaan aksi Allamah Birjandi ini dimuat dalam beberapa terbitan surat kabar "Habl Al Matin", dan hal ini menyebabkan dia berada di bawah pelindung (baju besi) antara penguasa dan pejabat pemerintah.
Akhirnya Allamah Mohammad Baqir Birjanjdi pada malam Jumat 14 Zulhijjah 1352 H meninggal dunia pada usia 76 tahun. Jenazah beliau dimandikan di Madrasah Ma'sumiyah Birjand dan proses pemakamannya dihadiri banyak pelayat serta digelar dengan agung. Meninggalnya Allamah Birjandi membuat Hauzah Ilmiah Qom dan banyak kota di Iran berduka, serta mereka menggelar majlis duka. Ayatullah Marashi Najafi juga menggelar acara duka di Madrasa Faiziyah mengenang guru tercintanya tersebut.
Mulla Ali Kani
Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa berdasarkan fatwa Mulla Ali Kani terkait seket Babisme (Babiyah) keluar dari agama Islam, kekuatan agama bergabung dengan pasukan pemerintah pimpinan Amir Kabir, kanselir pertama Nasser al-Din Shah bersatu melawan Babisme.
Kemudian atas perintah Amir Kabir, pendiri dan pentolan sekte Babiyah yakni Ali Mohammad Bab dibunuh. Tapi setelah kanselir ini justru menjadi korban skenario musuh. Kanselir dan perdana menteri kedua Nasser al-Din Shah, yakni Agha Khan Nouri adalah sosok yang mendapat dukungan Inggris dan penyebab pencopotan dan pembunuhan Amir Kabir.
Di awal kekuasaan Mirza Agha Khan Nouri, Inggris memisahkan Herat dan Afghanistan dari Iran. Ini adalah hasil dari dari ketidakmampuan kanselir dan kekalahannya melawan Inggris. Pada tahun-tahun inilah Organisasi Freemasonry (Tarekat Mason Bebas) didirikan di Iran untuk pertama kalinya. Organisasi ini, yang kemudian dikenal sebagai "rumah yang terlupakan" di Iran, tidak melakukan apa-apa selain memajukan tujuan budaya dan ekonomi kolonialisme di Iran.
Organisasi Freemasonry (Tarekat Mason Bebas) di Iran
Sementara itu, kanselir ketiga, Mirza Hosein Khan Sepahsalar secara resmi menjadi anggota organisasi Yahudi ini dan bersama Malkam Khan serta sejumlah pangeran dan kerabat Dinasti Qajar menyebarkan idologi anti-agama dengan berbagai alasan.
Alasan terpenting mereka untuk menentang Islam adalah apa yang mereka sebut "kebebasan". Sebuah nama yang sangat kita kenal saat ini dan kita semua tahu apa yang ada di balik tawanan itu. Atas nama kebebasan, mereka ingin melepas jilbab muslimah karena dianggap sebagai musuh utama mereka. Hilangnya jilbab dan hukum agama lainnya, terutama hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan keluarga, adalah satu-satunya hal yang dapat menciptakan suami yang istrinya tidak setia (Cuckold), pergaulan bebas perempuan, dan kehancuran fondasi keluarga bagi masyarakat Iran. Sebuah pencapaian budaya Barat saat ini bagi orang-orang yang telah ditangkap olehnya. Pada saat yang sama, hal inilah yang dapat membuka jalan bagi negara adidaya untuk menjajah Iran.
Mirza Hosein Khan Sepahsalar, kanselir masonik Shah, menyiapkan beberapa perjalanan ke negara-negara Eropa untuk Shah muda, dan Shah, yang telah kehilangan hati terhadap penampilan peradaban Barat, berencana mengeluarkan perintah untuk melepas jilbab wanita Iran, dan ia memulainya dari istana, tetapi tentu saja dia menghadapi tentangan dari para wanita mukmin di istana.
Di kondisi seperti ini, Mulla Ali Kani menulis surat kepada Shah Qajar dan memperingatkan tindakannya tersebut. Dalam suratnya Mulla Ali Kani menyebut kebebasan yang membuat manusia kembali ke habitat liar dan hasilnya adalah mengumbar syahwat sebagai kalimat busuk kebebasan. Mulla Ali Kani memperingatkan Shah bahwa meski kalimat ini di luarnya sangat menyenangkan dan menipu, tapi batinnya sepenuhnya buruk. Berkat surat yang cerdas ini, Nasser al-Din Shah tidak pernah mengumumkan perintah penghapusan hijab, meski pun penjajah tidak pernah berhenti menghasut dan menebar skenarionya, dan berusaha merealisasikan tujuannya dengan berbagai cara.
Selain itu, anggota organisasi Yahudi ini, menemukan peluang mengingat ketidaklayakan Shah Qajar ini, menorehkan luar setiap hari di ekonomi Iran melalui posisi resmi pemerintah. Salah satu pengkhianatan terbesar mereka adalah perjanjian Reuter atau Konsesi Reuter. Kontrak dan perjanjian yang dijika dilaksanakan maka bangsa Iran tidak akan menjadi pemilik kekayaan alam yang diberikan Tuhan kepada mereka, dan secara praktis mereka menjadi koloni Inggris.
Pada 1289 H, dengan upaya kanselir, Mirza Hussain Khan Sepahsalar dan broker Mirza Malkam Khan, pendiri loji Masonik pertama di Iran, konsesi Reuter ditandatangani antara pemerintah Iran dan seorang Yahudi Inggris bernama Baron Julius de Reuter. Menurut perjanjian ini, eksploitasi dan ekstraksi semua tambang di Iran, termasuk batu bara, besi, tembaga, timah, minyak, dan tambang lainnya yang dapat dieksploitasi di Iran kecuali emas, perak, dan batu berharga, serta eksploitasi hutan, pembangunan saluran air dan saluran irigasi tanah, pembangunan kereta api dan trem, pembangunan jalan, jalur telegraf dan pabrik industri selama tujuh puluh tahun dan mengizinkan semua bea cukai dan ekspor eksklusif produk apa pun ke Iran selama dua puluh lima tahun, dijual ke Reuter.
Hak istimewa seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya sehingga beberapa menganggapnya sebagai hadiah yang luar biasa dan yang lain menafsirkannya sebagai penjualan negara. Berdasarkan hak istimewa ini, Iran praktis akan kehilangan kemerdekaan politik dan ekonominya dan menjadi koloni Inggris tanpa perang atau pertumpahan darah. Menurut Lord Curzon, salah satu politisi Inggris: "Perjanjian ini mencakup penyerahan penuh semua sumber daya pemerintah kepada orang asing, yang tidak pernah terpikirkan oleh siapa pun dan tidak pernah terlihat dalam sejarah."
Mulla Ali Kani saat itu berdiri teguh melawan kolonialisme Inggris, dan menyeru masyarakat untuk menentang implementasi kontrak ini. Saat itu, Mulla Ali Kani menjadi pelopor ulama anti penjajah.
Para abdi dalem dimabukkan oleh pengkhianatan sejarah mereka ketika sebuah surat yang sangat rinci dari para ulama dan ditandatangani oleh Mullah Ali Kani sampai ke Shah. Dalam surat itu, dia mengutuk keras kesimpulan dari kontrak semacam itu dan mengingatkan Nasser al-Din Shah dengan nada keras dan menegur bahwa dia bukanlah pemilik properti dan aset orang Iran, dan jika kerajaannya memiliki legitimasi, itu karena persetujuan ulama, dan meskipun dia seorang raja tetapi dia tidak berhak menjual harta rakyat dan negara tanpa izin ulama dan ahli hukum Islam.
Mulla Ali Kani mengingatkan Shah; Kontrak semacam itu, yang merupakan sumber dominasi asing atas tanah Islam, sama sekali tidak diterima oleh para ulama Islam, dan mereka yang terlibat dalam kontrak ini tentu saja adalah musuh Islam dan Iran. Dalam surat ini, beliau sangat mempertanyakan kompetensi Mirza Malakam Khan untuk berpartisipasi dalam urusan negara dan menuntut pemecatannya dan tentu saja pemecatan kanselir pengkhianat, Mirza Hosein Khan Sepahsalar dari semua jabatan pemerintahan.
Dalam suratnya Mulla Ali Kani juga menyinggung isu rel kereta api. Dia dengan tepat mengakui bahwa meskipun raja-raja yang tidak kompeten yang alih-alih memikirkan solusi untuk masalah-masalah seperti Herat dan Afghanistan, bepergian di Eropa, memberikan konsesi kereta api kepada orang asing hanya akan memungkinkan mereka untuk melanggar batas ibu kota. Visi tajam ahli hukum pejuang ini akan lebih kita pahami ketika kita mengetahui bahwa setengah abad setelah pengamatan Allamah ini, dalam Perang Dunia Kedua, Sekutu berhasil menduduki Tehran melalui jalur kereta api ini, dan kemerdekaan Iran terancam.
Efek surat Mulla Ali Kani sedemikian rupa sehingga Nasser al-Din Shah bahkan tidak berani membawa Perdana Menteri ke Tehran setelah kembali dari perjalanannya ke Eropa. Sebelum memasuki Tehran, Shah memberhentikan Mirza Hossein Khan Sepahsalar dari kepemimpinan dan mencabut surat hak istimewa Reuter. Dia pergi ke Tehran sendirian dan menghubungi Haj Mulla Ali Keni, meminta maaf kepadanya dan memberitahunya tentang pembatalan kontrak. Juga, setelah surat ini, sangat menentukan bahwa raja menghapus Rumah atau Organisasi Freemasonry Malkom Khan, dan setelah itu organisasi ini harus melanjutkan keberadaan mereka secara rahasia.
