Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 39-43

Rate this item
(3 votes)

Ayat ke 39

Artinya:

Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.  (4: 39)

Sebagai pelengkap ayat-ayat yang lalu, ayat ini menyatakan  bahwa jiwa yang kikir menyebabkan  hilangnya atau terkikisnya keimanan kepada Allah Swt dan Hari Kiamat dalam diri manusia. Karena membayar zakat dan sedekah  merupakan  kelaziman iman. Orang muslim yang tidak melakukan ini berarti ia lebih mengutamakan hartanya, ketimbang Allah. Orang yang lebih mementingkan harta selain Allah Swt menjadi kewajaran bila ia juga enggan mengeluarkan hartanya di jalan Allah.

Bila orang seperti ini mengeluarkan hartanya untuk kepentingan sosial, maka sudah barang tentu niatnya bukan karena Allah, tapi demi status sosial yang bakal diraihnya dengan perbuatan itu. Tapi orang yang seperti ini bakal merugi di Hari Kiamat, ketika mendapatkan perbuatannya yang disanka bakal mendapat pahala dari Allah, ternyata sia-sia. Lebih buruk dari itu, ia diperintahkan untuk meminta balasan kepada mereka yang menjadi niatan dari perbuatannya itu. Inilah tipu daya setan yang dilakukan terhadap manusia.

Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:‎

1.  Berinfak dan amal saleh lainnya harus bersih dari riya, bila ingin diterima oleh Allah.

2. Berinfak dan sedekah bukan berarti kita menjadi miskin, tapi menjadi bekal di Hari Kiamat nanti.

3.  Allah mengetahui segala niat perbuatan kita.

4. Infak dapat dilakukan dengan banyak cara dan tidak terbatas pada harta.

 

Ayat ke 40

Artinya:

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (4: 40)

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa orang yang kikir terhadap orang miskin telah mengkufuri nikmat ilahi. Orang seperti ini bakal mendapat siksaan yang pedih. Sementara dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa siksaan itu bukan kezaliman Tuhan terhadap manusia, tapi hasil dari perbuatan mreka sendiri. Terlebih lagi, akar dari kezaliman tidak terlepas dari dua hal; kebodohan atau kesombongan. Padahal Allah suci dari segala kekurangan. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk menuduh Allah berbuat zalim kepada makhluk-Nya, tapi yang terjadi manusia sendirilah yang menzalimi dirinya dengan perbuatan buruk.

Selanjutnya Allah mengajak manusia agar berbuat kebajikan kepada sesama. Barang siapa yang menerima seruan ini, Allah pasti memberikan pahala beberapa kali lipat baginya di dunia dan di akhirat. Dalam ayat lain Allah menyebutkan akan memberi ganjaran orang yang berinfak dengan tulus hingga 700 kali lipat.

Dari ayat tadi terdapat  dua  pelajaran yang dapat dipetik:‎

1.  Bencana jangan dipandang sebagai kezaliman Tuhan, tapi hal itu berawal dari sifat kikir dan kekufuran kita.

2.  Hukuman yang diterapkan Allah setara dengan perbuatan buruk yang dilakukan manusia. Allah tidak akan menambah atau mengurangi sedikitpun.

 

Ayat ke 41-42

Artinya:

Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (4: 41)

Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadianpun.  (4: 42)

Salah satu dalil terbaik yang membuktikan bahwa Allah tidak berbuat zalim kepada seorangpun adalah pengadilan di Hari Kiamat yang mengetengahkan banyak saksi. Dalam pengadilan itu yang akan bersaksi adalah anggota tubuh manusia sendiri, kesaksian para malaikat dan yang terakhir adalah kesaksian dari setiap nabi atas kelakuan umatnya. Dengan demikian, pengadilan Hari Kiamat akan mengetengahkan paling sedikit tiga saksi atas setiap perbuatan yang dilakukan manusia.

