کمالوندی

کمالوندی

Rasulullah Saw membentuk pasukan di bawah komando Usamah bin Zaid untuk menghadapi tentara Imperium Romawi. Namun, pasukan ini tidak bergerak karena adanya pembangkangan dari beberapa sahabat besar dengan berbagai alasan.

Benih-benih pembangkangan terhadap perintah Nabi Saw mulai tumbuh. Rasul sangat kesal dengan kejadian ini dan beberapa hari kemudian ia terbaring sakit di tempat tidur. Para istri, keluarga dekat, dan sahabat berkumpul di kamar Nabi ketika sakitnya semakin parah dan mendekati ajal.

Saat itu Rasul Saw meminta pena dan kertas untuk menuliskan sebuah wasiat yang akan mencegah umat Islam dari kesesatan sepeninggalnya. Namun, permintaan ini terbentur dengan penolakan dan penentangan salah seorang sahabat yang hadir di hadapannya dan wasiat Nabi akhirnya tidak tersampaikan. Sahabat besar itu berkata, "Nabi sedang mengigau dan kita cukup dengan kitab Allah."

Ucapan ini menimbulkan perselisihan dan perdebatan di antara para sahabat. Nabi Saw dengan menyaksikan pemandangan itu, meminta mereka untuk pergi dari hadapannya. Rasul berkata, "Keluarlah kalian semua, tidak pantas kalian ribut di hadapan Nabi." (Al-Ghadir, jilid 1, hal 40)

Pertama, permintaan Nabi Saw yaitu "Bawakan aku sebuah pena beserta tintanya dan kertas agar aku dapat menuliskan sesuatu untuk kalian supaya kalian tidak akan tersesat setelahku" menunjukkan kekhawatiran beliau tentang masa depan umat Islam yang bisa tersesat di tengah jalan.

Penolakan beberapa sahabat sama sekali tidak bisa dibenarkan, karena permintaan itu berkaitan dengan masa depan umat Islam dan Rasul Saw sangat merisaukan masalah ini.

Kedua, apa makna dari ucapan "Nabi sedang mengigau"? Apakah Nabi tidak mengetahui apa yang diucapkan? Padahal al-Quran berkata, "Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."

Ketiga, Nabi Saw – atas perintah Allah – berulang kali berkata bahwa al-Quran dan 'Itrah-nya tidak akan pernah berpisah sampai mendatanginya di telaga Kautsar. Dengan kata lain, keterikatan keduanya adalah sebuah kebersamaan yang abadi dan tak tergoyahkan.

Ilustrasi peristiwa pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah oleh Rasulullah Saw di Ghadir Khum.
Lalu dengan alasan apa sehingga beberapa sahabat berkata, "Kita cukup dengan kitab Allah." (Shahih al-Bukhari, jilid 1, hal 3-22)

Al-Quran jelas-jelas berkata, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab: 36)

Dan keempat, Rasul Saw sangat kesal dengan keributan yang terjadi di antara para sahabatnya sehingga berkata, "Keluarlah kalian semua, tidak pantas kalian ribut di hadapan Nabi."

Jelas bahwa sebuah perselisihan dan perdebatan sangat mungkin terjadi dalam masalah sosial dan politik, dan kadang juga berkenaan dengan masa depan umat Islam. Jika ini terjadi, apa yang harus dilakukan? Apakah perdebatan dan perselisihan itu harus diperuncing atau bertindak sesuai dengan perintah al-Quran yaitu, "…jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa: 59)

Jika Allah Swt dan Rasul Saw telah menjelaskan pandangannya dalam satu perkara, maka tidak perlu diperdebatkan lagi dan ia wajib dipatuhi secara mutlak. Sikap ini adalah tanda-tanda dari iman yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya.

Perselisihan yang terjadi di tengah umat juga harus diselesaikan dengan bersandar pada firman Allah atau merujuk kepada Rasulullah, di mana ucapannya tiada lain hanyalah wahyu.

Orang yang memiliki iman yang kuat kepada Tuhan dan hari kiamat, tentu saja tidak akan menentang dan membangkang perintah Nabi Saw. Jadi, sikap beberapa sahabat yang menolak perintah Nabi sama sekali tidak sesuai dengan ajaran agama dan tidak bisa dibenarkan.

Rasulullah Saw pada akhirnya wafat dan pada hari duka itu, sudah sepantasnya prosesi pemakaman beliau dilakukan dengan megah untuk menghormati kerja kerasnya dalam membimbing dan mengajarkan umat, memajukan pemikiran dan budaya mereka, menghidupkan nilai-nilai luhur akhlak dan kemanusiaan, memerangi penyimpangan dan kesesatan, membebaskan masyarakat dari kehinaan dan pertikaian, serta membangun sebuah umat yang besar.

Namun penghormatan seperti itu tidak pernah terjadi dan bahkan beberapa sahabat meninggalkan jenazah Rasulullah Saw begitu saja, mereka tidak mengikuti prosesi pengkafanan dan upacara pemakaman.

Yang lebih mengejutkan adalah sebuah riwayat dari Aisyah, istri Rasulullah Saw yang bercerita, "Karena Nabi wafat, Mughirah bersama salah seorang sahabat pergi ke kamar persemanyaman jenazah Nabi dan membuka kain penutup wajahnya. Sahabat itu kemudian berkata, Nabi sedang pingsan dan pingsannya cukup parah. Kedunya kemudian keluar dari kamar itu dan Mughirah berkata kepada sahabat tersebut, 'Demi Allah, Nabi telah wafat.' Namun, sahabat itu tetap bersikeras, 'Engkau dusta, Nabi tidak wafat, engkau ingin menyulut fitnah."

Pada hari itu, Abu Bakar bergegas kembali ke Madinah setelah mengetahui Rasul wafat. Abu Bakar yang menyaksikan pengingkaran sebagian masyarakat atas wafatnya Rasul, naik ke mimbar dan berpidato. Setelah membaca hamdalah, ia mengutip beberapa ayat al-Quran dalam pidatonya antara lain, "Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)" (QS. Az-Zumar: 30) dan "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)" (QS. Ali Imran: 144)

Saqifah Bani Sa'idah.
Kemudian orang-orang yang telah mengingkari kematian Rasulullah, berkata kepada Abu Bakar, "Apakah ayat-ayat tersebut ada dalam al-Quran?" Abu Bakar menjawab, "Iya."

Ada sebuah pertanyaan penting mengenai sikap para sahabat yang mengingkari kematian Rasulullah, karena sebelumnya mereka justru berkata, "Kita cukup dengan kitab Allah" sebagai upaya untuk menyingkirkan Ahlul Bait dari posisi khalifah.

Jika mereka berkata, "Kami tidak tahu jika seorang Rasul bisa wafat." Lalu, mengapa mereka menganggap kitab Allah cukup untuk mengatur urusan umat Islam sepeninggal Rasul dan menolak peran Ahlul Bait Nabi. Namun, jika mereka berkata, "Kami tahu tentang itu," lalu mengapa mereka mengingkari kematian Nabi?

Bisa dikatakan bahwa sikap tersebut bermotif politik yang kemudian diwujudkan di Saqifah Bani Sa'idah.

Sebagian sahabat berkumpul di Saqifah ketika Imam Ali as dan beberapa orang lain sedang memandikan jenazah Rasulullah Saw, mengkafani, dan menyiapkan pemakaman. Mereka berkumpul dengan alasan untuk mencegah perpecahan umat dan menjaga pencapaian yang ditorehkan oleh Rasul. Lalu, bukankah Rasul telah mengangkat Sayidina Ali as sebagai khalifah dan pemimpin umat Islam pada hari Ghadir Khum?

Peristiwa Ghadir Khum dibenarkan oleh 110 sahabat, 84 tabi'in, serta 360 ulama dan perawi dari Syiah dan Sunni. Para ulama Syiah dan Sunni telah menukil peristiwa tersebut dalam buku-bukunya.

Bukankah para sahabat yang berkumpul di Saqifah telah memberikan baiat dan ucapan selamat kepada Imam Ali di Ghadir Khum? Lalu, mengapa mereka melupakan semua peristiwa itu dalam rentang waktu 70 hari dan bertindak seakan-akan Rasul tidak pernah memikirkan masa depan umatnya.

Bagaimana mungkin Allah Swt – yang menurunkan al-Quran sebagai kitab terakhir dan Muhammad sebagai khatam al-Anbiya – tidak memberikan perintah apapun tentang pengangkatan khalifah? Jelas para tokoh Saqifah tidak berkumpul dengan motivasi agama, sebab mereka tidak mengantongi perintah dari Allah untuk melakukan itu, dan Rasul Saw juga tidak berbuat lalai dalam menentukan pemimpin setelahnya. 

Sabtu, 19 Oktober 2019 19:20

Dampak Keputusan Saqifah bagi Umat Islam

Langkah-langkah yang diambil oleh sekelompok sahabat di kota Madinah dan Saqifah Bani Sa'idah, telah melenceng dari ketetapan yang sudah diumumkan oleh Rasulullah Saw di Ghadir Khum.

Isu krusial yang disampaikan Rasulullah dalam khutbahnya di Ghadir Khum adalah masalah kepemimpinan (imamah) Sayidina Ali as. Menurut kitab al-Ghadir, khutbah Rasulullah di Ghadir Khum dinukil oleh lebih dari 110 sahabat, 84 tabi'in, serta 360 ulama dan perawi dari Syiah dan Sunni.

