
کمالوندی
Kedudukan dan Derajat Rasul Saw Dalam al-Quran
Manusia tidak mungkin dapat mengenal dan mensifati Nabi Muhammad Saw secara sempurna, sebab manusia agung ini adalah manifestasi kesempurnaan dan keagungan Sang Pencipta. Namun bukan berarti Rasul Saw jauh dari jangkauan, karena ia adalah teladan dan contoh bagi umat manusia. Hanya saja manusia agung ini tidak dapat disamakan atau disejajarkan dengan manusia-manusia lain.
Nabi Muhammad Saw selain memiliki kedudukan spiritual yang tinggi, juga menjalani kehidupan layaknya manusia biasa seperti memiliki pendamping hidup dan terlibat dalam kegiatan ekonomi. Dunia materi punya tuntutan-tuntutan spesifik yang tidak boleh diabaikan apalagi beliau diutus sebagai seorang teladan.
Tulisan ini mencoba mengkaji secara ringkas kedudukan dan derajat Nabi Muhammad Saw berdasarkan ayat-ayat al-Quran. Sebagai kekasih Allah Swt, beliau memiliki kedudukan dan posisi istimewa di sisi-Nya.
Tanpa ragu bahwa pengenalan dan makrifat kepada Allah Swt diperoleh melalui Rasul Saw. Semua Nabi as berada di bawah Rasul Saw dan ajaran mereka juga mengikuti risalah Muhammad Saw meski mereka datang lebih dulu. Mereka diutus untuk mempersiapkan kedatangan manusia agung ini. Dengan kata lain, semua Nabi as berada di bawah perintah Rasul Saw untuk menyampaikan risalah dan misi Nabi Muhammad Saw.
Ketika menjelaskan tentang kedudukan dan derajat keberadaannya yang mendahului Nabi-nabi as lain, Rasul Saw bersabda: "Hal yang pertama kali diciptakan Allah Swt adalah cahayaku." Sementara terkait derajat kenabian yang mendahului Nabi-nabi as lain termasuk Nabi Adam as, Rasul Saw bersabda: "Aku sudah menjadi Nabi saat Adam berada di antara air dan tanah liat." Hadis ini juga dapat dipahami bahwa pengangkatan Rasul Saw telah menjadi agenda Tuhan sebelum penciptaan Nabi Adam as dan Nabi-nabi as lain. Hanya saja waktu dan kondisi untuk mengutusnya ke tengah umat manusia belum tercipta kala itu.
Rasul Saw secara jelas telah berbicara tentang kedudukan dan derajatnya dalam berbagai bentuk dan pada kesempatan yang berbeda. Beliau Saw menyatakan cahayanya sebagai makhluk pertama yang diciptakan Allah Swt. Dalam hadis lain, Rasul Saw bersabda: "Hal yang pertama kali diciptakan Allah Swt adalah akal." Artinya, akal dan cahaya Muhammad Saw bukan dua hal yang berbeda, tapi akal dan cahaya adalah satu dan makhluk yang pertama kali ada adalah hakikat cahaya dan akal manusia agung ini. Masalah ini sudah dibuktikan dalam filsafat dan irfan teoritis; Nabi Muhammad Saw merupakan manifestasi pertama ciptaan Tuhan dan ia adalah makhluk yang paling mulia dan sempurna di antara ciptaan-Nya.
Islam juga tidak lain kecuali kebenaran yang dibawakan oleh Rasul Saw demi kebahagiaan umat manusia. Semua Nabi as adalah duta Nabi Muhammad Saw dalam menyampaikan agama yang lurus dan menyeru manusia kepada Allah Swt. Oleh karena itu, Allah Swt dengan tegas menyatakan akan menolak setiap ajaran selain Islam. "Barang siapa yang menginginkan selain Islam sebagai agamanya, maka tidak akan pernah diterima dan ia akan menjadi orang-orang yang merugi di akhirat kelak." (QS: Ali Imran:58). Semua Nabi as juga diperintahkan untuk menyampaikan agama yang lurus ini.
Meski secara lahiriyah Nabi Muhammad Saw berada di urutan terakhir, namun pada dasarnya Rasul Saw merupakan manifestasi pertama ciptaan Tuhan dan juga termasuk utusan yang pertama, sementara para Nabi as lain adalah penyambung lisan Nabi Muhammad Saw. Semua menyeru kepada Islam dan membenarkan risalah Rasul Saw serta memberi kabar gembira tentang kedatangan penghulu para Nabi Saw. Berikut ini kami sebutkan beberapa kedudukan dan derajat Rasul Saw sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran.
1. Tunduk dan Pasrah Di Hadapan Allah Swt
Allah Swt dalam banyak ayat menjelaskan kedudukan dan derajat Nabi Muhammad Saw di dunia dan akhirat. Di antara posisi istimewa itu adalah sikap tunduk dan pasrah di hadapan Tuhan. Rasul Saw memiliki kepasrahan yang begitu murni sampai-sampai Allah Swt memuji kedudukan ini. (QS: Ali Imran:2, Al An'am:41, 17 dan 361).
2. Risalah Kenabian
Risalah kenabian termasuk posisi istimewa lain yang diberikan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Risalah kenabian beliau Saw memiliki keistimewaan yang khas dibanding risalah para Nabi as sebelumnya. Karakteristik risalah Rasul Saw adalah sebagai penutup, penghapus risalah sebelumnya, penyempurna risalah para Nabi as terdahulu, ditujukan untuk seluruh umat manusia, dan sebagai rahmat bagi semesta alam. Ciri-ciri ini dimiliki oleh Nabi Muhammad dan tidak dimiliki oleh para Nabi as sebelumnya.
Risalah Nabi-nabi as terdahulu hanya untuk kaum tertentu saja dan sesuai dengan kondisi pada masa itu. Sementara risalah Nabi Muhammad Saw diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan berlaku hingga akhir zaman. Allah Swt juga telah menjelaskan bahwa Rasul Saw adalah penutup para Nabi sehingga tidak ada Nabi lain setelahnya.
3. Pemberi Syafaat
Pemberi syafaat termasuk gelar lain yang disandang oleh Rasul Saw. Kedudukan ini juga dapat diperoleh oleh manusia biasa melalui shalat tajahud dan sunnah di pertengahan malam. Hanya saja syafaat yang dimiliki Rasul Saw adalah syafaat yang bersifat mutlak. Allah Swt memberi wewenang kepada Rasul Saw untuk memberi syafaat kepada umatnya kelak. Meski Allah Swt dalam kitab sucinya tidak pernah menyebutkan nama seorang pun yang kelak di hari kiamat akan memberikan syafaat, namun al-Quran menyebutkan beberapa kriteria pemberi syafaat dan siapa saja yang memiliki sifat-sifat tersebut, berarti ia adalah pemberi syafaat di hari kiamat.
Ada beberapa golongan yang disebut oleh al-Quran sebagai pemberi syafaat. Di antaranya adalah para Nabi as, malaikat, dan kaum mukmin yang saleh. Selain itu, amal perbuatan yang baik juga dapat memberikan syafaat kepada pelakunya.
4. Kemaksuman Mutlak
Kemaksuman mutlak (kesucian mutlak) juga termasuk kedudukan lain yang dimiliki Rasul Saw. Mazhab Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw dan Nabi-nabi as lain terjaga dari dosa dan maksiat, baik dosa kecil atau besar, yang disengaja atau tidak. Tujuan utama diutusnya Nabi Saw adalah untuk memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia dan membimbing mereka kepada hakikat kebenaran. Pada dasarnya, Nabi Saw adalah duta Tuhan untuk seluruh umat manusia. Beliau ditugaskan untuk memberi hidayah kepada jalan yang lurus. Apabila beliau sendiri tidak konsisten dengan ajaran Ilahi, atau bahkan mengamalkan yang sebaliknya, maka umat manusia akan tersesat dan ini bertentangan dengan tujuan pengutusan Nabi.
Allah Swt dalam ayat 23 dan 231 surat Ali Imran menegaskan kewajiban mentaati Rasul Saw secara mutlak dan menganggap ketaatan kepada manusia suci ini sebagai ketaatan kepada-Nya. Perintah ini mengindikasikan kemaksuman mutlak dan sempurna yang dimiliki Rasul Saw, sebab jika tidak demikian, tentu saja Allah Swt akan memerintahkan manusia untuk mematuhinya dalam kasus tertentu saja. Sementara Allah Swt menilai ketaatan kepada Rasul Saw sama dengan ketaatan kepada-Nya dan tanpa pengecualian sama sekali. Dalam surat An-Nisa' ayat 64, Allah Swt berfirman: "Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan untuk ditaati dengan izin Allah." Ketaatan mutlak kepada Nabi Saw hanya terjadi jika beliau berada di bawah ketaatan kepada Allah Swt dan sebagai perpanjangan dari-Nya.
Metode penjelasan seperti itu dengan sendirinya membuktikan kemaksuman mutlak Rasul Saw. Beliau terjaga dari segala bentuk kesalahan, kekeliruan, kelupaan dan sejenisnya. Jika tidak, mustahil Allah Swt memerintahkan manusia untuk mematuhinya secara mutlak.
