Makrifat, Syari’at, Tarekat, Hakikat.
Ibadah memiliki dimensi lahir juga memiliki dimensi batin atau yang kita sebut dengan sisi spiritual dan moral. Ibadah bukan sekedar gerakan fisik, tapi di balik gerak fisik ada dimensi lainnya dari ibadah itu sendiri. sehingga kemudian secara otomatis di dalamnya ada pelatihan-pelatihan spiritual disadari atau tidak. Disadari atau tidak, ibadah memiliki tujuan bagi penyempurnaan jiwa manusia itu sendiri. Penyempurnaan jiwa diawali dengan (1) Makrifat. Makrifat adalah pengetahuan yang menghantarkan manusia pada hakikat atau realitas. Makrifat di sini meski sering disebut sebagai sebuah penyingkapan, pancaran atau penyaksian yang dimaksud para sufi, namun penulis melihatnya lebih pada bagaimana seseorang meletakkan basis rasional dari pengetahuan seperti eksistensi Tuhan, penciptaan manusia, dll. (2) setelah manusia mengenal secara rasional, manusia masuk pada wilayah syari’ah. Syari’ah adalah ketentuan fiqh yang telah diatur di dalam kitab-kitab fiqh para ulama. Setiap seorang pejalan spiritual harus melalui jalan yang telah ditentukan oleh Islam yang kita sebut sebagai syariat. Syariat ini menjadi basis seseorang utk menjalani tarekat atau perjalanan spiritual. Setelah seorang pejalan spiritual melalui tiga tahapan tadi, maka ia kelak akan menyingkap hakikat.
Tarekat dalam Tasawuf
Tarekat berasal dari kata thariqah yang berarti jalan. Secara istilah, tarekat dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh oleh seorang sufi. Kata lain dari tarekat ialah, suluk. Orang yang melakukan perjalanan spiritual disebut sebagai seorang salik. Tarekat memiliki definisi lainnya, namun di sini tarekat yang dimaksud adalah perjalanan spiritual, bukan definisi lainnya yang merujuk pada perkumpulan ahli dzikir.
ketika berbicara spiritualitas di dalam tasawuf, selain tarekat, setidaknya ada beberapa istilah yang muncul yaitu, maqamat dan ahwal. tarekat bisa dimaknai sebagai metode sufistik dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. adapun maqamat merupakan tahapan-tahapan perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi seperti taubat, ridha, zuhud, dll. sementara itu, ahwal adalah sesuatu yang didapatkan secara spontan dan ada juga yang memahaminya sebagai kondisi tetap manusia. saya menyimpulkan ahwal adalah hasil dari tahapan spiritual yang telah dilalui seperti syukur, tawadhu’, ikhlas, gembira, takwa.
Keilmuwan tasawuf mencoba utk mensistematisasi tahapan spiritual para sufi. Karena perjalanan spiritual adalah pengalaman yang bersifat subjektif, sehingga ketika pengalaman itu diungkapkan dalam ekspresi kebahasaan, seringkali menemui perbedaan istilah yang digunakan. Inilah yang kita temui perbedaan penamaan maqam-maqam yang harus dilalui oleh seorang salik.
Pernikahan adalah Jalan Spiritual (Tarekat)
Dalam menjalani sebuah pernikahan (syariat), seorang manusia harus lebih dulu mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya, secara sadar memahami peran kehadirannya di alam ini. Sehingga pernikahan (syariat) bukan sekedar untuk menyalurkan hasrat seksual belaka, tetapi merupakan jalan spiritual (tarekat) atau kendaraan menuju kesempurnaan jiwa bahkan tujuan tertinggi dalam dunia tasawuf yaitu, bersatu dengan Sang Maha Pecinta.
Allah SWT berfirman:
“Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar Rum ayat 21)
Pondasi pernikahan adalah kasih sayang (mawaddah dan rahmah). Pondasi pernikahan yang disyariatkan bukanlah dalam bentuk materil, tetapi dalam bentuk non materil. Kasih sayang adalah sesuatu yang bersifat batiniyah. Inilah yang mendasari sebuah pernikahan. Sehingga memang sejak awal pernikahan bukanlah sekedar ikatan fisik saja, tetapi ia merupakan ikatan batin antara dua sejoli.
Pernikahan adalah ibadah terpanjang sepanjang usia hidup manusia. pernikahan yang diikat dengan ijab-qabul bukan sekedar utk menghalalkan hasrat seksual manusia. meskipun bisa dikatakan pernikahan adalah jalan (syariah) bagi seksualitas. Aktualisasi hasrat seksual menjadi jalan bagi penyempurnaan jiwa di dalam pernikahan.
Seperti yang telah disinggung dalam pembahasan tarekat, ada yang disebut sebagai ahwal dan maqam. Di dalam pernikahan, kita sering dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa yang secara otomatis mengolah jiwa kita, membuat kita tak berpegang selain kepada Dia. Misalnya, peristiwa kehilangan pasangan, kehilangan anak, kehilangan orangtua mengajarkan manusia, melatih manusia untuk rela atau ridho atas segala ketetapan Tuhan meskipun itu pahit.
Dengan demikan, pernikahan adalah jalan spiritual yang sering disebut oleh para sufi dengan tarekat. di dalam pernikahan banyak sekali tahapan-tahapan spiritual yang kita lalui seperti bertaubat, Qona’ah, Zuhud, Ridha, dll. Tidak sedikit ujian yang hadir di dalam sebuah pernikahan yang sangat membutuhkan olah spiritualitas yang kuat. hasil dari tahapan spiritual yang dilalui, ia akan menghasilkan ahwal seperti mensyukuri apa yang dimiliki, ikhlas dengan ketetapan yang terjadi, tawakkal atas ikhtiyar dan ketetapan Tuhan.
Nabi dan Para Makshum; Mursyid dalam Pernikahan
kalau di dalam tarekat ada mursyidnya, bagaimana di dalam pernikahan?
Tarekat sebagai jalan spiritual memerlukan mursyid. Mursyid adalah orang yang telah melalui jalan spiritual terlebih dahulu dan menjadi pembimbing orang-orang yang ingin menjalani perjalanan spiritual. Mursyid di sini biasanya memiliki otoritas tertinggi dalam perjalanan spiritual, maka otoritas tertinggi atas perjalanan spiritual ini haruslah dipegang oleh orang-orang yang tidak pernah gagal dalam menjalani perjalanan spiritual.
Orang-orang yang tidak pernah gagal dalam menjalani perjalanan spiritual ialah, Nabi Muhammad dan Para Makshum. Oleh karena itu, segala perkataan, perbuatan dan ketetapan mereka merupakan bimbingan bagi seorang pejalan spiritual atau salik. Dengan demikian, pernikahan sebagai jalan spiritual seperti apa yang harus kita dijalani, kita perlu merujuk pada apa yang telah dijalani oleh mereka.