Di salah satu bagian khutbahnya, Rasulullah berkata, "Sesungguhnya Malaikat Jibril as sudah tiga kali turun kepadaku dan menyampaikan salam Tuhanku serta memerintahkan agar berdiri di tempat perkumpulan ini untuk menyampaikan pada kalian baik yang berkulit putih maupun berkulit hitam, bahwa sesungguhnya Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, washiku, khalifahku bagi umatku, dan imam setelahku.

Kedudukan dia di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku. Dia sebagai pemimpin kalian setelah Allah dan Rasul-Nya…

Ketahuilah wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah menetapkan Ali sebagai wali dan imam kalian, dan telah mewajibkan kepada setiap orang dari kalian untuk mentaatinya. Sah keputusan hukum yang diambilnya, dan berlaku kata-katanya. Terlaknat orang yang menentangnya, dan memperoleh rahmat orang yang mempercayainya.

Namun apa yang terjadi di Saqifah bertentangan dengan perintah Allah. Di saat Imam Ali as dan beberapa sahabat sedang mempersiapkan pemakaman Nabi Saw, sebagian pemuka Anshar yang dipimpin Sa'd bin 'Ubadah berkumpul di Saqifah untuk memilih pemimpin setelah Nabi.

Saqifah adalah sebutan untuk bangunan yang memiliki teras dan wadah berkumpul bagi sebuah kabilah. Hampir semua kabilah di Arab memiliki tempat seperti ini untuk dipakai sebagai balai musyawarah untuk memutuskan berbagai kepentingan umum.

Tempat yang dipakai oleh tokoh Muhajirin dan Anshar untuk memilih khalifah waktu itu adalah milik Bani Sa'idah dari Khazraj, sehingga ia dikenal sebagai Saqifah Bani Sa'idah.


Sebelum Islam datang, Bani Sa'idah secara rutin menggelar pertemuan di tempat itu dan setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah, Saqifah mereka kehilangan fungsinya. Saqifah ini baru dihidupkan kembali ketika para tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di sana untuk menentukan khalifah pengganti Nabi Saw.

Sebagian sejarawan meyakini bahwa musyawarah kaum Anshar di Saqifah – setelah wafatnya Nabi Saw – hanya untuk memilih pemimpin untuk kota Madinah. Namun, kedatangan orang-orang Muhajirin telah menggeser egenda musyawarah ke arah pemilihan khalifah untuk umat Islam.

Para tokoh Saqifah bergerak menyimpang dari jalur yang ditetapkan oleh Nabi Saw mengenai sosok pemimpin umat setelah wafatnya. Mereka telah menambah daftar panjang pembangkangannya terhadap perintah Rasul. Keputusan mereka telah menjauhkan Imam Ali as dari haknya sebagai pemimpin umat selama 25 tahun.

Semua aktor yang membentuk gerakan agama-politik – sejak awal periode kenabian Muhammad Saw di Mekkah sampai berakhirnya masa kekhalifahan Usman bin Affan – selalu hadir dalam berbagai peristiwa dan memainkan peran dalam urusan pemerintahan dan kekhalifahan.

Lebih tragis lagi bahwa beberapa alumni Saqifah Bani Sa'idah membunuh karakter Imam Ali as dan membangun opini di masyarakat bahwa Ali mengincar kekuasaan, tetapi kalah dari rivalnya dan tidak punya pilihan lain kecuali menjauh dari poros kekuasaan. Padahal, Imam Ali as telah memilih bersabar dan menutup mata dari hak sahnya demi menjaga keutuhan kaum Muslim dan wilayah teritorial Islam.

Seseorang yang sinis datang menemui Imam Ali as dan berkata, "Wahai putra Abu Thalib, engkau sangat menginginkan posisi khalifah dan lebih rakus dari orang lain."

Imam Ali membantah fitnah dan tuduhan miring itu dan berkata, "Demi Allah, engkau malah lebih serakah, walaupun lebih jauh, sementara aku lebih layak dan lebih dekat (dengan Rasulullah Saw). Aku menuntutnya sebagai hakku, sedang engkau menghalangi antara aku dan hak itu, dan sekarang engkau hendak memalingkan wajahku darinya. Apakah orang yang menginginkan haknya dianggap lebih rakus atau mereka yang mengincar hak orang lain?" (Kitab Nahjul Balaghah, khutbah 171).

Mungkin sebagian bertanya, jika Ali as menganggap posisi imamah sebagai haknya, mengapa ia memilih diam dalam menghadapi situasi saat itu? Mengapa ia tidak bangkit untuk membela hak yang diberikan Tuhan kepadanya?

Beginilah jawaban Imam Ali as atas pertanyaan penting itu, "Aku melihat kesabaran lebih baik daripada memecah barisan kaum Muslim dan pertumpahan darah mereka, sebab masyarakat baru memeluk Islam…(Nahjul Balaghah, khutbah 119)

Makam Imam Ali as di kota Najaf, Irak.
Imam Ali as memilih bersabar dan memprioritaskan maslahat Islam dan kaum Muslim, meski ia mengetahui bahwa dirinya – atas perintah Allah Swt – telah diangkat sebagai khalifah pada hari Ghadir Khum, dan dirinya lebih layak untuk memimpin umat daripada orang lain.

Ketika periode kekuasaan khalifah kedua berakhir, Imam Ali as diundang untuk menghadiri musyawarah sebuah dewan yang beranggotakan enam orang dan Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah berkat suara Abdurrahman bin Auf. Ketika itu Imam Ali as berkata, "Kalian tahu bahwa aku lebih layak dari semua untuk posisi khalifah. Demi Allah, selama urusan kaum Muslim berjalan dan hanya aku yang tersakiti, maka aku tidak akan menentang kalian." (Nahjul Balaghah, khutbah 72)

Setelah wafatnya Nabi Saw, seluruh perhatian Imam Ali as tercurahkan pada dua isu utama yaitu: pertama menjaga agama Islam sebagai hasil kerja keras dan perjuangan Rasulullah Saw selama 23 tahun, dan kedua mempertahankan persatuan dan kesolidan kaum Muslim.

Imam Ali as mengetahui dengan baik bahwa musuh dari dalam dan luar, sedang berusaha untuk merusak persatuan dan kekuatan masyarakat Muslim sehingga bisa mencapai tujuan mereka yaitu, menghancurkan Islam dan kaum Muslim.

Menurut satu riwayat, Sayidah Fatimah Az-Zahra as suatu hari berkata kepada suaminya Imam Ali, "Mengapa engkau tidak membela hakmu?" Mendengar itu, Imam Ali langsung memakai baju perang untuk melawan orang-orang yang merampas haknya. Suara adzan terdengar dari masjid dan pekikan kalimat La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah membahana. Ali menolehkan wajahnya ke Fatimah sambil berkata, "Apakah engkau ingin seruan tauhid dan kenabian ini tetap terdengar? Jika engkau sependapat denganku, maka kita harus bersabar, jika tidak aku akan keluar dan menumpas semua penentangku."

Sayidah Fatimah memilih diam sebagai tanda setuju dengan keputusan suaminya itu. Sebab bagi mereka, menjaga agama Islam lebih penting dari apapun dan mereka terlibat aktif di berbagai kesempatan untuk menjaga semua pencapaian yang diraih kaum Muslim. 

Sabtu, 19 Oktober 2019 19:19

Penyimpangan Saqifah dan Tragedi Karbala

Salah satu dampak dari keputusan syura Saqifah adalah melencengnya jalur gerakan umat Islam dari ketetapan Nabi Muhammad Saw di Ghadir Khum yaitu pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah dan pemimpin kaum Muslim.

Selama 25 tahun, Imam Ali memilih bersabar demi menjaga Islam dan persatuan masyarakat Muslim yang baru dibangun oleh Rasulullah, dan tidak mengambil tindakan apapun dalam menghadapi konspirasi yang dilakukan oleh orang-orang yang haus kekuasaan.

Tentu saja, Imam Ali pada berbagai kesempatan menyampaikan khutbah untuk menunjukkan bagaimana perintah Allah Swt dilanggar oleh sekelompok sahabat sehingga gerakan umat Islam melenceng dari jalurnya.

Bid’ah dan penyimpangan yang diwariskan oleh syura Saqifah mengantarkan keluarga Bani Umayyah ke tampuk kekuasaan dan posisi khalifah jatuh ke tangan orang-orang seperti, Mu’awiyah dan Yazid.

Peristiwa Saqifah sebenarnya sudah pernah diprediksi oleh Rasulullah Saw. Beberapa hari sebelum wafat, Nabi menyebut peristiwa itu sebagai “fitnah” dan memberikan solusi agar tidak terperosok ke jurangnya. Beliau berkata, “Fitnah akan dikobarkan tak lama setelah kepergianku. Dalam situasi seperti itu, bergabunglah dan melangkahlah bersama Ali bin Abi Thalib, karena ia orang pertama yang beriman kepadaku dan orang pertama yang mendatangiku pada hari kiamat. Ali adalah siddiq al-akbar dan al-faruq umat ini yaitu pemisah antara kebenaran dan kebatilan, ia adalah pemimpin agama yang sesungguhnya.” (Kitab Asad al-Ghabah, jilid 5, hal 287)

Salah satu pertanyaan penting yang muncul mengenai kedudukan Ahlul Bait khususnya Imam Ali as adalah keutamaan apa yang disandang oleh mereka sehingga dianggap layak menjadi pemimpin umat sepeninggal Rasulullah?