5. Hakim dan Pemberi Putusan
Di antara kedudukan dunia dan akhirat Nabi Muhammad Saw adalah bertindak sebagai hakim dan pemberi putusan atas sebuah perkara dan sengketa yang terjadi di tengah umatnya. Selama di dunia, Nabi Saw juga bertugas memutuskan perkara dan sengketa di tengah umat manusia berdasarkan hukum Allah Swt. Beliau bertindak sebagai hakim dan memberi putusan yang adil terhadap setiap kasus. Sementara di akhirat, Nabi Saw menjadi pembagi antara penghuni surga dan neraka.
6. Wilayah dan Kepemimpinan
Rasul Saw mengemban tugas untuk memberi penjelasan berbagai urusan dunia dan akhirat umat manusia. Beliau menjelaskan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan wahyu. Beliau juga menjalankan roda pemerintahan yang kelak menjadi sumber manifestasi rahmat Tuhan, keadilan Islam dan simbol memerangi kezaliman.
7. Penghambaan
Lembaran kehidupan Rasul Saw adalah kumpulan makrifat, keilmuan dan amal saleh yang mendidik umat manusia. Manusia agung ini telah melakukan puncak penghambaan kepada Allah Swt dan melepaskan diri dari segala bentuk ikatan selain-Nya. Di hadapan keagungan Allah Swt, beliau menjadi hamba yang pasrah secara mutlak sehingga menggapai kekuatan spiritual yang agung. Karena itu, Rasul Saw tak pernah gentar menghadapi kekuatan syirik, kufur, gemerlap materi atau penguasa yang berhias diri dengan harta dan bala tentara.
Ibadah adalah tangga yang mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan ruh dan spiritual. Setiap amal kebaikan yang dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt, tergolong ibadah dan penghambaan.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 163-166
Ayat ke 163-164
Artinya:
Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak asda Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya dalam pencitptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (keringnya) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.
Bukti terbaik akan keesaan Allah Swt, adalah homogenitas antara unsur-unsur alam dari angin, hujan dan tanah yang menyediakan lahan bagi terwujudnya kehidupan dan tumbuhnya berbagai eksistensi.
Tatanan yang selaras ini dari satu sisi menunjukkan keesaan Allah Swt, dan dari sisi lain menunjukkan ilmu dan kekuasaan mutlak-Nya, dan dapat dikatakan, dunia bagaikan syair panjang indah yang memiliki bait yang banyak. Namun memiliki satu wazan dan kafiyah dan pada keseluruhannya menunjukkan bahwa seorang penyair tangguh yang menciptakannya.
Ayat ini dengan menekankan keesaan Allah, menyentuh enam keagungan Allah dalam penciptaan, yang akan kami jelaskan secara ringkas.
Pertama, inti penciptaan langit dan bumi. Bumi yang mana kita hidup di permukaannya dengan segenap kebesarannya merupakan salah sebuah planet dari tata surya, dimana tata surya salah satu dari ribuan galaksi.
Kedua, perputaran bumi mengelilingi matahari yang menyebabkan adanya malam dan siang dan empat musim dalam setahun.
Ketiga, kapal-kapal yang melayani manusia dengna membawa barang-barang dan penumpang dan meskipun sangat besar dan berat, tetapi tidak tengelam dalam air bahkan dengan tiupan angin, menempuh perjalanan panjang.
Keempat, hujan yang Allah turunkan dari langit dan menyebabkan kehidupan kembali bumi dan diternukannya berbagai jenis fauna dan flora. Air bersih yang telah disterilisasi menyebabkan kesegaran udara dan lingkungan.
Kelima, tiupan angin yang tidak menyebabkan bergeraknya kapal, melainkan menyebabkan serbuk sari yang matang berpindah ke bunga yang lain, bergeraknya awan, perpindahan udara panas dan dingan dan bergantinya udara yang terpolusi kota dengan udara yang sehat.
Keenam, awan mendung yang menanggung beban berat air, namun bertentangan dengan daya tarik bumi, bergelantung di antara bumi dan langit dan memindahkan air dari satu tempat ke tempat yang lain.
Jelas sekali, orang-orang yang sampai pada kesadaran akan keagungan dan keesaan Allah Swt, adalah orang-orang yang mau berpikir dan merenungkan tanda-tanda tadi, dan melewati tanda-tanda dengan kepedulian.
Ayat ke 165
Artinya:
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah, dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa pada hari kiamat, bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah, amat berat siksaannya niscaya mereka menyesal.
Meskipun semua pertanda wujud, di langit, bumi dan laut dari binatang dan tumbuh-tumbuhan memberikan kesaksian kepada keesaan Allah, namun bagi orang-orang yang tidak berpikir dalam tanda-tanda tadi, mereka hanya akan melihat sebab-sebab lahiriah, dan menyembah selain Allah.
Adakalanya mereka menyembah berhala atau batu ciptaan tangannya sendiri dan tunduk di hadapannya dan mempersembahkan cinta kepadanya. Adakalanya beberapa manusia, meyakini peran seperti Allah dalam penciptaan dan perputaran alam yang mana siap berkorban untuknya.
Semua kecintaan tadi sebagai ganti dari kecintaan kepada Allah, menempati jiwa dan akan menyebabkan ketundukan di hadapan sesembahan palsu tadi. Padahal, kelaziman iman kepada Allah adalah semua kecintaan manusia adalah untuk Allah dan di jalan Allah, dimana kecintaan ini akan dihasilkan berlandaskan makrifah dan pengetahuan, bukannya seperti kecintaan musyrikin terhadap sesembahan yang berdasarkan kepada kebodohan, khurafat, dan taqlid. Kendati, mereka yang pergi kepada selain Allah, jika mereka menyaksikan Kiamat, mereka akan memahami bahwa semua kekuatan adalah di tangan Allah dan mereka telah salah jalan berlindung kepada selain Allah untuk memperoleh kemuliaan dan kekuatan.
Ayat ke 166
Artinya:
Yaitu orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari tangan orang-orang yang mengikutinya dan mereka melihat siksa, dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.
Ayat ini merupakan peringatan, supaya manusia berwaspada dan lihatlah siapakah pemimpinmu? Siapakah yang engkau ikuti dan kepada siapakan engkau mempersembahkan cinta? Kita harus teliti dalam memilih pemimpin, karena masa depan kita hingga hari kiamat adalah bersangkutan dengannya dan pada hari itu, setiap orang akan dibangkitkan dengan sesiapa yang dicintainya.
Dari empat ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mengenali alam, merupakan salah satu jalan pengenalan Allah Swt, karena alam merupakan tempat tajalli (penjelmaan) ilmu, kekuatan, dan kebijaksanaan Allah Swt.
2. Barang siapa dan apa saja yang menggantikan tempat kecintaan Allah merupakan petanda syirik dan jauh dari Allah.
3. Pada hari Kiamat, kecintaan-kecintaan palsu yang dibangun berdasarkan fantasi, akan berubah menjadi kebencian dan dengki.
4. Petanda iman dan kecintaan mendalam kepada Allah akan tampak dengan mengamalkan perintah-perintah-Nya.
Para pemimpin tiran pada hari Kiamat bukan saja tidak memiliki kekuatan, bahkan begitu tidak setia, sehingga mereka berlepas tangan dari para pengikutnya.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 158-162
Ayat ke 158
Artinya:
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.
Ibadah haji yang bermula sejak zaman Nabi Ibrahim as dalam masa yang cukup panjang dicampuri dengan berbagai khurafat oleh manusia-manusia jahil dan penyembah berhala. Islam memperbaiki dan memurnikannya kembali dengan memelihara prinsip ibadah agung ini.
Di antara ibadah haji adalah Sa'i antara Shafa dan Marwah, yaitu pulang pergi antara kedua bukit yang terletak di samping Majidil Haram. Akan tetapi, para penyembah berhala memasang berhala-berhala di atas kedua bukit ini dan bertawaf mengitari berhala-berhala tersebut tatkala melakukan Sa'i lantaran persoalan ini, dan mereka mengira tidak boleh melakukan Sa'i antara keduanya. Karena sebelumnya pernah diletakkan berhala di atas kedua bukit tersebut.
Namun Allah Swt melalui ayat yang diturunkan ini mengingatkan bahwa dua bukit ini merupakan tanda kekuasaan ilahi dan mengingatkan kepada kenangan pelopor haji, yaitu Nabi Ibrahim as. Jika manusia-manusia jahil mencampuradukkannya dengan hal-hal syirik. kalian tidak boleh melepaskannya dan mengosongi gelanggang itu, bahkan kalian harus mencegah para pengyinmpang dari sana dengan kehadiran kalian.
Tatkala Nabi Ibrahim datang ke Mekah bersama isteri dan puteranya Ismail, untuk melaksnakan tugas ilahi, ia tinggalkan mereka di dataran tandus ini dengan pasrah kepada Allah lalu pergi. Ibu Ismail berlari-lari mencari air di antara kedua bukit itu. Pada kondisi tersebut, Allah Swt memancarkan sebuah mata air dari bawah jari-jari bayi Ismail yang diberi nama "Zam-zam".
