
کمالوندی
Rahbar di Depan Ribuan Pemuda: Revolusi Islam Mampu Membangun Kembali Peradaban Islam Yang Besar

Rahbar: Basij Kekuatan Rakyat Iran Yang Tak Tertandingi

Rahbar di Depan Warga Kota Shirvan: Jaga Ketenangan Menjelang Pemilu

Rahbar: Barat Terlalu Kecil Untuk Memaksa Iran Menyerah

Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 184-187
Ayat ke 184
Artinya:
Yaitu dalam beberapa hari yang tertentu, maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Perintah-perintah Tuhan tidaklah sulit dan di luar kemampuan, melainkan siapapun juga berkewajiban melakukannya sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana halnya, berpuasa adalah wajib selama sebulan dalam setahun yaitu pada bulan Ramadhan, jika seseorang dalam bulan ini, ada dalam perjalanan atau sakit, maka sebagai gantinya, ia harus berpuasa pada bulan-bulan lainnya.
Sekiranya secara prinsip, ia tidak memiliki kemampuan untuk berpuasa, baik dalam bulan Ramadhan, maupun di lain bulan tadi, maka untuk mengingat orang-orang yang lapar, sebagai ganti dari berpuasa diwajibkan baginya untuk mengenyangkan seorang fakir miskin dalam sehari.
Jelas sekali, jika seseorang dalam kaffarah puasa, ia memberi makan lebih dari satu orang, maka itu lebih baik. Jika seseorang dapat memahami nilai dan pengaruh puasa Ramadhan, maka sama sekali, ia tidak akan mendambakan kehilangan pahala berpuasa, sehingga sebagai gantinya terpaksa memberikan makan kepada orang miskin.
Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dan bagi setiap individu, sesuai dengan kondisinya, Islam memberikan peraturan atau hukum tertentu yang sesuai dengannya. Dalam puasa, hukum bagi orang yang sakit, musafir, dan tua adalah berbeda dengan lainnya.
Ayat ke 185
Artinya:
Beberapa hari yang ditentukan itu ialah, bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil, karena itu, barang siapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu menagungkan Allah atas petunjukknya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Ayat-ayat sebelumnya menjelaskan prinsip kewajiban puasa dan menerangkan sebagian hukum darinya. Ayat ini menjelaskan waktu berpuasa yaitu bulan Ramadhan. Sebelum bulan Ramadhan ditetapkan sebagai bulan puasa, terlebih dahulu sudah merupakan bulan Nuzulul Quran dan secara prinsip, nilai dan kemuliaan bulan Ramadhan adalah kembali kepada al-Quran yang turun di malam Lailatul qadar.
Di antara nama bulan, hanya nama Ramadhan yang datang dalam al-Quran yang artinya membakar, seakan-akan dosa-dosa orang yang berpuasa terbakar di bulan ini.
Islam adalah agama yang mudah dan pondasinya berdiri di atas kemudahan dan tidak mempersulit. Maka dari itulah bagi seseorang yang tidak mungkin dan sulit untuk berpuasa di bulan ini, maka mereka boleh berpuasa di hari-hari lain secara terpisah-pisah. Namun ia harus berpuasa sejumlah tiga puluh hari dan sekiranya ia terbebaskan dari puasa karena berhalangan, maka sebagai gantinya, ia harus memberikan kaffarah.
Dalam masalah shalat pun, tak jauh bedanya, jika seseorang tak mampu mengambil air wudhu, maka ia boleh bertayamum, jika ia sulit untuk solat berdiri, maka ia boleh duduk atau bahkan tidur. Maka manusia harus mensyukuri Allah Swt yang tidak menghendaki dari hambanya suatu tugas dan kewajiban yang ada di luar kekuasaan hambanya sehingga menjadi beban yang sulit. Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa dalam bulan Ramadhan, kita dapat mensucikan jiwa kita dari dosa dengan cara berpuasa dan di bulan ini kita bangun landasan bagi menerima pengaruh al-Quran.
Ayat ke 186
Artinya:
Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo'a apabila ia berdoa kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahku dan hendaklah mereka beriman kepadaku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Ada seorang yang bertanya kepada Rasul Saw, adakah Allah itu dekat dengan kita, sehingga kita bermunajat dengan suara perlahan dengan-Nya, ataupun Dia jauh, sehingga kita panggil dia dengan suara lantang dan keras. Ayat ini turun dan menyatakan bahwa Allah dekat dengan hamba-Nya, lebih dekat dari apa yang dibayangkan oleh manusia, sebagaimana dalam surat Kaf, ayat 16, Allah Swt berfirman, "Dan kami lebih kepadanya dari pada urat lehernya."
Doa, tidak mengenal tempat dan waktu tertentu, dan setiap saat manusia berkemauan dan dalam keadaan bagaimanapun juga, ia boleh bermunajat dengan Allah. Namun berangkat bahwa Ramadhan adalah bulan doa dan taubah, maka dari itulah, ayat doa berada di antara ayat-ayat puasa dan Ramadhan
Dalam ayat pendek ini, Allah Swt sebanyak tujuk kali menyinggung Zat-Nya yang suci dan sebanyak tujuh kali juga, Allah menyinggung soal hamba-hamba-Nya, agar keterkaitan manusia dengan Allah dapat tergambar dengan baik.
Dari ayat ini kita dapat ambil pelajaran bahwa Allah Swt mendengar doa dan panggilan kita dan mengabulkan hajat kita, maka sebaiknya kita memanggilnya dan hanya mendengarkan perintahnya, karena kebahagiaan, kesejahteraan kita hanya ada di dalam lindungan iman kepadanya.
Ayat ke 187
Artinya:
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagi kamu, dan kamu pula adalah pakaian bagi mereka, Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Pada permulaan Islam, puasa adalah peraturan yang paling berat. Malam hari Ramadhan sama dengan siangnya tidak boleh bercampur dengan isteri. Makan dan minum hanya diperbolehkan sebelum tidur. Sehingga sebagian Muslimin tidak mampu melaksanakan ujian ilahi ini; mereka tidak kuat untuk tidak bercampur dengan istrinya. Al-Quran menyebutnya dengan istilah "takhtanuna anfusakum" yakni berkhianat atas diri sendiri.
Allah Swt menurunkan ayat ini untuk menghalalkan makan, minum dan bercampur dengan isterinya di malam hari Ramadhan. Sehingga tidak melakukan dosa dan dimaafkan dosa sebelumnya itu. Hukum dibolehkan bercampur dengan isterinya itu bukan dalam keadaan i'tikaf di masjid. Karena berjanabah di masjid sangat dilarang.
Ayat ini juga memberi kesan yang bagus tentang hubungan suami dan istri. Suami isteri masing-masing adalah pakaian bagi yang lainnya. Baju merupakan penutup kekurangan manusia juga penghias yang indah bagi manusia; dapat memelihara keharmonisan, keindahan. Seperti halnya baju bisa memberi kehangatan bagi manusia, demikian istri dapat menyamankan dan memberi ketenangan sebuah keluarga. Suami pun demikian juga sama-sama berperan.
Dari empat ayat tadi terdapat enam pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ciri khas agama Islam adalah mudah. Kalau kita kesulitan melakukan peraturan Tuhan, pasti Tuhan akan memberikan keringanan.
2. Melawan Tuhan, berbuat dosa, menzalimi dan berkhianat akibatnya akan ditanggung sendiri, Tuhan tidak bisa dilibatkan.
3. Islam bukan agama rahibisme yang anti kenikmatan. Di samping aktivitas ritual, Islam juga memberi keseimbangan dengan kenikmatan yang disyariatkan.
4. Ketika Tuhan telah menetapkan cara dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, maka tertutuplah jalan-jalan maksiat lainnya.
5. Mendekati dosa adalah dosa, jatuh dalam dosa juga dosa. Tuhan tidak mengatakan jangan lakukan dosa itu, tetapi Tuhan mengatakan jangan mendekati dosa itu.
6. Semua aturan Allah baik itu perkawinan, puasa dan lain-lain kesemuanya adalah upaya dalam meningkatkan spiritualisme dan menghindarkan dosa.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 177-179
Ayat ke 177
Artinya:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang yang meminta-minta dan hamba sahaya, mendirikan solat dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Ayat yang termasuk sejumlah ayat al-Quran terlengkap ini menerangkan prinsip-prinsip kebaikan terpenting dari sisi keyakinan, amal perbuatan dan akhlak dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa mengamalkan ayat ini, maka sempurnalah imannya."
Seperti halnya dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan perubahan kiblat, kami telah kemukakan bahwa orang-orang Yahudi membuat hingar bingar terhadap masalah ini dan menampilkannya sebagai suatu persoalan yang penting, ayat ini dalam jawaban lainnya kepada mereka menyebutkan, "Jangan dikira agama Allah hanya terangkum dalam soal kiblat sehingga kalian mengerahkan seluruh pikiran untuknya.
Tetapi, agama-agama ilahi terbentuk dari tiga bagian mendasar, dan orang baik sejati ialah orang yang memiliki perhatian lengkap terhadap seluruh bagian agama. Satu bagian dari agama berkaitan dengan keyakinan atau akidah, yang mana manusia harus mengimani Allah, para malaikat, kitab-kitab samawi dan para nabi sepenuh hati.
Jelas, iman seperti ini harus dilahirkan dalam bentuk amal perbuatan dengan melaksanakan tugas-tugas ibadah, seperti; solat, menolong para fakir dan orang-orang yang memerlukan dalam bentuk pemberian infak dan zakat yang merupakan bagian lain dari agama.
Namun, hanya menciptakan hubungan dengan Allah dan ciptaan-Nya tidaklah cukup, tetapi pemeliharaan hubungan dengan cara yang benar dan istiqomah memerlukan pemeliharaan prinsip-prinsip akhlak seperti; kesabaran, ketabahan, kesetiaan dan komitmen terhadap seluruh perjanjian ilahi dan insani. Ayat ini menilai seorang Mukmin yang baik selain menunaikan infak wajibnya, yaitu zakat, juga menunaikan infak tidak wajib. Berbeda dengan sebagian orang saat menolong orang-orang yang memerlukan, mereka tidak mengeluarkan lagi hak-hak wajibnya. Dan sebagian lagi mengeluarkan zakat wajib, namun acuh tak acuh terhadap orang-orang miskin.
