
کمالوندی
Sejarah Hidup Saudah Binti Zam’ah
Sejarah Hidup Saudah Binti Zam’ah
Saudah adalah putri dari Zam’ah bin Qais dari Suku Quraish Mekah. Dia berasal keturunan Luiy, salah satu nenek moyang dari Nabi Muhammad (SAW). Ayahnya adalah salah satu orang pertama yang memeluk Islam pada awal diutusnya Nabi (SAW).
Saudah pertama kali dinikahi oleh sepupunya, Sakran bin Amr bin Abd Syams, dan mereka memiliki seorang putra bernama Abdurrahman. Setelah munculnya dakwah Islam dari Nabi (SAW), Saudah memeluk Islam dan disusul oleh suaminya. Kemudian beliau dan suaminya bersama-sama dengan sejumlah muallaf berhijrah ke Abyssinia karena intensitas penganiayaan dan pelecehan dari orang-orang kafir Mekah yang semakin meningkat.
Setelah kemenangan umat Islam di Mekah dan penerimaan Islam oleh orang-orang Mekah, orang-orang yang telah berhijrah dari Abyssinia kembali ke Mekah. Dalam perjalanan mereka ke Mekkah, suami Saudah meninggal. Ketika beliau tahu bahwa orang-orang Mekah tidak menerima Islam dan bahkan meningkatkan penganiayaan mereka terhadap kaum Muslimin, ditambah lagi tragedi kehilangan suaminya, beliau menjadi sangat khawatir akan perilaku keluarganya yang masih belum memeluk Islam.
Pada saat itu, janda dianggap aib dan berbahaya. Jadi orang asing dan perempuan yang belum menikah harus mencari bantuan dari suku atau kepala klan agar mereka terbebas dari perlakuan buruk orang lain.
Usulan Lamaran kepada Nabi (SAW)
Bersamaan dengan peristiwa yang dijelaskan diatas dan pada hari-hari sulit di antara duka dan kesedihan, Abu Thalib, paman Nabi (SAW) wafat dan tidak lama setelah itu istri Nabi (SAW), Sayyidah Khadijah juga menyusulnya. Nabi (SAW) menjadi sangat sedih atas hilangnya paman dan istrinya.
Setelah kematian Sayyidah Khadijah (SA), Nabi (SAW) tidak menikah selama satu tahun. Sahabat Rasulullah (SAW) khawatir dengan keadaan Nabi dan mereka juga menyadari status Khadijah (SA). Mereka ingin meringankan kesedihan Nabi atas wafatnya Khadijah (SA). Oleh karena itu, mereka mengirim Khulah binti Hakim istri Utsman bin Maz'un kepada Nabi (SAW). Khulah adalah salah satu wanita mukmin dan solihah.
Setelah pertemuannya dengan Nabi, Khulah mengatakan kepada beliau: "Wahai Rasulullah, aku tahu hilangnya Khadijah (SA) membuat Anda sangat berduka." Nabi (SAW) menjawab: "Ya, dia adalah ibu dari anak-anak saya dan keluarga saya."
Khulah kemudian mengatakan: "Mengapa Engkau tidak menikah, wahai Rasulullah?" Nabi (SAW) diam untuk sementara waktu dan air mata mulai mengalir turun dari matanya. Lalu beliau berkata: "Apakah ada seseorang untuk saya setelah Khadijah?"
Khulah mendapat kesempatan dan berkata cepat: “Dapatkah saya melamarkan seseorang untuk Anda"
Akhirnya, Rasulullah (SAW) setuju dengan keadaan Saudah yang merupakan seorang wanita tua.
Khulah pergi ke Saudah dan mengatakan padanya: “Kabar baik Hari ini adalah bahwa hidup Anda telah terlahir kembali"
Saudah: "Kenapa?"
Khulah: "Nabi (SAW) telah mengutus aku untuk memberikan usulan pernikahannya dengan Anda."
Saudah: "Apakah Nabi (SAW) benar-benar ingin menikahi saya!"
Khula: "Ya, saya bercerita tentang Anda dan beliau meminta saya untuk mengusulkan kepada Anda."
Meskipun usia tua dan sejarah pernikahannya; Saudah menghormati ayahnya dan berkata: "Jadi, saya akan mendapatkan izin ayahku dulu"
Khulah mengatakan: "Saya pergi ke ayah Saudah dan mengatakan kepadanya: Muhammad bin Abdullah ingin melamar putri Anda, Saudah"
Ayah Saudah mengatakan: "Muhammad adalah orang besar dan murah hati tetapi tanyalah Saudah, apa pendapatnya?"
Ketika Saudah menyatakan persetujuannya, kata ayahnya. : "Katakan kepada Muhammad (SAW) agar datang untuk upacara pernikahannya"
Pernikahan yang bahagia ini berlangsung di bulan Ramadhan, tahun kesepuluh setelah dimulainya Kenabian Muhammad (SAW) dan Nabi tidak menikahi wanita lain selama tiga tahun.
Pernikahan Nabi dengan seorang wanita tua membuat orang Mekah terkejut dan setelah pernikahan mereka; Saudah terlindungi dari penganiayaan mereka (orang musyrik Mekah).
Setelah menerima Islam dan menjadi seorang Muslim, saudara Saudah, Abdullah bin Zam'ah, mengatakan: "Saya bertingkah seperti orang gila ketika saya mendengar berita pernikahan kakak saya dengan Nabi sehingga saya harus menaruh tanah di kepala saya."
Setelah pernikahan ini, banyak orang dari suku Saudah masuk Islam dalam jumlah besar karena cinta mereka kepada Nabi (SAW) dan moralitas beliau yang sangat luar biasa itu.
