Salah satu ulama dan marji' Syiah yang berperan dalam perilisan dan penyebaran fatwa Mirza Shirazi adalah Sayid Ali Akbar Falasiri. Sayid Falasiri lahir tahun 1256 H di desan Asir, kota Lamerd di Provinsi Fars.
Dalam dua episode sebelumnya kita telah membahas salah satu pemimpin besar Syiah, yakni Mirza Shirazi. Kami telah memberi tahu Anda bagaimana lelaki tua sederhana yang tinggal di Samara ini mengalahkan kerajaan terbesar pada masanya hanya dengan menulis satu kalimat. Dia adalah pemimpin kebangkitan rakyat terbesar pada masanya, dan tentu saja, Mirza yang agung tidak sendirian dalam kebangkitan ini. Jika marji Syiah lainnya dan rakyat Iran tidak menaati fatwa Mirza yang agung, kolonialisme Inggris tidak akan pernah merasakan kekalahan. Salah satu marji besar yang berperan penting dalam mengeluarkan dan menyebarkan fatwa Mirza Shirazi adalah Sayid Ali Akbar Falasiri. Ia dilahirkan pada tahun 1256 H di sebuah desa bernama Asir di Kabupaten Lamerd, Provinsi Fars.
Sayid Ali Akbar berusia empat belas tahun ketika menyelesaikan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1270 H, ia berangkat ke seminari (Hauzah Ilmiah) Shiraz untuk melanjutkan pendidikan dan melengkapi ilmu agamanya. Di Shiraz, ia belajar ilmu-ilmu agama kepada “Sheikh Mehdi Kojouri” dan setelah mencapai derajat ijtihad, ia berangkat ke Najaf Ashraf untuk meningkatkan taraf akademiknya. Falasiri melanjutkan pendidikan agamanya di Seminari Najaf di bawah bimbingan "Mirza Habibullah Rashti" dan menjadi ulama mujtahid dan ahli hukum yang berpengetahuan luas tentang urusan sosial dan kondisi politik pada masanya.
Para sesepuh Shiraz dan orang-orang yang datang mengunjungi Najaf Ashraf berkali-kali memintanya untuk kembali ke Shiraz agar masyarakat dapat mengambil manfaat dari ilmunya untuk mengatur urusan agama dan duniawi serta akan aman dalam bayang-bayang kesadaran politik dan sosialnya akan penindasan. Namun Ayatullah Falasiri menolak permintaan tersebut karena dia bermaksud untuk tinggal selamanya di Najaf Ashraf dan menghabiskan hidupnya di sebelah makam suci Imam Ali as.
Harapan dan cita-cita Ayatullah Falasiri untuk menepat selamanya di Najaf Ashraf tidak pernah terealisasi, karena atas permintaan gurunya, Habibollah Rahsti, ia akhirnya menerima kepemimpinan warga Shiraz, dan tahun 1277 H, ia kembali ke kota Shiraz. Ia sibuk mengajar ilmu-ilmu agama di Hauzah Ilmiah Shiraz, menulis risalah amaliah (fatwa), dan memimpin shalat jamaah di Masjid Vakil Shiraz.
Pada tahun-tahun pertama kedatangan Ayatullah Falasiri di Shiraz, pengaruh Inggris menyebar di kota ini dan masyarakat merasakan beban kolonialisme lebih dari sebelumnya, namun Ayatullah Falasiri tidak dapat menanggung situasi ini dan setiap hari entah bagaimana menunjukkan penentangannya. Dia, seperti otoritas dan cendekiawan Islam lainnya, menentang orang asing yang mendominasi wilayah Islam dan sangat menentang apa pun yang menandakan supremasi ini.
Pada suatu hari, Ayatullah Falasiri yang sedang pergi ke mesjid untuk salat dan membaca ziarah Asyura, melihat seseorang yang mengenakan pakaian adat dan sedang menunggang kuda dengan sangat gagah. Dia bertanya kepada teman-temannya siapa dia. Mereka bilang itu konsul Inggris. Ayatullah Falasiri menghadang jalan konsul Inggris, memerintahkannya untuk turun dari kudanya dan mulai sekarang ia harus berjalan kaki di jalan tersebut dan menyapa setiap Muslim yang ditemuinya.
Pada tahun 1303 H, ketamakan gubernur baru Fars dan penimbunan gandum dan biji-bijian oleh kerabatnya menyebabkan harga roti naik beberapa kali lipat. Selain harganya yang mahal, penimbunan gandum membuat roti menjadi komoditas langka bagi masyarakat, dan pada malam hari masyarakat miskin tidak punya apa-apa untuk dimakan. Untuk memprotes situasi kacau ini, sekitar enam ribu orang berkumpul di Masjid Vakil. Sayid Ali Akbar Falasiri juga bergabung dengan masyarakat dalam protes ini dan mengirimkan telegram ke Tehran. Atas nama massa yang melakukan protes, ia menuntut pemecatan penguasa dan penanganan situasi kacau di Shiraz.
Nasir Shah memutuskan untuk menyembunyikan keluhan masyarakat dibandingkan menanganinya. Dia menugaskan Zal al-Stan, yang merupakan penguasa Isfahan, untuk melakukan hal ini. Para ulama Isfahan yang mengetahui keputusan Syah ini, demi mendukung masyarakat dan mencegah konflik, meyakinkan Zal Sultan untuk menjaga situasi mahalnya harga roti di Shiraz, sebagai imbalannya masyarakat harus berhenti melakukan protes dan berkumpul dan berhenti menuntut pemecatan penguasa. Hal ini menjadi perhatian Ayatollah Fal Asiri dan beliau, yang melihat kehidupan orang-orang dalam bahaya, menyuruh mereka pulang dan mengakhiri pertemuan tersebut.