Ayat ke 178
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang yang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih..."
Islam adalah agama yang komprehensif, yang tidak hanya meletakkan hukum dan undang-undang khusus bagi manusia dari dimensi individu, tapi juga untuk perkara-perkara sosial mereka, sehingga masyarakat manusia mendapatkan keamanan dan ketertiban yang diperlukan. Salah satu persoalan yang terkadang terjadi pada setiap masyarakat adalah pembunuhan.
Untuk mencegah terjadinya pembunuhan dan pengulangannya yang mengakibatkan ketidakamanan di masyarakat, Islam menetapkan hukum qishas. Berdasarkan hukum ini, jika pembunuhan itu disengaja, maka pembunuh dihukum bunuh pula, sehingga darah orang yang teraniaya tidak sia-sia begitu saja dan tidak memberi peluang orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Tentunya dalam qishas, keadilan harus diperhatikan. Lantara itu berdasarkan kesamaan antara pembunuh dan terbunuh, lelaki dihukum qishas dihadapan lelaki dan perempuan dihadapan perempuan. Dan apabila pembunuh dan terbunuh tidak dari satu jenis maka diyah (denda) mereka harus dibayar.
Pentingnya undang-undang ini tampak jelas ketika kita mengetahui bila di antara orang-orang Arab jahiliah seorang dari kabilah mereka dibunuh, mereka bersedia membunuh dan menumpahkan darah kabilah pembunuh hanya lantaran satu orang dan melakukan peperangan panjang. Akan tetapi, Islam yang dibangun berdasarkan keseimbangan dan keadilan, dari satu sisi tidak mengizinkan pembunuhan lebih dari seorang karena satu orang terbunuh, dan dari sisi lain, bagi pihak pewaris diakui memiliki hak untuk menuntut qishas pembunuh atau jika menginginkan, mereka dapat mengambil diyah.
Tentunya, jika para pemilik darah atau pihak pewaris ingin mengambil diyah, maka tidak boleh melampaui kewajaran dan memaksakan berhutang, sebagaimana pula pembunuh juga tidak boleh seenaknya mengentengkan pembayaran diyah. Tetapi keduanya harus mengambil jalan yang baik dan wajar dan mengetahui bahwa segala bentuk pelanggaran terhadap undang-undang Ilahi akan mendapat balasan berat di hari kiamat kelak.
Ayat ke 179
Artinya:
Dan dalam qishas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa.
Sayangnya, sebagian orang yang menyebut dirinya sebagai pemikir, tanpa memperhatikan dampak-dampak positif hukum qishas melontarkan suatu kritikan, yaitu apakah dengan membunuh si pembunuh, korban terbunuh akan hidup kembali? Disamping itu dengan melaksanakan qishas berarti anda telah membunuh manusia lain dan menjadi pelaku pembunuhan.
Dalam menjawab kritikan yang dewasa ini dilontarkan dengan dalih hak asasi manusia (HAM), al-Quran menyinggung sebuah poin mendasar yaitu: Kehidupan masyarakat manusia tanpa keadilan dan keamanan tidaklah mungkin. Demi memenuhi kedua hal itu, qishas terhadap seorang pembunuh merupakan suatu keharusan. Seperti halnya, demi menjaga kesihatan seseorang, maka pemotongan bagian tubuhnya yang rusak merupakan keharusan.
Pada prinsipnya, qishas menjamin keamanan masyarakat sebelum terdapat sebuah aksi balas dendam pribadi. Pada kenyataannya, sekaran ini perhitungan kejahatan dan kriminalitas di negara mana yang lebih besar? Di negara-negara yang diberlakukan hukum qishas walau tidak sempurna, atau negara-negara yang menganggap dirinya sebagai pembela hak asasi manusia (HAM) menilai qishas sebagai undang-undang pembunuh?
Dari tiga ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Iman kepada Allah tanpa membantu orang-orang yang memerlukan dan orang- orang yang sakit serta menghormati hak-hak manusia, tidaklah efektif.
2. Menggunakan harta di jalan Allah merupakan salah satu tanda kebenaran dalam Islam.
3. Lazimnya keimanan adalah kesabaran, ketabahan menghadapi kefakiran, rasa sakit dan berbagai peristiwa peperangan. Dan jika tidak, maka memiliki keimanan hanya ketika berada dalam kemewahan, kesejahteraan dan keamanan, tidak menunjukkan keteguhan iman.
4. Islam tidak seperti sebagian hukum dan undang-undang lain yang hanya menganggap qishas sebagai jalan sanksi hukuman bagi pembunuh, dan tidak pula seperti sebagian lain yang menganggap amnesti atau pemberian maaf sebagai jalan terbaik. Tetapi, disamping hukum qishas, Islam juga menerima jalan pemberian maaf atau menuntut harga darah (denda).
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 177-179
Ayat ke 177
Artinya:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang yang meminta-minta dan hamba sahaya, mendirikan solat dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Ayat yang termasuk sejumlah ayat al-Quran terlengkap ini menerangkan prinsip-prinsip kebaikan terpenting dari sisi keyakinan, amal perbuatan dan akhlak dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa mengamalkan ayat ini, maka sempurnalah imannya."
Seperti halnya dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan perubahan kiblat, kami telah kemukakan bahwa orang-orang Yahudi membuat hingar bingar terhadap masalah ini dan menampilkannya sebagai suatu persoalan yang penting, ayat ini dalam jawaban lainnya kepada mereka menyebutkan, "Jangan dikira agama Allah hanya terangkum dalam soal kiblat sehingga kalian mengerahkan seluruh pikiran untuknya.
Tetapi, agama-agama ilahi terbentuk dari tiga bagian mendasar, dan orang baik sejati ialah orang yang memiliki perhatian lengkap terhadap seluruh bagian agama. Satu bagian dari agama berkaitan dengan keyakinan atau akidah, yang mana manusia harus mengimani Allah, para malaikat, kitab-kitab samawi dan para nabi sepenuh hati.
Jelas, iman seperti ini harus dilahirkan dalam bentuk amal perbuatan dengan melaksanakan tugas-tugas ibadah, seperti; solat, menolong para fakir dan orang-orang yang memerlukan dalam bentuk pemberian infak dan zakat yang merupakan bagian lain dari agama.
Namun, hanya menciptakan hubungan dengan Allah dan ciptaan-Nya tidaklah cukup, tetapi pemeliharaan hubungan dengan cara yang benar dan istiqomah memerlukan pemeliharaan prinsip-prinsip akhlak seperti; kesabaran, ketabahan, kesetiaan dan komitmen terhadap seluruh perjanjian ilahi dan insani. Ayat ini menilai seorang Mukmin yang baik selain menunaikan infak wajibnya, yaitu zakat, juga menunaikan infak tidak wajib. Berbeda dengan sebagian orang saat menolong orang-orang yang memerlukan, mereka tidak mengeluarkan lagi hak-hak wajibnya. Dan sebagian lagi mengeluarkan zakat wajib, namun acuh tak acuh terhadap orang-orang miskin.
Ayat ke 178
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang yang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih..."
Islam adalah agama yang komprehensif, yang tidak hanya meletakkan hukum dan undang-undang khusus bagi manusia dari dimensi individu, tapi juga untuk perkara-perkara sosial mereka, sehingga masyarakat manusia mendapatkan keamanan dan ketertiban yang diperlukan. Salah satu persoalan yang terkadang terjadi pada setiap masyarakat adalah pembunuhan.
Untuk mencegah terjadinya pembunuhan dan pengulangannya yang mengakibatkan ketidakamanan di masyarakat, Islam menetapkan hukum qishas. Berdasarkan hukum ini, jika pembunuhan itu disengaja, maka pembunuh dihukum bunuh pula, sehingga darah orang yang teraniaya tidak sia-sia begitu saja dan tidak memberi peluang orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Tentunya dalam qishas, keadilan harus diperhatikan. Lantara itu berdasarkan kesamaan antara pembunuh dan terbunuh, lelaki dihukum qishas dihadapan lelaki dan perempuan dihadapan perempuan. Dan apabila pembunuh dan terbunuh tidak dari satu jenis maka diyah (denda) mereka harus dibayar.
Pentingnya undang-undang ini tampak jelas ketika kita mengetahui bila di antara orang-orang Arab jahiliah seorang dari kabilah mereka dibunuh, mereka bersedia membunuh dan menumpahkan darah kabilah pembunuh hanya lantaran satu orang dan melakukan peperangan panjang. Akan tetapi, Islam yang dibangun berdasarkan keseimbangan dan keadilan, dari satu sisi tidak mengizinkan pembunuhan lebih dari seorang karena satu orang terbunuh, dan dari sisi lain, bagi pihak pewaris diakui memiliki hak untuk menuntut qishas pembunuh atau jika menginginkan, mereka dapat mengambil diyah.
Tentunya, jika para pemilik darah atau pihak pewaris ingin mengambil diyah, maka tidak boleh melampaui kewajaran dan memaksakan berhutang, sebagaimana pula pembunuh juga tidak boleh seenaknya mengentengkan pembayaran diyah. Tetapi keduanya harus mengambil jalan yang baik dan wajar dan mengetahui bahwa segala bentuk pelanggaran terhadap undang-undang Ilahi akan mendapat balasan berat di hari kiamat kelak.
Ayat ke 179
Artinya:
Dan dalam qishas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa.
Sayangnya, sebagian orang yang menyebut dirinya sebagai pemikir, tanpa memperhatikan dampak-dampak positif hukum qishas melontarkan suatu kritikan, yaitu apakah dengan membunuh si pembunuh, korban terbunuh akan hidup kembali? Disamping itu dengan melaksanakan qishas berarti anda telah membunuh manusia lain dan menjadi pelaku pembunuhan.