Setelah itu, metode Mulla Ali Kani dalam mempertahankan kepentingan nasional dan menangkis agresi asing menjadi dasar tindakan para ulama di bidang politik Iran. Cara yang tidak membiarkan raja menjadi otokratis, mewajibkan para ulama untuk menunjukkan penyimpangan pemerintah dan menghadapi mereka, dan benar-benar menganggap monarki sah secara konstitusional, hal yang sama yang dilembagakan oleh bangsa Iran selama bertahun-tahun.
Mulla Ali Kani setelah bertahun-tahun berjuang tanpa henti untuk menegakkan hukum ilahi, akhirnya menghembuskan nafas pada tahun 1306 H di usia 86 tahun. Pemakaman beliau dihadiri banyak warga Tehran, dan beliau dimakamkan di Haram Sheikh Abdul Azim di kota Rey. Ketenaran dan posisi sosial beliau bahkan mendapat penghormatan dari pengikut agama lain dan banyak dari mereka yang menghadiri prosesi pemakamannya. Tak hanya itu, pengikut agama lain juga menggelar majelis duka di berbagai kota di Iran mengenang ulama besar Islam ini.
Selama masa hidupnya, Nasser al-Din Shah tidak berani menandatangani kontrak lain setelah Konsesi Reuter, tapi setelah dua tahun kematian ulama besar ini, Shah Qajar ini menandatangani perjanjian memalukan lainnya terkait monopoli pembelian dan penjualan tembakau Iran selama 50 tahun dengan orang pedagang Inggris. Tapi untungnya dengan kecerdasan dan keberanian Mirza Shirazi dan rakyat, akhirnya perjanjian ini dibatalkan dan ekonomi Iran kembali terselamatkan dari cengkeraman kolonialis.
Mirza Shirazi
Salah satu langkah politik terpenting Mirza Shirazi adalah fatwa bersejarah boikot tembakau. Sebuah fatwa yang menjadi cikal bakal sebuah kebangkitan besar rakyat di Iran.
Kebangkitan tembakau tercatat sebagai salah satu peristiwa bersejarah kontemporer terpenting di Iran. Ceritanya, pada tahun 1307 H (1889 M), tepat satu tahun setelah meninggalnya Allamah Mulla Ali Kani, yang dengan surat celaannya kepada Naser al-Din Shah telah menyebabkan pembatalan kontrak tercela Reuter, Shah memutuskan untuk pergi ke negara-negara Eropa untuk ketiga kalinya. Pencapaian perjalanan bagi rakyat Iran adalah sebuah kontrak bahwa hak istimewa untuk menanam, mendistribusikan dan menjual tembakau Iran diberikan kepada salah satu penasihat dan rekan dekat Perdana Menteri Inggris bernama "Gerald Talbot". Dalam situasi di mana tembakau dianggap sebagai salah satu produk pertanian terpenting di Iran, kontrak ini dapat membahayakan perekonomian Iran dan kehidupan banyak orang Iran.
Masyarakat Shiraz, Isfahan, Tabriz dan Tehran, yang dipimpin oleh para ulama, menentang dan menentang kontrak ini. Mirza Ashtiani di Tehran bahkan mengeluarkan perintah untuk mengembargo tembakau, namun tidak satupun dari tindakan tersebut menyebabkan Shah dan para bangsawan meninggalkan kontrak yang telah mereka tandatangani dan membatalkannya. Raja menekan pemberontakan rakyat dan menangkap serta mengasingkan semua pemimpin pemberontakan rakyat.
Seyyed Ali Akbar Fal Asiri, pemimpin pemberontakan rakyat Shiraz, diasingkan ke Basra, namun ia terus mengejar tujuannya. Di kota ini, ia bertemu dengan Sayid Jamaluddin Asadabadi dan meminta santri militan dan anti kolonialis tersebut untuk menulis surat kepada Mirza Bozorg atau Mirza Shirazi dan menjelaskan apa yang terjadi pada bangsa Iran. Sayid Jamaluddin, yang telah belajar dengan Mirza Shirazi selama beberapa waktu dan mengenalnya dengan baik, menulis surat rinci kepada Mirza dan sambil menjelaskan kejadian tersebut, dan memintanya untuk mengakhiri pertengkaran ini dengan keagungan yang diberikan Tuhan kepadanya di hati rakyat.
Setelah surat Sayid Jamaluddin dikirimkan, pada tanggal 1 Dhul Hijjah 1308, sebuah telegram rinci sampai ke tangan Naser al-Din Shah Qajar. Dalam telegram tersebut, Mirza Shirazi menegaskan bahwa kontrak tembakau atau kontrak Regji bertentangan dengan aturan Al-Qur'an dan juga akan menyebabkan hilangnya independensi pemerintah dan ketertiban negara.
Naser al-Din Shah, yang menyadari pengaruh perkataan Mirza dan posisi sosial dan agamanya, meminta pengusaha Iran di Bagdad untuk membenarkan kontrak ini dan mendapatkan persetujuannya. Namun Mirza menilai alasan pengusaha dan pemasok ini tidak bisa dibenarkan dan memperingatkannya, jika pemerintah tidak mampu menangani tugas ini, saya sendiri yang akan menghancurkannya, Insya Allah.
Shah dan para abdi dalem, yang menganggap Mirza Shirazi adalah seorang mujtahid seperti yang lain, percaya bahwa ancamannya hanyalah kata-kata yang tidak akan pernah ditindaklanjuti, sehingga mereka terus mengabaikannya. Akhirnya, pada tahun 1308 H, Mirza Shirazi, yang menganggap diskusi tersebut sia-sia, menyatakan semua penggunaan dan penjualan tembakau haram melalui sebuah fatwa. Teks fatwa singkat ini adalah sebagai berikut: "Bismillah...Sejak hari ini penggunaan tembakau dalam bentuk apa pun hukumnya seperti perang melawan Imam Zaman (Imam Mahdi)."
Mengikuti fatwa ini, yang perkataannya tidak melebihi satu baris pun, seluruh rakyat Iran, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, cendekiawan, pedagang, petani, dan bahkan non-Muslim, bersatu dalam menghadapi kolonialisme Inggris, dan pemberontakan melawan Perjanjian Regie meliputi seluruh Iran. Orang-orang menghancurkan hokah, banyak petani membakar tanaman tembakau mereka, pemberontakan ini bahkan sampai ke bagian dalam istana Shah.
Anis al-Dawlah yang merupakan ratu Iran saat itu memerintahkan semua hokah dikumpulkan dari istana. Ketika Naser al-Din Shah menanyakan alasannya, Anis al-Dawlah menjawab bahwa orang yang sama yang membuatku halal untukmu kemarin telah menjadikan tembakau haram saat ini. Setelah itu, bahkan raja sendiri tidak berani meminta hokah kepada hambanya karena dia tahu permintaannya tidak akan dikabulkan.
Setelah fatwa yang bersejarah dan efektif ini, Shah dan para pejabat istana berusaha keras untuk mendapatkan pendapat para ulama di Tehran dan kota-kota lain, namun mereka semua merujuknya ke Mirza Shirazi dan tidak ada seorang pun yang bersedia melanggar keputusan Mirza. Hampir lima puluh hari setelah fatwa bersejarah Mirza Shirazi, kontrak Regie dibatalkan dan sekali lagi tangan kolonialisme dipotong dari kekayaan rakyat Iran. Ya, seperti inilah seorang lelaki tua yang hidup sederhana, di Samarra, mengalahkan sebuah kerajaan hanya dengan menulis satu kalimat.
Mirza Shirazi diketahui banyak menangis usai insiden embargo tembakau dan pembatalan kontrak Regie. Ketika orang sekitar menanyakan alasannya, Mirza Shirazi berkata, “Tangisan dan kesedihan saya adalah karena musuh-musuh Islam saat ini telah mengetahui di mana kekuatan Islam berada, dan mereka berupaya menghancurkan kekuatan tersebut.”
Mungkin itulah sebabnya Mirza Shirazi membutuhkan waktu satu tahun untuk mengumumkan pelarangan tembakau. Ia ingin kekuatan Islam tetap tersembunyi dari musuh, namun Tuhan ingin kekuatan ini terlihat dan menyilaukan mata musuh Islam.
Satu tahun setelah penghentian pengendalian tembakau di Iran, raja boneka Afghanistan menyerang wilayah Syiah di Afghanistan dengan dalih tidak membayar pajak dan menghasut perasaan keagamaan masyarakat Sunni. Dalam insiden ini, ribuan warga Syiah Afghanistan dibunuh atau ditangkap dan harta benda mereka dijarah. Berita kejahatan ini diberitahukan kepada Mirza Shirazi oleh Mulla Kazem Dorafashai, salah satu ulama Syiah Afghanistan.
Mirza segera mengirimkan telegram kepada Naser al-Din Shah dan memintanya bertanya kepada Ratu Inggris mengapa kejadian seperti itu bisa terjadi. Dia juga menulis surat protes kepada Ratu Inggris dan sambil mengutuk tindakan ini, dia meminta Ratu Inggris untuk memperingatkan bonekanya agar tidak melakukan hal tersebut. Dengan tindakan ini, Mirza Shirazi menunjukkan kepada semua orang di mana akar permusuhan dan perpecahan dan siapa yang menginginkan perbedaan dan manfaat Syiah-Sunni. Intervensi Mirza dalam insiden ini mengakhiri konflik dan perdamaian serta keamanan kembali ke wilayah tersebut.