Pernikahan tersebut berlangsung setahun sebelum Hijrah Nabi ke Madinah. Saudah bekerja dengan rajin untuk menjaga Fatimah (AS) dan adiknya, Ummu Kultsum. Perlu dicatat bahwa selama Nabi tinggal di Mekah beliau menikahi tiga wanita: Sayyidah Khadijah, Saudah, dan Aisyah. pernikahan lainnya dari Nabi (SAW) berlangsung setelah Hijrah ke Madinah.
Upaya Saudah untuk Membuat Nabi (SAW) Senang
Menurut beberapa kutipan dari riwayat, meskipun Saudah berbeda usianya dengan Nabi (SAW) tapi beliau adalah seorang wanita yang bermartabat dan terhormat dan sangat baik kepada Nabi (SAW).
Ummul Mukminin Saudah, selalu berusaha keras untuk menyenangkan Nabi (SAW) dengan tindakan dan kata-katanya dan meskipun usia tua dia memiliki rasa humor saat bertemu Rasulullah (SAW).
Saudah selalu berbicara tentang hal-hal yang menyenangkan dan lucu untuk membuat Nabi (SAW) bahagia dan gembira.
Setelah Hijrah dari Mekkah ke Madinah dan penyelesaiannya di Madinah, Nabi (SAW) mengirim Zaid bin Harist dan hamba sahayanya, Aba Rafeh, bersama dengan dua unta dan lima ratus dirham ke Mekah untuk membawa kembali Fatimah (AS), Ummu Kultsum, Saudah, Ummu Iman (istri Zaid bin Harist), dan Usamah bin Zaid ke Madinah.
Zaid menyelesaikan misinya dan mereka Saudah di rumah Harist bin Nu'man.
Dzahabi mengatakan: Nabi (SAW) membangun rumah pertama untuk Saudah di Madinah dan tidak menikahi wanita lain sampai tiga tahun setelahnya.
Menurut beberapa riwayat, setelah Sayyidah Khadijah; Saudah adalah istri Nabi (SAW) yang paling murah hati.
Ibn Sa'ad meriwayatkan dari Muhammad Ibn Syirin bahwa Umar mengirim panci penuh dengan dirham untuk Saudah. Dia bertanya: Apa ini? Mereka mengatakan: Dirham. Kemudian Saudah membagikan uang itu kepada orang-orang yang ada disana.
Saudah Menemani Nabi (SAW) dalam beberapa Pertempuran
Beberapa cerita mengatakan bahwa Saudah menyertai Nabi (SAW) dalam beberapa pertempuran seperti Perang Khaibar.
Ibn Sa'ad dalam bukunya Tabiqat-nya menulis: Nabi memberi Saudah tujuh puluh ritl (satuan berat saat itu) dari kurma dan dua puluh ritl jelai dalam pertempuran Khaibar. Hal ini menunjukkan bahwa beliau bersama Nabi (SAW) dalam pertempuran Khaibar.
Munculnya Perselisihan
Ketika para istri Nabi (SAW) tidak senang dengan cara beliau dalam memberikan tunjangan, mereka menuntut Nabi (SAW) untuk meningkatkan jumlah tunjangan tersebut. Nabi (SAW) memberi kebebasan untuk istri-istrinya baik untuk tinggal bersamanya atau bercerai. Sehingga ayat ini diturunkan:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: Jika Kamu menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka datanglah kesini supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, serta (kesenangan) di akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan pahala yang besar untuk siapa saja yang berbuat baik diantara kamu."(QS. Al-Ahzab: 28-29).
Setelah mendengar ayat-ayat ini, Saudah cepat pergi ke Nabi (SAW) dan mengatakan: saya tidaklah menginginkan apa-apa.
Aisyah meriwayatkan bahwa: ".... Saudah takut Nabi (SAW) mungkin akan menceraikannya karena usianya yang telah tua."
Saudah sudahlah seperti nenek bagi Aisyah. Beliau sering mengatakan berulang kali: "Saya ingin Allah memilih saya sebagai istri Nabi pada Hari Kiamat.
Beberapa sejarawan telah menulis bahwa ada beberapa perbedaan pendapat terkait Nabi (SAW) yang ingin menceraikannya. Saudah mengatakan kepadanya: Hai Nabi (SAW), saya meminta Anda tidak menceraikan saya sehingga saya akan berada di antara istri-istri Anda pada Hari Kiamat. Oleh karena itu, Nabi tidak menceraikannya.
Saudah di Haji Wada
Saudah dengan istri Nabi (SAW) yang lain pergi untuk melakukan haji wada dan mengunjungi Masjidil Haram. Bagaimanapun juga, karena mereka diperintahkan dalam Al-Qur’an untuk tinggal di rumah mereka, maka mereka tidak lagi berpergian ke Mekkah.
Ini merupakan kewajiban bagi seseorang yang dalam keadaan ihram untuk pergi ke Muzdalifah untuk melakukan Doa Pagi di sana setelah keluar dari Arafah dan kemudian meninggalkan tempat itu. Ketika Saudah dan Nabi (SAW) sedang melakukan ritual haji wada, beliau melakukannya dengan susah payah, karena beliau sudah sangat tua. Beliau mengatakan kepada Nabi: "Wahai Rasulullah saya tidak bisa tinggal sampai pagi". Nabi (SAW) pun memperbolehkannya untuk meninggalkannya. Keringanan dari Nabi (SAW) ini adalah karena umur Saudah yang sudah tua.
Khalifah kedua, Uman bin Khattab, selama kekhalifahannya membolehkan semua istri-istri Nabi untuk melakukan Haji. Semua istri-istri Nabi mengunjungi Kabah kecuali Saudah dan Zainab binti Jahsy yang mengatakan mereka tidak akan pergi keluar setelah wafatnya Rasulullah (SAW). Saudah mengatakan: Aku akan tinggal di rumah, karena Allah telah memerintahkanku demikian.