Dalam menjawab kritikan yang dewasa ini dilontarkan dengan dalih hak asasi manusia (HAM), al-Quran menyinggung sebuah poin mendasar yaitu: Kehidupan masyarakat manusia tanpa keadilan dan keamanan tidaklah mungkin. Demi memenuhi kedua hal itu, qishas terhadap seorang pembunuh merupakan suatu keharusan. Seperti halnya, demi menjaga kesihatan seseorang, maka pemotongan bagian tubuhnya yang rusak merupakan keharusan.
Pada prinsipnya, qishas menjamin keamanan masyarakat sebelum terdapat sebuah aksi balas dendam pribadi. Pada kenyataannya, sekaran ini perhitungan kejahatan dan kriminalitas di negara mana yang lebih besar? Di negara-negara yang diberlakukan hukum qishas walau tidak sempurna, atau negara-negara yang menganggap dirinya sebagai pembela hak asasi manusia (HAM) menilai qishas sebagai undang-undang pembunuh?
Dari tiga ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Iman kepada Allah tanpa membantu orang-orang yang memerlukan dan orang- orang yang sakit serta menghormati hak-hak manusia, tidaklah efektif.
2. Menggunakan harta di jalan Allah merupakan salah satu tanda kebenaran dalam Islam.
3. Lazimnya keimanan adalah kesabaran, ketabahan menghadapi kefakiran, rasa sakit dan berbagai peristiwa peperangan. Dan jika tidak, maka memiliki keimanan hanya ketika berada dalam kemewahan, kesejahteraan dan keamanan, tidak menunjukkan keteguhan iman.
4. Islam tidak seperti sebagian hukum dan undang-undang lain yang hanya menganggap qishas sebagai jalan sanksi hukuman bagi pembunuh, dan tidak pula seperti sebagian lain yang menganggap amnesti atau pemberian maaf sebagai jalan terbaik. Tetapi, disamping hukum qishas, Islam juga menerima jalan pemberian maaf atau menuntut harga darah (denda).
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 172-176
Ayat ke 172
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rejeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.
Dunia bagaikan kebun, sementara orang-orang saleh dan suci merupakan bunga dan tetumbuhan taman tadi. Nikmat-nikmat Allah, seumpama air yang dialirkan oleh tukang kebun guna pertumbuhan bunga-bunganya, namun apa boleh dibuat, rumput-rumput liar juga mengambil kesempatan dari air tadi.
Allah Swt menasehatkan kepada orang-orang Mukmin, agar memanfaatkan nikmat-nikmat-Nya dan agar tidak mengharamkan sesuatu tanpa dalil dan alasan. Karena nikmat-nikmat tadi pada dasarnya diciptakan untuk mereka. Dimaklumkan bahwa rezeki Allah bukanlah untuk penyembahan perut dan pelampiasan nafsu semata, karena, buah kebun ilahi, adalah amal saleh, maka nikmat-nikmat Tuhan harus dimanfaatkan di jalan yang terbaik dan inilah syukur yang sejati.
Ayat ke 173
Artinya:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Metode al-Quran biasanya, setiap kali hendak mengharamkan sesuatu perbutan, pertama, al-Quran menjelaskan jalan-jalan halal dan yang diperbolehkan dan selanjutnya bagian-bagian yang haram.
Menyusul ayat tadi yang menganjurkan agar orang-orang Mukmin memanfaatkan makanan-makanan yang mubah dan bersih, ayat ini menjelaskan bahwa segala sesuatu halal bagi kalian dan Allah Swt mengharamkan sebagian kecil lantaran bahaya-bahaya yang mengancam jasmani dan ruh kalian.
Pengharaman darah, bangkai dan daging babi adalah disebabkan kekotoran bentuh lahirnya, namun pengharaman binatang-binatang yang dikorbankan oleh para penyembah berhala di hadapan sesembahan mereka, atau mereka menyembelih binatang-binatang tadi dengan nama berhala, adalah disebabkan kekotoran batin yaitu syirik.
Berangkat bahwa agama Islam adalah agama yang sempurna, dan sekaligus mudah, maka Islam tidak mengenali istilah kebuntuan dan setiap taklif atau kewajiban yang dijatuhkan kepada ummatnya, ketika kondisi darurat, taklif itu tidak berlaku dan ini pertanda kasih sayang Allah Swt, maka umat Islam tidak boleh menyalahgunakan hukum darurat.
Ayat ke 174
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah) mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.
Ayat sebelumnya menjelaskan beberapa makanan haram seperti daging babi dan bangkai. Ayat ini menjelaskan satu kaidah umum berkaitan dengan ini adalah:
Jika manusia memperoleh uang dari jalan haram dan dosa, apa saja yang dibeli dengan uang itu, walaupun berupa makanan halal, tak ubahnya ia memakan api dan bagi dirinya kesakitan dan kesulitan.
Salah satu dari uang haram, upah diam yang mana seseorang diupah karena bersedia untuk menyembunyikan kebenaran, seperti yang dilakukan oleh cendekiawan Yahudi dan Kristen.
Walaupun, tanda-tanda kenabian sudah disaksikan dalam Taurat dan Injil, dan mereka mengenalinya dengan baik, namun manakala pengakuan akan kenabian Rasul Saw, sama saja dengan kehilangan harta dan kedudukan, mereka lebih suka untuk menyembunyikan kebenaran dan mengingkarinya atau mendustakannya.
Sebagai penjelasan soal siksa yang akan dijatuhkan kepada kelompok ini, Allah Swt menyatakan bahwa orang-orang yagn tidak bersedia menyampaikan kalam ilahi di dunia kepada rakyat, maka pada hari kiamat nanti, mereka tidak akan dapat mendengar kalam Ilahi yang penuh kasih sayang.
Ayat ke 175-176
Artinya:
"Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan, maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.
Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran, dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang kebenaran Al-kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh."
Dua ayat ini menjelaskan hasil penyembunyian kebenaran yang terhitung dosa khas para ulama yang fasid, tidak lain adalah kehilangan cahaya petunjuk dan jatuh ke lembah kesesatan. Ilmu dengan sendirinya tidak akan menyebabkan kebahagian, melainkan mungkin dapat menyebabkan kesesatan satu generasi manusia, seperti halnya para cendekiawan bejat bukan saja tidak memperoleh hidayah atau petunjuk, bahkan telah menjadi sebab kebejatan dan kesesatan sekelompok banyak masyarakat di sepanjang sejarah.
Sudah sewajarnya, jika siksa para cendekiawan tadi bukan hanya bersangkutan dengan kesesatan mereka saja, melainkan karena mereka penyebab kesesatan banyak orang, maka mereka harus merasakan kepedihan siksaan semua penyelewengan dan betapa pedih siksaan tersebut. Ayat 176 menyebut sumber penyembunyian kebenaran itu adalah penentangan terhadap kebenaran, dimana beberapa orang kendati mereka mengetahui kebenaran, tetapi mereka tidak bersedia menerimanya, bahkan mereka memeranginya, maka dari itulah, dengan berbagai cara, mereka berusah menanamkan benih perselisihan dan keraguan dalam kebenaran.
Dari lima ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam memperhatikan masalah makanan dan berulang kali menjelaskan sisi halal-haramnya.
2. Perhatian kepada Allah bukan saja pada saat doa dan ibadah, tetapi juga dalam soal makanan dan minuman. Oleh karenanya, tidak diperboehkan memakan makanan yang disembelih bukan atas nama Allah.
3. Uang yang diperoleh dari jalan haram, bila dibelikan makanan paling halal sekalipun, makanan itu tak ubahnya seperti memasukkan api ke dalam perut.
4. Allah Swt berbicara langsung dengan Musa asdi dunia, tapi diHari Kiamat nanti semua orang bersih akan berbicara langsung dengan Allah Swt.
5. Menjual agamasenilai seluruh dunia tetap saja merupakan kerugian. Sebagian orang tidak beriman bukan karena tidak tahu, tapi membenci kebenaran. Bila mengetahui kebenaran, ia tetap tidak akan bersedia menerimanya.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 167-171
Ayat ke167
Artinya:
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "seandainya kami dapat kembali ke dunia, pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan ke luar dari api nereka.
Dalam sejumlah ayat sebelum ini, telah dijelaskan bahwa manakala orang-orang yang berbuat jahat menyaksikan siksa Allah, maka para pemimpin mereka berlepas diri dari para pengikutnya. Karena cinta kasih yang berlandaskan kepada hawa nafsu dan harapan, pada hari kiamat nanti akan berubah menjadi permusuhan dan kedengkian.
Ayat di atas menjelaskan bahwa para ahli neraka meminta kepada Allah supaya dapat kembali ke dunia dan menunjukkan kebencian dan kemuakannya terhadap para pemimpin mereka sewaktu di dunia. Karena mereka tidak memperoleh apapun dari perbuatan-perbuatan mereka kecuali penyesalan. Namun apa gunanya penyesalan, karena jalan untuk kembali sudah tertutup rapat.
Di hadapan para penganut akidah Jabariyah (Determinisme) ayat ini memberikan penjelasan tentang kebebasan manusia untuk memilih di dunia. Karena penyesalan mengindikasikan bahwa kita dapat melakukan selain yang telah berlaku. Namun kita telah memilih jalan yang salah menurut pilihan kita sendiri.
Ayat ke168
Artinya:
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Makan dan minum merupakan tuntutan fitrah dan naluri, bahkan keperluan kepada makanan adalah salah satu dari keperluan asasi semua manusia. Namun sebagaimana pada kebanyakan perkara lainnya, dalam pemenuhan keperluan makan ini adakalanya terjadinya ifrath dan tafrith atau ekstrim berlebihan dan berkekurangan.