Nasser al-Din Shah Qajar malah memilih menumpas protes warga, ketimbang memahami dan menyelesaikannya. Ia menunjuk Zell-e Soltan, guburner Isfahan untuk menumpas protes warga Shiraz. Sementara itu, ulama Isfahan yang mengetahui keputusan ini, demi mendukung rakyat dan mencegah bentrokan, membujuk Zell-e Soltan untuk menyelesaikan masalah kelangkaan dan harga roti yang mahal di Shiraz, dengan imbalan warga mengakhiri protesnya serta tidak menuntut pencopotan gubernur. Masalah ini sampai ke telinga Ayatullah Falasiri, dan ia yang melihat nyawa warga terancam, menyeru warga kembali ke rumah dan mengakhiri protes mereka.
Selama protes ini, masyarakat terbebas dari kelaparan dan mahalnya harga roti, namun Ayatullah Falasiri diasingkan ke Isfahan. Karena Zell-e Soltan takut akan pemberontakan rakyat Shiraz lagi, dia memberikan penampilan yang sangat terhormat pada pengasingan ini. Dia dengan penuh hormat mengundang Ayatullah Falasiri ke Isfahan dan kemudian secara paksa menahannya di Isfahan dan akhirnya setelah beberapa tahun dia bisa kembali ke Shiraz.
Pada tahun 1307 H, dalam kisah kontrak Regie yang tercela dan pengalihan hak untuk membeli dan menjual seluruh tembakau Iran kepada perusahaan Inggris, Ayatullah Falasiri adalah salah satu orang pertama yang bersuara untuk memprotes. Dengan semangat yang tak terlukiskan, dia menyerukan orang-orang untuk menentang kontrak ini dan dia sendiri yang mendahului semua orang. Karena Shiraz adalah pusat utama produksi tembakau di Iran pada saat itu, Ayatullah Falasiri ingin mencegah pelaksanaan kontrak ini dengan tidak mengizinkan pekerja Inggris memasuki Shiraz, dan untuk tujuan ini, dia mengumumkan jihad kepada masyarakat.
Penguasa Shiraz yang melihat kehadiran Ayatullah Falasiri merugikan pemerintah, memerintahkan pengasingannya ke Bushehr. Pejabat pemerintah tidak berani menangkap Falasiri di tengah kota atau di rumahnya, sehingga ketika dia keluar kota untuk membaca doa ziarah Asyura, mereka menyerangnya, melucuti pakaian ulama dan membawanya ke Bushehr. Mereka menahan Ayatullah Falasiri di Bushehr selama beberapa hari dan selama itu tidak mengizinkannya bertemu dengan siapa pun dan kemudian mengirimnya ke Basra.
Ketika warga Shiraz menyadari pengasingan Ayatullah Falasiri, mereka bergerak melawan pemerintah. Mereka menggelar aksi mogok massal dan demo di masjid-masjid, serta menuntut pemulangan Ayatullah Falasiri, tapi pemerintah secara brutal membantai seluruh rakyat.
Setelah memasuki Basra, Ayatullah Falasiri tidak berhenti berusaha. Dia pergi mengunjungi Sayid Jamaluddin Asadabadi dan memintanya untuk menulis surat kepada Mirza Shirazi, marja absolut Syiah di dunia, dan menjelaskan kepadanya kisah pengkhianatan Nasser al-Din Shah terhadap Islam dan Muslim. Falasiri sendiri yang menyampaikan surat tersebut kepada Mirza Shirazi di Samarra, sehingga menyebabkan Mirza Shirazi mengeluarkan fatwa bersejarahnya. Fatwa yang berujung pada pemberontakan rakyat Iran dan akhirnya kekalahan kolonialisme Inggris.
Dalam bagian telegram yang dikirimkannya kepada Nasser al-Din Shah, Mirza Shirazi sempat mengungkapkan ketidaksenangannya atas perilaku tidak pantas pejabat pemerintah terhadap ulama, termasuk Ayatullah Falasiri. Hal ini menyebabkan Nasser al-Din Shah mengirimkan perwakilannya ke Mirza Shirazi untuk meminta maaf. Akhirnya, setelah dua tahun, atas undangan perwakilan Shah, Ayatullah Falasiri kembali ke Shiraz dengan bermartabat dan terhormat serta tinggal di sana selama sisa hidupnya.
Ayatullah Ali Akbar Falasiri setelah berjuang tanpa henti melawan kezaliman, akhirnya meninggalkan dunia fana di usia 63 tahun pada 1 Rabilul Awwal 1319 H di Shiraz. Jenazahnya dimakamkan di Taman Hafiziyah karena kecintaan mendalamnya kepada Hafiz Shirazi, penyair terkenal Iran. Sementara itu, pasar-pasar di Shiraz libur selama tiga hari untuk menghormati kepergian ulama besar ini. Acara duka, pembacaan tahlil, doa dan al-Quran digelar di Masjid Vakil, tempat Ayatullah Ali Akbar Falasiri memimpin shalat jamaah.