Kolonialisme lama Inggris yang selama beberapa tahun banyak mendapat luka dari pemimpin bangsa Islam, kali ini mencoba menciptakan kerusuhan antara Syiah dan Sunni di Samarra, tempat tinggal Mirza Shirazi, guna mengalahkan musuh di rumahnya sendiri. Kali ini, Mirza Shirazi bahkan tidak mengizinkan konsul Inggris di Baghdad untuk mengunjunginya dan memberinya pesan bahwa Inggris tidak perlu ikut campur dalam masalah yang bukan urusannya dan mengingatkannya bahwa Syiah dan pemerintah Ottoman agama, Kiblat dan Al-Quran yang sama, dan jika ada perselisihan, mereka akan menyelesaikannya sendiri. Mirza Shirazi bahkan tidak mengizinkan kekuatan pemerintah Ottoman untuk ikut campur dalam pekerjaan ini dan dia sendiri yang menggagalkan konspirasi tersebut. Pada tahun 1311 H, dengan memenangkan peristiwa ini, ia kembali membawa kolonialisme Inggris lama ke jurang kekalahan.
Akhirnya marja tertinggi ini wafat pada malam Rabu tanggal 24 Sya'ban 1312 H dalam usia delapan puluh dua tahun di kota Samarra. Jenazahnya dibawa dari Samarra ke Najaf di hadapan para ulama dan banyak pelayat. Dalam perjalanan dari Samarra ke Najaf, orang-orang datang menemuinya sambil menangis, meratap dan memukuli dada. Di sekitar Baghdad, seluruh penduduk kota, bahkan non-Muslim menyambut jenazahnya dan Rajab Pasha mengirimkan pasukan kesultanan untuk menyambutnya dengan tembakan senapan sebagai tanda kesedihan dan duka.
Jenazah suci Mirza dibawa mengelilingi makam suci Imam Hussain dan Abbas bin Ali bin Abi Thalib dan kemudian dibawa mengelilingi makam suci Imam Ali as dan dimakamkan pada malam terakhir bulan Syaban. Setelah itu, acara pembacaan Fatiha untuk Mirza diadakan di seluruh kota dan semua pasar tutup pada hari-hari tersebut. Duka atas bapak yatim piatu bangsa Islam dan manusia super yang telah mengalahkan sebuah kerajaan hanya dengan menulis sebaris kalimat berlanjut selama hampir setahun di negara Islam.
Ayatullah Sayid Ali Akbar Falabadi
Salah satu ulama dan marji' Syiah yang berperan dalam perilisan dan penyebaran fatwa Mirza Shirazi adalah Sayid Ali Akbar Falasiri. Sayid Falasiri lahir tahun 1256 H di desan Asir, kota Lamerd di Provinsi Fars.
Dalam dua episode sebelumnya kita telah membahas salah satu pemimpin besar Syiah, yakni Mirza Shirazi. Kami telah memberi tahu Anda bagaimana lelaki tua sederhana yang tinggal di Samara ini mengalahkan kerajaan terbesar pada masanya hanya dengan menulis satu kalimat. Dia adalah pemimpin kebangkitan rakyat terbesar pada masanya, dan tentu saja, Mirza yang agung tidak sendirian dalam kebangkitan ini. Jika marji Syiah lainnya dan rakyat Iran tidak menaati fatwa Mirza yang agung, kolonialisme Inggris tidak akan pernah merasakan kekalahan. Salah satu marji besar yang berperan penting dalam mengeluarkan dan menyebarkan fatwa Mirza Shirazi adalah Sayid Ali Akbar Falasiri. Ia dilahirkan pada tahun 1256 H di sebuah desa bernama Asir di Kabupaten Lamerd, Provinsi Fars.
Sayid Ali Akbar berusia empat belas tahun ketika menyelesaikan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1270 H, ia berangkat ke seminari (Hauzah Ilmiah) Shiraz untuk melanjutkan pendidikan dan melengkapi ilmu agamanya. Di Shiraz, ia belajar ilmu-ilmu agama kepada “Sheikh Mehdi Kojouri” dan setelah mencapai derajat ijtihad, ia berangkat ke Najaf Ashraf untuk meningkatkan taraf akademiknya. Falasiri melanjutkan pendidikan agamanya di Seminari Najaf di bawah bimbingan "Mirza Habibullah Rashti" dan menjadi ulama mujtahid dan ahli hukum yang berpengetahuan luas tentang urusan sosial dan kondisi politik pada masanya.
Para sesepuh Shiraz dan orang-orang yang datang mengunjungi Najaf Ashraf berkali-kali memintanya untuk kembali ke Shiraz agar masyarakat dapat mengambil manfaat dari ilmunya untuk mengatur urusan agama dan duniawi serta akan aman dalam bayang-bayang kesadaran politik dan sosialnya akan penindasan. Namun Ayatullah Falasiri menolak permintaan tersebut karena dia bermaksud untuk tinggal selamanya di Najaf Ashraf dan menghabiskan hidupnya di sebelah makam suci Imam Ali as.
Harapan dan cita-cita Ayatullah Falasiri untuk menepat selamanya di Najaf Ashraf tidak pernah terealisasi, karena atas permintaan gurunya, Habibollah Rahsti, ia akhirnya menerima kepemimpinan warga Shiraz, dan tahun 1277 H, ia kembali ke kota Shiraz. Ia sibuk mengajar ilmu-ilmu agama di Hauzah Ilmiah Shiraz, menulis risalah amaliah (fatwa), dan memimpin shalat jamaah di Masjid Vakil Shiraz.
Pada tahun-tahun pertama kedatangan Ayatullah Falasiri di Shiraz, pengaruh Inggris menyebar di kota ini dan masyarakat merasakan beban kolonialisme lebih dari sebelumnya, namun Ayatullah Falasiri tidak dapat menanggung situasi ini dan setiap hari entah bagaimana menunjukkan penentangannya. Dia, seperti otoritas dan cendekiawan Islam lainnya, menentang orang asing yang mendominasi wilayah Islam dan sangat menentang apa pun yang menandakan supremasi ini.
Pada suatu hari, Ayatullah Falasiri yang sedang pergi ke mesjid untuk salat dan membaca ziarah Asyura, melihat seseorang yang mengenakan pakaian adat dan sedang menunggang kuda dengan sangat gagah. Dia bertanya kepada teman-temannya siapa dia. Mereka bilang itu konsul Inggris. Ayatullah Falasiri menghadang jalan konsul Inggris, memerintahkannya untuk turun dari kudanya dan mulai sekarang ia harus berjalan kaki di jalan tersebut dan menyapa setiap Muslim yang ditemuinya.
Pada tahun 1303 H, ketamakan gubernur baru Fars dan penimbunan gandum dan biji-bijian oleh kerabatnya menyebabkan harga roti naik beberapa kali lipat. Selain harganya yang mahal, penimbunan gandum membuat roti menjadi komoditas langka bagi masyarakat, dan pada malam hari masyarakat miskin tidak punya apa-apa untuk dimakan. Untuk memprotes situasi kacau ini, sekitar enam ribu orang berkumpul di Masjid Vakil. Sayid Ali Akbar Falasiri juga bergabung dengan masyarakat dalam protes ini dan mengirimkan telegram ke Tehran. Atas nama massa yang melakukan protes, ia menuntut pemecatan penguasa dan penanganan situasi kacau di Shiraz.
Nasir Shah memutuskan untuk menyembunyikan keluhan masyarakat dibandingkan menanganinya. Dia menugaskan Zal al-Stan, yang merupakan penguasa Isfahan, untuk melakukan hal ini. Para ulama Isfahan yang mengetahui keputusan Syah ini, demi mendukung masyarakat dan mencegah konflik, meyakinkan Zal Sultan untuk menjaga situasi mahalnya harga roti di Shiraz, sebagai imbalannya masyarakat harus berhenti melakukan protes dan berkumpul dan berhenti menuntut pemecatan penguasa. Hal ini menjadi perhatian Ayatollah Fal Asiri dan beliau, yang melihat kehidupan orang-orang dalam bahaya, menyuruh mereka pulang dan mengakhiri pertemuan tersebut.
Nasser al-Din Shah Qajar malah memilih menumpas protes warga, ketimbang memahami dan menyelesaikannya. Ia menunjuk Zell-e Soltan, guburner Isfahan untuk menumpas protes warga Shiraz. Sementara itu, ulama Isfahan yang mengetahui keputusan ini, demi mendukung rakyat dan mencegah bentrokan, membujuk Zell-e Soltan untuk menyelesaikan masalah kelangkaan dan harga roti yang mahal di Shiraz, dengan imbalan warga mengakhiri protesnya serta tidak menuntut pencopotan gubernur. Masalah ini sampai ke telinga Ayatullah Falasiri, dan ia yang melihat nyawa warga terancam, menyeru warga kembali ke rumah dan mengakhiri protes mereka.
Selama protes ini, masyarakat terbebas dari kelaparan dan mahalnya harga roti, namun Ayatullah Falasiri diasingkan ke Isfahan. Karena Zell-e Soltan takut akan pemberontakan rakyat Shiraz lagi, dia memberikan penampilan yang sangat terhormat pada pengasingan ini. Dia dengan penuh hormat mengundang Ayatullah Falasiri ke Isfahan dan kemudian secara paksa menahannya di Isfahan dan akhirnya setelah beberapa tahun dia bisa kembali ke Shiraz.