Adasebagian orang yang hendak menuruti segala yang diinginkan hawa nafsu dalam makan dan minum tanpa menerima sebarang peraturan dan standar dan mereka mengabaikan sisi akal dan syariat. Adakah perbuatan itu boleh atau diharamkan. Begitu pula adakah makanan itu diperoleh dari cara yang halal atau haram? yang mereka tuju semata-mata untuk mengenyangkan perut dan memenuhi hawa nafsu.
Di pihak lain, beberapa orang lainnya tanpa argumentasi dan alasan yang memuaskan, tidak mau makan apa yang telah diperbolehkan oleh akal dan syaariat. Mereka berpikir bahwa cara ini identik dengan perjuangan melawan hawa nafsu. Islam adalah agama yang sempurna. Islam memiliki peraturan dalam soal makanan dan minuman. Islam menghalalkan apa yang diperlukan oleh badan manusia. Adapun yang merugikan dan membahayakan jasmani dan ruh manusia diharamkan.
Ayat tadi menjelaskan bahwa apa yang ada di bumi adalah diciptakan untuk manusia. Oleh karena itu, makanlah apa yang sesuai dan halal bagi anda dan janganlah anda sekali-kali menghalalkan atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil wahyu atau hadis. Karena perbuatan itu adalah program setan untuk menyesatkan kalian. Sama seperti yang telah dilakukan setan terhadap Nabi Adam dan Sayidah Hawa, sehingga mereka bersedia memakan buah khuldi yang terlarang. Minum minuman keras adalah perbuatan setan dan menjauhi benda-benda halal biasanya mengacu kepada ideologi batil dan khurafat juga bisikan setan.
Ayat ke 169
Artinya:
Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.
Ayat sebelumnya mengatakan, "setan adalah musuh kalian", sementara ayat ini menyebutkan, "tanda permusuhan setan terhadap kalian adalah senantiasa menyeru kalian kepada keburukan yang hasil kesemuanya adalah kesengsaraan dan kegelapan hati." Hal itu dilakukan setan meskipun ia tidak memiliki kekuasaan terhadap kita, sehingga dapat mencabut kebebasn kita untuk memilih. Melainkan maksud dari perintahnya kepada perbuatan dosa, adalah bisikan-bisikannya yang setiap kali dilakukan mampu melemahkan iman manusia. Bila iman manusia melemah, gangguannya akan semakin mengena. Setan juga menyeru manusia untuk berbuat dosa dan juga menunjukkan justifikasinya.
Berdusta atas nama Allah merupakan salah satu dari pembenaran perbuatan dosa yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan menyeleweng berdasarkan kebodohan dan khurafat dan selanjutnya untuk menjustifikasi perbuatannya tadi dan menisbatkannya kepada Allah.
Ayat ke170
Artinya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka, ikutilahh apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: "Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami, apakah mereka akan mengikuti juga, walupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?
Memelihara budaya dan tradisi nenek moyang merupakan suatu perkara yang bernilai, namun di tempat dimana tradisi itu berpijak kepada akal, pemikiran atau wahyu ilahi, bukannya kita mengikuti tradisi khurafat orang-orang terdahulu lantaran fanatisme.
Salah satu dari jalan setan untuk menyusup dalam diri manusia, adalah taklid buta terhadap nenek moyang, dimana manusia sebagai ganti mentaati perintah-perintah ilahi, mereka melakukan tradisi-tradisi salah orang-orang terdahulu tanpa banyak pikir. Padahal mereka menyadari bahwa perbuatan tadi salah dan agama pun melarang mereka melakukan perbuatan tersebut.
Ayat ke171
Artinya:
Dan perumpamaan orang yang menyeru orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti.
Ayat sebelumnya mengatakan, orang-orang kafir mengikuti secara buta akidah-akidah khurafat nenek moyang mereka, padahal orang-orang terdahulu memperoleh akidah-akidah tadi tidak berdasarkan wahyu dan pikiran. Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang kafir, tidak berpikir dan berusaha untuk menemukan kebenaran. Mereka justru menutup mata dihadapan kebenaran, supaya tidak melihat dan mendengar. Persis seperti kambing-kambing, yang semakin penggembalanya menakut-nakuti kambing-kambing tersebut dengan satu bahaya, kambing-kambing tadi tidak memahami teriakan penggembal tadi kecuali teriakan dan suara keras.
Mereka itu bagaikan hewan yang memiliki mata, telinga dan lidah, namun mereka tidak berpikir, dari itulahh, mereka tidak dapat mengerti kebenaran, dan cenderung kepada tradisi-tradisi salah nenek moyang mereka dan menerima serta melaksanakan apa yang dikatakan oleh nenek moyang mereka tanpa menambahi dan menguranginya.
Dari lima ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Manusia bukanlah binatang yang menjadi budak perut, melainkan harus memenuhi keperluan makannya dalam kerangka hukum-hukum ilahi dari apa yang halal dan baik (tayyibah).
2. Siapa saja yang mengajak manusia kepada dosa dan perbuatan keji, ia adalah setan meskipun lahiriahnya berwajah manusia.
3. Mengikuti tradisi dan adat istiadat nenek moyang akan bernilai positif, bilamana berlandaskan kepada akal dan ilmu pengetahuan, jika tidak, pemindahan khurafat dari generasi ke generasi lain, tidak akan membuahkan sesuatu kecuali keterbelakangan dan kemunduran.
4. Nilai manusia terletak dalam akal dan pikirannya, karena kalau tidak, binatang juga memiliki mata dan telinga serta lisan.
Membedah Makna Syafaat dalam Pandangan Mazhab Syiah dan Ahli Sunnah
Memberikan syafaat di sisi Allah pada hari kiamat bukanlah kedudukan yang dapat dicapai oleh semua orang. Tetapi merupakan kedudukan orang-orang yang dimuliakan dan diistimewakan oleh Allah. Syafaat disalah pahami dan terkadang dijadikan sebagai pelarian dari pelaksanaan kewajiban.
Padahal syafaat adalah hasil amal perbuatan. Bahwa jika seorang hamba beramal saleh maka layak baginya mendapatkan syafaat. Misalnya, tidak lalai dari Allah dan tidak menjadikan syafaat Nabi dan Para kekasih Allah sebagai alasan boleh berbuat dosa.
a)Hadis-hadis tentang prinsip "syafaat":
Dalam kitab Raudhatu al-Waizhin, al-Qathan meriwayatkan dari as-Sukri dari al-Jauhari dari Muhammad bin Imarah dari ayahnya; Imam Shadiq as berkata: "Bukanlah dari golongan kami siapa yang mengingkari tiga perkara ini: mi'raj Nabi, pertanyaan dalam kubur dan syafaat." (Naisaburi, juz 2, hal 501; Shaduq, 1370, hal 294; al-Majlisi, 1403, juz 8, hal 37)
Riwayat dari Zaid bin Arqam dan sepuluh sahabat; Rasulullah saw bersabda: "Syafaatku pada hari kiamat adalah kebenaran, maka siapa yang tidak mengimaninya tidak tergolong orang-orang yang disyafaati." (Hindi, 1985 M, juz 14, hal 399)
b) Hadis-hadis tentang Siapa yang Memberi Syafaat:
Sebuah riwayat dalam kitab Sunan Turmudzi; Rasulullah saw bersabda: "Di dalam al-Qur`an sebuah surat yang memuat tiga puluh ayat memberi syafaat bagi seorang hamba (yang membacanya), sehingga ia diampuni Allah, yaitu surat al-Mulk." (Turmudzi, 1403 h, juz 4, hal 238)
Imam Ali as berkata: "Ketahuilah bahwa al-Qur`an diterima syafaatnya dan dibenarkan perkataannya. Siapa yang disyafaati al-Qur`an pada hari kiamat, maka berkat al-Qur`an lah ia mendapatkan syafaat." (Nahjul Balaghah, khutbah 176)
1)Nabi Muhammad Saw:
Dalam kitab al-Mahasin karya al-Barqi; Ayahku meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad Hakam bin Nafi' dari Ali bin Abu Hamzah, Imam Shadiq as berkata: "Semua manusia dari masa awal sampai masa akhir pada hari kiamat memerlukan syafaat Muhammad." (al-Barqi, 1371 h, juz 1, hal 184; al-Majlisi, juz 8, hal 42)
Dalam Sunan ad-Darimi riwayat yang disampaikan oleh Hakam bin Nafi' dari Syuaib dari az-Zuhri dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah; Nabi saw bersabda: "Setiap nabi menyerukan doa, dan jika Allah menghendaki aku ingin menahan doaku untuk supaya dapat mensyafaati umatku pada hari kiamat." (ad-Darimi, 1349 H, juz 2, hal 328)
2)Al-Qur`an:
Dalam kitab Sunan Turmudzi; Rasulullah saw bersabda: "Di dalam al-Qur`an sebuah surat yang memuat tiga puluh ayat memberi syafaat bagi seorang hamba (yang membacanya), sehingga ia diampuni Allah, yaitu surat al-Mulk." (Turmudzi, 1403 h, juz 4, hal 238)
Imam Ali as berkata: "Ketahuilah bahwa al-Qur`an diterima syafaatnya dan dibenarkan perkataannya. Siapa yang disyafaati al-Qur`an pada hari kiamat, maka berkat al-Qur`an lah ia mendapatkan syafaat." (Nahjul Balaghah, khutbah 176)
3)Malaikat:
Rasulullah saw bersabda: "Para nabi, washi, orang mukmin dan malaikat adalah yang memberi syafaat. Di antara kaum mukmin adalah orang-orang yang mensyafaati seperti kabilah Rabiah dan Mudhar. Sedikitnya orang mukmin yang mensyafaati tiga puluh orang. Syafaat tidak akan dimiliki kaum musyrik, orang-orang yang syak (tidak beriman), yang kafir dan pembangkang. Tetapi dimiliki orang-orang beriman yang bertauhid." (al-Majlisi, juz 8, hal 58)
Dalam Sunan an-Nasa`i; Rasulullah saw bersabda: "Setelah Allah mengadili hamba-hamba-Nya dan hendak mengangkat mereka dari api, Dia memerintahkan para nabi dan malaikat supaya mensyafaati. Dan orang-orang yang disyafaati mempunyai tanda yang dapat dikenali, yaitu jika mereka adalah ahli sujud salat, maka api neraka tidak dapat membakar dahi mereka." (Nasa`I, 1348, juz 2, hal 181)