Sejak saat itu melalui perintah Allah, setiap orang yang hendak berziarah ke Baitullah harus melakukan Sa'i antara kedua bukit ini, mengenang gerak lari Hajar antara Shafa dan Marwah serta memperingati berbagai pengorbanan ibu itu. Pelaksanaan ibadah ini merupakan tanda rasa syukur Allah atas usaha yang sungguh-sungguh dimana hal tersebut mengajar kita bahwa janganlah kita memikirkan pujian dan terima kasih manusia. Sebab Allah juga mengetahui perbuatan baik kita dan mensyukurinya.
Ayat ke 159
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati.
Ayat ini berbicara tentang para ulama Yahudi dan Nasrani yang menyembunyikan tanda-tanda munculnya Nabi Muhammad Saw meski terdapat di dalam kitab-kitab mereka, dan menyingkirkan jerih payah para Nabi Allah dalam mencapai petunjuk dan kebahagiaan.
Menyembunyikan kebenaran jika dilakukan oleh orang-orang jahil, maka akan mendapatkan balasan dan hukuman yang lebih kecil. Namun pelaksanaan perbuatan semacam ini oleh para ulama sebuah umat merupakan kezaliman terbesar terhadap hak manusia, para nabi dan Allah Swt.
Oleh karena itu, mereka senantiasa mendapat laknat selamanya. Ayat ini secara jelas menyampaikan bahwa di samping menyatakan kecintaan kepada orang-orang suci, harus menyatakan pula laknat dan kebencian mereka terhadap orang-orang kotor, khususnya mereka yang menjadi penyebab kesesatan manusia. Tentunya Allah Swt pada ayat selanjutnya mengecualikan sekelompok dari mereka dan berfirman yang artinya, "Kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan serta menerangkan kebenaran, maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang".
Dalam agama Islam tidak ada jalan buntu, bahkan Allah senantiasa membuka ruang harapan dan jalan taubat bagi manusia, sehingga pelaku dosa terbesar sekalipun tidak berputus asa dari rahmatnya. Yang pasti, jelas bahwa taubat segala dosa harus sesuai dengan dosa tersebut, sehingga sedapat mungkin bisa menutupi dampak-dampaknya. Oleh karena itu, taubat terhadap penyembunyian hakikat adalah menerangkan hakikat kepada manusia sehingga tidak tinggal dalam kesesatan dan mencapai kebenaran.
Ayat ke 160
Artinya:
Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.
Dalam agama Islam tidak ada jalan buntu, bahkan Allah senantiasa membuka ruang harapan dan jalan taubat bagi manusia, sehingga pelaku dosa terbesar sekalipun tidak berputus asa dari rahmatnya. Yang pasti, jelas bahwa taubat segala dosa harus sesuai dengan dosa tersebut, sehingga sedapat mungkin bisa menutupi dampak-dampaknya. Oleh karena itu, taubat terhadap penyembunyian hakikat adalah menerangkan hakikat kepada manusia sehingga tidak tinggal dalam kesesatan dan mencapai kebenaran.
Ayat ke 161-162
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para Malaikat dan manusia seluruhnya.
Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.
Pada ayat sebelumnya diterangkan bahwa jika orang-orang yang menyembunyikan hakikat menjelaskannya kepada manusia, maka mereka akan mendapat rahmat ilahi. Ayat ini kembali mengancam bahwa jika orang-orang kafir tidak melakukan hal tersebut, maka laknat Allah, para Malaikat dan manusia akan menimpa mereka. Sebab taubat akan berfungsi hingga sebelum kematian, dan dengan datangnya tanda-tanda kematian, taubat tidak lagi berguna. Seperti halnya Firaun bertaubat menjelang tenggelam, akan tetapi taubatnya tidak lagi berguna.
Lantaran itu, salah satu doa para nabi dan auliya Allah adalah mati dalam keadaan Muslim saat kematian. Sebab mati dalam keadaan kafir adalah suatu penyakit yang tidak ada obatnya. Jauh dari rahmat ilahi adalah suatu siksa yang menimpa para penyembunyi hakikat dan kebenaran, baik di dunia maupun di akhirat, dan seluruh naluri manusia mengungkapkan kebencian dan kemarahannya terhadap perbuatan jahat.
Oleh karena siksa-siksa ilahi berdasarkan keadilan dan hikmah, bukannya kezaliman dan balas dendam, maka tidak ada keringanan atau tangguh bagi orang yang secara sadar menutupi kebenaran. Sebab pengaruh buruk perbuatannya tidak berkurang dan tidak pula tertangguh.
Dari lima ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jika tempat-tempat seperti masjid dan tempat-tempat ibadah telah dicampuri hal-hal khurafat oleh orang-orang jahil, maka jangan meninggalkan tempat itu, tapi harus disucikan dari khurafat dan menghidupkan cara ibadah yang benar.
2. Tempat-tempat yang merupakan tanda munculnya rahmat, kekuatan dan mukjizat ilahi, seperti Safa dan Marwah, harus dihormati dan diperhatikan sehingga kenangan manusia-manusia suci dan jerih payah mereka senantiasa hidup dalam pikiran dan hati manusia.
3. Menyembunyikan hakikat dan kebenaran termasuk dosa-dosa yang bahkan mendapat laknat dan kecaman naluri pelakunya sendiri, sebab Allah Swt telah meletakkan jiwa penuntut kebenaran di dalam fitrah setiap manusia.
4. Dari satu sisi, Allah Swt menyediakan kemungkinan taubat bagi para pendosa, dan dari sisi lain Allah menjanjikan untuk menerima taubat dan mengenalkan Zat-Nya sebagai penerima taubat.
5. Akibat dan akhir perbuatan amatlah penting, di mana apakah manusia mati dalam keadaan kafir atau Muslim? Tentunya, akibat ini diperoleh dari amal perbuatannya sepanjang umur.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 153-157
Ayat ke 153
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Di sepanjang hidup, manusia sering kali menghadapi berbagai kesulitan. Jika ia tidak memiliki kekuatan yang diperlukan untuk menghadapinya, maka ia akan terpaksa mengalami kekalahan. Akan tetapi, seorang manusia Mukmin, dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ini, bersandar kepada dua hal. Yang pertama kesabaran dan istiqamah, dan yang kedua adalah shalat dan hubungan dengan Allah.
Dengan dua hal itu, seorang Mukmin bersandar kepada dirinya sendiri (kesabaran) sekaligus bertawakal kepada kekuatan ilahi yang tak terbatas (shalat). Allah sendiri menjanjikan bahwa ia akan menolong hamba-hamba-Nya yang taat melakukan shalat dan bersabar, dan akan selalu bersama mereka. Kebersamaan Allah inilah yang merupakan pendukung terbesar bagi seorang manusia dalam menghadapi segala macam kesulitan.
Ayat ke 154
Artinya:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
Melanjutkan ayat sebelumnya yang berbicara tentang kesabaran dan istiqamah. Aayat ini berbicara tentang jihad dan mati syahid di jalan Allah, yang disertai dengan berbagai kesulitan harta dan nyawa yang banyak, dan memerlukan keteguhyan dan pengorbanan tinggi. Sebagian orang yang tak mengerti atau yang tendensius, bukan hanya tidak hadir di medan perang dan pertahanan, bahkan mereka melakukan hal-hal yang melemahkan semangat juang rakyat dan menganggap usaha suci ini tak ada artinya.
Dengan mimik wajah sedih, mereka menyatakan penyesalan dan kasihan mereka kepada orang-orang yang gugur di atas jalan Allah seraya mengatakan, "Kasihan si fulan mati melepaskan nyawanya dengan sia-sia."
Di dalam perang Badar, dimana 14 orang dari Muslimin gugur sebagai syuhada, sebagian orang menyebut mereka sebagai orang-orang yang sudah mati. Maka ayat ini bertujuan untuk menghapus cara berpikir keliru itu. Karena sesungguhnya syuhada adalah hidup, akan tetapi dengan kehidupan tertentu yang kita tidak dapat memahaminya sekarang ini.
Ayat ke 155
Artinya:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Ujian adalah sunnah ilahi yang pasti, yang mencakup seluruh manusia. Akan tetapi tidak sama ujian yang diberikan kepada seluruh manusia. Karena Allah akan menguji seseorang, sesuai dengan kadar fasilitas dan potensi yang diberikan oleh Allah kepadanya. Mungkin bagi sebagian orang, krisis keuangan dan ekonomi merupakan ujian untuk diketahui apa yang akan meraka lakukan jika menghadapi kesulitan seperti itu. Sementara itu, sebagian orang lain merasa bahaya yang mengancam nyawa seperti keikutsertaan di dalam medan perang, merupakan ujian bagi mereka untuk diketahui seberapa besar mereka memiliki kesiapan.