Ketaatan Saudah kepada Allah dan Nabi-Nya (SAW)
Suyuti menulis: bahwa ayat: "Dan tinggalah di rumah kalian dan janganlah menampilkan diri seperti orang-orang Jahiliyah dulu"; telah digunakan sebagai alasannya ketika orang bertanya kepadanya mengapa ia tidak pergi Haji dan Umrah. Beliau mengatakan: Allah telah memerintahkan saya untuk tidak keluar dari rumah saya dan saya harus tinggal di rumah.
Bahkan telah diriwayatkan bahwa beliau tidak pergi keluar dari rumahnya sampai jenazahnya sendiri yang dibawa keluar dari rumahnya.
Wafatnya Saudah
Saudah meninggal ketika kekhalifahan Umar bin Khattab dan beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’.
Sejarah Hidup Zaenab Hafsah
Dengan Menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Sejarah Hidup Zaenab Hafsah
Zaenab Hafsah adalah putri dari Umar Bin Khatab bin Nafil bin Abdul Aziz dan ibunya adalah Zainab binti Mazh'un, adik dari Utsman bin Mazh'un.
Beliau lahir lima tahun sebelum masa Kenabian Nabi Muhammad (SAW), yaitu dihari-hari ketika orang-orang Quraish sedang memperbaiki Ka’bah. Pada waktu itu suku Qurasih sedang mengalami kemelut konflik antar suku terkait siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar al Aswad pada tempatnya semula di sudut ka’bah.
Pernikahan dengan Khunais
Ketika Hafsah dewasa, beliau menikah dengan seorang muslim yang baik dan saleh dengan nama Khunais bin Huzhafah. Beberapa waktu setelah pernikahannya, tekanan dan siksaan kaum musyrikin terhadap terhadap Nabi Islam (SAW) dan para sahabatnya semakin meningkat, oleh karena itu keadaain ini memaksa orang-orang yang mampu untuk untuk berhijrah ke Habaysah (Maroko).
Khunais adalah salah satu dari mereka yang telah berhijrah ke Habasyah dan kemudian kembali ke Mekah dengan istri dan teman-temannya yang telah mendapatkan izin dari nabi untuk berhijrah lagi ke Yatsrib (Madinah Munawarah). Mereka tinggal di Madinah sampai hijrah Nabi ke kota ini yang membuat kebahagiaan mereka menjadi lengkap karena kehadiran Nabi (SAW).
Syahidnya Khunais dan Hari Perpisahan:
Pada waktu perang Badar yang mana kemenangan telah didapatkan oleh kaum muslimin dengan bantuan Allah, Khunais adalah salah satu prajurit pemberani dalam perag heroik ini, meskipun ia terluka parah ia terus berjuang sampai akhir hayatnya. Ia kembali ke Madinah dengan banyak luka yang menyebabkan ia meninggal beberapa hari setelahnya. Nabi (SAW) mensholatkan jenazahnya dan kemudian memerintahkan para sahabat untuk menguburkanya di Baqi’ dekat dengan Utsman bin Mazh'un.
Pernikahannya dengan Nabi (SAW)
Setelah selesai masa iddah (masa tunggu wanita sebelum dapat melakukan pernikahan kembali), maka Umar bin Khattab selaku ayahnya memutuskan untuk mencari suami untuknya. Pertama kali yang ia temuinya adalah Abu Bakar dan memintanya untuk menikahi putrinya, tetapi dia tidak memberikan jawaban. Dia kemudian meminta Utsman untuk menikahi putrinya, tapi ia menjawab bahwa ia belum memutuskan untuk menikah lagi.
Karena hal ini maka Umar bin Khattab menjadi sangat marah dan menceritakan kejadian ini kepada Nabi (SAW). Nabi (SAW) kemudian mengatakan : "Seseorang yang lebih baik dari Utsman akan menikahi Hafsah dan seseorang yang lebih baik dari Hafsah akan menikah dengan Utsman."
Kemudian Nabi (SAW) memintanya dan menikahinya pada bulan Sya’ban tahun ketiga Hijriyah.
Beberapa saat setelah itu, Ruqaya putri Nabi (SAW) dan istri Utsman bin affan meninggal, kemudian Utsman menikah lagi dengan putri kedua Nabi (SAW), Ummi Kulsum.
Iri dan Dengki Antara Para Istri
Perlu dicatat bahwa kadang iri dan dengki terjadi diantara para istri-istri Nabi (SAW), tapi beliau berhasil menanganinya dengan dengan cinta dan kebijaksanaan.
Nabi (SAW) memiliki seorang budak bernama Maria Qibtiyyah sebagai hadiah yang diberikan kepada beliau dari Raja Mesir dan kadang ia menjadi sasaran iri dan dengki istri-istri Nabi (SAW) yang lain. Sebuah riwayat dari Anas mengatakan bahwa Aisyah dan Hafsa mencoba segala macam cara untuk menjauhkannya dari Nabi (SAW), sehingga ayat dari Quran diturunkan kepadanya:
ياأيها النبي لم تحرم ما أحل الله لك تبتغي مرضات أزواجك والله غفور رحيم (التحريم: 1)
“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan dirimu dari apa yang Allah telah perbolehkan untukmu hanya karena ingin memberikan kepuasan kepada istrimu?, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. At-Tahrim:1)
Sebuah riwayat mengutip bahwa Nabi (SAW) bercerai dengan Hafsah sekali tapi kemudian beliau kembali padanya dan sekali lagi menikahnya. Setelah kejadian ini maka Hafsah bertobat dan mengubah perilakunya.
Perlu diketahui juga bahwa Hafsah menghabiskan hari-harinya dengan puasa dan malam hari dia beribadah dan mencoba yang terbaik untuk memperoleh pengetahuan dari Nabi (SAW).