Dihadirkannya Rasulullah Saw sebagai saksi menyebabkan orang-orang kafir dan para penentang beliau berharap tidak pernah dilahirkan di dunia. Bila telah dilahirkan mereka berharap tetap tinggal dalam tanah kuburan dan tidak dibangkitkan bersama manusia yang lain untuk diadili. Namun harapan dan penyesalan ini sudah tidak berguna lagi. Dengan adanya tiga saksi yang akan dihadirkan dalam pengadilan Hari Kiamat, maka tidak ada lagi celah untuk menyembunyikan perbuatan buruk. Lebih dari itu, tidak ada ucapan dan pikiran yang tersembunyi dari Allah Swt.

Dari dua ayat tadi terdapat  empat  pelajaran yang dapat dipetik:‎

1.  Para nabi adalah  bukti bagi  manusia dan juga bagi diri mereka sendiri. Allah  Swt pada  Hari Kiamat akan menjatuhkan hukuman sesuai dengan perintah nabi mereka.

2.  Sejatinya, Allah Swt tidak memerlukan saksi. Tapi saksi dipersiapkan agar manusia tahu selain Allah ada juga yang mengetahui perbuatan mereka.

3.  Membangkang perintah Nabi dan Sunnahnya  sama dengan kekafiran terhadap Allah.

4.  Hari Kiamat adalah hari penyesalan, tapi itu sudah terlambat.

 

Ayat ke 43

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.  (4: 43)

Ayat ini menjelaskan sejumlah  hukum  fiqih.  Pertama,  menjelaskan tentang inti shalat, yaitu perhatian kepada Allah Swt. Kedua, mengenai masalah mandi dan tayammum. Pada prinsipnya, tujuan  dari shalat dan ibadah lainnya  agar dapat mengarahkan perhatian manusia kepada Tuhan secara terus menerus dan bertawakal kepada-Nya. Manusia yang  menjadikan Allah sebagai sandarannya akan terbebaskan dari segala keterikatan duniawi. Sementara bila ibadah yang dilakukan dipenuhi dengan makrifah akan berdampak positif pada dirinya. Ia akan meninggalkan segala hal yang membuat manusia tidak khusyu.

Dalam ayat ini ini seorang yang akan melakukan shalat hendaknya meninggalkan minuman keras. Karena hal itu dapat menyebabkan dirinya mabuk dan tidak mengerti apa yang dilakukannya. Dalam ayat lain juga dilarang melakukan shalat dengan kondisi mengantuk atau malas. Di sini, manusia yang ingin melakukan shalat harus tahu sedang berhadapan dengan siapa, serta memahami apa yang diucapkannya. Selain perhatian manusia harus fokus kepada Allah, masalah jasmani manusia juga harus bersih dari segala kekotoran. Oleh karena itu, orang yang melakukan hubungan badan terhitung junub. Ia bukan saja dilarang melakukan shalat dalam kondisi demikian, tapi juga tidak boleh berada di dalam masjid.

Ketika disebutkan bahwa orang junub tidak boleh melakukan shalat, lalu apa yang harus dilakukannya? Orang tersebut harus melakukan mandi junub agar terbebas dari hadas besar ini. Bila ia tidak menemukan air, karena berada di dalam perjalanan atau penggunaan air membahayakan kesehatannya, maka Allah memperbolehkannya melakukan tayammum sebagai pengganti mandi. Dalam buku-buku fiqih dijelaskan lebih terperinci mengenai masalah junub, mandi junub dan tayammum.

Dari ayat tadi terdapat  empat  pelajaran yang dapat dipetik:‎

1.  Shalat bukan hanya lafad  dan gerakan. Karena inti shalat  adalah konsentrasi kepada Tuhan  dan ini membutuhkan kesadaran penuh.

2.  Masjid dan  tempat peribadatan  memilki kesucian dan kesakralan tersendiri. Tidak boleh memasukiny adalam kondisi junub.

3.  Kesucian jasmani dan ruh  merupakan pendahuluan shalat.

4. Dalam keadaan sakit sekalipun, shalat tetap wajib sekalipun lebih mudah kewajibannya.

Read 6886 times