Tentu saja ujian-ujian ilahi dilakukan bukan dengan tujuan agar Allah mengetahui diri kita. Karena Allah lebih mengetahui diri kita dari pada diri kita sendiri, tanpa ujian apa pun terhadap kita. Akan tetapi tujuannya ialah agar kita mengetahui diri kita sendiri; dan agar kita menumbuhkan potensi-potensi yang ada di dalam diri kita sendiri, serta mempersiapkan diri agar menjadi orang yang layak menerima pahala ilahi sekaligus menjauhi hukuman-Nya.
Banyak sifat-sifat baik manusia, seperti kesabaran, qana'ah (merasa cukup), takwa dan pengorbanan akan muncul dan menampakkan sinarnya ketika seseorang menghadapi kesulitan-kesulitan sehingga dengan itu manusia akan mengembangkan serta meningkatkan kekuatan jiwanya.
Ayat ke 156
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
Melanjutkan ayat sebelumnya, yang menyatakan adanya kabar gembira berupa kemenangan bagi orang-orang yang sabar, ayat ini menyebutkan sebagian ciri-ciri orang yang sabar. Disebutkan bahwa orang yang benar-benar penyabar adalah orang yang dalam menerima musibah dan kesulitan, bukannya berputus asa, tetapi ia tetap berharap dan optimis terhadap rahmat Allah.
Seseorang yang menyadari bahwa ia berasal dan selalu bergantung kepada Allah, Tuhan yang ia yakini telah mengendalikan alam jagat raya ini berdasarkan rahmat dan hikmah, maka pada pandangannya, segala sesuatu itu adalah indah. Ia akan memandang kehidupan dunia ini dengan penuh optimisme dan kebahagiaan. Pada dasarnya, dunia bukanlah tempat tinggal selamanya. Bukan pula tempat untuk bersantai dan bersenang-senang. Dunia adalah medan ujian dan berbagai kesulitan yang kita hadapi di dalamnya adalah bahan-bahan ujian tersebut. Jadi, kesulitan dan musibah ini, bukannya menunjukkan kekejaman Allah terhadap hamba-hambaNya, tetapi merupakan wasilah dan perantara untuk menggerakkan dan membuat manusia terus berusaha mencapai kesempurnaannya.
Akan tetapi manusia terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok dalam menghadapi musibah. Sekelompok manusia, merupakan orang yang memiliki sedikit kesabaran, selalu berkeluh-kesah. Kelompok lain terdiri dari orang yang penyabar, dimana sebagai ganti ucapan-ucapan kufur dan keluh-kesah terhadap Allah, mereka menyatakan berlindung kepada Allah. Sementara kelompok lain pula, mereka bahkan bersyukur menghadapi ujian-ujian berat itu. Karena mereka yakin bahsa semua itu adalah pemberi kesempatan kepada mereka untuk mencapai kedudukan yang lebih mulia di sisi Allah Swt.
Ayat ke 157
Artinya:
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat ini menjelaskan bentuk pahala yang diturunkan kepada orang-orang yang sabar yaitu berkah dan rahmat Allah yang merupakan sumber penjagaan dan perlindungan mereka terhadap segala bentuk penyimpangan dan kesesatan. Dan memang mereka itulah orang-orang yang benar-benar memperoleh petunjuk. Meskipun seluruh makhluk di alam ini tercakup dalam rahmat dan karunia ilahi, tetapi rahmat yang diberikan kepada orang-orang yang sabar ini adalah rahmat dan berkah khusus serta istimewa untuk orang-orang tertentu.
Dari lima ayat tadi terdapat lima pelajaran yang dapat dipetik:
1. Shalat bukanlah beban. Shalat merupakan sarana untuk membina diri guna memperolah kesabaran dalam menghadapi musibah. Oleh sebab itu, ketika memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersabar, Allah memerintahkan shalat yang merupakan penghubung terbaik antara manusia yang serba terbatas dengan kekuatan ilahi yang tak terbatas.
2. Meskipun seluruh manusia setelah kematian mereka memiliki kehidupan barzakh yang merupakan kehidupan ruh, akan tetapi para syuhada memiliki kehidupan khusus dan berbeda dengan kehidupan barzakh orang-orang lain.
3. Hanya orang-orang yang penyabar yang akan menang menghadapi ujian ilahi. Sementara orang lain tidak memiliki jalan untuk melarikan diri darinya karena ujian-ujian ilahi meliputi semua orang.
4. Akar kesabaran adalah iman kepada Allah dan Hari Kiamat yang membuat manusia merasa enteng menghadapi segala musibah di dunia.
5. Kesabaran dan istiqamah adalah sumber kebahagiaan manusia di dunia ini, sedangkan pahala akhiratnya jauh lebih besar lagi.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 148-152
Ayat ke 148
Artinya:
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Pada ayat sebelum ini telah disebutkah bahwa arah kiblat bukanlah perkara yang penting. Karena di sepanjang sejarah, berbagai jenis agama memiliki sejumlah kiblat yang berbeda. Yang penting di sini adalah sikap pasrah kepada perintah Allah. Tolok ukurnya di sisi Allah adalah perbuatan baik yang setiap manusia harus berlomba-lomba dalam hal ini dan melompat dari dataran dialog dan omongan ke dunia praktis.
Kompetisi atau perlombaan adalah suatu perkara yang telah dilakukan manusia sejak dahulu. Adakalanya dalam urusan olahraga, dan sering kali juga dalam urusan ilmu pengetahuan. Sementara al-Quran tanpa menentukan perkara tertentu untuk kompetisi, menganjurkan apa saja yang melahirkan kebaikan untuk individu maupun sosial, hendaknya dijadikan perlombaan dan berupayalah agar anda mendahului orang-orang lain.
Namun untuk mengarahkan kompetisi ini agar bernuansa ilahi, segala perbuatan yang anda lakukan, maka pikirkan juga tentang hari pembalasan dan kiamat. Karena balasan sejati anda akan diberikan pada hari itu.
Ayat ke 149-150
Artinya:
Dan dari mana saja kamu ke luar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Ku sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.
Kedua ayat ini sekali lagi menekankan masalah menghadap ke Mekah sebagai kiblat kepada Rasul dan Muslimin. Sekaitan dengan penegasan ini ada tiga alasan di baliknya
Pertama, sejumlah besar Muslimin merasa berat sekali menerima perintah perubahan kiblat dikarenakan takut terhadap sindiran dan penghinaan. Ayat ini memerintahkan agar Muslimin tidak takut kepada orang-orang Yahudi, melainkan takutlah kepada Allah, sekiranya kalian bermalas diri dalam menunaikan perintah Allah.
Kedua, Ahlul Kitab dalam kitab-kitabnya telah membaca bahwa Rasul Saw shalat menghadap dua kiblat,. Bila janji itu tidak terealisasi, maka mereka akan memprotes dengan menyatakan bahwa Rasul tidak memiliki keistimewaan yang telah tertulis di dalam kitab-kitab samawi.
Ketiga, ayat-ayat tadi berkaitan dengan shalat dalam keadaan berada di kota, sementara ayat ini bertalian dengan shalat dalam kondisi di perjalanan yang harus dibaca dengan menghadap ke Masjidil Haram. Artinya, kebebasan umat Islam merupakan salah satu dari nikmat ilahi yang besar dan harus dipelihara dalam kondisi bagaimanapun.
Ayat ke 151
Artinya:
Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Di dalam ayat sebelumnya Allah Swt menjelaskan salah satu alasan perubahan kiblat adalah untuk merampungkan nikmatnya ke atas Muslimin dan memberi petunjuk kepada mereka.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt juga telah memberikan nikmat-nikmat besar lainnya kepada kalin yang terpenting diantaranya adalah keberadaan Rasul Saw.
Rasul selain guru umat, juga mengajarkan ayat-ayat dan hukum-hukum ilahi serta berfungsi sebagai seorang pembimbing yang prihatin dalam memikirkan perbaikan dan kecerdasan masyarakat.
Pembacaan ayat-ayat al-Quran yang menciptakan wadah bagi penyucian jiwa dan disusul oleh pengajaran hukum-hukum ilahi serta pengajaran filsafat dan pandangan yang benar. Hal ini merupakan pekerjaan para nabi yang terpenting dalam rangka membimbing manusia.
Para nabi bukan saja para pemimpin akhlak dan ideologi, tapi mereka juga memikirkan jalan untuk mencerdaskan pemikiran dan kemajuan ilmu masyarakat. Namun perlu diingat di sini bahwa ilmu yang disebarluaskan oleh mereka adalah ilmu yang didasari oleh iman dan ideologi.
Ayat ke 152
Artinya:
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
Kini setelah Allah menganugerahkan nikmat yang besar kepada kita, maka akal dan intuisi menghukumi bahwa kita harus memerhatikan pemberi nikmat. Apa yang kita miliki semuanya adalah dari Dia dan nikmat-nikmat yang diberikan harus kita manfaatkan di jalan-Nya. Jika manusia melupakan Allah Swt, berarti ia telah melupakan sumber segala kebaikan. Dalam kondisi yang demikian, Allah juga melupakannya dan membiarkannya sendirian.
Maksud dari mengingat Allah, bukanlah dengan lisan, melainkan mengingat dengan artian yang sebenarnya. Sewaktu manusia melakukan suatu dosa kemudian melepaskan diri dari dosa semata-mata karena keridhaan Allah.