Pada tahun 1307 H, dalam kisah kontrak Regie yang tercela dan pengalihan hak untuk membeli dan menjual seluruh tembakau Iran kepada perusahaan Inggris, Ayatullah Falasiri adalah salah satu orang pertama yang bersuara untuk memprotes. Dengan semangat yang tak terlukiskan, dia menyerukan orang-orang untuk menentang kontrak ini dan dia sendiri yang mendahului semua orang. Karena Shiraz adalah pusat utama produksi tembakau di Iran pada saat itu, Ayatullah Falasiri ingin mencegah pelaksanaan kontrak ini dengan tidak mengizinkan pekerja Inggris memasuki Shiraz, dan untuk tujuan ini, dia mengumumkan jihad kepada masyarakat.
Penguasa Shiraz yang melihat kehadiran Ayatullah Falasiri merugikan pemerintah, memerintahkan pengasingannya ke Bushehr. Pejabat pemerintah tidak berani menangkap Falasiri di tengah kota atau di rumahnya, sehingga ketika dia keluar kota untuk membaca doa ziarah Asyura, mereka menyerangnya, melucuti pakaian ulama dan membawanya ke Bushehr. Mereka menahan Ayatullah Falasiri di Bushehr selama beberapa hari dan selama itu tidak mengizinkannya bertemu dengan siapa pun dan kemudian mengirimnya ke Basra.
Ketika warga Shiraz menyadari pengasingan Ayatullah Falasiri, mereka bergerak melawan pemerintah. Mereka menggelar aksi mogok massal dan demo di masjid-masjid, serta menuntut pemulangan Ayatullah Falasiri, tapi pemerintah secara brutal membantai seluruh rakyat.
Setelah memasuki Basra, Ayatullah Falasiri tidak berhenti berusaha. Dia pergi mengunjungi Sayid Jamaluddin Asadabadi dan memintanya untuk menulis surat kepada Mirza Shirazi, marja absolut Syiah di dunia, dan menjelaskan kepadanya kisah pengkhianatan Nasser al-Din Shah terhadap Islam dan Muslim. Falasiri sendiri yang menyampaikan surat tersebut kepada Mirza Shirazi di Samarra, sehingga menyebabkan Mirza Shirazi mengeluarkan fatwa bersejarahnya. Fatwa yang berujung pada pemberontakan rakyat Iran dan akhirnya kekalahan kolonialisme Inggris.
Dalam bagian telegram yang dikirimkannya kepada Nasser al-Din Shah, Mirza Shirazi sempat mengungkapkan ketidaksenangannya atas perilaku tidak pantas pejabat pemerintah terhadap ulama, termasuk Ayatullah Falasiri. Hal ini menyebabkan Nasser al-Din Shah mengirimkan perwakilannya ke Mirza Shirazi untuk meminta maaf. Akhirnya, setelah dua tahun, atas undangan perwakilan Shah, Ayatullah Falasiri kembali ke Shiraz dengan bermartabat dan terhormat serta tinggal di sana selama sisa hidupnya.
Ayatullah Ali Akbar Falasiri setelah berjuang tanpa henti melawan kezaliman, akhirnya meninggalkan dunia fana di usia 63 tahun pada 1 Rabilul Awwal 1319 H di Shiraz. Jenazahnya dimakamkan di Taman Hafiziyah karena kecintaan mendalamnya kepada Hafiz Shirazi, penyair terkenal Iran. Sementara itu, pasar-pasar di Shiraz libur selama tiga hari untuk menghormati kepergian ulama besar ini. Acara duka, pembacaan tahlil, doa dan al-Quran digelar di Masjid Vakil, tempat Ayatullah Ali Akbar Falasiri memimpin shalat jamaah.
Allamah Ashtiani
Tahun 1248 H, di dekat kota suci Qom, di daerah Ashtian, lahir seorang anak laki-laki bernama Mohammad Hasan.
Mohammad Hasan Ashtiani seperti Mirza Shirazi, kehilangan ayahnya di usia tiga tahun, dan ia merasakan kehidupan seorang yatim, tapi berkat asuhan ibu yang mulia dan pecinta Ahlul Bait as, kehidupan Mohammad Hasan berada di jalur meraih ilmu-ilmu agama.
Ibunya mengirim Mohammad Hasan Ashtiani ke guru agama dan ia belajar ilmu-ilmu dasar agama hingga usia 13 tahun di bawah bimbingan sang guru. Kemudian Mohammad Hasan pergi ke Burujerd untuk melanjutkan pendidikannya. Saat itu, Hauzah Ilmiah (Seremoni) Burujerd termasuk hauzah paling aktif dan terkenal di kalangan Syiah. Selama di Hauzah Ilmiah Burujerd, Mohammad Hasan mempelajari ilmu sastra, fiqih dan usul fiqih hingga mahir, dan sebelum menginjak usia 16 tahun, ia telah mendapat posisi tinggi dan diijinkan untuk mengajar, sementara murid-muridnya rata-rata berusia di atasnya dan bahkan da yang telah berusia tua.
Di usia 18 tahun, Mirza Ashtiani merindukan Imam Ali as dan ingin selalu berada dekat dengan makam sang imam, dan untuk melanjutkan jenjang pendidikannya, ia berangkat ke kota Najaf di Irak. Perjalanannya memiliki banyak kesulitan, anak berusia tujuh belas tahun ini jatuh sakit selama perjalanan yang menyakitkan dan melewati kota dan gurun pasir. Namun keinginan untuk belajar dan mengabdi pada mazhab Ahlul Bait as, tidak menghentikannya untuk melanjutkan perjalanannya.
Mirza tiba di makam Amirul Mukminin Ali as dengan tubuh meradang dan demam, dan ketika dia gembira dengan kegembiraan mengunjungi guru yang saleh, dia berlindung di sudut kompleks makam dan ia memohon pengobatan untuk rasa sakit dan menyelesaikan kesulitan masalah serta kesempatan untuk menimba ilmu dengan bertawassul kepada sang imam.
Setelah bertawssul dan ziarah, Mirza muda keluar dari kompleks makam Imam Ali as untuk memulai jalan pendidikan dan kehidupan yang sulit, bermil-mil jauhnya dari tanah air dan keluarganya. Kecuali makam suci sang Imam, dia merasa terasing dimana-mana di kota ini, dan rasa sakit akibat penyakitnya telah melipatgandakan kesedihannya. Saat meninggalkan makam Imam Ali, di antara kerumunan orang asing, dengan rahmat Tuhan, dia bertemu dengan salah satu teman lama ayahnya yang tinggal di Najaf selama bertahun-tahun. Kenalan lama ini, yang sangat gembira bertemu dengan Mohammad Hassan muda, membawanya ke kamarnya dan memberinya kenyamanan dan pendidikan. Bertentangan dengan ekspektasi, penyakit Mirza muda sembuh dalam waktu singkat dan dia bisa memulai studinya di Najaf dan mengikuti pelajaran Sheikh Murtadha Ansari. Sheikh Murtadha Ansari adalah salah satu ahli fiqih (fuqaha) dan ulama paling terkemuka di abad ke-13 H.
Di kota Najaf Ashraf, semua murid Sheikh Murtadha Ansari lebih tua dari Muhammad Hassan muda, sampai-sampai dia merasa malu karena usia mudanya dan duduk di balik tirai dan mendengarkan pelajaran sang guru. Suatu hari, Mohammad Hassan mengajukan pertanyaan dalam pelajaran. Sheikh Ansari senang dengan pertanyaan bijaksana dari murid muda Ashtiani dan menyadari tingkat pengetahuan dan penguasaan murid muda ini.
Setelah itu Sheikh Ansari memberikan perhatian khusus kepada Mirza, sebagai murid istimewa Sheikh Ansari, Mirza diberi keleluasaan untuk datang dan pergi ke rumah sang guru, dan Sheikh Ansari mengirimkan murid-muridnya yang lain kepadanya untuk menyelesaikan permasalahan. Muhammad Hassan menjadi terkenal karena kefasihan dan catatan indahnya dalam pelajaran Sheikh Ansari.
Pada tahun 1281 H, setelah wafatnya Sheikh Murtadha Ansari, Mirzai Ashtiani dan murid Sheikh lainnya bermusyawarah dan memilih Mirzai Shirazi sebagai marji dan pemimpin Syi'ah dunia. Setelah kejadian inilah Mirza Ashtiani berencana untuk kembali ke Iran, dan pada saat itulah Naser al-Din Shah, raja keempat dinasti Qajar, telah memberikan banyak kelonggaran (konsesi) kepada Barat dan mengetahui bahwa kesadaran dan persatuan rakyat akan menjadi masalah baginya. Shah khawatir dengan kekuatan sosial ulama karena ia tahu bahwa ulama adalah poros utama persatuan umat.
Bertentangan dengan keinginan Shah, Mirza Ashtiani, yang kini menjadi mujtahid terkenal dan dihormati di kalangan ulama dan masyarakat, memasuki Tehran dengan sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Dia memulai seminari (hauzah ilmiah) di Tehran dan mulai mengajar ilmu-ilmu hukum (yurisprudensi). Setiap hari, minat masyarakat terhadap ulama besar ini semakin bertambah, dan tingkat keagungan serta kesempurnaannya menjadi lebih jelas bagi para ulama. Selain ketelitian dan kecermatannya dalam berdiskusi di bidang fiqih, penjelaannya juga mudah, indah dan menarik, oleh karena itu ia unik dalam menyampaikan topik-topik ilmiah dan keagamaan kepada para pendengarnya.
