Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 19-23

Rate this item
(0 votes)

Ayat ke 19

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (4: 19)

Ayat ini  diturunkan  dalam rangka membela hak kaum wanita dalam persoalan keluarga. Guna mewujudkan hal ini, langkah pertama yang ditempuh al-Quran adalah mengeluarkan perintah larangan kaum pria melakukan tindakan tidak terpuji terhadap perempuan. Di akhir ayat ini dijelaskan satu prinsip umum bagaimana memelihara sistem keluarga.

Menjadikan tolok ukur harta dalam memilih pasangan adalah niat yang tidak terpuji dalam upaya membangun rumah tangga. Karena pada dasarnya, pria yang ingin menikah itu tidak cinta kepada perempuan, atau bila ada itupun tidak sebesar keinginannya untuk menguasai harta perempuan itu. Ayat ini menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh pria itu merupakan kesalahan dan bagi orang yang beriman perbuatan ini tidak menunjukkan keimanan.

Kebiasaan buruk di tengah kaum Jahiliah adalah menekan isteri agar menghalalkan sebagian atau keseluruhan dari maharnya. Hal ini sering terjadi ketika mahar yang diminta oleh pihak perempuan tinggi nilainya. Al-Quran mencegah kebiasaan tidak terpuji ini dan mewajibkan suami untuk menghormati hak dan kekayaan isteri. Mempersulit isteri itu hanya boleh dilakukan bila ia melakukan perbuatan keji, agar dapat menceraikan isteri tanpa harus membayar maharnya. Hal yang demikian menjadi balasan setimpal atas perilaku buruk isterinya.

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan aturan umum agar setiap suami berperilaku baik terhadap isterinya. Bila terjadi suami sudah tidak senang lagi kepada isterinya, atau rasa cinta yang ada sudah semakin berkurang, Allah menekankan agar suami tetap tidak boleh berbuat buruk kepadanya. Karena sangat mungkin ada sejumlah persoalan yang tampaknya tidak menyenangkan suami, tapi Allah memberikan berkah dalam masalah itu.

Dari ayat tadi terdapat  tiga  pelajaran yang dapat dipetik:‎

1.  Jangan menjadikan harta dan kekayaan sebagai tolok ukur dalam memilih isteri. Cinta adalah dasar utama dalam menikah.

2.  Mahar adalah milik isteri dan suami tidak berhak memilikinya dengan cara apapun, kecuali dengan kerelaan isteri.

3.  Suami bertanggung jawab memelihara institusi keluarga. Segala masalah yang muncul tidak boleh membuatnya bersikap buruk terhadap isteri yang berujung pada perceraian.

 

Ayat ke 20-21

Artinya:

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?  (4: 20)

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.  (4: 21)

Ada kebiasaan buruk di masa Jahiliah yang ditentang keras oleh Islam. Bila ada seorang suami ingin kawin lagi, dengan mudah ia menuduh isteri pertamanya dengan tuduhan yang bukan-bukan. Hal itu dilakukan guna menekan jiwa isterinya dan membebaskannya membayar mahar agar diceraikan oleh suaminya. Setelah menceraikan isteri pertamanya, kemudia ia menikah lagi dengan mahar isteri pertamanya.

Dua ayat ini menentang keras tradisi buruk dan tidak terpuji ini dan mengingatkan kesan pertama saat awal pernikahan. Bukankah pada waktu itu sang suami telah berjanji untuk memberikan mahar kepada isterinya. Setelah hidup bersama bertahun-tahun, bagaimana mereka dengan mudah melanggar janji yang telah diucapkan dahulu. Lebih buruk dari itu, mengapa harus melontarkan tuduhan keji kepada isterinya yang bersih dan suci?

Dari ayat tadi terdapat  tiga  pelajaran yang dapat dipetik:‎

1.  Islam membela hak wanita dan perkawinan kedua  suami  tidak boleh mengorbankan hak isteri yang pertama.

2.  Mengambil kembali  mahar dilarang dalam Islam, apalagi hal itu dilakukan dengan alasan yang dibuat-buat, bahkan dengan tuduhan keji.

3.  Akad nikah merupakan perjanjian kokoh, dimana berkat itu Allah menghalalkan seorang pria dan perempuan hidup bersama. Di sini memelihara janji dan berusaha saling memahami merupakan keharusan.

 

Ayat ke 22-23

Artinya:

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (4: 22)

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 23)

Dua ayat ini  secara terperinci  menyebutkan kelompok  perempuan  yang haram dinikahi. Alasan tidak boleh mengawini kelompok perempuan ini kembali pada sifatnya yang menentang fitrah manusia. Tapi secara keseluruhan, ada tiga hal penting yang menyebabkan haramnya pernikahan. Pertama, hubungan nasab atau keturunan yang menyebabkan haramnya menikahi ibu, saudara  perempuan, anak perempuan, bibi dan anak perempuan dari saudara laki dan perempuan.  Kedua, hubungan sababi  (sebab), yang muncul karena perkawinan seorang lelaki dengan seorang perempuan. Setelah menikahi seorang perempuan maka ibu, saudara perempuan dan anak isteri diharamkan baginya. Ketiga, hubungan susuan.  Apabila seorang wanita menyusui bayi dalam waktu tertentu, wanita itu dan anak-anak perempuannya yang minum susunya adalah tidak boleh dikawini.

Dari ayat tadi terdapat  dua  pelajaran yang dapat dipetik:‎

1.  Dilarang menikahi perempuan yang muhrim demi menjaga kehormatan keluarga.

2.  Penetapan halal dan haram, seperti masalah pernikahan hanya wewenang Allah Swt.

Read 6455 times