4) Para nabi:
Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal; Rasulullah saw bersabda: "Jika telah dipilah antara para ahli surga dan para ahli neraka, lalu yang ahli surga memasuki surga dan yang ahli neraka memasuki neraka. Maka para rasul bangkit untuk memberi syafaat." (Ibnu Hanbal, juz 3, hal 325)
Syekh Shaduq as meriwayatkan; Dari Ali as: Rasulullah saw bersabda: "Tiga kelompok yang member syafaat di sisi Allah dan syafaat mereka diterima, yaitu para nabi, ulama dan syuhada di jalan Allah." (Shaduq, 1403 H, 156)
4)Kaum mukmin:
Dalam kitab Ta`wil al-Ayat azh-Zhahirah sebuah riwayat dari Aban bin Taghlab; "Aku mendengar Abu Abdillah berkata, "Sesungguhnya orang mukmin pada hari kiamat akan memberi syafaat bagi keluarganya, sampai ketika tinggal pembantunya seorang, dia mengangkat kedua tangannya seraya berucap: "Tuhanku, syafaatilah pembantuku yang (selama hidupku di dunia) telah menjaga aku dalam kepanasan maupun kedinginan." Lalu Allah menerima syafaatnya untuk pembantunya itu." (Ta`wil al-Ayat azh-Zhahirah, juz 1, hal 387; al-Bihar, juz 8, hal 61)
Rasulullah saw bersabda: "Para nabi dan malaikat serta kaum mukmin akan memberi syafaat. Maka Allah berkata, "Tinggallah[1] syafaat-Ku!". (al-Bukhari, juz 9, hal 160)
6-Syuhada (Orang-orang yang mati syahid di jalan Allah):
Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya meriwayatkan; Rasulullah saw bersabda: "Diperkenankan bagi para malaikat, para nabi dan syuhada untuk memberi syafaat. Maka mereka mensyafaati, dan mereka mengeluarkan siapa yang ada setitik iman di hatinya, dari api neraka." (Musnad Ibn Hanbal, juz 5, hal 43)
Syekh Shaduq as meriwayatkan hadis dari Imam Ali as; Rasulullah saw bersabda: "Tiga kelompok yang memberi syafaat di sisi Allah Azza wa Jall; pertama para nabi, kemudian ulama lalu syuhada." (Shaduq, hal 156)
7-Ulama:
Ahmad bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya dari Abu Abdillah as; "Apabila telah datang hari kiamat, Allah membangkitkan orang alim dan orang ‘âbid. Ketika mereka berdiri di di hadapan Allah dikatakan kepada si abid, "Pergilah ke surga!" Dan dikatakan kepada si alim, "Tetaplah di tempat dan syafaatilah orang-orang yang telah kamu ajari ilmu." (Shaduq, juz 2, hal 394, al-Bihar, hal 56)
Rasulullah saw bersabda: "Pada hari kiamat, para nabi akan memberi syafaat, kemudian ulama kemudian syuhada." (Sunan Ibnu Majah, hal 737)
8-Puasa:
Riwayat dengan isnad dari Ali bin Hasan bin Fadhal, dari Abu Abdillah: "Dalam hadis yang panjang Rasulullah Saw bersabda: "Puasa adalah perisai (pelindung) dari api neraka." (Tafshil Wasail asy-Syiah ila Tahshil Masail asy-Syariah, juz 10, hal 395)
Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal diriwayatkan; Rasulullah saw bersabda: "Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada hari kiamat. Amal puasanya berkata: "Tuhan, aku telah menahan dia dari makanan dan syahwat di waktu siang hari. Maka jadikanlah aku pensyafaat baginya." Dan al-Quran berkata: "Aku telah menahan dia dari tidur di waktu malam, maka jadikanlah aku pensyafaat baginya." Maka keduanya mensyafaati." (hal 174)
9-Para penghafal al-Quran:
Rasulullah Saw bersabda: "Siapa yang membaca al-Quran sampai ia menghapalkan dan menghapalnya, maka Allah memasukkan dia ke dalam surga dan menjadikan dia pemberi syafaat bagi sepuluh orang dari keluarganya yang telah ditetapkan masuk api neraka." (Tafsil Wasail asy-Syiah ila Tahshil Masail asy-Syiah, juz 9, hal 169)
Sebuah hadis dalam Sunan Turmudzi riwayat dari Ali dari Rasulullah saw: "Siapa yang belajar al-Quran lalu menghapalkannya, kemudian ia menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Maka Allah memasukkan dia ke dalam surga dan menjadikan dia mensyafaati sepuluh orang dari keluarganya yang telah ditetapkan masuk api neraka." (Turmudzi, hal 245)
c) Riwayat-riwayat Syiah dan Sunni tentang Orang-orang yang Disyafaati:
Dalam sumber-sumber Islam disebutkan dengan jelas siapa saja yang memperoleh syafaat:
«یعْلَمُمَا بَینَ أَیدِیهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا یشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْیتِهِ مُشْفِقُونَ»(انبیاء/28).
"Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan dan di belakang mereka (malaikat), dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (QS: al-Anbiya 28)
Oleh karena itu, syafaat adalah khusus bagi orang-orang yang Allah ridhai karena agama mereka.
«یوْمَئِذٍ لَّا تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِی لَهُ قَوْلًا» (طه/109)
"Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pengasih telah memberi izin kepadanya dan meridai perkataannya." (QS: Thaha 109)
Ayat ini menjelaskan bahwa keridhaan Allah itu mutlak tanpa dengan syarat amal tertentu, bahwa keridhaan Allah adalah karena agama mereka. Sebagaimana pula dalam firman Allah:
«یوْمَنَحْشُرُ الْمُتَّقِینَ إِلَى الرَّحْمَنِ وَفْدًا * وَنَسُوقُ الْمُجْرِمِینَ إِلَى جَهَنَّمَ وِرْدًا * لَا یمْلِكُونَ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنِ اتَّخَذَ عِندَ الرَّحْمَنِ عَهْدًا؛
"Pada hari Kami mengumpulkan orang-orang yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih secara berkelompok-kelompok, dan Kami menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahanam dalam keadaan dahaga, mereka tidak berhak mendapat syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih." (QS: Maryam 85-87)
Jelaslah bahwa seorang pendosa yang telah mempunyai perjanjian di sisi Allah akan mendapati syafaat, dan perjanjian itu adalah agama mereka.
Dari atas disimpulkan bahwa siapakah yang akan mendapatkan syafaat, maka dapat dikatakan adalah orang-orang beriman yang telah memilih agama yang haq dan menjaga pertaliannya dengan Allah. Adapun terkait dengan dosa-dosa besar yang telah mereka lakukan, pada hari kiamat mereka menghadapi masalah yang berat. Tetapi mereka memperoleh syafaat dan mencapai keselamatan. Tentang demikian terdapat riwayat dari Syiah dan Sunni, yang menerangkan kriteria-kriteria orang-orang yang mendapatkan syafaat. Antara lain:
1)Para pelaku dosa besar:
Riwayat dalam kitab Kanzul Ummal dari Ibnu Umar dari Ka'ab bin ‘Ajarah; Rasulullah Saw bersabda: "Syafaatku adalah untuk para pelaku dosa besar dari umatku." (juz 14, hal 398)
Dalam kitab al-Amali karya Syekh Shaduq, diriwayatkan dari Ibnu Babuwaih al-Qummi dari Muhammad bin Ali Majiluwaih dari pamannya, Muhammad bin Abul qasim dari Ahmad bin Abu Abdillah Albu`qi dari Ali bn Husain al-Barqi dari Abdullah bin Jabalah dari Muawiyah bin Ammar dari Hasan bin Abdullah dari ayahnya dari kakeknya, Hasan bin Ali; Rasulullah Saw bersabda: "Syafaat adalah untuk para pelaku dosa besar dari umatku." (hal 194)
2) Orang-orang yang mengucapkan kalimat "lâ ilâha illallâh":
Dalam kitab al-Amali karya Syekh Thusi, diriwayatkan dari Abu Umar dari Ahmad dari Ahmad bin Yahya dari Abdurrahman dari Abu Ishaq dari Abbas bin Ma'bad bin Abbas dari keluarganya dari Abbas bin Abdul Muthalib bahwa dia berkata: "Ketika Abu Thalib mendekati wafatnya, Nabi berkata kepadanya, "Duhai paman, ucapkanlah satu kalimat niscaya Anda akan mendapatkan syafaat dengannya pada hari kiamat: "lâ ilâha illallâh"." (hal 265)
Dalam Musnad Ahmad diriwayatkan; Rasulullah Saw bersabda: "Para nabi akan memberi syafaat bagi siapa saja yang telah bersaksi dengan tulus bahwa tiada tuhan selain Allah. Mereka akan mengeluarkan orang-orang ini dari api neraka." (juz 3, hal 12)
e) Riwayat-riwayat Syiah dan Sunni tentang Siapa yang tidak Memperoleh Syafaat:
1-Musyrik (yang menyekutukan Allah):
Riwayat dalam Sunan Ibnu Majah; Rasulullah Saw bersabda: "Setiap nabi memiliki doa yang dikabulkan, maka setiap nabi menggunakan doanya. Sedangkan aku menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku, dan syafaatku akan diterima oleh siapa saja yang telah mati dari mereka yang tidak menyekutukan Allah dengan apapun." (hal 735)
Disebutkan dalam kitab al-Khishal karya Syekh Shaduq bahwa Imam Hasan al-Mujtaba berkata: "Sesungguhnya Nabi telah bersabda dalam menjawab seorang Yahudi yang telah bertanya tentang suatu masalah kepadanya, "Syafaatku adalah bagi para pelaku dosa-dosa besar kecuali kaum yang menyekutukan Allah dan yang lalim." (hal 355)
2-Penipu:
Sebuah riwayat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal; Rasulullah Saw bersabda: "Siapa yang menipu bangsa Arab tidak akan mendapatkan syafaatku." (juz 1, hal 72)
Dalam kitab Wasail asy-Syiah, Imam Shadiq as berkata: "Siapa yang menipu seorang muslim dalam jual-beli bukanlah dari golongan kami, dan pada hari kiamat dia akan dikumpulkan bersama kaum Yahudi karena mereka adalah orang-orang yang paling penipu terhadap kaum muslimin." (juz 12, hal 210)
3-Kaum pengingkar syafaat:
Imam Ali bin Musa ar-Ridha meriwayatkan dari Amirul mu`minin as: "Siapa yang telah mendustakan syafaat Rasulullah, maka syafaat beliau tidak akan menghampirinya. (juz 2, hal 117; Bihar al-Anwar juz 8, hal 41)
Dalam kitab Kanzul Ummal disebutkan riwayat dari Zaid bin Arqam dan sepuluh sahabat Nabi bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Syafaatku pada hari kiamat adalah kebenaran, maka siapa yang tidak mempercayainya bukan dari golongan orang-orang yang mendapatkan syafaat." (hal 399)
f) Riwayat-riwayat Syiah tentang para pensyafaat:
1-Amirul mu`minin Ali as:
Dalam kitab Manaqib Ali Abi Thalib disebutkan riwayat Imam Baqir as tentang firman Allah "تری كل امهٍ جاثیه" Ialah Nabi saw dan Ali yang menempati kedudukan yang tinggi di atas seluruh makhluk. Kemudian Nabi mensyafaati, kemudian beliau berkata: "Hai Ali, syafaatilah (mereka)!." (juz 2, hal 165; Bihar al-Anwar juz 8, hal 43)
2-Sayidah Fatimah az-Zahra as:
Dalam kitab Bisyarah al-Musthafa sebuah riwayat dari Ahmad bin Ziyad bin Ja'far al-Hamadani; dari Said bin Mushayab dari Ibnu Abbas; Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang melaksanakan salat lima waktu, berpuasa bulan Ramadan, pergi haji ke Baitullah dikala mampu, membayar zakat, taat kepada suaminya dan menerima Ali sebagai imam sesudahku, niscaya akan masuk surga berkat syafaat putriku Fatimah." (Bihar al-Anwar juz 8, hal 58)
3-Ahlulbait Nabi as:
Diriwayatkan dari Ibnu Mahbub dari Abu Usamah dari Abu Abdillah dan Abu Ja'far (as): "Demi Allah, sungguh kami akan mensyafaati para pendosa dari syiah kami, sampai musuh-musuh kami ketika melihat demikian mereka mengatakan:
«فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِینَ, وَلَا صَدِیقٍ حَمِیمٍ, فلو أنَّ لنا كره فنكون منه المؤمنین
"Maka kami tidak mempunyai seorang pun pemberi syafaat, dan tidak pula mempunyai teman yang akrab. Maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia), niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman." (QS: asy-Syu'ara 100-101) (Tafsir al-Qummi, juz 2, hal 123; Bihar al-Anwar, juz 7, hal 37)
4-Syiah Ali:
Ahmad bin Abdun berkata: "Ali bin Ahmad Zubair telah menyampaikan kepada kami dari Ali bin Hasan bin Fadhal dari Abbas bin Amir dari Ahmad bin Rizq dari Muhammad bin Abdurrahman dari Abu Abdillah; Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian meremehkan syiah Ali, karena sesungguhnya seorang dari mereka seperti kabilah Rabi'ah dan Mudhar akan member syafaat." (Shaduq, hal 307)
5-Tetangga dan Kerabat:
Muhammad bin Khalid al-Barqi meriwayatkan dari Hamzah bin Abdullah dari Ishaq bin Ammar dari Ali al-Khadmi; Imam Shadiq as berkata: "Sesungguhnya tetangga itu mensyafaati tetangganya dan kerabat mensyafaati kerabatnya. Tetapi sekiranya para malaikat muqarrabin dan para rasul memberi syafaat bagi seorang nashibi yakni orang yang membenci Ahlulbait Nabi yang suci, syafaat mereka tidak akan diterima." (al-Bihar juz 8, hal 42)
6-Silaturahim dan Amanat:
Ad-Dailami meriwayatkan dari Abu Hurairah: "Rasulullah saw bersabda, "Para pensyafaat ada lima: al-Quran, kerabat, amanat, Rasulullah dan Ahlulbait Nabi." (Manaqib ali Abi Thalib juz 2, hal 164; Bihar al-Anwar juz 8, hal 43)
7-Salawat kepada Muhammad dan keluarganya:
Dalam ash-Shahifah as-Sajjadiyah disebutkan:
«و صل علی محمد و آله صلاه تشفع لنا یوم القیامه و یوم الفاقه إلیك؛
"Sampaikanlah salawat (ya Allah) kepada Muhammad dan keluarganya, salawat yang memberi syafaat kepada kami pada hari kiamat dan pada hari ketika menghadap-Mu." (doa 31)
g) Riwayat-riwayat Syiah tentang orang-orang yang disyafaati:
1-Siapa yang berwilayah kepada Amirul mu`minin dan para imam (Ahlulbait):
Tentang tafsir ayat,
«لَا یمْلِكُونَ الشَّفَاعَهَ إِلَّا مَنِ اتَّخَذَ عِنْدَ الرَّحْمَنِ عَهْدًا»
Imam Shadiq as berkata: "Tidak akan mensyafaati dan tidak akan disyafaati serta tidak akan diterima syafaat kecuali orang yang mengakui kepemimpinan Amirul Mu`minin dan para imam suci dan itulah perjanjian di sisi Allah."
2-Orang-orang yang diridhai Allah:
«یعْلَمُ مَا بَینَ أَیدِیهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا یشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْیتِهِ مُشْفِقُونَ»
"Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan dan di belakang mereka (malaikat), dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (QS: al-Anbiya 28)
Mengenai tafsir ayat ini sebuah riwayat; hasan bin Khalid berkata kepada Imam Ridha as; "Wahai putra Rasulullah, apakah makna firman Allah "dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah"?
Beliau menjawab, "Ialah bahwa mereka tidak akan memberi syafaat kecuali bagi siapa yang agamanya diridhai dan diterima oleh Allah." (Shaduq hal 7; Bihar al-Anwar juz 8, hal 51)
3-Siapa yang menghormati dzurriyah Nabi dan membantu urusan mereka:
Amirul mu`minin as berkata: "Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya aku pada hari kiamat akan memberi syafaat bagi empat kelompok manusia walaupun mereka mempunyai dosa-dosa yang banyak sekali: 1) seorang yang menolong anak keturunanku, 2) seorang yang memberikan hartanya kepada anak keturunanku yang dalam kesulitan, 3) seorang yang mencintai anak keturunanku dengan lisan dan hatinya, dan 4) seorang yang berusaha dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak keturunanku ketika mereka terusir dan terasingkan." (at-Tibyan fi Tafsir al-Qur`an juz 4; Shaduq juz 2, hal 48)
4-Ayah dan Ibu serta paman dan saudara Nabi di masa Jahiliyah:
Ali bin Ibrahim meriwayatkan dari Muhammad bin Abu Umair dari Muawiyah dan Hisyam dari Abu Abdillah; Rasulullah saw bersabda: "Sekiranya aku berdiri di maqam al-Mahmud aku bersumpah kepada Allah bahwa aku akan memberi syafaat bagi ayah dan ibuku serta paman dan suadaraku di masa jahiliyah." (shaduq juz 4, hal 322)
h) Riwayat-riwayat Syiah tentang siapa yang tidak mendapatkan syafaat:
1-Kaum nashibi:
Ialah kelompok yang membenci dan memusuhi Ali bin Abi Thalib. (Lughat Nameh Dehkhuda, juz 14, hal 22160)
Muhammad bin Ali bin Babuwaih dari Sa'ad dari Ali ash-Sha`igh dari Imam Shadiq as; "Sesungguhnya seorang mukmin akan mensyafaati sahabatnya kecuali sahabatnya itu seorang nashibi. Sekiranya seluruh nabi yang diutus dan malaikat yang dekat di sisi Allah memberi syafaat kepadanya, syafaat mereka untuknya tidak akan diterima." (al-Mahasin juz 1, hal 186; al-Bihar juz 8, hal 41)
2-Orang kafir:
Rasulullah saw bersabda: "Syafaat tidak berlaku bagi kaum yang dalam keraguan, kaum syirik, kaum kafir dan pembangkang. Tetapi syafaatku adalah untuk kaum beriman yang bertauhid." (Bihar al-Anwar juz 8, hal 58)
3-Orang lalim:
Rasulullah saw bersabda: "Syafaatku adalah bagi para pelaku dosa-dosa besar kecuali kaum yang syirik dan yang lalim." (Mizan al-Hikmah juz 5, hal 355)
4-Orang yang menyakiti dzurriyah Nabi saw:
Rasulullah saw bersabda: "Jika aku menempati maqam al-Mahmud, maka aku akan memberi syafaat bagi orang-orang yang berdosa dari umatku, dan Allah mengabulkan syafaatku. Sumpah demi Allah, aku tidak akan mensyafaati orang-orang yang telah menyakiti dzurriyah (anak keturunan)ku." (Shaduq, hal 177)
5-Orang yang meremehkan salat:
Riwayat dari Abu Bashir dari Abul Hasan (Imam Musa al-Kazhim) as; "Ayahku di saat menjelang ajal berkata kepadaku: "Duhai anakku! Tidak akan mendapati syafaat kami orang yang meremehkan salat." (Mizan al-Hikmah ibid; al-Kafi juz 6, hal 400)
6-Orang yang melampaui batas dalam agama:
Harun meriwayatkan dari Abu Shadaqah dari Imam Ja'far dari ayahnya; Rasulullah saw bersabda: "Dua kelompok manusia yang tidak mendapati syafaatku: pertama, adalah raja (penguasa) yang lalim dan kedua, adalah orang yang melampaui batas dalam agama dan keluar dari agama tanpa bertaubat." (al-Bihar, juz 72, hal 336)
Masalah Kedua
Soal prinsip syafaat tidak ada satupun dari aliran-aliran Islam yang meragukannya. Syafaat disepakati dan diterima oleh semua golongan Islam. Hal yang diperselisihkan hanyalah perkara-perkara partikular seperti siapa yang memperoleh syafaat. Di bawah ini kami bawakan beberapa pandangan mengenainya:
a)Ahli Sunnah:
An-Nawawi pensyarah Sahih Muslim mengatakan: "Dalam akidah mazhab Ahlussunnah wal Jamaah, syafaat menurut akal tidaklah mustahil dan tidak ada masalah. Menurut al-Quran dan ucapan ulama juga merupakan perkara yang jelas, sebab: pertama, al-Qur`an tidak menolak hakikat ini. Kedua, hadis-hadis mengenainya banyak sekali hingga mencapai mutawatir dan meyakinkan. Di sisi lain, ulama dahulu dan sekarang sepakat bahwa pada hari kiamat syafaat adalah bagi orang-orang beriman yang berdosa." (Haqaiq Tahrif Syiddate Islam wa Mas`alah-e Syafaat, hal 135; Durus fi asy-Syafaah wa al-Istisyfa', hal 45)
Qadhi Abdul Jabbar (tokoh Mu'tazilah) mengatakan: "Tidak diperselisihkan bahwa syafaat Nabi adalah ketetapan bagi umat, melainkan soal bahwa bagi siapakah syafaat itu?". (Syarh al-Ushul al-Khamsah, hal 688)."