Salah satu ciri Mirza Ashtiani adalah perhatiannya yang khusus terhadap permasalahan sosial umat Islam. Ia menganggap mereformasi masyarakat dan menangani permasalahan masyarakat sebagai tugas seorang ulama, dan ia tidak segan-segan menghabiskan hidup, uang, dan reputasinya dengan cara ini. Kepekaan dan kehati-hatian Mirza Ashtiani menjadikannya penggagas gerakan boikot tembakau di Tehran pada tahun 1306 H.
Ketika Nasser al-Din Shah memberikan hak eksklusif untuk membeli dan menjual tembakau di Iran kepada perusahaan Inggris bernama Regie, Mirza Mohammad Hassan Ashtiani melalui surat dan pertemuan menyampaikan penentangan serius para ulama dan masyarakat kepada Naser al-Din Shah, namun Shah tidak menghiraukannya. Mirza bahkan mengeluarkan fatwa boikot tembakau, tetapi karena kepatuhan terhadap perintah ini bukanlah kewajiban Syariah bagi marji lain dan para pengikutnya, langkah ini tidak dapat membuat Shah dan kroninya untuk membatalkan keputusan tersebut.
Dalam situasi seperti ini, Mirza Ashtiani, yang belajar di bawah bimbingan Sheikh Ansari bersama Mirza Shirazi selama bertahun-tahun, menulis surat kepada marji Syiah dan sambil menjelaskan situasinya, dia meminta mereka untuk campur tangan dalam masalah ini sebagai marji Syiah.
Selain surat Allamah Ashtiani, surat-surat lain juga sampai ke tangan Mirza Shirazi yang semuanya berbicara tentang ketidakpuasan masyarakat dan ulama Iran terhadap situasi saat ini. Surat-surat ini dan desakan Shah untuk melanjutkan proses sebelumnya, mendorong marji Syiah untuk melarang penggunaan tembakau. Selain untuk menyelesaikan permasalahan umat dan menegakkan keadilan sosial, penerapan fatwa ini juga dianggap sebagai kewajiban syariat bagi seluruh penguasa dan para pengikutnya (muqallid), sehingga menjadi alasan persatuan umat Islam dalam menentang perjanjian Regie.
Sementara itu, untuk memecah persatuan masyarakat, Shah memutuskan bahwa Ayatullah Ashtiani harus merokok hookah di depan umum dan membatalkan fatwa atau meninggalkan Iran. Menanggapi hal tersebut, Mirza mengatakan keputusan ini dikeluarkan oleh otoritas (marji) Syiah Mirza Shirazi dan pembatalannya juga merupakan kewenangan otoritas tersebut. Kemudian dia mulai mempersiapkan diri meninggalkan Iran. Rakyat sangat marah setelah mendengar berita ini, mereka bergerak menuju istana raja dan bentrok dengan para pengawal istana, tujuh orang tewas dalam bentrokan ini. Dengan adanya pergerakan rakyat ini, Shah mengurungkan keinginannya dan meminta Mirzai Ashtiani untuk tetap tinggal di Tehran. Dia juga berjanji untuk membatalkan kontrak tembakau dalam waktu tiga hari.
Ayatullah Ashtiani, terlepas dari perannya yang efektif dan penuh warna dalam perkembangan politik dan sosial pada masanya, tidak mengabaikan penulisan dan kompilasi karya ilmiah penting. Banyak kitab dan risalah yang tersisa darinya, yang terpenting adalah kitab “Bahr al-Fawaid” dalam uraian “Rasail” Sheikh Ansari. Menurut para ulama senior, Bahr al-Fawaid adalah yang terbaik dan terlengkap dari semua tafsir yang ditulis mengenai Rasail Sheikh Ansari.
Menurut para ahli sejarah, mendiang Ashtiani merupakan orang pertama yang menyebarkan pandangan Sheikh Ansari di Iran. Kehadirannya di Tehran sama dengan kehadiran sekolah dan diskusi Sheikh Ansari di Tehran. Ini merupakan kesempatan besar bagi mereka yang mendengar kemasyhuran Sheikh Ansari namun tidak mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan kehadirannya. Lebih dari dua ratus ulama senior berkumpul di sekitar mendiang Ashtiani untuk belajar catatan Sheikh Ansari. Di antara mereka, kita dapat menyebutkan Ayatullah Shahabadi, guru Imam Khomeini (semoga Tuhan mengasihaninya); Selain itu, sebagian besar guru, profesor, dan sesepuh di wilayah Tehran adalah murid Ayatullah Ashtiani, beberapa di antaranya terjun ke bidang politik dan sosial.
Ayatullah Ashtiani juga sangat rajin beribadah dan Tahajud, serta tidak meninggalkan ziarah Asyura dan shalat malam serta mustahabnya. Dia sangat komitmen untuk membaca ziarah Jamiah Kabirah setiap malam. Putranya meriwayatkan bahwa ketika mendiang Ashtiani sedang sakit dan terbaring di tempat tidur, dia sibuk membaca Ziyarat Jamiah Kabirah, dan ketika dia sampai pada kalimat “Dan siapakah yang mendatangi kalian akan selamat dan barang siapa yang tidak datang akan celaka?”, dia menyerahkan nyawanya kepada sang pencipta. Keesokan harinya, untuk menghormatinya, Tehran menggelar upacara pemakaman rinci untuk mendiang Ashtiani, dan jenazahnya dimakamkan di Najaf di mausoleum Sheikh Jafar Shooshtari sesuai dengan wasiatnya.
Muhammad Taqi Shirazi
Muhammad Taqi Shirazi lahir tahun 1256 H di kota Shiraz, Iran, tapi sejatinya ia adalah keturunan suku Kurdi Zangana Provinsi Kermanshah.
Muhammad Taqi Shirazi dikenal sebagai Shirazi kedua. Ia seperti Mirza Agung (Buzurg) Shirazi adalah warga kota Shiraz di Iran. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan Mirza Kedua dan termasuk ulama besar Syiah abad ke-14 Hijriah.
Mohammad Taqi Shirazi lahir di Shiraz pada tahun 1256 H, namun sebenarnya ia merupakan keturunan dari marga Zangana di Kermanshah, yang berasal dari suku Kurdi Iran. Seperti banyak ulama lainnya, ia berangkat ke Najaf Ashraf setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar agama untuk melengkapi ilmunya dan mengikuti pelajaran Mirza di sana. Ketika Mirza Agung memutuskan untuk pergi ke Samarra, ia pun berangkat ke Samarra bersama murid-murid Mirza lainnya. Karena penguasaannya terhadap mata pelajaran, maka Mirza Buzurg memilihnya untuk mengajar, dan sejak saat itu beberapa mata pelajaran diajarkan oleh Mirza kedua kepada murid-muridnya, bukan Mirza yang pertama.
Sepeninggal Mirza Agung (Mirza pertama) pada tahun 1312 H, pengeloaan wilayah Samarra dan kelanjutan sekolah sang guru dipercayakan kepada Mirza Kochak (Mirza kedua), dan tugas tersebut ia jalankan dengan sungguh-sungguh hingga akhir hayatnya. Salah satu pelajaran terpenting dari sekolah besar Mirza Shirazi; Itu adalah perjuangan melawan kolonialisme dan tirani. Beliau selalu menekankan, baik dalam perkataan maupun praktik, bahwa dominasi orang asing dan orang kafir terhadap masyarakat Islam tidak dapat diterima.
Mirza Kedua, yang dibesarkan di sekolah ini, berusaha mencapai tujuan ini sepanjang hidupnya yang diberkati. Ia menganggap perjuangan melawan arogansi dan kolonialisme sebagai tujuan terpentingnya. Pada tahun 1329 H, ketika para agresor Rusia mulai membunuh para pejuang kemerdekaan di utara Iran, Mirza Kedua mengeluarkan fatwa tentang perlunya memerangi dan menghadapi para agresor. Menurutnya, dominasi kaum kafir terhadap umat Islam tidak mempunyai akibat apa-apa selain terbunuhnya umat Islam, yang terlihat jelas dalam kasus agresi Rusia terhadap Iran, sehingga mereka menganggap wajib bagi seluruh umat Islam untuk melawan agresi tersebut serta tidak membiarkan kekufuran menggantikan syiar agama.
Pada tahun 1332 H atau 1914 M, dimulailah Perang Dunia Pertama, dan sejak saat itu, kekuasaan Mirza Muhammad Taqi Shirazi bertepatan dengan invasi terbuka Inggris dan sekutunya ke wilayah Islam. Pasukan sekutu menyatakan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah, dan setelah itu, para ulama dan otoritas Islam mengeluarkan fatwa jihad untuk mempertahankan wilayah Islam. Pada tahun-tahun ini, Mirza Kedua berusaha keras untuk mencegah orang-orang kafir menyerbu dan mendominasi wilayah Islam dengan menciptakan aliansi antara ulama Najaf dan Karbala dan juga dengan menciptakan aliansi antara berbagai kelas masyarakat. Untuk mencapai tujuannya, ia bahkan mengirim anak-anaknya ke medan perang, tetapi setelah empat tahun (tahun 1336 H), Kesultanan Utsmaniyah dikalahkan, dan pihak yang menang perang, Inggris dan sekutunya, dengan mengabaikan hak dan keinginan masyarakat di wilayah tersebut, meresmikan protektorat Irak oleh Irak.