Jawaban terbaik atas pertanyaan ini bisa ditemukan dari penjelasan Rasul Saw sendiri. Suatu hari ketika sekelompok sahabat termasuk Abu Bakar berkumpul bersama Nabi, beliau menghadap ke arah mereka dan berkata, “Siapa di antara kalian seperti Nabi Adam dari segi intelektualitas, seperti Nuh dari segi pemahaman, dan semisal Ibrahim dari segi hikmah dan ilmu? Pada saat itu Imam Ali as datang dan Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, siapa yang engkau maksud?” Rasul bersabda, “Apakah engkau tidak mengenalinya?” Abu Bakar berkata, “Allah dan Rasulnya lebih tahu.” Rasul bersabda, “Maksudku adalah Abu al-Hasan Ali bin Abi Thalib dimana semua sifat itu berkumpul bersamanya.” Abu Bakar kemudian berkata, “Sungguh hebat dan selamat atasmu wahai Abu al-Hasan dan tidak ada yang seperti dan sebanding denganmu.” (Al-Manaqib, bab 7, hal 44-45)

Rasulullah Saw bersabda, "Hasan dan Husein adalah imam, baik dalam keadaan bangkit atupun berdamai."
Ucapan khalifah kedua dalam memuji Imam Ali juga layak untuk disimak. Saat menjelang ajal, Umar bin Khattab berkata kepada Ibnu Abbas, “Tidak ada keraguan bahwa orang yang paling layak untuk menyeru masyarakat mengamalkan al-Quran dan sunnah Rasulullah adalah temanmu Ali. Demi Allah, jika kepemimpinan ada di tangannya, ia akan membimbing umat ke jalan yang terang dan jalan lurus hidayah.” (Syarah Nahjul al-Balaghah Ibn Abi al- Hadid, jilid 6, hal 7-326)

Selain Abu Bakar dan Umar bin Khattab, khalifah ketika (Usman bin Affan) juga berkata, “Suatu hari aku sedang memandang wajah Ali. Kemudian ia bertanya kepadaku, mengapa engkau memandangku seperti itu? Aku berkata kepadanya bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda, “Memandang wajah Ali adalah ibadah.” (Tarikh Dimasyq, jilid 2, hal 392)

Di berbagai kitab induk Ahlu Sunnah, ditemukan banyak ucapan dari ketiga khalifah tersebut yang mengakui keutamaan Ali bin Abi Thalib. Disebutkan bahwa mereka secara rutin meminta pandangan Ali as dalam mengeluarkan sebuah hukum fikih dan peradilan atau dalam situasi-situasi genting sehingga tidak terjadi kesalahan. Sebuah riwayat masyhur menyebutkan Umar sebanyak 70 kali berkata, “Sekiranya tidak ada Ali, Umar akan binasa.”

Bahkan dari Mu’awiyah – orang yang paling memusuhi Ali as – juga diriwayatkan bahwa seseorang datang menemui Mu’awiyah dan bertanya sesuatu kepadanya. Mu’awiyah tidak tahu jawabannya dan berkata, “Bertanyalah kepada Ali karena ia lebih pintar dariku.”

Orang tersebut berujar, “Jawaban darimu akan membuatku lebih senang.” Mu’awiyah menjawab, “Apa yang engkau ucapkan! Engkau membenci seseorang dimana Rasulullah – seperti burung memberi makan untuk anaknya – telah mengenyangkan dia dengan banyak ilmu dan pengetahuan. Rasulullah juga berkata kepadanya, “Engkau adalah dariku dan kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun tidak ada nabi setelahku.” (Fadhail al-Shahabah, jilid 2, hal 675)

Dengan adanya semua bukti tentang keutamaan Imam Ali as, lalu mengapa para tokoh Saqifah tetap menutup matanya atas semua hakikat ini? Padahal, mereka sendiri mengakui kelayakan dan kepatutan Imam Ali untuk memimpin umat Islam. Mengapa mereka menyusun skenario licik untuk menyingkirkan Imam Ali dari haknya ini?


Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan pada ayat 14 surat An-Naml. “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”

Saqifah adalah puncak penyimpangan dimana kurang dari setengah abad setelahnya, dampak-dampak dari keserakahan ini menyebabkan cucu Rasulullah Saw dan para sahabatnya gugur syahid di Karbala.

Meski dampak dari penyimpangan ini awalnya berjalan lamban, namun setelah kekhalifahan berubah menjadi kerajaan di era Mu’awiyah, dampak penyimpangan ini semakin terlihat dan terasa di tengah umat.

Penyimpangan yang terjadi di Saqifah menjadi sempurna setelah berubahnya kekhalifahan menjadi kerajaan. Kebijakan para penguasa terutama Mu’awiyah, telah menjauhkan masyarakat dari agama dan menenggelamkan mereka dalam urusan duniawi. Imam Ali dan Imam Hasan secara perlahan kehilangan basis massa. Mu’awiyah memaksakan berbagai perang dan melanggar kesepakatan damai, dan pada akhirnya kedua figur mulia itu meneguk cawan syahadah.

Perlu dicatat bahwa pada periode kekuasaan Mu’awiyah, ia belum berani terang-terangan berbicara tentang penghancuran Islam dan masih menampakkan dirinya sebagai sosok pembela agama. Namun kondisi ini berubah total setelah Yazid naik takhta menggantikan ayahnya, Mu’awiyah. Ia adalah pria pemabuk dan terang-terangan berbuat maksiat, ia secara terbuka berbicara tentang agenda penghapusan Islam dan pentingnya menghidupkan era Jahiliyah.

Penyimpangan besar ini memaksa Imam Husein as untuk bangkit melakukan perbaikan dan menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Ia mempersembahkan nyawanya demi menghidupkan ajaran agama dan sunnah Rasulullah Saw. Darah dan pengorbanannya telah menghidupkan kembali Islam yang lurus di tengah umat.

Tragedi Asyura tidak dilakukan oleh musuh-musuh al-Quran dan Ahlul Bait, tetapi para pelakunya adalah orang-orang Muslim yang haus kekuasaan. Oleh sebab itu, penting untuk diketahui kapan peristiwa itu dimulai dan siapa saja pelakunya.

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa para tokoh Saqifah melakukan gerakan-gerakan terencana untuk merebut kekuasaan dari Ahlul Bait pasca wafatnya Rasulullah Saw. Kita juga sudah mengetahui berbagai hadis dan kesaksian para khalifah tentang kedudukan tinggi Ahlul Bait Nabi, terutama Imam Ali as.

Lalu, mengapa para tokoh Saqifah tetap mengabaikan semua realitas meskipun ada banyak riwayat yang berbicara tentang keutamaan Ahlul Bait. Mereka sendiri juga mengakui kelayakan, kepatutan, dan keunggulan Imam Ali as untuk posisi imamah dan pemimpin umat Islam. Para tokoh Saqifah dengan sebuah skenario licik menyingkirkan Imam Ali as dari hak sahnya selama 25 tahun.

Sekarang kita akan menukil ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kedudukan Ahlul Bait sehingga menjadi jelas bahwa para pembangkang tidak hanya melawan perintah Nabi Saw, tetapi juga menolak tunduk pada perintah Allah. Mereka memilih sebuah jalan yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Salah satu ayat al-Quran yang berbicara tentang kedudukan tinggi Ahlul Bait dan menekankan kesucian mereka dari segala dosa adalah ayat 33 surat al-Ahzab atau yang dikenal dengan Ayat Tathir. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."

Ayat ini berbicara mengenai kehendak/iradah Allah untuk mensucikan Ahlul Bait dari dosa dan segala jenis kotoran dan noda, baik itu dalam bentuk pikiran maupun perbuatan seperti syirik, kufr, nifaq, kebodohan, dan segala bentuk dosa.

Mayoritas ulama tafsir Syiah dan Sunni sepakat bahwa maksud dari Ahlul Bait Nabi adalah Ali bin Abi Thalib, Sayidah Fatimah az-Zahra, Imam Hasan, dan Imam Husein as.


Ayat lain yang menunjukkan perhatian khusus Allah kepada Ahlul Bait adalah Ayat Mubahalah. Menurut buku-buku referensi Syiah dan Sunni, Rasulullah Saw telah menjelaskan semua dalil untuk membuktikan kebatilan akidah kaum Nasrani Najran dan meminta mereka untuk meninggalkan akidah batil itu seperti keyakinan bahwa Isa al-Masih sebagai anak Tuhan. Namun, para pembesar Nasrani Najran menolak meninggalkan akidah yang berbau syirik itu dan mereka mengusulkan mubahalah yaitu berdoa kepada Tuhan dan memohon agar siapa saja yang sesat dijauhkan dari rahmat-Nya dan dibinasakan. Rasulullah pun – atas izin Allah – menerima tantangan itu.

Istilah mubahalah sendiri sudah dikenal luas oleh masyarakat Arab dan para penganut agama langit sebagai sarana untuk membuktikan kebenaran.

Di hari berikutnya, Rasul datang ke arena mubahalah dengan membawa orang-orang yang paling mulia dan paling dekat dengannya. Melihat pemandangan itu, para pembesar Nasrani Najran mulai ragu dan memutuskan untuk membatalkan mubahalah.