Menjawab soal tersebut, ia mengatakan: "Bagi kami bahwa syafaat itu bagi orang-orang beriman yang bertaubat, dan menurut kelompok Murjiah bahwa syafaat itu bagi para pelaku salat namun mereka orang-orang fasik (yang berdosa dan mati tanpa bertaubat)."
Di kesempatan lain ia berkata: "Menurut kami, syafaat sudah popular dan klaim kami bahwa siapa yang mengingkarinya maka ia telah melakukan kesalahan yang besar. Kami katakan bahwa syafaat adalah untuk orang-orang yang kaya pahala dan para wali Allah, tidak untuk orang-orang yang akan disiksa dan para musuh-musuh Allah. Syafaat juga bagi orang-orang yang kaya pahala dan para wali Allah, merupakan tambahan kemuliaan dan derajat mereka." (Syarh al-Ushul al-Khamsah, hal 207)
Fakhrur Razi (tokoh besar Asy'ari) mengatakan: "Umat Islam sepakat bahwa Nabi saw akan memberi syafaat pada hari kiamat. Kaum Mu'tazilah mempunyai penafsiran lain soal syafaat dan mereka mengatakan: "Yang dimaksud syafaat Nabi ialah bahwa pada hari itu, syafaat beliau meninggikan pahala orang-orang saleh, dan bukan berarti membebaskan para pendosa dari azab." Tetapi yang benar adalah bahwa seluruh kelompok Islam selain kelompok itu, mengatakan: makna syafaat ialah membebaskan para pendosa dari siksaan api neraka hingga mereka tidak masuk neraka. Mereka yang disiksa dalam api neraka, berkat syafaat Nabi mereka keluar dari api neraka dan masuk surga." (Tafsir al-Kabir, juz 3, hal 51)
Abu Hafsh an-Nasafi (wafat 573) mengatakan: "Syafaat bagi para nabi dan kaum saleh pada hari kiamat adalah suatu kepastian. Dalam agama Islam masalah ini kokoh secara populer." (Farhange Aqaed wa Mazahebe Islam, hal 488)
Ibnu Taimiyah al-Harani ad-Dimasyqi (wafat 727 Q) tokoh utama akar mazhab Wahabi, mengatakan: "Nabi akan memberi syafaat bagi orang-orang yang menerima siksaan api neraka. Tak cuma Nabi bahkan seluruh nabi, orang-orang benar dan lainnya pun akan memberi syafaat kepada para pendosa agar mereka tidak disiksa. Sekiranya mereka telah masuk neraka, mereka akan keluar darinya." (Mansyure Jawid, juz 8, hal 193)
Nizhamuddin al-Qusyji (wafat 879) mengatakan: "Kaum muslimin meyakini syafaat sebagai dasar yang pasti tanpa mereka perselisihkan. Para mufassir mengatakan, yang dimaksud ayat:
«... عَسَى أَن یبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا»
"Dan pada sebagian malam hari, bacalah Al-Qur'an (dan kerjakanlah salat) sebagai suatu tugas tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji."
Adalah syafaat Nabi (saw)." (Mawarede Syirk Nazde Wahabiyan, hal 33)
Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri kelompok Wahabi -wafat 1206) mengatakan: "Bagi kami, syafaat merupakan perkara yang tetap. Dalam doa kami: Ya Allah, jadikanlah nabi kami Muhammad pemberi syafaat pada hari kiamat." Atau: ya Allah, jadikanlah kaum yang saleh dan para malaikat-Mu para pensyafaat kami." Maka hendaklah tidak mengucapkan: "Wahai Rasul atau wali Allah, aku memohon syafaat kepadamu!" Jika Anda memohon hajat seperti ini kepada seorang yang berada di alam barzakh, adalah termasuk syirik." (Syafaat, hal 13)
Ia juga mengatakan: "Di antara perkara-perkara yang pasti di akhirat adalah syafaat. Setiap muslim wajib mengimani syafaat Nabi dan lainnya. Tetapi tugas kita adalah kita berharap kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar Dia mengabulkan syafaat Nabi untuk kita." (Kasyful Irtiyab fi Ittiba' Muhammad bin Wahhab, hal 240)
Para pendukung Abdul Wahab mengetahui atau tidak, telah menyimpulkan masalah-masalah keislaman dalam melawan beberapa masalah seperti halnya tema syafaat. Pada prakteknya mereka menjauhkan orang-orang dari kajian-kajian sosial Islam. Terkait masalah syafaat, demikian mereka mengatakan: "Tak seorangpun dibolehkan memohon syafaat kepada Nabi, misalnya: "Wahai Muhammad, syafaatilah aku di sisi Allah!." (Tarikhceh-e Naqdo Barresi Wahabiha, hal 255) Karena Allah berfirman:
«وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا؛
"Dan bahwasanya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (QS: Jin 18)
Ridha Rasyid seorang mufassir Ahlussunnah, mengatakan:
"Sirah para pendahulu ialah bahwa syafaat adalah sebuah doa yang Allah kabulkan. Hal ini juga diterangkan dalam hadis-hadis tentang syafaat, sebagaimana dalam riwayat Sahihain dan kitab-kitab hadis lainnya bahwa Nabi pada hari kiamat dengan terilhami beliau memuji Allah, kemudian dikatakan kepadanya, "Angkatlah kepalamu dan memohonlah niscaya dikabulkan! Lalu berikanlah syafaat bahwa syafaatmu dikabulkan!" Demikian tidaklah berarti bahwa Allah berpaling dari kehendak-Nya bagi sang pensyafaat. Tetapi itu adalah penampakan karomah bagi sang pensyafaat dalam mewujudkan kehendak azali-Nya setelah ia memohon doa. Juga tidak mendukung kecerobohan orang-orang yang angkuh, mereka mengabaikan perintah dan larangan agama lantaran bersandar pada syafaat para pensyafaat. Tetapi syafaat, seluruhnya adalah kepunyaan Allah." (Tafsir al-Manar, hal 308)
Sayid Sabiq guru besar Universitas al-Azhar mengatakan: "Yang dimaksud syafaat ialah bahwa kita memohon kebaikan kepada Allah untuk umat. Pada hakikatnya, syafaat adalah antara lain dari doa-doa yang dikabulkan. Syafaat, bagian besarnya adalah berkaitan dengan Rasulullah. Beliau memohon kepada Allah agar dia yang mengadili umat manusia guna mengurangi rasa takut yang mencekam di alam mahsyar. Ketika itu Allah mengabulkan doanya. Seluruh manusia mengakui kedudukan dan keutamaan beliau yang tinggi di atas mereka semua. Itulah maqam yang tinggi dan terpuji sebagaimana yang telah Allah janjikan kepadanya. Allah berfirman:
«.... عَسَى أَن یبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا»
"Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (QS: al-Isra 79)
Ia (Sayid Sabiq) setelah membawakan sejumlah riwayat syafaat, lalu menyebutkan syarat-syarat diterimanya syafaat. (al-Aqaid al-Islamiyah, hal 73)
b)Syiah:
Syekh Mufid seorang ulama besar Syiah, mengatakan: "Imamiyah sepakat bahwa Nabi saw pada hari kiamat akan memberi syafaat bagi para pelaku dosa-dosa besar. Selain beliau, Amirul mu`minin dan para imam (Ahlulbait) akan memberi syafaat sesudah Nabi bagi kaum syiah yang berdosa. Banyak dari mereka yang berdosa selamat berkat syafaat para imam. Tetapi kelompok tertentu dari Ahlussunnah seperti Mu'tazilah bertentangan dengan kami Imamiyah, bahwa syafaat Nabi berkaitan dengan orang-orang yang taat dan bukan dengan kaum pendosa. Nabi tidak akan memberi syafaat bagi orang-orang yang ditetapkan dalam siksaan. Dalam keyakinan mereka, syafaat itu menambah pahala, bukan mengampuni dosa." (Awail al-Maqalat, hal 29)
Abu Ali Muhammad bin Ahmad Fatal an-Naisyaburi dalam kitabnya Raudhatu al-Wa'izhin setelah menukil sejumlah ayat dan riwayat tentang syafaat, mengatakan: "Tiada perselisihan di antara muslimin bahwa syafaat adalah termasuk prinsip Islam yang tak terbantahkan. Melainkan para pengikut aliran Wa'idiyah mengatakan: "Hasil syafaat adalah penambahan pahala dan pengangkatan derajat." Tetapi yang lainnya menafsirkan bahwa syafaat ialah keselamatan hamba-hamba yang berdosa." Kemudian ia (Abu Ali) merampungkan kajiannya dengan menolak pandangan yang pertama. (hal 405)
Khajeh Nashiruddin ath-Thusi mengatakan: "Keyakinan pada syafaat merupakan ijma' dan adalah termasuk akidah yang benar dalam Islam, baik merupakan penambahan pahala maupun pembatalan hukuman." (Kasyfu al-Murad fi Tajrid al-I'tiqad, hal 443)
Allamah Hilli juga mengatakan: "Ulama sepakat bahwa Nabi pada hari kiamat akan memberi syafaat. Bukti atas syafaat beliau adalah ayat:
«... عَسَى أَن یبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا؛
"Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (QS: al-Isra 79)
Ayat ini ditafsirkan dengan syafaat. Perbedaan pandangan mengenainya bahwa satu kelompok mengatakan: tujuan syafaat ialah penambahan pahala bagi orang-orang beriman. Tetapi kelompok lain mengatakan: tujuannya adalah penyelamatan para pendosa dari azab, dan inilah yang benar." (ibid hal 444)
Almarhum Thabrasi mufassir besar Syiah mengatakan: "Kaum muslimin tidak mempersoalkan adanya syafaat Nabi pada hari kiamat. Kendati soal bagaimana syafaat terjadi perbedaan pandangan di antara kelompok Mu'tazilah dan lainnya. Kami kaum Syiah mengatakan bahwa tujuan syafaat Nabi adalah keselamatan para pendosa dari azab dan balasan dosa. Sedangkan Mu'tazilah mengatakan: syafaat Nabi berlaku bagi orang-orang yang taat atau para pendosa yang telah bertaubat." (Tafsir Majma' al-Bayan, juz 3, hal 83)
Oleh karena itu, akidah Syiah terkait syafaat adalah sebagaimana akidah ulama besar Syiah. Sebab mereka dalam menyimpulkan ilmu-ilmunya merujuk pada empat pilar: al-Qur`an, sunnah, ijma' dan akal. Kesimpulan bagi keyakinan ini adalah sebagai berikut:
1-Syafaat adalah atas izin Allah.
