Haji Dalam Sunah

Rate this item
(0 votes)

Secara linguistik, haji adalah bermaksud dan secara terminologis, haji berarti bermaksud untuk menziarahi rumah Allah, dan salah satu ritual agama terpenting bagi kaum muslimin. Kekuatan magnetik Ka‘bah selalu menarik jutaan muslimin dari setiap penjuru dunia untuk mendatangi dirinya sehingga dengan melaksanakan manasik dan menjaga aturan-aturan khusus dalam sebuah praktik nyata, mereka ikut andil dalam merealisasikan sebuah kehidupan yang bertauhid dan menunjukkan keagungan dan kekuatan Islam di mata dunia.

Di dalam kongres agung internasional ini, seluruh muslimin dari suku dan warna kulit yang beraneka ragam berkumpul di sekeliling Ka‘bah menjadi satu sehingga—melalui jendela perkenalan dengan sesama—mereka dapat menggapai sebuah persepsi yang satu, rasa solidaritas, dan tekad persatuan antara seluruh masyarakat muslim.

Ibadah haji adalah manifestasi spiritualitas, semangat, penghambaan, keberanian, rasa mementingkan orang lain, persatuan, zikir, dan—akhirnya—hubungan dengan Allah. Atas dasar ini, taufik dapat melaksanakan perjalanan semacam ini adalah sebuah kesempatan emas bagi para pencari Allah untuk menempa diri dari sisi spiritual dan etika sehingga dapat terwujud sebuah perombakan yang mendasar dan membangun di dalam jiwanya.

Di dalam ajaran-ajaran Rasulullah saw dan para imam, terdapat banyak poin yang mengandung pelajaran yang dapat membantu para penziarah Baitullah untuk memanfaatkan kesempatan yang mereka miliki itu (semaksimal mungkin). Di dalam ajaran-ajaran itu ditekankan agar para jamaah haji menjauhkan diri dari dosa sebelum memulai perjalanan, mencuci jiwanya dengan air taubat, menyiapkan ongkos perjalanannya dari harta yang halal, dan berpamitan kepada famili dan kerabat dengan tujuan untuk meminta kehalalan atas seluruh kesalahan yang—mungkin—pernah dilakukannya. Setelah memperoleh keridaan mereka, barulah mereka melangkahkan kaki di jalan ini. Begitu juga ditekankan supaya mereka memulai perjalanan ini dengan nama Allah dan untuk tujuan mencari Allah, dan selama dalam perjalanan, hendaknya mereka menghindarkan diri dari setiap pelanggaran dan maksiat terhadap Allah.

Semua aturan itu dan mengamalkannya akan dapat menciptakan sebuah perubahan mendasar di dalam diri dan jiwa seorang haji. Sebagai hasilnya, ia akan menjauhi masa lalunya yang tidak benar dan—dengan itu—ia akan mempersiapkan dirinya untuk menyongsong sebuah kehidupan yang benar dan Islami.

Di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa tujuan dari ibadah haji adalah mewujudkan kesejahteraan dan revolusi jiwa dan etika dalam diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Jika para jamaah haji melangkahkan kakinya di jalan safar Ilahi ini dengan niat mewujudkan revolusi jiwa dan etika dan memperbaiki diri mereka, maka dengan menilik realita bahwa sangat banyak orang-orang yang melakukan ibadah umrah dan haji pada setiap tahunnya, tidak diragukan lagi revolusi ini akan menjalar ke dalam tubuh keluarga dan seluruh masyarakat (di seluruh dunia).

Setiap muslim yang pergi melakukan ibadah haji, jika ia mengambil keputusan untuk meralisasikan etika Islam selama ia berada di dalam perjalanan dan ketika ia telah kembali pulang; menghindari segala pekerjaan haram dan melaksanakan segala kewajiban sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah, dan lalu ia menyampaikan misi ini kepada sanak keluarga, sahabat, dan teman-teman seprofesi, niscaya rvolusi etika yang sangat menakjubkan akan terjadi di dalam masyarakat Islam dan para musuh pasti gagal dalam usaha ekspansi kultur (yang telah mereka canangkan).

Koleksi hadis-hadis pilihan (yang ada di tangan pembaca budiman ini) adalah sebagian tuntunan-tuntunan para manusia suci as yang telah mereka ucapkan sebagai petunjuk bagi para penziarah Baitullah. Harapan kami, dengan mengamalkan tuntunan-tuntunan ini, kita dapat mendekatkan diri kepada Dzat Yang Maha benar dan mengambil manfaat dari perjalanan Ilahi dan maknawi ini.

Sayid Ali Qadhi ‘Askar

Ketua Seksi Pengajaran Dan Penelitian

Bi‘tsah Pemimpin Spiritual Tertinggi Iran


Kewajiban Haji

قَالَ عَلِيٌّ(عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «فَرَضَ عَلَيْكُمْ حَجَّ بَيْتِهِ الْحَرَامِ الَّذِيْ جَعَلَهُ قِبْلَةً لِلْأَنَامِ».

Imam Ali as berkata, “Allah telah mewajibkan atas kamu sekalian untuk melakukan haji ke rumah-Nya yang mulia yang mana Dia telah menjadikan rumah itu sebagai Kiblat bagi seluruh umat manusia.”[1]

قَالَ عَلِيٌّ(عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «فَرَضَ حَجَّهُ وَ أَوْجَبَ حَقَّهُ وَ كَتَبَ عَلَيْكُمْ وِفَادَتَهُ، فَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿وَ ِللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَ مَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعالَمِينَ﴾».