Keilmuan dan Pengetahuan Fiqih Zaenab Hafsah
Beliau telah hafal Al-qur’an dan meriwayatkan banyak hadist dari Nabi (SAW). Sebanyak enam puluh hadist telah dikutip dari dia, yang mana keenamnya secara umum masuk di Sahih Muslim dan Sahih Bukhari, dan tiga darinya masuk di Sahih Muslim saja.
Keilmuan, Fiqih dan kesalehannya sangatlah terkenal terutama selama pemerintahan empat khalifah, apalagi ayahnya Umar bin Khatab juga mengikuti banyak pendapatnya untuk memutuskan suatu hukum tertentu.
Beliau juga menjadi rujukan untuk riwayat Nabi (SAW) dan banyak dari teman-temannya termasuk kakaknya Abdullah bin Umar sudah biasa belajar dengannya.
Selama pemerintahan Abu Bakar dan ketika Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis, Zaenab Hafsah dipilih untuk menjaganya.
Beliau tidak tertarik dengan gemerlapnya dunia, meskipun ia hidup dalam pemerintahan yang dipimpin oleh ayahnya sendiri, gaya hidupnya tidaklah berubah. Pada waktu peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman, dan Aisyah meminta Hafsah untuk menemaninya untuk ikut dalam pertempuran Jamal, ia bersedia untuk ikut, tapi kakaknya Abdullah melarang dia untuk meninggalkan rumahnya, karena Al-Qur’an dengan jelas telah meminta istri-istri Nabi untuk tidak meninggalkan rumah mereka sepeninggalnya. Kemudian, ia selalu berterima kasih kepadanya atas nasehat yang bijaksana ini.
Hari dan tahun telah berlalu, dan pada tahun 45 Hijriyah karena usia tuanya dan kelemahannya maka Hafsah pun meninggal pada usia enam puluh.
Khalifah pada saat itu, Marwan bin Hakam membacakan doa-doa yang terakhir pada jenazahnya dan dia dimakamkan di Baqi’ oleh saudara laki-lakinya, Abdullah dan Asim.
Pasanganmu Adalah Busanamu
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. …” QS. Al Baqarah: 187
Dalam banyak kesempatan, Al Quran memberikan analogi sederhana dalam menerangkan sesuatu. Dan inilah salah satu metode dalam memberikan pemahaman kala berdakwah, sehingga mudah dicerna siapa pun termasuk kalangan awam.
Metode sederhana dengan analogi ini memungkinkan kita menelaah dengan mudah apa yang dimaksudkan. Dalam psikologi komunikasi, menyampaikan pesan harus sesederhana mungkin hingga mudah dipahami, seperti dengan kisah-kisah maupun perumpaan sejarah masa silam. Karena menyampaikan suatu pemahaman dengan cara yang njlimet, bisa jadi bukti ketidakpahaman dengan apa yang akan disampaikan.
Dalam ikatan rumah tangga, Al Quran mengumpamakan suami dan istri layaknya pakaian. Banyak makna bisa digali dari analogi ‘pakaian’ ini, kata sederhana sarat makna dari kitab wahyu:
– Pakaian dalam dunia fashion memiliki filosofinya sendiri. Pakaian harus sesuai dengan karakter dan suasana hati si pemakai. Pakaian yang dipakai untuk musim apa dan suasana hatinya bagaimana. Begitu juga warna, bentuk dan ukuran si pemakai. Begitu pula seorang istri harus sepadan dan sesuai dengan suami, sejalan dengan pikiran dan kepribadian pasangannya. Karena jika tidak serasi, binasalah biduk rumah tangga yang dibina.
– Pakaian adalah hiasan si pemakai. Di kalangan tertentu, warna dan bentuk pakaian adalah sumber ketenangan. Seorang istri pun demikian bagi suaminya; dia pun ibu bagi anak-anaknya. Dialah sumber ketenangan anggota keluarganya yang lain.
– Pakaian adalah penutup aurat, karena jika aurat terbuka sama dengan membuka aib pemiliknya. Maka suami dan istri harus menutupi aib pasangannya, tidak mudah membuka aib rumah tangganya ke pihak lain. Keduanya harus saling menutupi dan menjaga kehormatan masing-masing.
– Pakaian adalah sumber perlindungan, melindungi manusia kala panas menerjang maupun dingin menghantam. Suami dan istri pun sumber kehangan bagi masing-masing pasangan dan anak-anaknya. Seorang istri menjaga biduk rumah tangganya dari beragam bahaya dan selalu berusaha mempertahankan hangatnya kehidupan.
– Pakaian adalah kehormatan manusia. Tidak berpakaian mendatangkan celaan orang lain. Begitu juga tidak menikah atau jauh dari pasangan hidup bisa mengundang aib dan menyebabkan penyimpangan. Maka kata Nabi, menikah adalah sunnah yang sangat dianjurkan.
– Kala cuaca dingin orang terbiasa memakai pakaian tebal namun di kala panas memakai katun tipis. Jika sebaliknya bisa dianggap tidak waras. Artinya, suami istri harus menyesuaikan pasangan masing-masing. Jika suami marah seorang istri harus meredam dengan prilaku lemah lembut, jika marah jangan dilawan dengan marah pula, bisa terjadi ‘ledakan’. Jika suami lelah, seorang istri salehah berusaha menghibur dan mengurangi rasa penat suaminya.
– Manusia harus menjaga pakaiannya dari kotoran dan bahaya yang bisa merusak busananya. Suami istri pun harus menjaga pasangannya dari perbuatan dosa dan maksiat, karena prilaku buruk salah satu pasangan bisa mengotori bahtera yang ditumpangi bersama.