Selama ini, Mirza Shirazi kedua berusaha membuat suara rakyat Irak didengar dengan menulis surat kepada para pemimpin negara-negara Eropa dan Arab. Bersama sejumlah ulama, ia mengirimkan surat kepada penguasa Arab Saudi dan Suriah dan meminta mereka, selain mendukung hak rakyat Irak untuk menentukan nasibnya sendiri, juga menyebarkan berita pendudukan Irak melalui media bebas di seluruh dunia. Mirzai kedua bersama Sheikh Al Sharia Al Isfahani juga menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat saat itu, dan mengumumkan bahwa keinginan rakyat Irak adalah terbentuknya negara Islam yang merdeka dan terpilihnya seorang raja Muslim dan kedua terikat pada Majelis Nasional.
Inggris, yang menderita banyak kerusakan ekonomi selama tahun-tahun perang, sedang mencari cara untuk mengelola wilayah pendudukan dengan cara yang biayanya lebih murah. Sebaliknya di negeri-negeri Islam seperti Irak, pemberontakan rakyat melawan kolonialisme Inggris terus berlanjut dan para ulama tidak henti-hentinya menentang Inggris. Pengendalian keadaan ini sangat menyulitkan Inggris. Oleh karena itu, negarawan Inggris memutuskan untuk mengadakan pemilu untuk memilih orang yang menguasai Irak, yang tampaknya merupakan pilihan rakyat, namun kenyataannya mengikuti kebijakan kolonial Inggris. Para cendekiawan Islam sangat menentang diadakannya pemilu ini karena pengetahuan mereka tentang kolonialisme Inggris kuno. Selama tahun-tahun ini, Mirza Kedua, yang bertanggung jawab atas marjaiyah penuh Syiah, mengumumkan dalam sebuah fatwa bahwa "tidak ada Muslim yang berhak memilih non-Muslim untuk memerintah dan memerintah umat Islam."
Bersamaan dengan fatwa Mirza kedua ini, putranya Mohammad Reza Shirazi, yang ditugaskan oleh ayahnya untuk mengorganisir kekuatan rakyat Irak, mendirikan sebuah organisasi bernama "Jamiyah Islami" di Karbala, di mana para ulama terkemuka Irak berpartisipasi. Tujuan kelompok ini adalah untuk membebaskan Irak dan melawan kekuasaan Inggris. Dalam waktu singkat, para pemimpin komunitas ini ditangkap dan diasingkan ke India. Mirzai Kedua memutuskan berangkat ke Iran dan dari sana mengeluarkan fatwa jihad dan melawan kolonialisme Inggris. Para ulama Irak dari Najaf, Karbala dan Kadhimain ikut serta dalam keputusan ini. Mengikuti langkah-langkah ini, pemerintah Inggris di Irak, yang melihat situasi tidak stabil, mengembalikan orang-orang buangan ke Irak dalam waktu kurang dari empat bulan.
Mirza Mohammad Taqi Shirazi memulai proses perjuangan baru pada tahun 1338 H, ketika musim semi kedelapan puluh dalam hidupnya yang penuh berkah telah berlalu. Di Najaf Ashraf, Mirza Kedua mengundang sejumlah ulama, kepala suku, dan pemimpin Efrat Tengah ke pertemuan rahasia. Dalam pertemuan ini, mereka memutuskan untuk memulai fase baru dalam menghadapi penjajah Inggris. Sejalan dengan tujuan tersebut, Mirza Mohammad Taqi Shirazi dalam fatwanya melarang pekerjaan di British Guardianship for Muslim.
Image Caption
Setelah fatwa ini, sejumlah besar pegawai departemen tersebut mengundurkan diri dan proses ini meningkat seiring berjalannya waktu. Mirza menulis surat kepada umat Islam Irak dan menyerukan mereka untuk mengadakan demonstrasi damai. Ia meminta masyarakat menuntut tuntutan mereka, termasuk pembentukan pemerintahan Islam dan kemerdekaan Irak, dengan tetap menghormati keamanan dan perdamaian.
Meskipun demonstrasi ini berlangsung damai, tentara Inggris menembak salah satu orang dan hal ini menyebabkan gelombang protes baru dari para tetua dan ulama Irak terhadap Inggris. Dalam suratnya, Mirza juga meminta para ulama untuk tidak membiarkan rasa takut dalam menuntut hak umat. Selama kampanye ini, putra Mirzai Kedua, bersama sebelas tokoh Irak lainnya, ditangkap dan diasingkan. Namun dalam fatwanya, Mirza menyatakan dilarang tunduk pada tirani dan bahkan dalam beberapa kasus, ia menyetujui jihad bersenjata.
Akhirnya kaum revolusioner berhasil merebut kota Karbala dari kendali Inggris. Mirza Kedua dengan cepat membentuk dua dewan untuk mengelola kota; Salah satunya adalah Dewan Tinggi Perang dan yang lainnya adalah Dewan Ilmiah, yang pertama bertanggung jawab untuk membangun keamanan kota dan jalan-jalan di sekitarnya, dan yang kedua bertanggung jawab untuk menanggapi masalah agama dan menyelesaikan konflik kerakyatan. Dengan cara ini, sebuah contoh kecil dari apa yang dicita-citakan Mirza sebagai pemerintahan Islam terbentuk dan bisa dijalankan sampai batas tertentu.
Hanya dua bulan setelah keberhasilan ini, pada tanggal 13 Dzulhijjah 1338 H, ketika Mirza yang berusia delapan puluh tahun, seperti seorang pemuda yang bersemangat, telah mencapai puncak perjuangannya melawan kolonialisme Inggris, dia meninggal secara mencurigakan. Beberapa orang percaya bahwa agen Inggris meracuni dan membunuhnya. Jenazahnya yang suci dimakamkan di komplek suci makam Imam Husein as, dan orang-orang berduka atas kehilangan seorang pemimpin pemberani.
Gaza Bukanlah sebuah Adegan Game, Gaza adalah Realita
Seorang penulis Israel dalam sebuah wawancaranya mengatakan, "Dehumanisasi terorganisir terhadap warga Palestina telah membuat kami, orang Israel, nyaman dengan kejahatan apa pun. Karena ketika mereka bukan manusia maka mereka tidak mempunyai hak asasi manusia."
Lebih dari empat puluh hari telah berlalu sejak perang baru-baru ini antara Hamas dan Israel; Sebuah perang yang mana aturan-aturan konflik yang berlaku telah dilanggar dan jumlah kerugian yang diderita oleh orang-orang yang tidak bersenjata dan warga sipil telah meningkat secara mengkhawatirkan. Akibatnya, gambaran menyakitkan mengenai banyaknya korban jiwa warga sipil Palestina telah tercermin di media dan telah melukai jiwa dan perasaan jutaan orang di seluruh dunia.
Namun sebagian besar media Barat tidak menggambarkan penderitaan kedua belah pihak yang bertikai secara seimbang dan tidak memihak, dan dalam perbandingan antara pemberitaan terkait cederanya warga sipil di pihak Israel dan Palestina, posisi terberat secara jelas ke arah yang pertama.
Menurut para pembuat kebijakan dan sponsor media-media tersebut, warga Palestina harus ditampilkan sebagai bangsa yang predator dan tidak beradab yang tidak hanya mengganggu kehidupan indah dan beradab warga Israel dengan operasi teroris mereka, namun juga tidak menunjukkan belas kasihan kepada warga negara mereka dan operasi-operasi seperti meledakkan rumah sakit, mereka memajukan tujuan jahatnya.
Sementara itu, dengan mengangkat persoalan-persoalan sekunder, pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti “Dengan hak apa penjajah Barat menawarkan tanah rakyat Palestina kepada Zionis untuk menciptakan tanah air?”, “Atas dasar hukum, politik, dan kemanusiaan apa pendudukan dan pendirian rezim Zionis?", "Mengapa kejahatan dan kebijakan ekspansionis rezim ini tidak berhenti?" atau "Mengapa warga Palestina melawan rezim ini meskipun ada proses normalisasi?" dilupakan dan disembunyikan oleh media-media ini.
Banyak media Barat tidak mengakui fakta dan kemarahan ini. Karena banyak wartawan dan kolumnis yang kini terjebak dalam wabah kegilaan mematikan terbaru di Palestina dan Israel selalu menafsirkan peristiwa-peristiwa tersebut melalui prisma yang sering kali didikte oleh Israel; Apakah mereka mau mengakuinya atau tidak.
Dalam perhitungan mereka, Israel selalu menjadi korban dan bukan pelakunya. Pemahaman mengenai Israel dalam sejarah sangatlah penting. Membaca kehidupan warga Palestina tidak hanya dari masa lalu, tapi juga dari masa kini dan masa depan tidak dihitung, dan mungkin yang paling mengerikan, nyawa dan kematian warga Israel dianggap penting, sedangkan nyawa dan kematian warga Palestina tidak.
Inti dari kebutaan ini adalah doktrin umum yang menyatakan bahwa warga Palestina adalah makhluk yang dapat disingkirkan, sebuah produk sampingan dari hak Israel untuk hidup dan mempertahankan diri. Dalam struktur yang menyimpang ini, warga sipil Palestina tidak dipandang sebagai korban perang yang tidak bersalah, namun merekalah yang paling bertanggung jawab atas kematian dan nasib buruk mereka.
Ra'fat al-Dajani, penulis keturunan Palestina-Amerika mengatakan, "Dehumanisasi terhadap warga Palestina tersebar luas di media Barat." Dengan cara ini, orang-orang Palestina melakukan kekerasan karena karakteristik mereka, karena sifat dan budaya mereka, dan bukan karena kekejaman dan kekerasan rezim pendudukan Israel.
