Hari ini, 10 Desember 2019 menjadi tahun kedua deklarasi kemenangan Irak atas kelompok teroris Daesh, yang dinamai "Yaum Al-Nasr" atau "Hari Kemenangan".
Mantan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi mencanangkan tanggal 10 Desember 2017, sebagai hari pembebasan wilayahnya dari kelompok teroris Daesh. Pemerintah Irak juga mengumumkan pada tanggal tersebut sebagai hari libur nasional negaranya yang menamainya sebagai "Yaum al- Nasr" atau "Hari Kemenangan".
Daesh memasuki Irak pada 10 Juni 2014, dan dalam waktu singkat mengumumkan jatuhnya Mosul ke tangan kelompok teroris ini. Ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa Daesh bisa memasuki Irak tanpa perlawanan sengit. Tetapi salah satu alasan utamanya adalah pengkhianatan sejumlah pejabat politik dan keamanan Irak.
Irak memiliki tentara, tetapi secara praktis menjadi entitas yang lemah sebagai akibat dari kehadiran pasukan AS di negara Arab ini. lemahnya pasukan bersama dengan pengkhianatan sejumlah pejabat tinggi Iran, terutama gubernur Nineveh, menyebabkan Daesh memasuki Mosul tanpa pertumpahan darah dan perang.
Beberapa media Irak menulis, "Gubernur Nineveh Atheel al-Nujaifi telah memerintahkan agar tidak ada tentara yang memerangi Mujahidin [ia menyebut teroris Daesh sebagai mujahidin], dan tidak boleh ada pegawai pemerintah yang memerangi Mujahidin ".
Koran Financial Times mengutip statemen sejumlah warga Iran beberapa hari setelah jatuhnya Mosul melaporkan, "Gerakan Daesh di Mosul sepenuhnya dapat diprediksi oleh penduduk kota ini, dan pengkhianatan sejumlah tentara dan politisi berpengaruh terhadap pendudukan kota tersebut."
Seiring dengan pengkhianatan tersebut, banjir dukungan dari beberapa aktor asing juga memainkan peran penting dalam pendudukan berbagai wilayah Irak oleh kelompok teroris Daesh. Sejumlah negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat dan Turki, bersama dengan rezim Zionis mendukung kehadiran Daesh di Irak. Salah satu alasan dukungan tersebut, karena mereka tidak puas dengan naiknya pengaruh Syiah di Irak dan melihat melemahnya pemerintahan yang tidak sejalan dengan kepentingannya.
Isu penting dari peringatan dua tahun pembebasan Irak dari cengkeraman Daesh mengenai potensi bahaya kembalinya kelompok teroris di Irak di tengah situasi keamanan yang tidak stabil. Masalahnya, para pengkhianat bersama unsur-unsur internal seperti Baath berkolaborasi dengan aktor-aktor asing, terutama AS untuk menciptakan kembali kelompok teroris semacam Daesh. Melemahnya pemerintahan pusat Baghdad pada tahun 2014 dijadikan jalan bagi kemunculan Daesh di Irak. Kini, skenario yang sama sedang dijalankan dengan melemahkan institusi negara, terutama kevakuman kekuasaan di Irak.
Penumpasan kelompok teroris Daesh di Irak tidak bisa dilepaskan dari peran otoritas keagamaan negara ini, terutama Ayatullah Sistani yang mengeluarkan fatwa bersejarah untuk membentuk gerakan rakyat, Al-Hashd al-Shaabi demi memerangi kelompok teroris Daesh.
Al-Hashd Al-Shaabi memainkan peran penting selama tiga setengah menumpa kelompok teroris Daesh. Bahkan, dengan tidak adanya pasukan yang kuat, gerakan rakyat yang melibatkan seluruh elemen bangsa dari Syiah hingga Sunni mengambil peran utama dalam menghadapi Daesh dan menjaga integritas teritorial Irak.
Pemerintah AS juga membentuk koalisi internasional anti-ISIS, tetapi kinerjanya menunjukkan bahwa mereka tidak serius menumpas kelompok teroris. Mereka hanya ingin melemahkan dan mengendalikannya saja. Para pejabat AS secara resmi mengumumkan waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan Daesh dari Irak setidaknya menelan waktu 10 tahun.