Catatan Sang Kiyai: Tuhan Tidak Akan Memasukkanku ke Neraka
Oleh Ustad Miqdad Turkan
قال الامام علي بن ابي طالب عليه السلام : اللهم اني ما عبدتك خوفًا من نارك ولا طمعًا في جنتك ولكني عبدتك لأنك أهلاً لذلك وابتغاء مغفرتك ورحمتك ورضوانك
Imam Ali as berdoa: “Ya Allah, sungguh aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka-Mu, bukan pula berharap surga-Mu, akan tetapi aku menyembah-Mu karena Kamu pantas untuk disembah, serta berharap ampunan, rahmat dan ridoMu.”
Untuk memahami doa di atas, saya bawakan sebuah kisah berikut:
Ada seorang gila menghampiri seorang ahli ibadah yang sedang bermunajat kepada Tuhannya. Sambil menangis ahli ibadah itu berdoa: “Tuhanku, jangan Engkau masukkan aku dalam api neraka-Mu, sayangi dan belas kasihanilah daku. Tuhanku Yang Maha Rahim dan Maha Rahman, jangan Engkau siksa daku dengan panasnya api neraka-Mu.”
Menyaksikan doa dan tangisan orang ahli ibadah ini, si gila ketawa terbahak-bahak: “Ha ha ha ha.”
Ahli ibadah menghentikan doanya dan menoleh ke arah si gila. “Hai orang gila! Apa yang membuatmu ketawa terbahak-bahak?”
“Doamu membuat aku ketawa. Ha ha ha.” Jawab si gila sambil terus tertawa.
“Apanya yang kamu tertawakan, hai gila?” Tanya ahli ibadah itu geram.
“Ya kamu menangis karena takut api neraka” Jawab si gila ringan.
Ahli ibadah itu balik bertanya: “Dan kamu, apakah tidak takut api neraka?
Tanpa beban si gila itu pun menjawab: “Aku? Aku sama sekali tidak takut api neraka.”
Jawaban itu membuat ahli ibadah itu tertawa terbahak-bahak: “kak kak kak kak. Benar, kamu kan gila bagaimana mungkin takut neraka?”
Si gila balik bertanya: “Hai ahli ibadah, bagaimana kamu bisa takut neraka, padahal Tuhanmu Maha Kasih yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu?”
Ahli ibadah menjawab: “Aku takut, karena banyak berdosa. Sekiranya Allah menghisabku dengan keadilan-Nya, tentu aku akan dimasukkan ke dalam neraka-Nya. Aku menangis karena berharap Allah mengasihani aku, mengampuni dosaku, tidak menghisabku dengan keadilan-Nya, tapi dengan kemurahan, kasih dan rahmat-Nya. Hingga aku tidak akan dimasukkan ke dalam neraka-Nya.”
Si gila itu kembali tertawa keras terbahak-bahak: “Ha ha ha ha.”
Sikap si gila ini membuat ahli ibadah tersinggung.
“Apa lagi yang kamu tertawakan?” Bentak ahli ibadah itu.
Sambil meledek si gila itu menjawab: “Hai ahli ibadah. Tidakkah Tuhanmu Maha Adil yang tidak akan berbuat zalim kepad hamba-Nya. Kenapa kamu takut menghadapi keadilan-Nya? Tidakkah Tuhanmu Maha Kasih dan Maha Menerima taubat, kenapa kamu masih takut neraka-Nya?”
Sambil mendongkol ahli ibadah itu balik bertanya: “Hai gila, Apakah kamu tidak punya rasa takut kepada Allah sama sekali?”
Dengan santai si gila itu menjawab: “Bagaimana tidak, aku sangat takut kepada Allah, tapi bukan karena takut api neraka-Nya.”
Ahli ibadah tercengang, takjub dengan jawaban si gila ini.
“Kalo bukan karena takut api neraka, lalu kamu takut dari apa-Nya?” Tanya ahli ibadah penasaran.
Si gila itu menjawab: “Sungguh aku takut menghadapi Tuhanku ketika bertanya kepadaku.
“Wahai hamba-Ku, kenapa kamu bermaksiat kepada-Ku?. Karena itu, sekiranya aku sebagai penghuni neraka, aku berharap Allah segera memasukkan aku ke dalam neraka tanpa ada pertanyaan apapun kepadaku. Sungguh siksa Allah terasa lebih ringan dibanding aku disidang di hadapan-Nya. Aku tak mampu menatap-Nya dengan mata yang khianat, tak mampu menjawab-Nya dengan lisan yang berbohong. Jika masuknya aku ke dalam neraka membuat kekasihku puas (ridha), maka dengan senang hati aku rela menjalaninya.”
Ahli ibadah itu tertunduk, terkesima atas ucapan-ucapan si gila ini. Pikirannya tenggelam dalam lautan renungan yang amat luas.
Tiba-tiba si gila memegang pundaknya sambil berbisik: “Hai Ahli Ibadah, aku akan katakan sebuah rahasia, jangan kamu katakan pada orang lain.”
Dengan penuh hormat, ahli Ibadah itu menjawab: “Siap. Aku berjanji. Katakan, hai si gila yang bijak. Rahasia apa yang akan kau sampaikan itu?”
“Ketahuilah olehmu, hai ahli ibadah. Bahwa Tuhanku tidak akan memasukkan aku ke dalam neraka-Nya sama sekali. Apakah kamu tahu apa sebabnya?” Tegas si gila dengan yakin.
Ahli ibadah itu balik bertanya: “Ooh, kenapa kamu begitu yakin?”
“Karena aku menyembah-Nya semata-mata karena cinta dan rindu kepada-Nya, sedang kamu menyembah-Nya semata-mata karena takut dan mengharap sesuatu. Prasangkaku kepada-Nya lebih baik daripada prasangkamu kepada-Nya. Harapanku kepada-Nya lebih baik daripada harapanmu kepada-Nya.”