Al-Quran mengabadikan peristiwa ini dalam surat Ali-Imran ayat 61, "Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."

Para ulama tafsir memiliki pandangan yang sama ketika menafsirkan ayat ini. Maksud dari kata Abnaana adalah Imam Hasan dan Imam Husein as, Nisaana yaitu Sayidah Fatimah as, dan maksud dari Anfusana adalah Imam Ali as yang setara kedudukannya dengan jiwa Rasulullah Saw.

Ayat lain yang secara langsung berbicara tentang posisi imamah Ali bin Abi Thalib as adalah ayat 55 surat al-Maidah yang populer dengan Ayat Wilayah (kepemimpinan). “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”

Pada suatu hari seorang fakir datang ke Masjid Nabawi dan meminta bantuan, namun tidak ada seorang pun yang memberinya. Ia pun mengangkat tangannya ke langit sambil berkata, "Tuhanku, saksikanlah bahwa aku berada di Masjid Nabi-Mu dan meminta pertolongan, tapi tidak ada seorang pun yang menolongku." Pada saat itulah, Ali as yang sedang rukuk memberikan isyarat dengan jari kelingking tangan kanannya. Orang fakir itu pun mendekat ke arahnya dan mengeluarkan cincin dari jari Imam Ali as, kemudian ayat tersebut turun.

Mayoritas ulama tafsir Syiah dan Sunni sepakat bahwa satu-satunya orang yang berbuat demikian adalah Ali bin Abi Thalib as. Allah menurunkan ayat itu untuk memperkenalkan kedudukan Ali as kepada para pencari kebenaran. (Tafsir al-Kabir, hal 431 dan Ihqaq al-Haq, jilid 2, hal 399)

Seluruh nabi tidak meminta upah apapun kepada masyarakat dalam berdakwah, karena mereka menjalankan misinya secara tulus dan semata-mata untuk Allah. Rasulullah juga tidak mengharapkan apapun dari masyarakat sejak ia diutus. Namun, para sahabat datang dan menawarkan diri dengan berkata, “Jika engkau butuh materi; uang atau yang lain maka berapa pun yang engkau butuhkan akan kami berikan.” Saat itulah turun ayat 23 surat Ash-Syura yaitu “Katakanlah (Wahai Rasulullah) bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian (atas risalah yang dibawa), kecuali kecintaan terhadap kerabatku.”


Ayat ini menunjukkan bahwa perintah untuk mencintai Ahlul Bait adalah bukan keinginan Rasul sendiri, tetapi kehendak dan perintah Allah. Namun, para tokoh Saqifah bukan hanya mengabaikan kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi, tetapi mereka juga telah memusuhinya.

Ayat-ayat tersebut membuktikan tentang kesucian, kedudukan tinggi, kemuliaan, dan keutamaan Ahlul Bait Nabi as. Orang-orang yang dipertaruhkan oleh Rasulullah untuk membuktikan kebenaran risalahnya di hari mubahalah hanya Ali, Sayidah Fatimah, dan kedua putra mereka. Satu-satunya keluarga yang wajib untuk dicintai atas perintah Allah Saw adalah Ahlul Bait Nabi as.

Namun, peristiwa Saqifah Bani Sa'idah dan keputusan lain yang diambil setelahnya, bertentangan dengan perintah Allah mengenai kedudukan Ahlul Bait yang sudah dijelaskan dalam al-Quran.

Pada kesempatan ini, kami akan mengutip beberapa kalimat singkat dari khutbah Sayidah Fatimah az-Zahra as yang disampaikan pada hari-hari terakhir kehidupannya, yang dikenal dengan Khutbah Fadakiyah. Khutbah ini disampaikan di Masjid Nabawi di Madinah.

Sayidah Fatimah as berkata, “… Ketika Rasulullah ada di antara kalian, beliau paling menanggung dan merasakan penderitaan dan di jalan ini, Ali adalah pribadi yang selalu menjadi teman dan penolongnya. Terkadang kalian hidup dengan tenang, Ali melemparkan dirinya ke mulut naga untuk membela agama Allah. Akhirnya, berkat perjuangan Nabi Muhammad Saw dan Ali, mereka berhasil memastikan agama Islam dan kalian sampai pada kemuliaan dan kehormatan ini.

Ketika Nabi Saw masih hidup, semua masalah ini dibanggakan dan diterima oleh semua orang. Tapi begitu beliau pergi, apa yang terjadi di antara kalian? Setelah ayahku meninggal kecenderungan kalian akan kemunafikan mulai tampak, bukannya mengingat komitmen kalian kepada Rasulullah, amanah yang diserahkan kepada kalian mulai dilupakan bukannya dijaga. Seakan-akan hanya nama dari Islam kalian yang tinggal dan kalian melupakan hakikat Islam.

Sekarang, orang-orang ini telah mengambil kendali kekuasaan di tangannya dan syaitan telah mengangkat kepalanya dari tempat penyembunyiannya, mengajak kalian pada kejahatan.

Kemudian kalian mulai merebut hak-hak orang lain dan memasuki musim semi yang bukan milik kalian dan kalian melakukan semua ini tidak lama setelah meninggalnya Nabi, sementara kesedihan kepergiannya masih sangat dalam di hati kami.” 

Artikel ini melanjutkan pembahasan sebelumnya mengenai peristiwa Saqifah dan dilupakannya wasiat Nabi kepada umat Islam supaya memperhatikan Ahlul Baitnya.

Ahlul Bait Rasulullah Saw memiliki kedudukan khusus dalam Islam. Kecintaan terhadap Rasulullah Saw dan Ahlul Bait merupakan perintah Allah swt, dan Nabi Muhammad Saw hanya menjalankan  perintah ilahi mengenai masalah tersebut. Oleh karena itu, semua orang yang telah menunjukkan kebencian terhadap Ahlul Bait, alih-alih kasih sayang, sejak awal Islam tidak diragukan lagi menunjukkan penentangan terhadap perintah Allah swt.

Anggota Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw yang pertama kali disebut oleh Rasulullah adalah puterinya, Siti Fatimah. Allah swt menurunkan surat Al-Kautsar kepada Nabi yang mengenai berita gembira akan kelahiran bayi puterinya. SelaIn itu, mengenai di surat al-Ahzab ayat 33, dijelaskan mengenai kedudukan ahlul bait yang disucikan oleh Allah swt.  

Berdasarkan banyak hadis dari sumber-sumber muktabar baik Syiah maupun Sunni, Nabi Muhammad Saw menunjukkan kedudukan penting Fatimah, sebagaimana salah satu sabdanya, "Allah akan murka apabila Fatimah marah, dan senang ketika ia bahagia." (Musnad 353, Amali Sheikh Mufid 256). Hadis ini jelas menunjukkan ketinggian posisi Siti Fatimah Az-Zahra di hadapan Allah swt. Di bagian lain, Rasulullah Saw bersabda, "Ya Tuhanku, ini putriku dan ciptaan-Mu yang terkasih bersamaku." (Musnad, 205)

Suatu hari Nabi Muhammad Saw mengambil tangan putrinya, Siti Fatimah dan berkata, "Semua orang tahu dan orang yang belum tahu saya kenalkan ini adalah putri Muhammad. Dia bagian dariku. Hati, dan jiwanya bagian dari tubuhku. Jadi siapa pun yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku, dan siapa pun yang menimbulkan kemarahanku, maka telah menyebabkan kemurkaan Tuhan,". (Musnad hal.162 - Hadis 27)

Di luar dari posisi tinggi Siti Fatimah yang digambarkan dalam hadis dan ayat yang turun mengenai beliau, orang-orang yang dekat dengan Rasulullah Saw seperti istri Nabi, Siti Aisyah  berkata, "Saya tidak pernah melihat orang yang lebih dekat dengan Rasulullah seperti Fatimah. Ketika ia datang, beliau berdiri sebagai bentuk penghormatan dan mendatanginya, Beliau Mencium dan menyambutnya, kemudian memegang tangannya dan menempatkan di tempat duduknya."(Kashf Al-Ghummah, vol. 2, hlm. 79.)

Sekarang setelah kita berkenalan dengan posisi putri Nabi, Siti Fatimah Zahra dan suaminya Imam Ali  sampai batas tertentu, kita menelusuri sejarah untuk melihat bagaimana para penguasa memperlakukan Ahlul Bait Rasulullah ini. Apakah mereka menghormatinya, ataukah sebaliknya merusak martabat mereka demi meraih tujuannya.

Syekh Thusi mengutip dari Ibnu Abbas berkata, "Menjelang akhir hayatnya, Rasulullah menangis tersedu-sedu hingga janggutnya basah. Ketika itu beberapa orang bertanya kepadanya, mengapa Anda menangis begitu sedih. Rasulullah menjawab, saya mengkhawatirkan sikap umatku terhadap anak-anakku setelahku, seolah-olah aku melihat putriku Fatimah dalam keadaan tertindas setelah kepergianku, dan dia berteriak kepada ayahnya, dan tidak ada yang membantunya,".