Dari lima ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Daripada melontarkan pembahasan yang diperselisihkan antara agama dan berbagai ajaran yang tidak ada manfaatnya, sebaiknya kita memikirkan bagaimana caranya meluaskan perbuatan saleh dan berlomba-lomba melakukan kebaikan.
2. Muslimin harus menjauhi segala perbuatan yang memberi peluang atau alasan kepada pihak musuh dan hendaknya pihak musuh tidak dibolehkan memiliki hujjah ke atas Muslimin.
3. Penggantian kiblat juga menyebabkan persatuan interen Muslimin dan juga lambang kemerdekaan dihadapan dominasi pihak lain.
4. Para Nabi adalah guru dan pembimbing manusia. Dengan penyucian diri dan pengajaran, mereka berpikir untuk menenangkan jiwa dan mensejahterakan kehidupan material umat.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 143-147
Ayat ke 143
Artinya:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Sebelumnya, telah dijelaskan tentang Bani Israel mencemoh penggantian kiblat Muslimin, dan dalam jawabannya, Allah berfirman, bahwa Timur dan Barat adalah milik Allah, siapa saja yang menginginkan petunjuk yang sejati, maka ia harus mengikuti jalan lurus Allah Swt. Bukannya mengira bahwa Allah Swt berada di Timur atau di Barat dan kita hanya mengarah atau menghadap ke sana.
Ayat ini memperkenalkan umat Islam sebagai umat yang terjauhkan dari segala jenis perbuatan kurang atau berlebihan. Mereka berada di jalur tengah dan senantiasa menyeimbangkan kehidupannya baik dari sisi material, akidah maupun ekonomi. Islam merupakan contoh yang ideal bagi semua manusia dan masyarakat kemanusiaan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa bukan semua individu Muslim selamat dari sikap kurang atu berlebihan dalam berbuat. Banyak sekali dari mereka dalam pemikiran atau perbuatan terjerembab dalam lobang ekstrim baik kanan maupun kiri. Lalu apakah maksud ayat ini?
Agama Islam yang dimaksud di sini adalah agama yang komprehensif dan moderat. Hanya mereka yang mengikuti semua perintah Allah dan bukan hanya sebagian yang akan sampai pada kesempurnaan. Allah menjadikan mereka sebagai hujjah dan bukti bagi seluruh umat dan masyarakat.
Ahlul Bait yang merupakan substansi sempurna umat Islam dan manusia terdepan di dalam menaati dan mengamalkan perintah-perintah Allah berkata, "Umatan Wasatan yang dijadikan oleh Allah Swt sebagai hujjah dan model, tidak lain adalah kami."
Lanjutan ayat tersebut menyinggung poin penting ini bahwa perintah perubahan kiblat tidak berbeda dengan perintah-perintah Allah lainnya, merupakan satu ujian ilahi yang membedakan barisan orang yang berpasrah diri dengan barisan orang penyembah hawa nafsu. Karena untuk menerima perintah ini, bagi orang-orang yang tidak menerima petunjuk khas ilahi, adalah perkara yang sulit, dan mereka membuat berbagai alasan untuk tidak melakukan perintah ini.
Ayat ke 144
Artinya:
Sesungguhnya Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Menyusul cemohan dan sindiran orang-orang Yahudi, bahwa orang-orang Muslimin tidak memiliki kiblat secara mandiri, Rasul menanti perintah perubahan kiblat, dan di pertengahan waktu shalat Zuhur, perintah ini turun ke atas Nabi dan dengan berputarnya tubuh rasul dari Baitul Maqdis ke Mekah, orang-orang Muslim yang shalat di belakang beliau memutarkan tubuh mereka ke arah Ka'bah.
Yang menarik di sini, dalam kitab-kitab samawi terdahulu, disebutkan bahwa salah satu dari tanda Rasul Islam, adalah beliau shalat menghadap dua kiblat. Oleh karena inilah, ayat ini memperingatkan ahlul kitab, bahwa kalian yang mengetahui perintah ini adalah benar, lalu kenapa kalian keberatan terhadap perintah ini?
Ayat ke 145
Artinya:
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.
Ayat ini membesarkan atau menghibur hati Rasul, sekiranya ahlul kitab tidak mau menerima kiblatmu, maka janganlah engkau bersedih. Karena fanatisme telah menghalangi mereka untuk menerima kebenaran. Itulah mengapa segala argementasi yang engkau bawakan tidak akan diterima oleh mereka.
Namun penolakan mereka tidak semestinya menyebabkan kamu lemah dan berputus-asa sehubungan dengan kiblat yang baru, melainkan dengan tegas kamu harus umumkan bahwa kami tidak akan menyerah diri kepada hiruk-pikuk ini, dan tidak akan ada perubahan dalam sikap kami.
Berangkat pada masalah bahwa setiap orang adalah sama di depan undang-undang dan peraturan, Allah Swt memberi peringatan kepada Rasul Saw, bahwa sekiranya untuk menarik simpati mereka lalu engkau mengikuti mereka, maka engkau telah melakukan kezaliman yang besar di dalam hak umatmu.
Ayat ke 146-147
Artinya:
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
Tanda-tanda dan sifat-sifat Rasul Saw telah disebutkan di dalam Taurat dan Injil. Oleh karena itu, Ahli Kitab mengenali Nabi Saw, namun fantisme dan kekerasan hati telah menyebabkan sebagian dari mereka menyembunyikan hakekat dan kebenaran ini.
Walaupun sebagian dari ahli Kitab ketika melihat sendiri sifat-sifat nabi Saw, seketika itu juga mereka beriman, karena ciri-ciri khas jasmani sebagaimana yang telah dilukiskan dalam kitab-kitab terdahulu yang dengan terminologi dan ungkapan al-Quran, mereka mengetahui Nabi sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.
Ayat terakhir ini menekankan sebuah poin bahwa hanya yang diturunkan dari Allah-lah yang benar dan walaupun mayoritas manusia membelangkangi dan menolak perintah tersebut, tidak seharunya menyebabkan keraguan dan kegundahan dalam kebenaran wahyu ilahi.
Dari lima ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kiblat juga berarti lambang kemerdekaan dan juga petanda kepasrahan. Kemerdekaan dari setiap agama dan etnis yang hendak menguasai Muslimin dan pasrah kepada Allah dengan menjalankan segala yang diperintahkannya tanpa syarat.
2. Islam adalah agama yang komprehensif dan pertengahan. Jika Muslimin berjalan di atas jalan yang lurus, maka mereka dapat menjadi model bagi umat lainnya.
3. Fanatisme dan keras kepala membelakangi segala jenis pemikiran dan argumentasi serta perspektif yang benar. Oleh karena itulah agama memerangi aroganisme.
4. Jika tidak ada semangat mencari kebenaran, maka ilmu tidaklah cukup. Karena hawa nafsu manusia adakalanya menyembunyikan ilmu dan menyelewengkannya.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 139-142
Ayat ke 139
Artinya:
Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.
Sangat disayangkan beberapa pengikut agama-agama yang tidak mengetahui secara sempurna pengetahuan agama mereka menvisualkan dirinya berada di dekat Allah dan memiliki kedudukan yang istimewa. Allah hanya memikirkan mereka dan hanya untuk mereka Allah mengutus para nabi-Nya. Oleh sebab itu mereka tidak mau menerima para nabi lain dan para pengikut mereka. Padahal Allah sama sekali tidak memiliki hubungan kerabat. Karena Dia adalah Zat Yang Maha Esa. Satu hal yang menyebabkan jauh atau dekatnya manusia kepada-Nya adalah perbuatan mereka. Oleh sebab itu setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya.
Sesungguhnya sebuah perbuatan itu diterima, jika dilaksanakan secara ikhlas untuk Allah. Sebuah perbuatan yang menunjukkan keimanan yang sesungguhnya dan jauh dari setiap kepercayaan syirik yang tercemar. Ayat ini menunjukkan bahwa egoisme manusia, kadang-kadang sampai pada batas dimana menggangap Allah hanya untuk dirinya dan tidak untuk orang lain. Allah digambarkan hanya memikirkan dirinya dan tidak memikirkan lainya. Padahal Allah sama sekali tidak terbatas kepada satu agamapun atau ideologi atau ras dan etnik dan Tuhan bagi umat manusia didunia.
Ayat ke 140
Artinya:
Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani? Katakanlah:" Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya? "Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Sebagian pengikut Nabi Musa dan Nabi Isa as mengaku bahwa Nabi Ibrahim as dan para nabi setelahnya juga mengikuti ideologi mereka. Hal ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran agamanya dan menyalahkan agama yang lain. Sementara sejarah menyebut Nabi Musa dan Nabi Isa datang setelah para nabi tersebut. Oleh karenanya, pengakuan-pengakuan semacam ini tak lain muncul dari fanatisme yang tidak pada tempatnya. Mereka tidak mempunyai alasan dan argumentasi lain. Al-Quran menganggap penyimpangan atau penyembunyian kebenaran adalah kezaliman terbesar. Karena menyebabkan penyimpangan akidah dan opini generasi-generasi mendatang dan masyarakat di berbagai zaman, serta menyebabkan terhalangnya perkembangan dan kesempurnaan kebudayaan masyarakat manusia.