“Untuk itu aku perpesan, apa yg tidak kamu harapkan, jadikanlah ia sebagai harapan yang terbaik. Ingat, Musa as pergi mencari setitik api untuk menghangatkan tubuhnya dan kembali menjadi seorang nabi. Sedang aku pergi untuk menyaksikan keindahan kebasaran Tuhanku, dan aku kembali menjadi gila.” Katanya.
Lihatlah diri kita masing-masing, sudah sampai pada pringkat manakah kita sekarang ini! (DarutTaqrib/Adrikna)
*Dari Laman Facebook Ustad Miqdad Turkan.
Catatan Sang Kiyai: Tuhan, Masukkan Aku ke Surga dengan Rahmat-Mu
Oleh Ustad Miqdad Turkan
وسعت رحمتي كل شيئ
“Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…”. QS. Al `Araf: 156
Konon ada seorang pria dari Bani Israel, meminta kepada Tuhan: “Ya Tuhan. Aku ingin beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun dari hamba-Mu selain para nabi.
Lalu Allah menyuruhnya keluar menuju pulau terpencil yang letaknya di tengah laut yang sangat jauh. Dengan senang hati, orang itu menuruti perintah Allah dan pergi menuju pulau seorang diri, tanpa anak, tanpa istri, tanpa keluarga dan tanpa siapapun. Dia berada di pulau itu selama 500 tahun hanya untuk beribadah kepada Allah.
Untuk memenuhi kebutuhan makan, Allah telah menumbuhkan pohon delima untuknya. Sehingga setiap kali merasa lapar, cukup dengan memetik buah delima tersebut untuk dimakannya.
Seluruh waktunya hanya digunakan untuk solat, ibadah, zikir, bertasbih dan merenung tentang kebesaran ciptaan-Nya.
Ketika sudah sampai 500 tahun beribadah, maka Allah mencabut nyawanya dan mati dalam keadaan suci tanpa sedikit pun dosa. Selama hidupnya tidak pernah makan harta orang lain, tidak pernah ghibah, tidak pernah makan riba, tidak pernah dengar musik, tidak pernah berzina, tidak pernah maksiat, dan tidak pernah memberi kesaksian palsu, apalagi menghujat sesama.
Lalu Allah bertanya: “Hai hamba-Ku, apakah kamu ingin masuk surga dengan amalmu ataukah dengan rahmat-Ku.
Dengan penuh keyakinan, sang hamba miskin ini menjawab, ‘Aku ingin masuk surga dengan amalku, Tuhan.”
Dia mengira bahwa ibadahnya selama lima ratus tahun itu mampu membuatnya masuk surga.
Allah mengulangi pertanyaan lagi.
“Apakah kamu ingin masuk surga dengan amalmu, ataukah dengan rahmat-Ku?”
Dengan tegas sang hamba menjawab: “Dengan amalku, wahai Tuhan.” Jawabnya mantap.
Allah menjawab: “Kalau begitu, Aku akan menghitung seberapa besar nilai nikmat yang telah Aku limpahkan kepadamu dengan nilai ibadah yang telah kamu lakukan untuk-Ku.”
Kemudia para Malaikat menimbang seluruh amal yang dilakukan hamba tersebut selama 500 tahun itu dan dibandingkan dengan nikmat Allah yang telah diterima selama hidupnya. Setelah dihitung, para malaikat memberikan catatan akhir kepada sang hamba. Sesuai catatan, ternyata seluruh ibadah selama 500 tahun itu tidak sebandiang dengan nikmat Allah kecuali satu, yaitu nikmat penglihatan. Sedang nikmat-nikmat lainnya, seprti hati, telinga, kehidupan, nafas, akal, hidayah dan lain-lainnya belum terhitung.
Kemudia Allah berkata kepada para malaikat: “Kalau begitu, masukkan dia ke dalam neraka-Ku.”
Mendengar keputusan itu, sang hamba menjerit dan menangis sambil memohon; “Ya Tuhanku, aku mohon kepada-Mu, masukkanlah aku ke dalam surga dengan rahmat-Mu.”
Setelah sang hamba mengakui kekurangannya, Allah kemudian menyeru para malaikat: “Masukkanlah dia ke dalam surga dengan rahmat-Ku.”
Kisah ini mengingatkan kita, bahwa teramat banyak nikmat Allah yang kita terima namun teramat sedikit ibadah serta kebaikan yang kita perbuat.
Jika kelak aku dimintai pertanggung jawaban atas nikmat-nikmat ini, kemudian seluruh perbuatanku diperlihatkan untuk dihisab, sungguh betapa malu dan hinanya aku di hadapan keagungan-Nya.
Ya Allah, jangan Engkau permalukan aku di hadapan para kekasih-Mu, dengan Engkau tampilkan seluruh amal dan perbuatanku di hari hisab nanti.
Oh Tuhan, dengan meminjam bahasa tuanku Ali as tatkala berdoa: “Ya Allah, perlakukanlah aku dengan rahmat-Mu dan jangan perlakukan aku dengan keadilan-Mu”, maka mohon kabulkanlah daku. Hanya rahmat dan kasih-Mu satu-satunya tumpuan harapanku.
Ya Rasulullah, engkau adalah rahmat Allah terbesar untuk jagad raya ini, maka ijinkan aku bertawassul denganmu menuju Allah Tuhanmu dan Tuhanku.
Ya Rasulullah, aku kan terus memanggil namamu dalam suka dan duka, dan tidak perduli apa kata Wahabi tentang aku.
Ya Rasulullah, adrikna!
Ya Rasulullah, aghistna!
Ya Rasulullah, isyfa’ lana indallah!
Syafa’atilah aku, kedua orang tuaku, keluargaku dan kawan-kawanku.