Ketika dia mendengar cerita ini, Sayidah Zahra banyak menangis. Nabi berkata kepadanya, jangan menangis seperti itu putriku." Siti Fatimah menjawab, "Kami tidak menangisi apa yang akan mereka lakukan padaku setelah aku tertindas, tetapi karena kesedihan berpisahan denganmu. Nabi Muhammad Saw berkata, "Putriku, bersukacitalah karena kamu adalah Ahlul Bait pertama yang bergabung denganku" (Musnad hal. 100 Hadis 9)

Riwayat ini menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad Saw telah meramalkan masa depan getir yang menimpa umat Islam, masa depan di mana kepalsuan akan menggantikan kebenaran, dan nilai-nilai agama akan jatuh menjauh dari masyarakat Islam.

Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw dilupakan oleh umatnya sendiri dengan ditinggalkannya wasiat penting beliau mengenai Ahlul Baitnya. Amat disayangkan, umat Islam yang telah bersama Nabi selama dua puluh tiga tahun, setelah kepergiannya melakukan kelaliman terhadap Ahlul Baitnya, termasuk menimpa puteri beliau.

Kondisi sosial politik umat pasca wafatnya Rasulullah Saw, dan tekanan terhadap Ahlul Bait menjadi perhatian Sayidah Fatimah Zahra. Lambat laun kesehatannya menurun dan jatuh sakit. 


Siti Fatimah  berada di dalam tekanan yang meningkat ketika Imam Ali dipaksa harus menerima hasil dan keputusan dewan Saqifah Bani Saidah, bahkan mereka memaksa meminta baiat hingga mendatangi rumahnya. Fatimah Zahra menutup pintu rumahnya, tapi mereka memaksa masuk tanpa izin. Ketika itu, putri Rasulullah Saw berdiri di rumahnya dan berkata, "Aku tidak melihat bangsa yang lebih buruk dari kalian, Anda meninggalkan jenazah Nabi  di hadapan kami dan mengambil keputusan untuk berkuasa tanpa bermusyawarah dengan kami. Ketahuilah, apa yang Anda lakukan terhadap kami (bertentangan dengan perintah Allah swt). Anda tidak menghargai hak kami".(Amali, Sheikh Mufid).

Sabtu, 19 Oktober 2019 19:15

Perampasan Fadak dan Duka Ahlul Bait

Sekelompok sahabat pendukung syura Saqifah Bani Sa'idah mendatangi rumah Sayidah Fatimah az-Zahra as untuk mengambil bai'at secara paksa dari Ali bin Abi Thalib as. Namun mereka mendapat perlawanan dari putri Rasulullah Saw itu.

Lalu, mengapa putri Rasulullah Saw melakukan perlawanan dan tidak tunduk pada tuntutan para perampas kekuasaan?

Jelas bahwa jika Fatimah dan Ali as memilih tunduk, ini bermakna mereka merestui penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Jika itu disetujui, sikap mereka juga akan sama seperti para tokoh Saqifah yang melanggar perintah Allah Swt di Ghadir Khum dan mengabaikan keputusan Rasulullah Saw dalam masalah pengangkatan khalifah setelah wafatnya.

Fatimah dan Ali as menolak terlibat dalam sebuah tragedi yang sengaja diciptakan di tengah umat dan tidak bekerjasama dengan para perampas posisi khalifah dan imamah.

Imam Ali as tidak mengambil tindakan apapun demi menjaga Islam yang mendapat rongrongan dari dalam dan luar, serta demi menjaga persatuan dan kekuatan kaum Muslim.

Para tokoh Saqifah sayangnya mengambil tindakan baru tanpa memperhatikan keprihatinan Ali dan Fatimah tentang masa depan Islam dan umat. Penguasa merebut Tanah Fadak dari tangan Sayidah Fatimah sehingga Ahlul Bait tidak lagi memiliki pemasukan untuk membantu kaum lemah dan fakir-miskin.

Fadak adalah sebuah desa di wilayah Hijaz, Arab Saudi, dengan kebun dan pohon kurma yang luas di dekat Khaibar. Menurut literatur sejarah, setelah penaklukan benteng Khaibar oleh kaum Muslim, setengah dari kebun dan desa Fadak berdasarkan pada sebuah perjanjian damai diserahkan oleh kaum Yahudi kepada Rasulullah Saw. Karena Fadak diperoleh tanpa peperangan, maka sesuai dengan hukum al-Quran ia disebut khalishah (terkhusus untuk) Nabi. Beliau kemudian memberikan Tanah Fadak kepada putrinya, Sayidah Fatimah.

Demi memuluskan skenario perampasan Tanah Fadak, para tokoh Saqifah mengarang sebuah hadis palsu dan berkata, "Rasulullah Saw bersabda bahwa kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah."

Tanah Fadak di dekat Madinah.
Sayidah Fatimah – sebagai pemilik sah Tanah Fadak – mendatangi penguasa untuk membela haknya. Jika ia memilih diam, maka sikap ini bertentangan dengan nash (teks dalil) al-Quran dan wasiat Nabi Saw. Al-Quran menjelaskan bahwa ghanaim (harta rampasan perang) yang sampai kepada kaum Muslim tanpa perang, maka pemiliknya adalah Nabi Saw.

"Setiap harta rampasan (fai') yang diberikan Allah kepada rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda dan (tidak pula) seekor unta pun. Tetapi Allah-lah yang memberikan kekuasaan kepada para rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Hasyr: 6)

Oleh karena itu, pembelaan Sayidah Fatimah bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi bertujuan untuk membela hukum al-Quran dan Islam yang murni. Untuk mematahkan hadis palsu itu (Kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah), ia pergi ke masjid dan menyampaikan pidato untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Dengan demikian, generasi saat ini juga menjadi tahu bahwa sebuah penyimpangan besar telah terjadi pada permulaan Islam dan rentetan peristiwa setelahnya telah membuat Ahlul Bait Nabi terzalimi, termasuk pembunuhan Imam Husein as di Karbala.

Dalam pidatonya (Khutbah Fadakiyyah), Sayidah Fatimah as berkata, "Mengapa engkau merampas Fadak yang diberikan Rasulullah kepadaku atas perintah Allah dan ingin menjauhkanku dari memperoleh hak yang sah? Bukankah Allah berfirman dalam al-Quran, "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud." (QS. Al-Naml: 16)

Ia kemudian mengutip ayat-ayat lain dari al-Quran dan berkata, "Bukankah Zakariya telah mengangkat tangan untuk berdoa dan berseru, "…Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub." (QS. Maryam: 5-6) Sayidah Fatimah juga menukil sebuah ayat lain, "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)

"Wahai sahabat Nabi, apakah aku bukan anak dari Rasulullah?" tegas Sayidah Fatimah.

Semua hadirin terdiam dan Sayidah Fatimah mengakhiri khutbahnya dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk pelanggaran sumpah, dan tindakan tercela ini akan kekal dan akhir dari tindakan tersebut adalah neraka.


Setelah peristiwa perampasan Fadak, Sayidah Fatimah benar-benar marah kepada orang-orang yang telah merampas hak kekhalifahan dan Fadak dan ia tetap marah sampai akhir hayatnya. Ia menyimpan kesedihan yang mendalam setelah wafat Nabi, peristiwa Saqifah, perampasan kekhalifahan, dan penyitaan Tanah Fadak.

Selama periode singkat kehidupannya (75 atau 95 hari) setelah wafat Nabi Saw, Sayidah Fatimah memanfaatkan masa itu untuk melakukan protes dan menyatakan sikapnya atas kondisi saat itu, yang diciptakan oleh para perampas kekuasaan. Kegiatan ini dilakukan dengan menyampaikan khutbah atau melakukan pertemuan dengan perempuan Muhajirin dan Anshar.

Sebagai bukti atas kemarahan dan kesedihannya yang mendalam, Sayidah Fatimah berwasiat kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib agar acara pemakaman dan penguburannya dilakukan pada malam hari dan merahasiakan makamnya. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang pernah menzalimi dan membuatnya murka, tidak datang melayat.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya kutinggalkan dua pusaka bagi kalian, Kitab Allah (al-Quran) dan 'itrahku (Ahlul Bait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat."

Namun, para tokoh Saqifah telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pesan Rasulullah Saw yaitu memisahkan antara al-Quran dan Ahlul Bait. Selanjutnya mereka melarang penafsiran ayat-ayat al-Quran. Kedua tindakan ini bertentangan dengan pesan Rasulullah Saw dan juga perintah Allah Swt. Mereka berkata, "Pisahkanlah al-Quran dari sesuatu yang lain dan jangan menafsirkannya dan kurangi menukil hadis dari Rasulullah." (Syarah Nahjul Balaghah Ibn Abi al-Hadid)

Para ulama meyakini bahwa salah satu tujuan sebagian tokoh Saqifah melarang penafsiran al-Quran karena pengetahuan masyarakat tidak cukup untuk memahami esensi kaum mukmin dan munafik atau hakikat para pencari kebenaran dan kaum oportunis.

Jelas bahwa penyingkapan fakta dan hakikat itu bertentangan dengan tujuan dan kepentingan para penguasa. 

Bagaimana memaknai kesyahidan Imam Husein ? Pertanyaan ini diajukan Dr. Muhammad Nur Jabir dalam ceramahnya mengenai perjuangan cucu Rasulullah Saw ini dalam membela Islam.

Dosen filsafat di salah satu pengguruan tinggi di Jakarta ini mengatakan, "Kita tidak mungkin memaknai sejarah Karbala dan perjuangan Imam Husein tanpa pemahaman terhadap sejarah kehidupan beliau,".

