Wajadaka Dhaallan Fahadaa dalam Tafsir Syiah

Rate this item
(0 votes)
Wajadaka Dhaallan Fahadaa dalam Tafsir Syiah

 

Ayat-ayat suci Alquran, tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki keterikatan dan keterkaitan satu sama lain. Allamah Thabathabai penulis Tafsir Almizan, ulama bermazhab Syiah berkebangsaan Iran menyebut, penafsir terbaik dari Alquran adalah Alquran itu sendiri.

Seorang pendakwah bernama Evie Effendi (selanjutnya disingkat EE) dalam salah satu video ceramahnya menafsirkan وجدك ضالا فهدى yang terdapat dalam surah Ad-Dhuha ayat 7 dengan "Ketika Allah mendapatimu dalam keadaan sesat, kemudian Allah memberikan petunjuk." Sesat yang dimaksudnya adalah sesat aqidahnya, sebab dipertegas dengan kalimat selanjutnya, bahwa Maulid Nabi itu menurutnya, adalah memperingati kesesatan Muhammad. 

Sontak pernyataan kontroversial yang disampaikan didepan generasi muda Islam yang sedang bertumbuh tersebut mendapat kecaman dan protes keras. Tidak lama setelah video tersebut menjadi viral dan menjadi bahan pembicaraan netizen, EE pun merilis video yang menampilkan dirinya meminta maaf kepada ulama dan ummat Islam atas pernyataan yang dinilai melecehkan Nabi Muhammad saw tersebut. 

Apa yang dilakukan EE dengan menerjemahkan ضال dengan sesat, bukan sesuatu yang salah, sebab memang salah satu artinya adalah sesat. Namun ketika itu dikaitkan dengan tafsir Alquran yang dari tafsir tersebut umat Islam membangun aqidahnya, maka yang dilakukan EE adalah penyimpangan. Yang dilakukan EE dalam hal ini adalah berpikir parsial, sepenggal-sepenggal, sepotong-sepotong tanpa melihat konteks keseluruhan Alquran dari ayat yang ditafsirkan sehingga kesimpulan yang diambil pun menjadi rancu dan salah. Setengah kebenaran bukanlah kebenaran.

Ayat-ayat suci Alquran, tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki keterikatan dan keterkaitan satu sama lain. Allamah Thabathabai penulis Tafsir Almizan, ulama bermazhab Syiah berkebangsaan Iran menyebut, penafsir terbaik dari Alquran adalah Alquran itu sendiri. Ia memperkenalkan metode tafsir Alquran bil Quran yang digalinya dari hadis-hadis Nabi, bahwa yang pertama kali menafsirkan Alquran dengan Alquran, yaitu menafsirkan satu ayat dengan berpedoman pada ayat lainnya, adalah Nabi Muhammad saw sendiri. 

Bagaimana Allamah Thabathabai menafsirkan وجدك ضالا فهدى? 

Allamah Thabathabai menyebut ضالا dalam kalimat tersebut bukan bermakna sesat namun bermakna ketidaan hidayah dan maksud dari ketiadaan hidayah adalah terlepas dari bimbingan Ilahi. Dengan kata lain, yang hendak disampaikan ayat tersebut adalah, jika hidayah Ilahi tidak ada, maka kamu (Muhammad) dan begitu juga yang lain, tidak ada seorang pun yang akan mendapat hidayah, kecuali Allah swt yang memberikannya. Sehingga, Rasulullah saw sendiripun membutuhkan hidayah yang tanpa itu akan tersesat dan tanpa tujuan. Dan penyampaian itu bukan bermaksud Rasulullah saw pernah berada dalam kesesatan melainkan ketiadaan ilmu. Ini bisa dilihat pada surah Asy-Syura ayat 52 ما كنت تدرى ما الكتاب و لا الايمان (sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Alquran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu). Demikian pula dalam kisah Nabi Musa as yang termaktub dalam surah Asy-Syu'ara' ayat 20 قَالَ فَعَلْتُهَا إِذًا وَأَنَا مِنَ الضَّالِّينَ yang dimaksud disini bukan kesesatan, melainkan ketiadaan petunjuk. Sebagaimana diayat selanjutnya disebutkan, "…kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul."

Dalam kitab Tafsir Almizannya, lebih lanjut Allamah Thabathabai menjelaskan tafsir lainnya, bahwa yang dimaksud dhalalah adalah kehilangan ilmu atau lupa, sebagaimana dalam surah Albaqarah ayat 282 ان تضل احديهما فتذكر احديهما الاخرى (supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya). Selanjutnya Allamah Thabathabai juga menukil pendapat mufassir lainnya yang menyebut bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut, adalah bahwa Allah swt menjadikan Nabi Muhammad saw ibarat sesuatu yang hilang di tengah-tengah masyarakat yang karena itu Nabi Muhammad saw tidak dikenali demikian pula maqam dan kedudukannya tidak diketahui orang-orang sampai kemudian orang-orang tersebut diberi petunjuk oleh Allah swt untuk mengenali maqam dan kedudukan Nabi Muhammad saw. 