Akhlak Pelajar: Amalkan yang Dipelajari
Ini catatan kecil yang dibuat ketika mengikuti kelas akhlak yang diasuh oleh imam Jum’at Qeshm, Hujjatul islam wal muslimin Jaukar.
Beberapa hal yang mesti dimiliki guru dan murid:
Niat yang tulus.
Mengamalkan yang dipelajari.
Orang yang mengamalkan ilmunya pasti beruntung, sedangkan yang tidak mengamalkan merugi.
Sebelum ilmu disebarkan dan diajarkan kepada orang lain, ilmu tersebut haruslah diamalkan terlebih dahulu. Ilmu itu harus dipakai untuk membangun diri sendiri, sebelum membangun diri orang lain.
Orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka mauidhah (nasehat) hilang dari hatinya. Nasehat-nasehat yang ia berikan kepada masyarakat tak memiliki efek apa-apa, bahkan merugikan orang lain. Ada hadis yang menyatakan, “wahai orang yang beriman, jika kalian berilmu, maka amalkanlah (ilmu itu).”
Penyakit kita sekarang ini adalah kita membedakan apa yang kita lakukan dengan apa yang kita bicarakan kepada orang lain. Mestinya, Jika kita berbicara, kita sendiri yang mengamalkan apa yang dikatakan.
Imam Shadiq as pernah meriwatkan bahwa suatu hari seseorang datang kepada Rasulullah dan bertanya, “apa itu ilmu?” Rasul saw menjawab ilmu itu diam, mendengarkan, menghafal (mengingat), mengamalkannya, dan menyebarkannya. Jadi, menyebarkan ilmu adalah tingkatan terakhir dari pencarian ilmu. Setelah memahami, mengamalkan, baru men-tabligh-kan.
“Apapun yang berasal dari hati, pasti akan masuk ke hati.”
Mengapa Mafatihul Jinan karangan Syekh Abbas Qummi sedemikian populer? Karena beliau dengan menulis dan mengamalkannya. Sebelum disebarkan, beliau sendiri yang mengamalkan apa yang beliau tulis.
“Perkataan ahli amal akan didengar dan dilaksanakan. Karena dia sendiri yang pertama kali melaksanakannya.
Abu Bashir meriwayatkan bahwa Imam Shadiq as berkata bahwa Imam Ali as berkata, “wahai para pencari ilmu, sesungguhnya ilmu memiliki banyak keutamaan, seperti: Ilmu menjagamu, sedangkan engkau menjaga harta. Kepala ilmu adalah tawadhu (rendah hati), matanya adalah jauh dari kedengkian, telinganya adalah pemahaman, lidahnya adalah kejujuran… hatinya adalah niat yang baik, akalnya adalah pengenalan terhadap sebab-musabab dan perkara-perkara, tangannya adalah rahmat, kakinya adalah para ulama… hartanya adalah adab, kebaikannya adalah jauh dari dosa… dan temannya adalah cinta akan kebaikan.”
“Bersiaplah akan kematian. Bagaimana cara menyiapkan kematian? Menjalankan kewajiban dan menjauhi dosa.”
“Ketahuilah bahwa ilmu seperti pohon dan amal seperti buah. Tidak ada yang keluar dari pohon, selain buah.”
Akhlak Pelajar: Ikhlas Versus Sombong
Ini catatan kecil yang dibuat ketika mengikuti kelas akhlak yang diasuh oleh imam Jum’at Qeshm, Hujjatul islam wal muslimin Jaukar.
Pondok pesantren bukan tempat mencari uang. Hauzah adalah tempat memperbaiki diri, sebelum memperbaiki masyarakat.
Jangan cemas akan kehidupan, Allah yang akan mengurusnya.
Ciri-ciri ikhlas:
Tidak menunggu terima kasih orang lain. Semua yang dilakukan hanya karena Allah.
Tidak berdasarkan hawa nafsu. Semua yang dikerjakan berdasarkan hukum dan ketentuan Allah.
Tidak ada penyesalan. Karena semua yang dilakukan karena Allah, pasti tak akan ada penyesalan. Meskipun tak dihargai, kita tetap merasa tenang karena hanya kepada keridhoan Allah kita melihat.
Andaikan kita sudah melakukan kebaikan lalu merasa ‘ujub (bangga diri), bagaimana cara mengatasinya. Obatnya adalah ikhlas. Orang yang ikhlas tidak butuh pada pengakuan siapapun, sehingga tidak akan muncul rasa ‘ujub.
Setan selalu mengganggu manusia. Pertama lewat maksiat. Jika tak bisa maka setan akan mencegah manusia dari hal-hal yang baik. Lewat sombong misalnya. Juga lewat cara membisiki manusia sehingga menjadi sombong. Setan berbisik, “jangan salat, kamu akan menjadi sombong.” Maka dari itu, milikilah keihlasan.
“Pohon yang banyak buahnya semakin merunduk. Sebaliknya, pohon tanpa buah akan menjulang tinggi.”
Orang yang sombong maka tak ikhlas. Orang yang ikhlas tak akan bisa menjadi sombong. Karena seluruh perhatiannya hanya kepada Allah. Dihadapan Allah, dia akan selalu merasa kecil dan selalu memiliki kekurangan dalam menjalankan perintah-Nya.
“Maulid Bidah” Kata Mufti Saudi, Syiah dan NU Bilang “Sunnah”!
Muhammadiyah: Tak Ada Beda Sunni dan Syiah
Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsudin, mengatakan tak ada perbedaan besar antara dua mazhab besar dalam Islam, Sunni dan Syiah, kata sebuah berita, sebuah pernyataan sejuk yang menutup pintu perpecahan dan adu domba yang bisa menghancurkan harmoni Muslimin Indonesia.