2-Para pensyafaat adalah para nabi terutama Rasulullah saw dan para imam suci dari Ahlulbaitnya, orang-orang mukmin pilihan dan kaum yang saleh serta para malaikat Allah.
3-Kaum yang disyafaati adalah orang-orang mukmin yang telah berbuat dosa-dosa besar, tetapi agama mereka diridhai Allah.
4-Guna syafaat adalah apabila seorang hamba tidak berdosa atau berdosa lalu bertaubat, maka menjadi pengangkatan derajat. Sedangkan bagi orang-orang yang ditetapkan dalam siksaan, menjadi terampuni dan orang-orang yang dalam siksaan akan keluar dari azab. Bagi mereka yang banyak dosanya, siksaan mereka diringankan.
Pandangan ulama besar Syiah tentang keyakinan ini, sebagaimana dalam kitab "I'tiqadat" adalah demikian diterangkan: "Keyakinan kami akan syafaat adalah bagi siapa yang Allah ridhai agamanya dari hamba-hamba yang berbuat dosa-dosa besar maupun kecil. Syafaat tidak berlaku bagi kaum yang dalam keraguan dan kaum syirik, juga tidak bagi kaum kafir dan pembangkang. Tetapi berlaku bagi para pendosa yang bertauhid." (Shaduq hal 66)
Dari penelitian berbagai pandangan kelompok-kelompok Islam, sampailah pada kesimpulan bahwa tiada satupun yang mengingkari syafaat. Perbedaannya terkait soal siapa yang disyafaati.
Kelompok-kelompok tersebut terbagi pada dua golongan:
Mu'tazilah dan yang sependapat dengannya mengatakan bahwa yang disyafaati adalah para kekasih Allah, dan syafaat berlaku untuk pengangkatan derajat mereka. Sebagaimana yang dikatakan Syekh Abu Imran dalam kitabnya: "Para pendosa tidak akan memperoleh syafaat. Dan pandangan Murjiah yang didasari bahwa syafaat adalah perkara yang mungkin, yang dapat mencegah para pendosa dari masuk neraka, tidaklah benar." (Mas`aleh-e Ikhtiyar dar Tafakkure Islami wa Pasukhe Mu'tazileh be on,-terjemahan Ismail S'adat, hal 354)
Syiah dan Asya'irah mengatakan bahwa yang disyafaati adalah orang yang berdosa, dan syafaat berlaku bahwa dosanya diampuni dan ia selamat dari siksaan.
Sayid Murtadha mengatakan: "Seluruh muslimin mempercayai syafaat Nabi. Tetapi soal siapa yang akan disyafaati, terdapat dua kelompok mengenainya:
1-Mu'tazilah, kaum Khawarij dan Zaidiyah, bahwa: syafaat berlaku hanya bagi orang-orang yang bertaubat sebelum mati dan tidak berbuat dosa.
2- Murjiah, Syiah dan Asya'irah, bahwa: syafaat berlaku bagi orang-orang yang ditetapkan dalam siksaan. Dengan syafaat mereka terlepas dari siksaan." (Syarh Jumal al-‘Ilm wa al-‘Amal, hal 156)
Ayatullah Subhani juga mengatakan: "Imamiyah dan Asya'irah meyakini bahwa kekal dalam neraka adalah bagi kaum kafir. Sedangkan orang-orang Islam yang berdosa, setelah sekian masa keluar dari neraka menuju surga. Sementara pandangan Mu'tazilah bahwa kekal dalam neraka diperuntukkan kaum kafir dan orang-orang Islam pelaku dosa-dosa besar yang tidak bertaubat. Dalam hal ini mereka bersandar pada sejumlah ayat yang jika diperhatikan apa yang terkandung di dalamnya, argumentasi mereka jelas sekali lemah." (Farhange Aqaed wa Mazaheb Islam, hal 175) (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)
Pustaka:
1-al-Qur`an (terjemahan –Persia- oleh Muhammad Mahdi Fuladund.
2-Nahjul Balaghah (terjemahan Muhammad Dasyti, cet tahun 1379 Syamsiyah).
3-Sahifah Sajjadiyah.
4-Musnad Ahmad bin Hanbal.
5-Kasyful Irtiyab fi Ittiba' Muhammad bin Abdul Wahab.
6-Sahih Bukhari (cet Beirut tahun 1407 Q)
7-al-Mahasin.
8-Sunan Turmudzi (cet Darul Fikr, Beirut, tahun 1403).
9-Tafshil Wasail asy-Syiah ila Tahsil Masail asy-Syariah (cet II tahun 1414 Q)
10-Ta`wil al-Ayat azh-Zhahirah.
11-Durus fi asy-Syafaah wa al-Istisyfa'.
12-Kasyful Murad fi Syarh tajrid al-I'tiqad.
13-Sunan ad-Darimi (cet I tahun 1349)
14-Lughat Nameh Dehkhuda (cet II tahun 1377 Syamsiyah)
15-Tafsir al-Kabir (cet I tahun 1411 Q)
16-Tafsir al-Manar (cet II)
17-Mawarede Syrik nazde Wahabiyan.
18-Farhange Aqaed wa Mazaheb Islami (cet II tahun 1383 Syamsiyah)
19-Mansyure Jawid.
20-Fi Zhilal at-Tauhid.
21-Manaqeb Ali Abi Thalib.
22-Mutasyabeh al-Qur`an.
23-Syarh Jumal al-‘Ilm wa al-‘Amal.
24-al-Aqaid al-Islamiyah (Sayid Sabiq)
25-Tarikhceh Naqdo Barresi Wahabiha (cet II tahun 1367 Syamsiyah).
26-Mas`aleh-e Ikhtiyar dar Tafakkure Islami wa Pasukhe Mu'tazileh be on (terjemahan Ismail Sa'adat).
27-‘Ilal asy-Syaraye'.
28-al-Amali (syekh Shaduq)
29-al-Khishal
30-‘Uyun Akhbar ar-Ridha (terjemahan Ali Akbar Ghifari).
31-Man la Yahdhuruhu al-Faqih.
32-Syafaat (Sayid Hasan Tahiri Khurram-abadi).
33-Tafsir Majma' al-Bayan.
34-al-Amali (syekh Thusi).
35-Tahdzib al-Ahkam fi Syarh al-Muqniah.
36-at-Tibyan fi Tafsir al-Qur`an.
37-Awail al-Maqalat.
38-Raudhatu al-Wa'zhin.
39-at-Tawassul wa az-Ziyarah fi asy-Syariah al-Islamiyah (cet Mesir tahun 1388 Q).
40-Syarh al-ushul al-Khamsah (cet Mesir tahun 1384 Q).
41-Thabaqat al-Mu'tazilah (cet I tahun 1393, Tunis).
42-Sunan Ibnu Majah (cet I tahun 1421 Q, Beirut).
43-Tafsir al-Qummi.
44-Ushul al-Kafi (terjemahan Muhammad Baqir Kamrei).
45-Bihar al-Anwar.
46-Mizan al-Hikmah.
47-Sunan an-Nasai (cet I, tahun 1348, Beirut).
48-Haqaeq Tahrif Syiddate Islam wa Mas`aleh-e Syafaat.
49-Kanzul ‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af'al (cet V, tahun 1985 M).
[1]Mungkin yg dimaksud bahwa syafaat mereka bergantung pada syafaat Allah.-penerj