Berbagai laporan membeberkan fakta megenai peran AS yang memindahkan komandan Daesh dari satu tempat ke tempat lain. Sementara itu, selama beberapa hari terakhir perang melawan Daesh, AS justru membombardir pasukan Irak dan warga sipil di Mosul, dan menebarkan agitasi di kancah internasional untuk melemahkan pemerintah Irak.
Jelas sekali isu penumpasan total Daesh dari Irak bukanlah tujuan AS dan koalisi internasional anti-ISIS yang dipimpinnya. Oleh karena itu, mereka menempuh segala cara termasuk melakukan kampanye melawan Al-Hashd Al-Shaabi, terutama dengan menebar kebohongan dan propaganda sektarian terhadap gerakan perjuangan rakyat yang jelas-jelas berperan besar dalam memerangi kelompok teroris Daesh itu.
Kini, setelah dua tahun berlalu sejak kekalahan Daesh di Irak, tujuan itu masih dikejar oleh AS dan sekutunya untuk menghancurkan Al-Hashd al-Shaabi. Mereka memanfaatkan situasi nasional Irak yang menghadapi masalah ekonomi dan sosial. Rakyat Irak mengeluhkan kondisi kehidupan yang buruk, memburuknya pelayanan sosial dan merebaknya korupsi. Isu ini dipakai oleh pihak oposisi untuk menargetkan penghancuran Al-Hashd al-Shaabi, yang baru berusia lima tahun. Situasi ini membuktikan bahwa permusuhan mereka dengan Al-Hashd al-Shaabi belum berakhir. Dalam hal ini, Departemen Keuangan AS Jumat lalu memboikot tiga pemimpin senior Al-Hashd Al-Shaabi.
Pelemahan pemerintahan dan otoritas keagamaan marjaiyah Irak juga menjadi agenda terselubung mereka. Padahal Marjaiyah selalu mendukung kepentingan rakyat dan tuntutan rasional mereja yang disampaikan secara damai, tapi aksi unjuk rasa ini ditunggangi oleh pihak tertentu demi mewujudkan kepentingan ilegal mereka di Irak. Marjaiyah dan Al-Hashd al-Shaabi, sebagai dua pendukung utama stabilitas dan keamanan di Irak, telah menjadi target serangan terorganisir selama demonstrasi baru-baru ini di Irak.
Daesh telah berada di Irak selama tiga setengah tahun. Efek dari "monster yang dibuat oleh pemerintah AS" ini, juga diakui oleh Donald Trump dan Hillary Clinton. Mereka menyebut kelompok teroris ini telah berada di Irak selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.
Daesh menjadi momok menakutkan bagi warga Irak dan masyarakat dunia. Ribuan warga Irak terbunuh dan terluka serta jutaan warganya mengungsi untuk menyelamatkan diri. Selain itu, banyak wanita diperkosa, infrastruktur kehidupan, terutama pertanian Irak dihancurkan, dan struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya Irak secara keseluruhan porak-poranda. Kerusakan akibat kehadiran kelompok teroris Daesh di Irak dan Suriah ditaksir lebih dari 500 miliar dolar.
Terlepas dari pengalaman pahit ini, bagaimanapun, ada kekhawatiran serius mengenai ancaman naiknya Daesh di Irak, dan para pejabat negara ini telah memperingatkan bahaya besar itu.
Selain pengkhiatan aktor lokal dan dukungan eksternal, alasan lain kekhawatiran naiknya Daesh berhubungan dengan masih adanya milisi kelompok teroris ini di beberapa bagian Irak yang terus mencari peluang untuk melakukan operasi teroris dan menyebarkan kekerasan di Irak.
Majalah The Atlantic edisi September 2018 menurunkan sebuah laporan berjudul "Masa Depan ISIS di Irak" yang memperingatkan kemunculan kembali Daesh. Salah satu tanda serius ancaman tersebut adalah pembunuhan sejumlah kepala suku di Irak. Sejak April hingga September 2018, rata-rata tiga kepala suku dibunuh oleh Daesh setiap pekan. Dengan kata lain, meskipun Daesh sebagai kelompok terorganisir di Irak telah dimusnahkan, para anggota dan pendukungnya terus melakukan gerakan teroris dan mencoba mengeksploitasi kevakuman kekuasaan saat ini. Tetapi Al-Hashd al-Shaabi yang berdiri untuk memerangi kelompok teroris Daesh, kali ini tidak akan tinggal diam untuk mencegah kemunculannya kembali di Irak.(