Berbicara di Jakarta hari ini, Din berkata baik Sunni dan Syiah “mengakui Tuhan dan Rasul yang sama. “Soal itu perlu diluruskan agar tidak memecah persaudaraan umat Islam,” katanya ke Kantor Berita Antar.
Din mengutarakan pandangannya itu lepas menjamu Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mahmoud Farazandeh, di Kantor Pusat Muhammadiyah di bilangan Menteng.
Kata Din, pertemuan itu terkait kerja sama Iran dengan Muhammadiyah untuk “mempererat hubungan” di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. “Semuanya untuk memajukan umat,” kata Din.
Din mengatakan Muhammadiyah dan Kedutaan Iran akan menggelar seminar bertema “Islam, Perdamaian, dan Keadilan Global”.
Seminar untuk menanggapi ketidakadilan global yang sedang terjadi dan sebagai upaya menghilangkan Islamofobia, ketakutan dan kecurigaan tak beralasan pada Islam, katanya.
Muhammadiyah sebelumnya mengecam keputusan Prancis yang melarang Muslimin menggunakan Burqa dan cadar, mencapnya sebagai sebuah sikap yang tidak menghargai kebebasan beragama, elemen vital demokrasi.
Dalam kesempatan yang sama, Duta Besar Mahmoud bilang masyarakat Muslim perlu bekerjasama untuk menunjukkan Islam sebagai “agama kedamaian”. “Sejumlah negara besar di dunia memandang Islam sebagai ancaman yang amat menakutkan dengan dugaan melakukan pengeboman, teror serta kekerasan di sejumlah negara,” katanya. (daruttaqrib/Islam Times/Antara/sa]
http://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/isu-syiah-produksi-pragmatisme-politik/
Isu Syiah, Produksi Pragmatisme Politik
18 February, 2016 Leave a comment
Kenapa diskursus mengenai Syiah akhir-akhir ini makin menguak ke permukaan, meski sebenarnya Syiah sudah ada sejak awal mula sejarah Islam itu sendiri? Apakah ini murni soal ideologi dan sektarianisme atau berkaitan erat dengan kepentingan geopolitik?
Hal ini yang coba ditemukan jawabannya dalam Diskusi dan Peluncuran Jurnal Ma’arif dengan tema Syiah, Sektarianisme, dan Geopolitik di kantor pusat Muhammadiyah Jakarta, Rabu (17/2).
Hikmawan Saefullah, MA, pembicara dari Hubungan Internasional Universitas Pajajaran dalam paparannya menyebutkan bahwa isu Sunni-Syiah sebenarnya muncul lebih karena persoalan politik ketimbang persoalan ideologis. (Baca juga: Dr. Umar Shahab: Syiah Indonesia Moderat dan Pancasilais)
“Revolusi Islam Iran itu dulu berhasil karena ada cross alliance antara kelompok Syiah, Sunni dan Komunis. Inilah yang berhasil menumbangkan rezim Syah Pahlevi waktu itu. Ini membuat ketakutan monarki di Timteng, kalau oposisi bersatu mereka bisa jatuh,” terang Hikmawan.
“Karena itulah, strategi pihak monarki khususnya Saudi dan Bahrain memecah belah oposisi agar menghindarkan kolaborasi oposisi Sunni dan Syiah, dengan mempertajam perbedaan Sunni dan Syiah,” ujar Hikmawan.
“Jadi wacana ‘ancaman Syiah’ memang sengaja dibuat sebagai strategi kontra-revolusi yang sebenarnya merugikan kelompok oposisi,” tandasnya.
Pragmatisme Politik
Pembicara dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dicky Sofjan, Ph. D, juga menegaskan maraknya isu sektarian Sunni-Syiah akhir-akhir ini lebih karena masalah politik.
“Isu Sunni-Syiah ini tidak natural. Karena mestinya kalau dia itu nature, ia bersikap intrinsik, dan mestinya berlaku konstan sampai sekarang. Pertanyaannya adalah kenapa letupannya sekarang?” tanya Dicky.
Celakanya lagi, menurut Dicky politik pragmatisme juga muncul dalam isu Sunni-Syiah ini.
“Politik pragmatisme juga muncul dalam isu Sunni-Syiah ini. Banyak kelompok-kelompok yang kemudian mengkapitalisasi isu ini. Seperti kemarin beredar video tentang salah satu gubernur kita (Ahmad Heryawan/Aher) yang bicara dengan Syeikh dari Arab Saudi itu.”
“Dia mengatakan ada 3.000 orang Indonesia dikirim tiap tahun ke Iran. Ini jelas bukan sebuah fakta. Tapi kenapa seorang yang seterhormat beliau sebagai gubernur mau terlibat dan terseret dalam permainan-permainan primordial, ashabiyyah seperti ini?” kritik Dicky.
Direktur Eksekutif Ma’arif Institute, Fajar Riza ul Haq, juga menegaskan bahwa isu-isu sektarian ini sangat kontraproduktif bagi kemajuan Islam.
“Kalau kita masih terkotak-kotak dalam persoalan seperti ini, sibuk di masalah sektarian, umat Islam akan kesulitan menghadapi masalah-masalah global dan peradaban. Bagaimana umat Islam menjawab tantangan kemiskinan, keterbelakangan, dan bagaimana Muslim Indonesia menjawab persoalan-persolan keumatan yang demikian membatasi kemajuan umat Islam?” tanya Fajar.
Fajar berharap isu-isu sektarian yang kontraproduktif dan memecah-belah persatuan ini bisa diminimalisir agar energi umat fokus pada kemajuan dan kebangkitan Islam. Perlu terus diadakan dialog-dialog yang mengklarifikasi fitnah dan menepis dusta antar umat Islam agar umat Islam bersatu dalam semangat ukhuwah islamiyah.