Ayat ke 141
Artinya:
Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat ini adalah jawaban terhadap tuduhan-tuduhan kosong yang terdapat pada ayat sebelumnya. Allah dalam ayat ini menegur mereka mengapa kalian hanya berfikir sejarah masa lalu kalian sampai zaman Nabi Ibrahim as. Sebuah masyarakat yang hidup harus bersandar kepada perbuatan mereka sendiri, tidak bersandar kepada sejarah masa lalunya. Para nabi dan kaum-kaum terdahulu mereka semua telah tiada dan perbuatan mereka tergantung dengan mereka sendiri, sebagaimana kalian juga bertanggung jawab atas perbuatan kalian sendiri. Keutamaan adalah masalah perhitungan yang setiap individu dan kelompok harus mendapatkannya sendiri dan tidak masalah warisan yang dapat diwariskan kepada anak.
Ayat ke 142
Artinya:
Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata:" Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? "Katakanlah:" Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus."
Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa salah satu kritikan Yahudi terhadap Muslimin, adalah fenomena perubahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Mekah. Ayat ini dan beberapa ayat lain setelah ini, memaparkan dengan jelas dan menjawab hal ini. Nabi setelah bi'tsat (pengutusan sebagai nabi) selama 13 tahun berada di Mekah, melaksanakan shalat ke arah Baitul Maqdis. Karena pertama adalah kiblat para penyembah Tuhan dan dihorrmati oleh semua agama. Kedua, musyrikin telah merubah Ka'bah menjadi rumah berhala. Jika Nabi Saw di Masjidil Haram berdiri menghadap ke Ka'bah seperti menghadap kepada para berhala.
Setelah hijrah ke Madinah, selama beberapa bulan Muslimin masih menghadap ke Baitul Maqdis, sehingga Yahudi menjadikan hal ini sebagai kritikan. Mereka berkata kalian mengikuti kami dan tidak dapat berdiri sendiri, karena kalian tidak memiliki kiblat sendiri. Celaan dan hinaan ini sulit bagi nabi dan Muslimin. Sampai perintah perubahan kiblat di keluarkan oleh Allah dan ketika Nabi Saw mengerjakan shalat Zuhur di masjid, Allah mengutus Jibril as di tengah-tengah shalat supaya mengubah Nabi kearah Ka'bah. Oleh sebab itu, masjid terkenal ini dinamakan Dzul Kiblatain, yaitu memiliki dua kiblat.
Tetapi Yahudi tetap memaparkan kritikan ini dan kepada Muslimin berkata, "Jika kiblat sebelumnya benar, apa yang menyebabkan kalian beralih dari kiblat sebelumnya dan jika kiblat ini benar, kenapa selama ini mereka mendirikan shalat ke arah Baitul Maqdis."
A-Quran dalam menjawab kritikan ini berfirman, kiblat tidak berarti bahwa Allah memiliki tempat, sehingga menyebabkan kita menghadap ke barat atau ke timur. Tetapi semua; barat dan timur dan semua arah adalah milik-Nya. Tidak ada satupun tempat yang mulia bagi-Nya, tetapi dengan perintah-Nya, kita menghormati yang penting adalah kita menerima perintah-Nya dan kita menjalankan setiap perintah-Nya, baik kearah Ka'bah ataupun Baitul Maqdis. Siapa saja yang mendapat hidayah ke jalan ilahi yang lurus, maka ia harus menerimanya. Bukannya menerima segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak sendiri.
Dari empat ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah merupakan Tuhan semua manusia bahkan semua mahluk. Dia tidak terbatas dalam satu agama dan ideologi, begitu juga bukan milik seseorang atau kelompok. Hanya perbuatan manusia yang menjadi sumber kedekatan atau jauhnya mereka dari-Nya.
2. Penyimpangan kebenaran sebuah agama dan sejarah adalah kezaliman kebudayaan terhadap keturunan umat manusia. Al-Quran menyebut perbuatan ini sebagai kezaliman terbesar.
3. Seharusnya kita memikirkan perbuatan kita sendiri bukannya membanggakan sejarah nenek moyang. Karena kebaikan mereka tidak mendatangkan pahala bagi kita, dan begitu juga sebaliknya, keburukan mereka tidak menyebabkan kekafiran kita.
4. Kiblat yaitu kita menghadap ke arah yang Allah perintahkan. Bukan berarti Allah berada di arah sana. Tidak ada bedanya ketika kita menghadap ke Baitul Maqdis atau sekarang menghadapi Ka'bah. Karena keduanya adalah perintah dari Allah dan bukan kehendak kita.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 134-138
Ayat ke 134
Artinya:
Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Bani Israil sangat merasa bangga dengan nenek moyangnya. Mereka menyangka, betapapun mereka itu telah tercemar, namun berkat kesempurnaan dan kebaikan nenek moyangnya, maka mereka akan dimaafkan oleh Allah Swt. Oleh karena itu, bukannya berpikir untuk memperbaiki diri, mereka bahkan hanya menyebut kebaikan kakek dan nenek mereka, seraya membangga-banggakannya.
Ayat ini memperingatkan setiap manusia, termasuk muslimin, mereka harus tahu bahwa setiap orang harus bertanggungjawab atas perbuatan sendiri. Di Hari Kiamat kelak segala macam hubungan keluarga, kekerabatan dan sebagainya, sama sekali tak berguna. Jadi tak seharusnyalah seseorang mengandalkan kebaikan-kebaikan keluarganya.
Di dalam sebuah kalimat pendek, Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib as berkata, "Assyarafu bil himamil 'aliyah, la bil ramamil baa liyah". Artinya, "Kemuliaan itu akan dicapai melalui kerja dengan penuh semangat, bukan dengan mengandalkan tulang-tulang yang sudah lapuk." Maksudnya, bahwa setiap orang harus berusaha dengan semangat tinggi untuk mencapai kemuliaan dirinya. Bukan hanya dengan membangga-banggakan kebaikan orang-orang tua dan kakek-nenek yang sudah meninggal.
Ayat ke 135
Artinya:
Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik".
Orang-orang Yahudi menganggap mereka berada dalam kebenaran dan mengatakan bahwa orang-orang Nasrani itu sesat. Sementara orang-orang Nasrani pun merasa diri mereka berada dalam kebenaran dan meyakini bahwa orang-orang Yahudi sesat. Oleh sebab itu masing-masing mengajak pengikut agama lain kepada agama sendiri seraya mengatakan, "Jika kalian ingin memperoleh petunjuk, maka ikutilah agama kami."
Dalam menjawab sikap fanatik buta ini, al-Quran menyatakan jalan petunjuk terletak di dalam kecintaan kepada kebenaran, bukan kecintaan kepada kelompok sendiri. Untuk itu pelajarilah cinta kebenaran ini dari Ibrahim as yang merupakan seorang teladan yang tak pernah terjebak ke dalam syirik dan fanatisme buta.
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa nama dan stempel tidaklah penting, iman dan amallah yang menentukan. Yahudi dan Nasrani tidak lebih dari sekadar cap dan stempel, sedangkan yang penting ialah amal baik berdasarkan semangat tauhid dan penyembahan kepada Allah yang Maha Esa.
Ayat ke 136
Artinya:
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".
Sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya yang menceritakan pertengkaran antara Yahudi dan Nasrani berkenaan agama mereka masing-masing, ayat ini berbicara kepada mereka dan juga kepada pengikut agama apapun selain Islam bahwa tak ada perbedaan di antara para Nabi. Karena semua mereka datang dari Allah yang Esa. Ajaran-ajaran yang mereka bawa juga datang dari Allah yang Esa. Dengan demikian seharusnya semua penyembah Allah beriman kepada setiap Nabi utusan ilahi dan kepada apa yang telah diturunkan kepada mereka. Bukannya menerima nabi mereka sendiri saja dan menolak nabi-nabi lain serta kitab-kitab mereka.
Para Nabi ilahi sebagaimana guru sebuah sekolah yang masing-masing mengajar sekelompok orang di zaman tertentu sesuai dengan kemampuan mereka sampai ketika datang nabi terakhir yang diutus untuk umat manusia moderen, maka Allah Swt menurunkan kitab yang paling lengkap dan sempurna untuk memberi hidayah umat tersebut.
Ayat ke 137
Artinya:
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini, berbicara kepada Muslimin, dengan mengatakan, "Jika Ahli Kitab, sebagai ganti sikap egois dan fanatisme buta, beriman kepada semua Nabi dan kitab-kitab suci mereka, sebagaimana kalian, berarti mereka telah mendapatkan hidayah. Tetapi jika mereka masih saja menganggap diri mereka sebagai tolok ukur kebenaran, dan menganggap sesat para pengikut agama lain dan nabi-nabi mereka, maka hal itu menunjukkan penolakan kebenaran dan pemisahan diri dari kelompok pencari hakikat.