"Dalam memahami sejarah, kita harus terlibat di dalamnya. Memahami sejarah Karbala ada dua hal penting. Pertama sosok Imam Husein dan lawannya yaitu Yazid," ujarnya dalam ceramah tentang perjuangan Imam Husein ini.

Menurutnya, kita harus terlibat dalam kehidupan Imam Husein dengan mengetahui di mana beliau hidup, bagaimana pemikiran beliau, termasuk doa Arafah dan lainnya.

Selain itu, mengetahui lawannya yaitu Yazid secara utuh, untuk mengetahui apa substansi yang ingin diambil dari tragedi Karbala.

Selengkapnya simak ceramah Dr. Muhammad Nur Jabir dalam file suara berikut ini:

Sabtu, 19 Oktober 2019 19:12

Konsekuensi Pelarangan Penukilan Hadis

Putri Rasulullah Saw, Sayidah Fatimah Azzahra as telah menyampaikan argumentasinya dengan ayat-ayat al-Quran untuk mempertahankan Tanah Fadak yang telah diberikan oleh Rasulullah Saw kepadanya atas perintah Allah Swt. Namun, beliau tidak mampu untuk mempertahankan tanah tersebut. Para perampas membuat hadis palsu yang dikaitkan kepada Rasulullah agar bisa menguasai Fadak.

Pembelaan Sayidah Fatimah atas Tanah Fadak bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi bertujuan untuk membela hukum al-Quran dan Islam yang murni. Untuk mematahkan hadis palsu (bahwa para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang ditinggalkan adalah sedekah), Sayidah Fatimah pergi ke masjid dan menyampaikan pidato pencerahan kepada masyarakat.

Pidato tersebut mengungkap sebuah penyimpangan besar yang terjadi pada permulaan Islam dan rentetan peristiwa setelahnya, di mana peristiwa itu telah membuat Ahlul Bait Nabi Saw terzalimi, termasuk pembunuhan Imam Husein as, cucu Rasulullah Saw di Karbala.

Dalam Khutbah Fadakiyyah, Sayidah Fatimah as berkata, "Mengapa engkau merampas Fadak yang diberikan Rasulullah kepadaku atas perintah Allah dan ingin menjauhkanku dari memperoleh hak yang sah? Bukankah Allah berfirman dalam al-Quran, "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud." (QS. Al-Naml: 16)

Beliau kemudian mengutip ayat-ayat lain al-Quran dan berkata, "Bukankah Zakariya telah mengangkat tangan untuk berdoa dan berseru, "…Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub." (QS. Maryam: 5-6)

Sayidah Fatimah juga menukil sebuah ayat lain, "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)

"Wahai sahabat Nabi, apakah aku bukan anak dari Rasulullah?" tegas Sayidah Fatimah

Sayid Fatimah tidak ridha atas perbuatan sekelompok sahabat pendukung Saqifah Bani Sa'idah. Beliau juga menunjukkan protesnya dengan berwasiat kepada suaminya, Sayidina Ali bin Abi Thalib as untuk merahasiakan makam beliau. Dengan begitu, tanda protes tersebut berlanjut hingga sekarang, dan umat Islam menjadi tahu tentang apa sebenarnya yang terjadi pasca peristiwa Saqifah dan perlakuan buruk terhadap Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw.


Para pemimpin dan pendukung Saqifah memiliki tujuan untuk mengeluarkan keluarga suci Rasulullah Saw dari semua aktivitas agama dan politik. Mereka bahkan melaksanakan perencanaan baru untuk mencegah para sahabat menukil hadis-hadis Nabi Muhammad Saw.

Untuk bisa merealisasikan rencana tersebut, pasca wafatnya Rasulullah Saw muncul kondisi di mana para sahabat berselisih ketika ada yang menukil hadis beliau. Perselisihan ini meningkat seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, mereka kemudian mencegah dan melarang penukilan hadis dari Rasulullah Saw. (Tazkiratul Huffaz, jilid 1 halaman 3).

Bagaimana mungkin mereka yang mengklaim diri sebagai pengganti dan penerus Rasulullah Saw tetapi pada saat yang sama mereka mencegah penukilan hadis-hadis beliau, padahal hadis-hadis Rasulullah Saw adalah sunnah dan penjelas bagi semua urusan individu dan sosial. Allah Swt memperkenalkan Rasulullah Saw sebagai Uswah Hasanah bagi umat.

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Surat al-Ahzab ayat 21)

Apakah mungkin bisa meneladani perilaku, ucapan dan perbuatan Rasulullah Saw tanpa mengetahui sunnah beliau yang tercatat dalam hadis-hadis yang dinukil oleh para sahabat?

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam ayat tersebut adalah bahwa "…suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat", sebab, pada hari kebangkitan nanti, semua perbuatan dan perilaku kita akan dievaluasi dengan sunnah Rasulullah Saw. Sayangnya, sebagian para pendukung Saqifah melakukan perbuatan berbahaya itu untuk menghapus hadis-hadis beliau.

Pada hari itu, Sayidah Fatimah as tentunya telah mengkhawatirkan peristiwa tersebut. Untuk itu, beliau berkonfrontasi dengan para pendukung Saqifah dengan menyampaikan argumentasi yang berdasarkan al-Quran untuk menafikan riwayat palsu yang  mereka kaitkan kepada Rasulullah Saw.

Putri tercinta Rasulullah Saw itu memahami bahwa jika penyimpangan itu tidak dicegah dan dilawan, maka akhir yang pahit akan menimpa umat Islam, yaitu, akhir di mana tidak ada jejak tafsir-tafsir al-Quran berdasarkan penjelasan Rasululllah Saw dan juga tidak ada lagi tanda dari sunnah beliau yang masih ada untuk bisa diterapkan dalam kehidupan.

Tak ada keraguan bahwa langkah untuk mencegah pengumpulan hadis dan bahkan membakarnya sangat bertentangan dengan pandangan Nabi Muhammad Saw. Beliau dalam sebuah khutbah pada Haji Wada' bersabda, semoga Tuhan membahagiakan (memberkahi) orang yang mendengar perkataanku dan menjaganya serta menyampaikannya kepada mereka yang belum mendengarnya. (Sunan Ibnu Majah 1/84).

Berdasarkan riwayat lain, beliau bersabda, beritahukan kepada orang lain apa yang kalian dengar dariku, namun jangan kalian ucapkan kecuali perkataan yang benar. Barang siapa menyampaikan kebohongan atas namaku, maka neraka adalah tempat tinggalnya. (Qawaidul Hadis, halaman 50).  

Perlu dicatat bahwa Nabi Muhammad Saw –agar semua umat Islam merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan hadis-hadisnnya– beliau bersabda, ketahuilah bahwa mereka yang telah mendengar perkataanku memiliki kewajiban untuk memberitahukan dan menyampaikannya kepada mereka yang tidak hadir. (al-Kafi 1/402 dan Bihar 2/152).

Dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as –yang selalu berada di samping Nabi Muhammad Saw dalam menyebarkan Islam–, dinukil bahwa Rasulullah Saw bersabda, semoga Tuhan merahmati para penggantiku. Beliau mengucapkan hal itu hingga tiga kali yang menandakan pentingnya masalah tersebut. Lalu para sahabat bertanya, siapa para penggantimu itu Ya Rasulullah?  Beliau menjawab, mereka datang setelahku dan meriwayatka hadis-hadis dan sunnahku serta mengajarkannya kepada masyarakat. (Maani al-Akhbar)


Dengan memperhatikan penjelasan yang sangat terang yang dikutip dari sumber-sumber otentik Syiah dan Sunni itu, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk membenarkan langkah-langkah penyimpangan yang dilakukan setelah peristiwa Saqifah, yaitu mencegah penukilan dan pengumpulan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dan bahkan pembakaran untuk melenyapkannya.

Ada satu hal yang menarik dan mengejutkan dalam kasus tersebut, di mana para pendukung Saqifah menjustifikasi rencananya dengan mengklaim bahwa tujuan mereka mencegah penukilan hadis adalah untuk menjaga keaslian al-Quran. Padahal Allah Swt yang menurunkan al-Quran dan telah berjanji untuk menjaganya.

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." ( Surat al-Hijr ayat 9)

Selain itu, Rasulullah Saw telah menjelaskan al-Quran, di mana dengan menukil hadis-hadis beliau, maka kebenaran al-Quran akan terungkap dan pemahaman atas Kita Suci ini juga bisa diperoleh. Bukankah ayat-ayat al-Quran itu memiliki ayat nasikh dan mansukh, muhkamat dan mutasyabihat, dan khusus dan umum yang memerlukan penjelasan dari hadis-hadis Rasulullah Saw? Jika tafsir dan hadis dari beliau tidak digunakan, lalu bagaimana bisa menjelaskan maksud ayat-ayat itu?

Bagaimana mungkin bisa diterima bahwa para pendukung Saqifah mencegah penukilan hadis dan bahkan membakarnya dengan alasan menjaga keaslian al-Quranul Karim. 

Sejarah selalu menjadi saksi atas perang antara hak dan batil, pertempuran para nabi dan orang-orang saleh dengan para tiran, kaum jahiliyah, dan kelompok sesat. Nabi Ibrahim as bangkit melawan Namrud, Musa as melawan Fir'aun, dan Nabi Muhammad Saw berjuang menghadapi kafir Quraisy.