Sekarang bagaimana dengan pandangan ulama Syiah lainnya?.

Dalam Tafsir al-Amtsal, Ayatullah Makarim Shirazi menyebut makna dari ضلالت dalam ayat 7 surah Ad-Dhuha bukanlah penolakan atas iman dan tauhid atau ketiadaan kesucian dan ketakwaan, melainkan ketidaktahuan atas rahasia-rahasia kenabian, aturan-aturan Islam dan ketidak tahuan atas hikmah-hikmah dan rahasia dibaliknya yang kemudian dengan petunjuk Allah swt semua urusan-urusan itu diketahui hakikatnya secara sempurna oleh Rasulullah saw.  

Ayatullah Makarim Shirazi juga dengan berpedoman pada surah Albaqarah ayat 282 mengenai falsafah dibalik perintah menuliskan perjanjian saat muamalah dan harus disertai dengan kehadiran saksi menunjukkan bahwa ضلالت tidak melulu berarti sesat melainkan juga dapat memiliki arti lupa. 

Tafsir lain dari ayat tersebut, adalah Nabi Muhammad saw sebelumnya adalah seseorang yang tidak dikenal dan bukan siapa-siapa yang kemudian Allah swt memberikan kepadanya anugerah yang luar biasa sampai kemudian dikenal dimana-mana. 

Tafsir lainnya, bahwa Nabi Muhammad saw telah berkali-kali tersesat dan tidak tahu arah pulang (pertama kali di Mekah, saat berada dalam asuhan kakeknya Abdul Muthalib. Kedua saat berada dibawah pengasuhan Halimatu Sa'diyah, ia sempat hilang di perjalanan dan ketiga, saat bersama dengan pamannya Abu Thalib yang membawanya turut serta berdagang ke arah Syam, dan pada satu malam yang gelap gulita ia tertinggal dan tersesat. Pada semua peristiwa tersebut, Allah swt lah yang memberikan petunjuk kepadanya, sampai ia berhasil kembali berada dalam pelukan orang-orang yang mengasihinya).

 

Ayatullah Makarim Shirazi menyebutkan kata Dhal (ضال) secara bahasa memiliki dua arti: yang hilang dan tersesat. Misalnya dikatakan الحكمة ضالة المؤ من artinya Alhikmah adalah barang hilang milik orang beriman. 

 

Dalam surah Sajadah ayat 10, kata ضال yang memiliki pengertian sama dengan hilang adalah lenyap dan hancur أَإِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَإِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ(Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?)

 

Jika dalam ayat yang jadi bahasan (yaitu surah Ad-Dhuha ayat 7) kata ضال diartikan sesuatu yang hilang, maka kita tidak akan menemukan ada masalah. Begitupun ketika kata ضال diartikan dengan kondisi Nabi Muhammad saw sebelum Bitsah (diangkatnya menjadi Nabi dan Rasul) belum mengetahui kitab, iman dan syariat Islam yang kemudian setelah mendapat petunjuk dari Allah swt, Nabi Muhammad saw mengetahui semua itu, maka juga kita tidak menemukan ada masalah dari penafsiran yang demikian. 

 

Namun ketika kata ضال diartikan dengan sesat yang memiliki pengertian sesat aqidahnya, maka penafsiran yang demikian bukan hanya salah namun bisa terjatuh pada keyakinan yang melecehkan Rasulullah saw. Dalam hadis Nabi Muhammad saw disebutkan: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ (Setiap manusia yang lahir, mereka lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani). Pertanyaannya, siapakah yang menjadikan Muhammad sesat?. Beliau sejak lahir berada dalam pengasuhan ibunya, Halimatu Sa'diyah, Abdul Muthalib dan Abu Talib dan tidak seorang dari mereka yang mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw untuk mengimani dan menyembah berhala, sebab sejarah mencatat pengasuh-pengasuh Muhammad kecil dan remaja adalah orang-orang yang beragama hanif dan mengikuti tradisi leluhurnya, Nabi Ibrahim as. Dan faktanya, tidak satupun riwayat dan catatan sejarah yang menuliskan bahwa Nabi Muhammad saw pernah menyembah berhala dan melakukan hal-hal yang keji. 

 

Jika EE meyakini Nabi Muhammad saw pernah sesat sebelum diangkat menjadi Nabi, apa bentuk kesesatannya?.

 

Ismail Amin

Read 1222 times