Akhir ayat ini memberi semangat kepada Muslimin bahwa dalam menghadapi berbagai konspirasi musuh-musuh agama, cukuplah Allah bagi kalian. Karena Allah Maha mendengar dan Maha Mengetahui segala apa yang mereka katakan dan mereka program untuk memusuhi kalian.
Ayat ke 138
Artinya:
Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.
Allah Swt adalah yang mula-mula menciptakan dan melukis alam jagat raya ini. Di awal penciptaan, Allah Swt menciptakan ruh manusia dan mewarnainya dengan fitrah yang bersih suci. Akan tetapi manusia sendirilah kemudian yang mendatangkan warna-warna lain di atas warna ilahi itu seperti warna hawa nafsu, egoisme, fanatisme dan sebagainya sehingga warna fitrah itu pun tertutup oleh warna-warna lain itu.
Fanatisme dan egoisme adalah warna-warna yang mengakibatkan perpecahan dan permusuhan di antara sesama manusia. Padahal semua warna kesukuan dan etnis haruslah merupakan warna-warna yang terbuka sehingga warna ilahi yang ada pada diri manusia akan muncul ke permukaan. Semua warna selain warna ilahi yang kekal dan tetap akan memudar sampai hilang musnah dengan berlalunya zaman. Semua warna akan mengakibatkan perpecahan dan permusuhan kecuali warna ilahi yang merupakan sumber persatuan dan persaudaraan. Itu pun dibawah bayang-bayang penyembahan terhadap Allah Yang Maha Esa.
Pada umumnya setiap orang dapat menerima warna tertentu lalu masuk ke kelompok masyarakat manapun dan agar diterima dalam masyarakat tersebut, maka ia mesti memiliki warna yang sama dengan orang lain di dalam masyarakat itu. Padahal ajaran agama bukannya menekankan kesamaan warna tetapi ketiadaan warna, kebersihan dari segala warna yang mengakibatkan keterpisahan manusia dari manusia yang lain, baik berupa nama maupun cap dan stampel atau usia dan tingkat pengetahuan atau harta dan kedudukan di dalam ketiadaan warna itulah warna Ilahi akan muncul dengan jelas.
Dari lima ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Daripada menyandarkan diri kepada nenek moyang dan membanggakan kebaikan mereka, hendaklah kita memikirkan perbuatan kita sendiri. Karena kemuliaan dan keutamaan setiap orang bergantung pada amal perbuatannya sendiri. Jangan sampai terjadi orang lain berusaha demi kemuliaan dunia dan akhirat mereka, tetapi kita merasa puas hanya dengan menjadi keturunan mereka.
2. Hendaklah kita menjadi orang yang mencintai kebenaran, bukan mencintai kelompok sendiri. Cinta kebenaran membuka mata dan telinga seseorang untuk memahami hakikat, sedangkan cinta kelompok sendiri membutakan seseorang dari kekurangan-kekurangan diri dan kesempurnaan orang lain.
3. Di samping keimanan hati, penyerahan diri di dalam amal perbuatan juga diperlukan. Seseorang tidak dapat mengatakan keimanan tetapi bukannya berpasrah diri kepada perintah-perintah Ilahi, malah mengikuti hawa nafsu saja.
4. Warna yang paling baik ialah warna fitrah ilahi yang telah Allah berikan di dalam diri setiap manusia ciptaannya. Warna yang kuat, pembawa persatuan dan sumber kesucian serta kebersihan.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 128-133
Ayat ke 128
Artinya:
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Rahasia keberhasilan Nabi Ibrahim as dalam segala ujian, adalah penyerahan beliau dalam menghadapi perintah-perintah ilahi. Contoh puncak dari kepasrahan Nabi Ibrahim as adalah penunjukan kesiapan beliau untuk menyembelih putranya Ismail. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim as meminta kepada Allah, tidak hanya baginya atau putranya Ismail tetapi juga keturunan beliau dijadikan manusia yang taat dan menerima perintah-perintah ilahi. Karena semua kesempurnaan ada dalam kehambaan kepada Allah dan penyembahan Zat Yang Maha Esa.
Pada dasarnya penyembahan harus dilakukan dalam bentuk yang khusus, sehingga jauh dari setiap bentuk bidah dan penyelewengan. Oleh sebab itu, Nabi Ibrahim meminta kepada Allah, "Ya Allah tunjukkanlah kepada kami jalan dan sekaligus metodenya".
Ayat ke 129
Artinya:
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Perhatian terhadap keturunan dari satu sisi dan cara pandang akan masa depan dari arah lain menjadi ciri khas Nabi Ibrahim as dalam doa-doanya sebelum memohon sesuatu bagi dirinya sendiri kepada Allah. Beliau memikirkan hidayah dan kesejahteraan untuk generasi yang akan datang.
Sebagainama tidak memunginkan kebahagiaan manusia tanpa hidayah ilahi, Nabi Ibrahim meminta kepada Allah supaya mengirimkan seorang rasul untuk umat yang bertanggung jawab atas pengajaran dan membimbing kepada mereka dan meningkatkan pengetahuan dan pandangannya.
Ayat ke 130-131
Artinya:
Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya:" Tunduk patuhlah! Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam".
Ayat ini memperkenalkan Nabi Ibrahim as sebagai seorang manusia tauladan dan pilihan Allah, sehingga ideologi beliau dianggap sebagai sebuah ideologi ilahi, teladan dan contoh manusia lain. Apakah bukan suatu kebodohan, jika seseorang meninggalkan ideologi semacam ini? Sebuah ideologi yang mampu membersihkan manusia dari segala macam kekotoran dan kehinaan, dan memilih jalan kesesatan syirik dan kafir? Padahal ajaran Nabi Ibrahim adalah ajaran yang sejalan dengan fitrah manusia dan sesuai dengan logika.
Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as sedemikian berharganya, sehingga Nabi Muhammad Saw merasa bangga bahwa jalan beliau adalah jalan Ibrahim. Seorang Nabi yang dengan dalil-dalil akal, membungkam hujjah orang-orang kafir, dan dengan penuh keberanian, seorang diri menghancurkan semua patung-patung dengan kapaknya.
Sementara itu, dalam penyerahan dirinya kepada Allah, ia meninggalkan isteri dan anaknya di padang pasir yang panas di kota Mekah dan pada kesempatan lain, ia membawa puteranya ke tempat penyembelihan, untuk membuktikan bahwa hatinya tidak pernah terpaut kepada isteri dan anaknya. Karena hanya Allah-lah yang ia cintai dan hanya Allah-lah tambatan hatinya.
Sangat jelas bahwa manusia seperti inilah yang akan dipilih oleh Allah Swt sebagai Nabi dan Imam, serta sebagai contoh teladan bagi orang lain; dan menganggap penyimpangan dari jalannya sebagai kebodohan dan kejahilan.
Ayat ke 132
Artinya:
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yaqub, (Ibrahim berkata): "Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
Ayah yang baik, bukanlah ayah yang hanya memikirkan mencukupi kehidupan materi anak-anaknya, tetapi juga keselamatan pikiran dan akidah dan jauh dari penyimpangan dan kesesatan. Hal ini harus mendapat perhatian lebih dari segala sesuatu. Para wali Allah selalu menyerukan kepada anak-anaknya ke arah Allah dan wasiat mereka ketika akan meninggal tidak hanya dalam masalah pembagian warisan dan harta-harta dunia, tetapi juga mewasiatkan kepada tauhid dan ibadah.
Ayat ke 133
Artinya:
Adakah kamu hadir ketika Yaqub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya."
Sekelompok Yahudi percaya bahwa Nabi Ya'qub ketika meninggal mewasiatkan kepada anak-anaknya kepada sebuah agama yang dianut oleh Yahudi. Allah dalam membantah tuduhan ini berfirman, "Apakah kalian hadir ketika wafatnya Nabi Ya'qub, sehingga kalian berkata seperti ini? Padahal ia mengharapkan kepada anak-anaknya untuk menyerahkan diri kepada Allah dan anak-anaknya berjanji bahwa mereka hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagaimana di ayat sebelumnya kita telah katakan bahwa orang tua harus merasakan tanggung jawab sehubungan pemikiran masa depan dan kepercayaan anak-anaknya, dalam pelbagai kesempatan tertentu mereka justru harus mengawasi hal ini. Salah satu argumentasi ke-Esa-an-Nya, seluruh Nabi mulai dari Ibrahim, Ismail dan Ishaq satu dalam mengakui ke-Esa-an Allah adalah ungkapan ini, "Bila ada tuhan lain, maka sudah barang tentu ia juga harus mengutus nabi-nabi untuk membimbing manusia dan memperkenalkan dirinya kepada manusia."
Dari enam ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kita harus berserah diri kepada Allah yang merupakan rahasia keberhasilan ujian ilahi, jiwa penyerahan diri dan menerima perintah dari-Nya.
2. Dalam doa, kita tidak boleh hanya berpikir keperluan materi saja, tetapi kita juga harus berdoa untuk kebahagiaan anak-anak dan keturunan generasi masa depan.