Perang antara hak dan batil bergema hingga Karbala ketika Imam Husein as dan para sahabatnya bangkit melawan musuh agama. Para ksatria Karbala berjuang di sebuah medan jihad yang berat dan tidak seimbang demi menegakkan kebenaran dan keadilan.

Hari Asyura dimulai dengan penuh ketegangan dan keheningan. Imam Husein as bersama 72 sahabat setianya sedang menatap pasukan Umar bin Sa'ad di sisi lain Padang Karbala. Wibawa dan kegagahan orang yang paling mirip dengan Rasulullah Saw ini membuat barisan musuh tercengang.

Umar bin Sa'ad mendandani pasukannya dengan garang dan meminta mereka untuk mengayunkan pedang dan tombak demi menakut-nakuti pasukan Imam Husein as. Sesaat kemudian ia mengeluarkan perintah serangan.


Imam Husein memanfaatkan saat-saat genting itu untuk menyadarkan musuh dan berteriak lantang:

"Wahai manusia! Dengarkan kata-kataku dan jangan kalian terburu-buru ingin memerangiku hingga aku bisa memberi kalian nasihat yang mana kalian berhak untuk mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi kalian. Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku. Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian dan putra washinya, orang pertama yang beriman kepada Nabi-Nya? Bukankah Hamzah, penghulu para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar, yang memiliki dua sayap di surga kelak adalah pamanku? Bukankah kalian pernah mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa dua putra ini adalah pemuka pemuda surga?

Jika kalian ragu dalam hal itu, maka apakah kalian juga ragu bahwa aku adalah anak dari putri Nabi kalian dan tidak ada lagi di bumi ini anak dari putri Nabi kalian selain diriku. Celakalah kalian! Adakah kalian hendak menuntut darahku sedangkan aku tidak pernah membunuh siapa pun di antara kalian? Adakah kalian akan meng-qisasku sedangkan aku tidak pernah mengusik harta benda kalian atau melukai seseorang dari kalian?"

Semua orang terdiam mendengar kata-kata Imam Husein as. Saat itulah Imam melanjutkan pidatonya, "Tidak! Aku bersumpah demi Allah, aku tidak akan tunduk pada kehinaan dan tidak akan lari seperti para budak."

Putra Fatimah az-Zahra ini kemudian membacakan dua ayat suci al-Quran dengan suara lantang, "Sesungguhnya aku hanya berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari kehendak kalian untuk merajamku." (QS. Ad Dukhaan: 20)

"Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari setiap manusia takabur yang tak beriman kepada hari pembalasan." (QS. Ad Dukhaan: 27)

Dzuhur Asyura pun tiba dan tidak berapa lama lagi pasukan musuh akan menerkam tubuh Imam Husein as. Para sahabatnya terjun ke medan perang dengan gagah berani untuk membela kebenaran dan kebebasan. Mereka semua berharap dihidupkan kembali setelah syahid agar bisa mengorbankan dirinya untuk putra Rasulullah Saw.

Ketika dzuhur tiba, Imam Husein meminta sedikit waktu untuk bermunajat kepada Allah untuk terakhir kalinya. Musuh menolak permintaan itu, tetapi Imam tetap mendirikan shalat tanpa peduli dengan tekanan dan hujanan panah musuh, dua sahabatnya gugur syahid dalam peristiwa itu.

Kekhusyukan dan ketenangan Imam Husein dalam shalat membuat para sahabatnya menitikkan air mata. Fenomena ini mengingatkan mereka pada sosok ayahnya, Imam Ali as dimana ia tidak pernah melewatkan shalat dalam perang dan berkata, "Kita berperang untuk menegakkan shalat."


Seorang pemuda yang tampan dan gagah datang meminta izin untuk berjihad. Ia adalah putra sulung Imam Husein, Ali al-Akbar. Saat akan berpisah, Imam menatap Ali al-Akbar dengan penuh cinta dan berdoa, "Ya Tuhanku! Jadilah saksi bahwa cara berjalan dan berbicara, wajah, dan kepribadian orang yang maju ke medan perang saat ini menyerupai Nabi-Mu. Jika kami, Ahlul Bait, rindu untuk menatap Rasulullah Saw, kami selalu memandang Ali al-Akbar dan terobatilah kerinduan kami. Ya Tuhanku! Hilangkanlah karunia duniawi atas para tentara itu dan jadikanlah mereka ling-lung dan mendapat bencana, sehingga mereka tidak dapat menguasai kami. Mereka telah mengundang kami untuk datang kemari, namun mereka juga memusuhi kami dan siap untuk membantai dan membunuh kami.”

Ali al-Akbar kemudian menerjang barisan musuh dan memukul mereka hingga tersungkur dari punggung kudanya. Terik matahari Karbala membuatnya tak kuasa menahan dahaga. Ali al-Akbar kembali ke kemah Imam Husein dan berkata, “Ayah, dahaga mencekik leherku. Jika setetes air membasahi rongga leherku, niscaya aku akan memenangkan pertempuran ini.”

Mendengar ucapan putranya itu, mata Imam Husein sembab, karena ia pun sudah berhari-hari tak mendapatkan seteguk air di Karbala. Ali al-Akbar kembali ke medan perang dalam kehausan yang mencekik. Pasukan musuh kali ini serentak mengepungnya dan menyerangnya dari segala penjuru. Serangan bertubi-tubi menghujam dan menyambar tubuh Ali al-Akbar. Tebasan pedang musuh menorehkan luka di sekujur tubuhnya. Ketika anak panah menancap tepat di dada dan perutnya, saat itu pula Ali al-Akbar membentur bumi dan gugur syahid di Karbala.

Setelah semua sahabatnya gugur syahid, sekarang hanya Imam Husein as yang tersisa, ia terkepung barisan musuh yang congkak dan hina. Ia datang mendekati kemah Ahlul Bait dan berpesan kepada Sayidah Zainab as (putri Imam Ali dan Sayidah Fatimah as), “Bawalah putraku Ali al-Asghar kemari, aku ingin berpamitan dengannya.”

Imam Husein memeluk anaknya yang masih bayi itu. Melihat pemandangan itu, Zainab berkata, “Wahai kakakku! Bayi ini sudah lama tidak minum air. Mintalah seteguk air untuknya dari pasukan itu.”

Imam membawa putranya itu di hadapan pasukan musuh dan berkata kepada mereka, “Wahai kalian semua, jika kalian enggan berbelas kasih kepadaku, maka berbelas kasihlah kepada bayi yang menyusui ini. Apakah kalian tidak menyaksikan bagaimana ia membuka dan menutup mulutnya karena rasa haus yang mencekik?” 

Namun hanya sesaat setelah Imam Husein as menyelesaikan ucapannya itu, tiba-tiba anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang pasukan Kufah yang bernama Harmalah bin Kahil al-Asadi, tepat mengenai leher Ali al-Asghar yang seketika itu juga menemui ajalnya.


Imam Husein as sangat terpukul dengan kejadian ini, ia menangis dan berseru kepada Allah Swt, “Ya Allah, Engkaulah yang menjadi saksi dan hakim antara kami dan mereka. Mereka telah mengajak kami untuk menjadi penolongnya, namun mereka justru membantai dan membunuh kami.”

Imam Husein as kemudian memenuhi telapak tangannya dengan darah putranya itu dan memerciknya ke langit sambil berkata, “Setiap kesulitan yang aku hadapi, itu mudah bagiku untuk memikulnya, karena ini adalah kehendak Allah.” Setelah itu, Imam turun dari kudanya dan menggali sebuah liang dengan ujung pedangnya untuk menguburkan jasad Ali al-Asghar.

Matahari perlahan menyingsing di ufuk Barat, tetesan darah menutupi butiran pasir di Karbala. Suara lantunan doa Imam Husein as memecah keheningan, ia berseru kepada Allah Swt, “Aku bersabar atas qadha dan qadar-Mu wahai Tuhan yang tiada Tuhan lain selain-Mu… Wahai Tuhan yang menimbang setiap orang dengan amalannya, putuskanlah antara aku dan mereka, karena Engkau adalah sebaik-baiknya hakim.”

Sebuah tragedi besar terjadi pada sore hari Asyura. Pasukan musuh memisahkan kepala cucu Rasulullah Saw ini dari badannya dan kemudian menancapkannya di ujung tombak. Namun, darah Imam Husein dan para sahabatnya telah membangkitkan sebuah gerakan besar dalam sejarah, yang menjadi inspirasi bagi semua gerakan pembebasan.

Imam Husein as menjadi teladan abadi bagi kemanusiaan dan jalan sucinya menjadi teladan untuk semua generasi yang merindukan kebenaran.

Salam atasmu wahai Husein, wahai putra Rasulullah. Salam atasmu dan atas jiwa-jiwa yang suci yang mengorbankan jiwa mereka untukmu, engkau telah mengorbankan darahmu sehingga manusia terbebas dari kebodohan dan kesesatan. Semoga rahmat Allah selalu tercurahkan untukmu.

Berdasarkan catatan sejarah, Imam Ali bin Husein as yang dijuluki Zainal Abidin as-Sajjad gugur syahid pada tanggal 12 Muharram. Imam Sajjad hadir bersama ayahnya di Karbala, tetapi ia tetap hidup atas takdir Allah Swt untuk melanjutkan misi menjaga Islam dari penyimpangan.