Namun pertanyaannya adalah apa akar dari ideologi ini dan dukungan luas media terhadapnya ?
Dr. Seth Crosby, dosen Universitas Washington saat menanggapi pernyataan penulis Katolik anti-Semit Michael Jones, yang mengatakan bahwa Israel terlibat dalam pembersihan etnis dan ras di Palestina, dengan ideologi genosida ia menjawab, "Genosida harus dilakukan lebih besar lagi; Palestina bukan sebuah etnis, dan Israel bukan menarget manusia." Kalimat-kalimat menakutkan ini hanyalah sebagian dari kenyataan pahit di negeri bernama Palestina. Pemikiran dan ideologi dengan judul dehumanisasi. Namun pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan dehumanisasi?
Dehumanisasi adalah penyangkalan terhadap kemanusiaan seutuhnya, disertai dengan kekejaman dan penderitaan yang menyertainya, seolah-olah manusia tidak memiliki kapasitas mental yang biasanya dimiliki manusia. Dehumanisasi berarti tidak memanusiakan orang dan segala tindakan atau pemikiran yang menganggap seseorang lebih rendah dari manusia. Dehumanisasi adalah salah satu jenis hasutan untuk melakukan genosida dan alasan untuk membenarkan perang, pembunuhan, perbudakan dan penyitaan properti Palestina di tanah yang diduduki.
Image Caption
Atas dasar dan ideologi tersebut, rezim Zionis mempermalukan warga Palestina, membunuh mereka, dan mengurung mereka di wilayah kecil seperti sangkar agar suatu saat bisa menaklukkan Palestina melalui pembersihan etnis.
Selain pemikiran para pendiri Zionisme dan orang-orang seperti Theodor Herzl, cabang media Zionisme di seluruh dunia telah mencoba mempersiapkan landasan bagi tragedi semacam itu dengan mempromosikan pemikiran anti-manusia dan menormalisasi pembunuhan. Jika kita meninjau sinema, animasi dan video game, kita akan melihat bahwa banyak produksi yang tergolong dalam kategori kekerasan penuh dengan adegan kekerasan dan pembunuhan serta pertempuran sengit yang berakhir dengan penyiksaan dan terbunuhnya secara kecam orang-orang yang tidak bersalah.
Sementara itu, industri game telah berkembang sedemikian rupa sehingga semua ahli marah atas kekerasan yang ada dan telah memperingatkan berkali-kali. Mereka mengatakan bahwa kekerasan dalam game-game tersebut berbahaya dari dua aspek: pertama, berdampak negatif terhadap jiwa para pemainnya (gamer) yang sebagian besar adalah remaja dan generasi muda, dan di sisi lain menghancurkan keburukan kejahatan dan kekerasan di masyarakat. Hal ini menjadikan melihat adegan kekerasan menjadi hal yang normal.
Apa yang kita masing-masing lakukan setiap hari? Bosan dengan pekerjaan sehari-hari, kami menyalakan ponsel dan menelusuri berita Gaza. Diantaranya ada video dan foto yang +18 atau blur. Sejenak ragu-ragu; Entah kita terbuka atau kita ditolak. Kita sedang duduk di sofa di sudut dunia ini, lelah dan bosan, dan di bawah reruntuhan dan di tanah, jenazah anak-anak kecil dipotong-potong.
Dan jika ini bukan akibat dari film dan game kekerasan, apa alasannya?
Video game merupakan salah satu jenis hiburan modern dimana para gamer menghabiskan 3 miliar jam waktunya bermain di depan monitor komputer. Rata-rata usia gamer adalah 35 tahun. Sementara 72 persen gamer berusia 18 tahun ke atas. Lebih dari 72 persen orang tua anak-anak dan remaja juga menyatakan bahwa video game memberikan efek baik bagi diri mereka dan mengembangkan kreativitas mereka.
Pada saat yang sama, para peneliti menemukan bahwa penembakan dan permainan kekerasan mempunyai dampak negatif terhadap masyarakat dan harus dikendalikan. Studi di bidang permainan kekerasan dan penembakan menunjukkan bahwa jenis genre ini mengubah perilaku dan bahkan jenis penanganan kekerasan yang nyata dan dapat dianggap membahayakan masyarakat.
Sekarang kita berbicara tentang game dan permainan komputer, mari kita dengarkan beberapa berita di bidang ini:
Baru-baru ini, upacara Penghargaan Golden Joystick diadakan dan pemenangnya diumumkan. Peristiwa ini disertai dengan margin yang kebetulan terkait dengan salah satu kekhawatiran terbesar dunia saat ini; Masalah Palestina.
Sebelum upacara, diumumkan bahwa Meghna Jayanth, seorang penulis video game dan desainer naratif, akan memberikan penghargaan untuk penceritaan terbaik. Sebelum upacara, dia mengumumkan di akun penggunanya di X (Twitter) bahwa dia tidak diperbolehkan untuk mengungkapkannya karena teks yang ditujukan oleh organisasi ini sebagai pernyataan politik, dan oleh karena itu dia tidak akan berpartisipasi dalam upacara tersebut.
Meghna Jayant menulis dalam pernyataannya:
Saya telah mengerjakan berbagai permainan sebagai desainer naratif selama lebih dari satu dekade sekarang. Kami membuat game yang diimpikan bersama para pemain kami – ketika mereka membutuhkan perlindungan dari dunia nyata, kami mengundang mereka ke dunia fantasi, membiarkan pemain memasuki kehidupan lain dan mengalami realitas lain....
Kita berkumpul di sini untuk merayakan video game, namun kita semua adalah umat manusia yang hidup di dunia ini dan tidak mungkin ketika kita berada di sini untuk merayakan video game, kita mengabaikan genosida yang terjadi di Palestina, sebuah genosida yang disponsori oleh pemerintah kita (Inggris ). Demi semangat kemanusiaan yang kita semua miliki, saya meminta semua orang untuk bergabung dengan saya malam ini dalam menyerukan gencatan senjata.
Setelah dilarang membaca pernyataan tersebut, Meghna Jayant menulis dalam pernyataan lain kepada penyelenggara acara:
Sebagai seseorang yang beroperasi di bidang ini, saya sangat berharap Anda mempertimbangkan kembali keputusan ini. Saya tidak percaya pekerjaan kita bisa dipisahkan dari politik. Ribuan orang telah terbunuh dalam genosida yang sedang berlangsung di Palestina, dan hal ini dilakukan melalui kerja sama dengan pemerintah kami di Inggris. Di sisi lain, industri kita telah terlibat dalam dehumanisasi orang kulit hitam dan coklat baik dari segi estetika maupun konten—dan sebagai pengembang game, hati nurani saya memaksa saya untuk mengungkapkan hal ini semampu saya.
Kita tidak bisa menghargai kemanusiaan, keberagaman, kebebasan dan perlawanan hanya dalam permainan dan ruang virtual dan tetap diam mengenai konsep-konsep ini di dunia nyata.
Hari Basij Mustadha'afin
Dalam kalender nasional Iran, 5 Azar diperingati sebagai hari pembentukan Basij Mustadha'afin atas perintah Imam Khomeini, bapak pendiri Republik Islam Iran.
Imam Khomeini dalam buku Sahifeh-ye-Imam, menulis, Basij adalah pohon mulia dan pohon berbuah yang bunganya memberikan aroma musim semi dan kesegaran kepastian serta tradisi cinta. Basij adalah sekolah cinta dan sekolah para saksi dan syahid yang tidak dikenal, yang para pengikutnya meneriakkan seruan untuk mati syahid dan keberanian di karangan bunga yang tinggi. Pohon mulia Revolusi Islam ini didirikan pada 26 November 1979 atau 5 Azar 1358 HS berdasarkan keputusan Imam Khomeini ra, bapak pendiri besar Republik Islam Iran.
Imam Khomeini
Pembentukan Organisasi Nasional Basij
Menyusul perintah Imam ra, dilakukan persiapan pembentukan Basij dengan nama awal “Organisasi Nasioanl Basij”. Beberapa bulan kemudian, pada tanggal 30 April 1980, Dewan Revolusi memberikan status hukum kepada Basij dengan menyetujui “RUU Hukum Pembentukan Organisasi Basij Nasional”. Pasal (1) undang-undang ini menyatakan: “Dalam pelaksanaan keputusan pemimpin revolusi dan pendiri Republik Islam Iran mengenai pembentukan, pelatihan dan mobilisasi tentara berjumlah dua puluh juta orang untuk mencegah dan melawan segala ancaman dan agresi politik, ekonomi, budaya, militer, dan bencana alam, sebuah organisasi yang disebut Organisasi Nasional Basij akan didirikan di bawah pengawasan Panglima Tertinggi dan melekat pada Kementerian Dalam Negeri. Untuk pertama kalinya, tugas organisasi Basij tercantum dalam "RUU Hukum Pembentukan Organisasi Basij Nasional" yang disetujui oleh Dewan Revolusi pada tahun 1980.
Pembantukan Basij Mustadha'fin
Menurut "Undang-undang tentang Integrasi Basij Nasional ke dalam Korps Garda Revolusi Islam" yang disetujui pada bulan Desember 1980 oleh Majlis Islami (parlemen), Basij bergabung dengan IRGC dengan mengubah namanya menjadi "Basij Mustadha'afin". Statuta Basij Mustadha'afin disetujui oleh parlemen pada tanggal Agustus 1982, menurut bab keempat Undang-Undang Statuta Korps Garda Revolusi Islam. Pasal (35) undang-undang ini menyatakan tujuan pembentukan Basij Mustadha'afin adalah untuk menciptakan kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam diri setiap orang yang beriman kepada Konstitusi dan tujuan Revolusi Islam guna membela negara, sistem Republik Islam, dan juga membantu masyarakat ketika terjadi bencana dan kejadian yang tidak terduga.