3. Orang bodoh bukanlah orang yang tidak mempunyai akal, tetapi orang bodoh adalah orang yang dengan memiliki akal dan pikiran mengalami kesesatan dan menjadi sumber kesesatan bagi diri dan keluarganya.
4. Nasib yang baik dan kekekalan iman ketika mau meninggal adalah penting. Bisa jadi orang-orang yang tadinya Muslim tetapi ketika meninggal dalam keadaan tidak Muslim. Oleh sebab itu, kita harus memikirkan penjagaan iman kita dan anak-anak kita dan jangan merasa puas atas keislaman kita sekarang ini.
Nilai Spiritualitas Ibadah Haji (Bagian 2)
Pada setiap musim haji, umat manusiadari berbagai penjuru dunia memusatkan perhatiannya ke Tanah Suci Mekah dan menampilkan kekuatan umat Islam kepada dunia. Mereka semua satu hati dan satu suara memuji keagungan dan kebesaran Allah Swt sambil mengitari Kabah. Lisan mereka tak henti-hentinya melafalkan kalimat, "Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaika la syarika laka labbaik, Inna al hamda wa an ni'mata laka wa al mulka la syarika laka." Kami memenuhi dan akan melaksanakan perintah-Mu ya Allah. Tiada sekutu bagi-Mu dan kami memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan begitu juga kerajaan adalah milik-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu.
Haji secara umum berarti menyengaja untuk menuju Tanah Suci Mekah dalam rangka memenuhi panggilan Allah Swt. Kalimat talbiyah tersebut adalah senandung para jemaah haji. Mereka yang mendatangi Baitullah harus menyadari esensi dari perjalananitu dan tidak melaksanakan manasik haji tanpa disertai pemahaman yang benar. Sebab, pemahaman yang benar dan pengenalan yang tepat akan menuntun jemaah haji menuju kebenaran dan memberi kenikmatan spiritual kepadanya. Oleh karena itu, para jemaah perlu memurnikan niatnya dan membebaskan hatinya dari segala ketergantungan kepada selain Allah Swt.
Dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt, para jemaah menanggalkan segala baju dan atribut kebesaran untuk kemudian memakai baju ihram. Ribuan manusia dengan pakaian yang sama berlomba-lomba menuju Kabah dan meraih ridha Ilahi. Mereka datang untuk menjawab seruan Allah Swt dengan penuh ikhlas dan niat yang suci. Allah Swt berfirman, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali Imran : 97)
Sebelum memakai pakaian ihram dan berniat haji atau umrah di Miqat, hendaklah melakukan mandi ihram untuk membersihkan dan menyucikan badan dari segala noda. Hikmah ihram adalah mengajak jemaah untuk selalu mengingat tata cara memasuki Baitullah dan menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan serta fokus melaksanakan perintah Allah Swt. Mereka harus melaksanakan seluruh manasik haji dengan niat tersebut. Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Jauhilah segala hal yang akan mencegahmu dari mengingat Allah dan menghalangimu untuk menghambakan diri kepada-Nya."
Para jemaah yang berada di kota Madinah dan bermaksud menuju Mekah, mereka harus melakukan ihram dari Masjid Asy-Syajarah. Masjid Syajarah artinya Masjid Pohon yang dinisbatkan kepada sebuah pohon yang letaknya berdekatan dengan Masjid Jin, kurang lebih 3 km dari Masjidil Haram. Pada dasarnya, haji dengan seluruh manasiknya, merupakan sebuah hubungan erat antara dunia dan akhirat. Ibadah ini mempersiapkan manusia untuk menerima dan memahami hari kebangkitan dan pertanggung jawaban di hari kiamat. Manusia yang meninggalkan sanak keluarganya dan menempuh perjalanan jauh sama seperti sedang menuju dunia akhirat.
Dengan berbekal pakaian serba putih dan datang berbondong-bondong, seakan mereka sedang menuju Padang Mahsyar. Imam Jakfar Shadiq as dalam sebuah pesan spiritual kepada para jemaah haji, mengatakan "Setiap perbuatan yang diwajibkan oleh Allah dan setiap pekerjaan sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah, baik itu halal ataupun haram atau manasik, semua bertujuan untuk mempersiapkan manusia menuju kematian, alam barzakh, dan hari kiamat. Dengan menetapkan manasik haji, hari kiamat telah dihadirkan sebelum para penghuni surga menuju surga dan para penghuni neraka menuju jahannam."
Manusia dengan menanggalkan kedudukan, jabatan, dan strata sosial sedang berusaha mengenal hakikat dirinya yang jauh dari segala bentuk atribut lahiriyah. Di tempat yang suci dan mulia itu, mereka ingin menyaksikan esensi dirinya dan memahami kekurangan-kekurangannya. Pakaian ihram ingin memberi pemahaman kepada para jemaah bahwa mereka harus menyingkirkan egoisme, kesombongan, dan ketamakan dari dalam dirinya. Sejak awal memakai pakaian ihram, jemaah harus senantiasa menjaga perbuatan dan sikapnya agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt. Mereka telah bertekad untuk membentengi diri dari godaan syaitan dan memasuki zona kedamaian dan ketentraman Ilahi.
Ihram mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari simbol-simbol material dan atribut-atribut sosial. Dengan berpakaian ihram, para jemaah mampu menyaksikan manusia sebagai manusia dan melepas embel-embel yang sering menjadi simbol kepalsuan dan kebohongan. Ihram juga bermakna mengosongkan diri dari mentalitas duniawi dan membersihkan diri dari nafsu serakah, kesombongan serta kesewenang-wenangan.
Pakaian ihram menyimbolkan kesetaraan di hadapan Allah Swt dan manusia tidak dipandang dari pangkat dan jabatannya, melainkan kadar takwa mereka. Manusia dituntut untuk senantiasa bersikap wajar dan tidak berlebihan dalam hidup ini. Manasik haji mengajarkan manusia untuk tidak terjebak dalam egoisme kehidupan. Oleh sebab itu, mereka yang kembali dari Tanah Suci sudah seharusnya menanggalkan segala bentuk keangkuhan dan menjauhkan diri dari segala egoisme.
Imam Ali as-Sajjad as berkata, "Ketika engkau membersihkan diri di Miqat, maka maksudnya adalah bahwa engkau menyucikan diri dari kemunafikan dan riya, bukan hanya membersihkan dan menyucikan badan, sebab itu merupakan tanda dan simbol kesucian hati. Di saat engkau melakukan ihram, maka maknanya adalah bahwa apapun yang Allah haramkan bagimu, maka engkau harus mengharamkannya kepada dirimu sendiri dan engkau (juga harus) berjanji untuk tidak pernah melanggar batasan haram (tersebut)."
Sementara arti ucapan labbaik dalam keadaan ihram adalah penyucian lisan dari semua bentuk dosa. Lidah adalah sesuatu yang kecil, namun kejahatan yang ditimbulkannya adalah besar. Banyak dosa yang muncul melalui perantaraan lisan. Kejahatan lisan ini dapat berbentuk gunjingan, fitnah, kebohongan, kepalsuan, dan penghinaan. Imam Ali as-Sajjad as berkata, "Rahasia dibalik ucapan labbaik adalah, "Wahai Tuhanku, aku berjanji…apapun yang merupakan bentuk ketaatan kepada-Mu, maka aku akan mengucapkannya dengan lisanku, dan apapun yang merupakan maksiat kepada-Mu, maka lisanku tidak akan mengucapkannya."
Adapun orang yang melaksanakan thawaf wajib, hendaknya berusaha mencium Hajar Aswad. Mereka yang melakukan haji dan thawaf wajib hendaknya juga menyibukkan diri dengan thawaf mustahab. Ketika mencium Hajar Aswad, hendaknya ia tidak menggangu orang-orang yang tengah melaksanakan thawaf wajib. Imam Ali as-Sajad as berkata, "Makna menyentuh Hajar Aswad adalah, Ya Allah! Aku berjanji untuk tidak menyentuh perbuatan dosa lagi; aku tidak akan merestui kebatilan lagi. Aku tidak akan mengambil dan memberikan riba lagi; aku tidak akan memberi dan mengambil suap; aku tidak akan memukul orang lain tanpa alasan yang benar…"
Dalam al-Quran disebutkan bahwa setelah melakukan thawaf, hendaknya kita mendatangi Makam Ibrahim dan memilih tempat untuk melakukan shalat. Allah Swt berfirman, "Dan jadikanlah sebahgian maqam Ibrahim tempat shalat (QS: al-Baqarah: 125) Imam Ali as-Sajjad as berkata, "Perbuatan ini mempunyai sebuah rahasia, yaitu, "Tuhanku! Aku telah berdiri di atas tempat di mana Nabi Ibrahim pernah berdiri di atasnya. Ya, aku akan tetapkan kakiku di atas ketaatan dan menjauhkan diriku dari segala perbuatan maksiat." Sebagaimana yang pernah diucapkan Nabi Ibrahim as, "Dan aku hadapkan wajahku kepada Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi." Aku juga akan berbuat seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim, yang akan melakukan setiap bentuk ketaatan dan menjauhkan diri dari setiap perbuatan maksiat."