Pasukan Nabi Muhammad Saw hampir sampai di gerbang kota Makkah. Para pembesar kafir Quraisy mulai ketakutan, karena mereka selama ini menyakiti dan memerangi Rasulullah. Abu Sufyan terlihat sangat takut dibanding semua pembesar Quraisy dan ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Muhammad Saw dengannya.

Namun, rahmat dan kasih sayang Allah Swt membuat kota menjadi aman untuk semua orang. Nabi Muhammad Saw dengan suara lantang berkata, “Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”

Kalimat ini menyelamatkan keluarga Bani Umayyah dari kematian dan kehinaan, tetapi rasa dendam tetap membara di hati mereka. Para leluhur mereka tewas di tangan kaum Muslim dalam Perang Badr dan Hunain. Mereka sekarang menyimpan sebuah dendam lain setelah dicap sebagai orang-orang (tawanan) yang telah dibebaskan.

Bani Umayyah selalu mencari kesempatan untuk membalas dendam terhadap Ahlul Bait Nabi sehingga amarahnya hilang, dan kesempatan ini datang pada periode kekuasaan Yazid bin Mu’awiyah. Ia adalah keturunan dari orang-orang yang terbunuh dalam Perang Badr dan orang-orang yang dibebaskan selama penaklukkan Makkah. Yazid ingin menebus semua kekalahan dan kehinaan yang diterima keluarganya. Ia menyimpan dendam terhadap orang-orang dari Ahlul Bait Nabi.

Yazid bin Mu’awiyah mengeluarkan perintah pembunuhan dua pemuda penghulu surga dan penawanan keluarganya. Pasca Imam Husein as gugur syahid di Karbala, Irak, anggota keluarganya digiring ke Syam, pusat kekuasaan Yazid. Tangan dan kaki mereka dirantai dan terkadang dicambuk, mereka juga diistirahatkan di gubuk rusak. Kali ini Yazid ingin menampilkan Bani Umayyah sebagai pemenang, kemenangan yang diperoleh setelah membunuh cucu Rasulullah Saw.

Ketika rombongan tawanan tiba di Syam, Yazid telah menanti di salah satu istananya di gerbang kota Damaskus. Dari balkon istananya, ia menyaksikan kepala-kepala suci para syuhada Karbala dan melantunkan syair berikut:

“Tatkala barang-barang bawaan dan kepala-kepala yang tertancap di atas tombak mulai terlihat dan matahari-matahari ini muncul dari balik bukit Jiroun, tiba-tiba burung gagak mulai bernyanyi. Aku berkata kepada gagak itu, engkau menyanyi atau tidak, aku sudah membalaskan dendamku pada orang yang seharusnya menerima balasan.”

Salam atasmu wahai Zainab al-Kubra, Ummul Mashaib.
Rasa gembira dan suka cita Yazid tidak berlangsung lama. Ia kehilangan kemampuan untuk mengendalikan para tawanan demi keuntungannya. Di semua tempat di dunia, para tawanan biasanya membisu dan jika pun ingin berkata sesuatu, mereka tidak diizinkan untuk berbicara. Akan tetapi di kota Syam, pusat kekuasaan Bani Umayyah, para tawanan mampu menaklukkan musuhnya.

Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad dan rombongan adalah para tawanan yang telah membungkam Yazid dan pengikutnya. Rombongan ini kelelahan karena perjalanan jauh, hati mereka berduka, mereka kelaparan dan menanggung derita, tetapi mereka tetap tampil hebat dan kuat meski tangan dan kakinya terbelenggu. Lisan tajam Sayidah Zainab as dan kefasihan Imam Sajjad as telah menghancurkan skenario Yazid, dan cahaya kebenaran mulai bersinar.

Pesta kemenangan yang disiapkan Yazid seketika kacau dengan teriakan Sayidah Zainab. Ia memanggil Yazid yang sedang mabuk di atas takhtanya dengan sebutan, Yabna at-Tulaqa (anak orang yang telah dibebaskan). Zainab berkata, “Yabna at-Tulaqa! Apakah ini adil yaitu memberikan tabir penutup kepada perempuan dan budakmu, sementara putri-putri Rasulullah engkau giring dari satu kota ke kota lain sebagai tawanan…?”

Yazid yang berniat menggelar sebuah pesta pora, benar-benar terkejut dengan ucapan itu dan tidak menemukan kata-kata untuk membalasnya selain diam. Semua penghuni istana memahami maksud ucapan Zainab yaitu wahai Yazid, Rasulullah Saw membebaskan para leluhurmu yang kafir, tetapi engkau telah merampas kebebasan dari putri-putri Nabi. Ini adalah hal yang memalukan bagi dirimu dan keluargamu.

Setelah Sayidah Zainab selesai berpidato, sekarang tiba giliran Imam Sajja as untuk membongkar kebusukan Bani Umayyah. Pidato Imam Sajjad di depan masyarakat dan tokoh-tokoh Syam telah menciptakan sebuah perubahan besar dan merusak perhitungan Yazid.

Setelah naik ke mimbar, Imam Sajjad memulai pidatonya dengan memuji Allah Swt. Ia kemudian memperkenalkan dirinya kepada hadirin, sebab propaganda Yazid dan Mu'awiyah yang menyesatkan telah membuat masyarakat Syam benar-benar melupakan wasiat Rasulullah Saw tentang Ahlul Baitnya.

Ia kemudian memperkenalkan dirinya dengan berkata, “Siapa pun yang mengenalku, maka itulah aku, dan siapa pun yang tidak, maka ketahuilah bahwa aku adalah putra Makkah dan Mina, aku adalah putra Zamzam dan Safa. Aku adalah putra dari dia yang diangkat ke surga, aku adalah putra Utusan Allah, dan aku adalah putra Ali.” Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata, "Aku adalah putra Fatimah az-Zahra, penghulu semua wanita di dunia."

Imam Sajjad berkata, “Wahai manusia! Allah telah memberi kami enam hal dan keutamaan kami atas orang lain dibangun atas tujuh pilar. Enam hal yang Dia berikan kepada kami adalah: pengetahuan, kesabaran, kedermawanan, kefasihan, keberanian, dan cinta yang tulus dari orang-orang mukmin. Allah menghendaki agar orang-orang setia mencintai kami dan ini tidak mungkin untuk dicegah dengan cara apapun.”

Ilustrasi penggiringan anggota keluarga Imam Husein as ke Syam.
Pidato Imam Sajjad as membuat hadirin menangis dan berteriak histeris. Yazid semakin khawatir dan gemetar sehingga memerintahkan mu’azzin untuk mengumandangkan adzan. Ia berniat menghentikan pidato Imam Sajjad dan Imam pun memilih diam mendengar suara adzan.

Namun ketika mu’azzin melantunkan kalimat, “Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.” Imam Sajjad mengangkat sorban dari kepalanya dan berkata, “Wahai mu’azzin, demi kebenaran Muhammad, diamlah sejenak.” Ia menghadapkan wajahnya ke arah Yazid dan bertanya, “Apakah Nabi yang mulia ini kakekmu atau kakek kami? Jika engkau berkata ia adalah kakekmu, semua tahu engkau telah berdusta, dan jika engkau berkata ia adalah kakek kami, lalu mengapa engkau membunuh putranya, Husein? Mengapa engkau membunuh putranya? Mengapa engkau menawan perempuan dan anak-anaknya? Mengapa engkau merampas hartanya?”

Kalimat ini telah memicu kegaduhan di masjid dan para hadirin mulai meneteskan air mata dan memukul-mukul diri sebagai penyesalan.

Imam Sajjad as membongkar semua kelicikan Yazid di hadapan hadirin dan ia pun tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi aksi berani itu. Yazid kemudian mengeluarkan kata-kata hujatan kepada Ibnu Ziyad, walikota Kufah dan bahkan mencela pasukan yang membawa tawanan ke Syam.

Yazid ingin menyalahkan Ibnu Ziyad atas pembunuhan Imam Husein as. Namun, Imam Sajjad membongkar konspirasi ini dan berkata kepadanya, “Wahai Yazid, tidak ada orang yang membunuh Imam Husein as selain engkau.”

Yazid – demi memulihkan wibawanya dan keluarganya – memerintahkan agar Ahlul Bait dipulangkan ke Madinah dengan rasa hormat. Ia meminta unta-unta rombongan dihias dengan kain warna-warni sehingga tidak terlihat jejak duka Ahlul Bait.

Imam Sajjad as kembali membongkar konspirasi Yazid dan berkata lantang, “Kami sedang berduka! Tutupilah karavan ini dengan kain hitam.”

Pidato Sayidah Zainab dan Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as telah membongkar semua kelicikan dan kebusukan Yazid dan Bani Umayyah. Dengan begitu, sejarah Karbala dan kebangkitan Asyura selalu dikenang sampai hari ini.

Alquran

Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Terwujudnya cita-cita keadilan telah menjadi salah satu keinginan terpenting semua manusia reformis dan orang-orang merdeka dalam sejarah (termasuk para nabi). Revolusi Islam Iran juga dilakukan…

Nahjolbalaghe

Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Naskah pengantar pada seminar Internasional “imam ali dan hak asasi manusia Dalam Nahjul Balagah”, Citywalk 5th floor. Jakarta 30 Juni 2009, IMAM ALI DAN HAK…