Dengan dimulainya perang yang dipaksakan pada tahun 1980, masalah pelatihan militer umum dan pembentukan organisasi Basij memecahkan banyak masalah yang dihadapi negara di bidang ini, dan banyak orang terlatih dikirim ke garis depan.
Dalam sejarah Republik Islam, Basij dianggap sebagai salah satu faktor manusia yang paling efektif, dengan kemampuan dan kapasitas yang tak terhitung banyaknya. Peran dan fungsi Basij di bidang keamanan, politik, sosial, ekonomi dan budaya telah menunjukkan efektivitasnya karena kedalaman dan ruang lingkup organisasinya di seluruh negeri.
Basij di awal Islam
Mobilisasi merupakan suatu gerakan sosial yang dapat terjadi pada masyarakat manapun sesuai dengan budaya dan kondisinya. Pada masa-masa awal Islam, ketika terjadi penyerangan oleh orang-orang kafir dan munafik terhadap umat Islam, ketika perintah diberikan untuk membentuk kekuatan tempur melawan mereka, umat Islam akan secara sukarela berkumpul di masjid-masjid untuk memobilisasi kekuatan mereka dalam hal tenaga kerja dan peralatan militer untuk menghadapi musuh. musuh Islam.
Pekan Basij
Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Khomeini ra berkata: "Masalah Basij adalah masalah yang sama yang telah terjadi di periode awal Islam. Masalah ini bukanlah hal baru, ini memiliki sejarah dalam Islam, dan sejak tujuan kita adalah Islam, setiap pemuda harus menjadi kekuatan pembela Islam dan semua orang dan siapa pun dalam pekerjaan apa pun harus siap untuk mencegah kekafiran dan invasi asing.»
Pada tahun 1978, rakyat Iran bersatu memulai gerakan dan mendirikan Republik Islam di bawah pimpinan Imam, namun hanya dua bulan setelah kemenangan revolusi, Iran menghadapi kondisi khusus, musuh di beberapa daerah mengincar keamanan negara dan keberadaan revolusi. Tentara dalam kondisi transisi dan gendarmerie perlu direstrukturisasi dan diorganisasi sesuai dengan tujuan revolusi; Korps Garda Revolusi Islam dengan misi militer dan pelengkap tentara serta Komite Revolusi Islam dengan misi polisi dan pelengkap gendarmerie telah memulai misi revolusionernya, namun keempat kekuatan ini tidak mempunyai kemampuan untuk menetralisir semua recana anti-revolusi di dalam kota dan perbatasan. Solusinya adalah dengan menggunakan kapasitas rakyat dan membentuk mobilisasi sipil. Kebetulan Imam Khomeini ra mengemukakan gagasan pembentukan organisasi rakyat Basij Mustadha'afin, dengan kecerdasan dan kebijaksanaan khusus.
Peran Basij selama periode pertahanan suci
Pengalaman praktis pertama Basij adalah membantu Garda Revolusi dan menetralisir konspirasi anti-revolusi. Pada Agustus 1980, dengan invasi tentara Baath Irak ke Iran, kebutuhan akan pengorganisasian kekuatan rakyat yang lebih baik semakin terasa, dan setelah itu, kekuatan rakyat bergabung dengan Basij untuk mendapatkan kehadiran yang besar di garis depan. Dengan mengirimkan Basiji ke medan perang, peran organisasi rakyat ini semakin hari semakin kuat dan banyak Basiji yang ikut serta dalam berbagai operasi seperti Hasrabadan, Fath al-Mubin, Tsamin al-Aimmah, Wal-Fajr 1, Wal-Fajr 8, Karbala 4 dan 5; Mereka menorehkan prestasi besar dengan usaha jangka panjang dan pengorbanan lebih dari 90 ribu syuhada.
bSetelah perang berakhir dan selesainya kehadiran militer Basij di garis depan, organisasi yang mengandalkan kekuatan rakyat dan memiliki kapasitas yang besar ini, mengidentifikasi kebutuhan negara saat ini dan memasuki bidang konstruksi dan pembangunan. Kompensasi atas kerusakan yang tersisa dari delapan tahun perang, rekonstruksi daerah-daerah yang dilanda perang, dan pengentasan kemiskinan di daerah pelosok dimasukkan dalam agenda organisasi kerakyatan dan revolusioner ini; Dengan memasuki bidang ketenagakerjaan dan membantu pemerintah memajukan strategi perekonomian, lembaga ini mampu mengambil langkah efektif dalam pembangunan negara.
Selain itu, salah satu fungsi Basij dalam beberapa tahun terakhir adalah membantu pertolongan dan penyelamatan korban luka dalam kecelakaan dan bencana alam, serta bekerja di bidang kesehatan. Sejak awal merebaknya virus Corona, Basij mengambil langkah bersama Kementerian Kesehatan dalam menangani virus Corona dan berperan penting dalam mengurangi kematian pasien Corona di Iran.
Peran Basij dalam perkembangan politik dan budaya
Perlunya mengawal revolusi dan pencapaiannya, mencegah dan menghadapi invasi politik dan budaya musuh, menjadikan kehadiran Basij sebagai teks masyarakat dengan lebih dari puluhan juta anggota aktif dan berpengaruh di bidang perkembangan politik dan sosial masyarakat diperlukan.
Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan kebudayaan, khususnya pasca perang, menjadi puncak kegiatan Basij, dan dengan dua tujuan yaitu menghadapi dan mencegah ancaman yang dirasakan di bidang ini, serta kulturalisasi dan pelembagaan nilai-nilai Islam dan budaya pertahanan suci dan pemikiran Basij, berbagai rencana dan program Itu dilaksanakan di tingkat negara, dan sebagian besar dari mereka, termasuk penciptaan dan perluasan pusat dan organisasi budaya dan pendidikan, dan menangani perang lunak musuh, masih sedang berlangsung.
Basiji
Saat ini, pada tahap kedua revolusi, Basij melanjutkan gerakan majunya dengan kuat, dengan mengandalkan pernyataan Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam; Kini, setelah empat dekade sukses dalam sistem Islam, Basij telah mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi dan menjadi model bagi masyarakat dan kelompok perlawanan di wilayah tersebut. Kini pemikiran Basiji telah mengkristal melampaui batas geografis negara kita dalam bentuk perlawanan Islam di kawasan dan di negara lain.
Ayatullah Khamenei, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam tahun lalu (1401 Hs/2022), dalam pertemuan anggota Basij dalam rangka Pekan Basij, mengemukakan: Seiring dengan fenomena mobilisasi ini di negara kita, maka ada Basij di dunia Islam. Kita juga mempunyai jutaan orang Basij di dunia Islam; Basij yang tidak mengerti bahasa kita, kita juga tidak mengerti bahasanya, tapi bahasa hati kita dan hatinya sama; Orientasi mereka sama dengan kita; di negara yang berbeda; Ini juga merupakan berkah dari Basij.
Begini Penampakan Kapal Perusak Baru Iran, Deylaman
Kapal perusak Deylaman, dari kelas Mouj, adalah capaian terbaru industri pertahanan Iran, yang baru saja bergabung dengan Armada Utara, Angkatan Laut, Militer negara ini.
Deylaman, hari ini, Senin (27/11/2023) secara resmi bergabung dengan Armada Utara, AL Militer Iran, dalam sebuah acara yang dihadiri Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Iran, Mayjen Mohammad Bagheri, Komandan Militer Iran, Sayid Abdorahim Mousavi, dan Komandan AL Militer Iran, Laksamana Shahram Irani.
Dibandingkan dengan kapal-kapal perang lain dari kelas Mouj, Deylaman yang merupakan produk AL Strategis Iran, disebut-sebut memiliki sejumlah karakteristik yang berbeda.
Laksamana Daoud Qolizadeh, salah satu anggota tim perancang Deylaman, mengatakan, "Deylaman, termasuk kapal perusak dari kelas Mouj, dan perbedaannya dengan kapal-kapal lain dari kelas ini adalah bentuk badan kapal, dan anti-radar."
Selain itu, tambah Laksamana Qolizadeh, kapal perusak Deylaman, juga memiliki bobot yang diperkirakan mencapai 1.300 hingga 1.500 ton.
kapal perusak AL Iran, Deylaman
"Perbedaan selanjutnya kapal perusak Deylaman, adalah penggunaan menara radar canggih, dan pemasangan radar 'Mata Elang' empat arah yang masing-masing memiliki 1.000 susunan sehingga total terdapat 4.000 susunan," imbuhnya.
Menurut Laksamana Qolizadeh, radar kapal perusak Deylaman, dapat mendeteksi 100 target, dan melacak 13 target. Radar ini adalah radar anti-perang elektronik, dan dirancang untuk mendeteksi target-target seperti jet tempur, drone, helikopter, rudal-rudal permukaan ke udara, serta target permukaan lain.
"Radar-radar yang dipasang di kapal perusak Deylaman, memiliki kemampuan untuk melacak target hingga jarak 100 kilometer," ujarnya.
Dari sisi persenjataan, kata Qolizadeh, kapal perusak Deylaman, dilengkapi sistem perang elektronik yang lebih baru dengan jarak tempuh lebih jauh, dan daya rusak serta kecepatan yang telah ditingkatkan.