Imam Ali as berkata, “Allah telah mewajibkan atas kamu sekalian untuk melakukan haji, memenuhi haknya, dan berziarah kepadanya. Dia berfirman, ‘Hak Allah atas orang-orang yang memiliki kemampuan untuk pergi ke rumah itu adalah hendaknya ia melakukan haji ke Baitullah, dan barang siapa mengingkarinya, Allah tidak membutuhkan kepada seluruh semesta alam.’[2]

Filsafat Haji

قَالَ عَلِيٌّ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «جَعَلَهُ سُبْحَانَهُ عَلاَمَةً لِتَوَاضُعِهِمْ لِعَظَمَتِهِ وَإِذْعَانِهُمْ لِعِزَّتِهِ».

Imam Ali as berkata, “Allah telah menjadikan haji sebagai pertanda supaya para hamba merendahkan diri di hadapan keagungan-Nya dan mengakui kemuliaan-Nya.”[3]

قَالَ عَلِيٌّ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «جَعَلَهُ سُبْحَانَهُ لِلْإِسْلاَمِ عَلَماً وَ لِلْعَائِذِينَ حَرَماً».

Imam Ali as berkata, “Allah telah menjadikan haji dan Ka‘bah sebagai pertanda dan bendera bagi Islam dan tempat yang aman bagi orang-orang yang berlindung kepadanya.”[4]

Haji, Sebuah Sarana untuk Memperkuat Agama

قَالَ عَلِيٌّ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «وَ الْحَجَّ تَقْوِيَةً لِلدِّيْنِ».

Imam Ali as berkata, “Allah telah mewajibkan haji sebagai (sarana untuk) memperkuat agama.”[5]

Haji, Penenang Kalbu yang Gundah

قَالَ الْبَاقِرُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «الحَجُّ تَسْكِيْنُ القُلُوْبُ».

Imam al-Bâqir as berkata, “Haji adalah penenang kalbu (yang gundah).”[6]

Orang yang Meninggalkan Ibadah Haji

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ فَلْيَمُتْ إِنْ شَاءَ يَهُوْدِيّاً وَ إِنْ شَاءَ نَصْرَانِيّاً».

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa meninggal dunia sedangkan dia tidak melaksanakan ibadah haji, hendaknya ia meninggal dunia—jika ia menghendaki—dalam keadaan menganut agama Yahudi atau—jika ia kehendaki—dalam keadaan memeluk agama Kristiani.”[7]

Riwayat dengan kandungan yang sama juga diriwayatkan dari Imam Keenam Syi‘ah, Imam ash-Shâdiq as.[8]

Riwayat-riwayat ini menegaskan tentang pentingnya ibadah haji di dalam Islam sehingga orang yang meninggalkan kewajiban yang sangat penting ini dianggap sebagai seorang muslim yang telah keluar dari agamanya.

Haji dan Kebahagiaan

Para sahabat pernah bertanya kepada Imam al-Bâqir as, “Mengapa haji diberi nama haji?”

Beliau menjawab,

«حَجَّ فُلاَنٌ أَيْ أَفْلَحَ فُلاَنٌ».

“Seseorang telah berhaji, artinya ia telah berbahagia.”[9]

Nilai Ibadah Haji

Muhammad bin Muslim pernah mengatakan bahwa Imam al-Bâqir as atau Imam ash-Shâdiq as berkata,

«وَدَّ مَنْ فِي الْقُبُورِ لَوْ أَنَّ لَهُ حَجَّةً وَاحِدَةً بِالدُّنْيَا وَ مَا فِيهَا».

“Orang-orang yang sudah meninggal dunia di dalam kubur mengharapkan seandainya ia mengorbankan dunia dan segala isinya, dan sebagai gantinya ia mendapatkan pahala satu ibadah haji.”[10]

Hak Ibadah Haji

قَالَ الْإِمَامُ زَيْنُ الْعَابِدِيْنَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) فِيْ رِسالَةِ الحُقُوْقِ: «حَقُّ الْحَجِّ أَنْ تَعْلَمَ أَنَّهُ وِفَادَةٌ إِلَى رَبِّكَ وَ فِرَارٌ إِلَيْهِ مِنْ ذُنُوْبِكَ وَ فِيْهِ قَبُوْلُ تَوْبَتِكَ وَ قَضَاءُ الْفَرْضِ الَّذِيْ أَوْجَبَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْكَ».

Dalam Risâlah al-Huqûq-nya, Imam Zainul Abidin as berkata, “Hak haji adalah hendaknya kamu mengetahui bahwa haji adalah kehadiran diri di hadapan Tuhanmu, pelarian diri dari dosa-dosa menuju ke haribaan-Nya, pengabulan taubatmu di dalamnya, dan pelaksanaan kewajiban yang telah Allah SWT wajibkan atasmu.”[11]

Mencari Allah

قَالَ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «مَنْ حَجَّ يُرِيْدُ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يُرِيْدُ بِهِ رِيَاءً وَلاَ سُمْعَةً غَفَرَ اللهَ لَهُ الْبَتَّةَ».

Imam ash-Shâdiq as berkata, “Barang siapa melakukan ibadah haji dengan niat hanya mengharapkan Allah ‘Azza Wajalla (semata) dan tidak dengan niat riya’ dan mencari ketenaran, pasti Allah akan mengampuninya.”[12]

Pahala Haji

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «لَيْسَ لِلْحِجَّةِ المَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الجَنَّةَ».

Rasulullah saw bersabda, “Haji yang mabrur tidak memiliki pahala selain surga.”[13]

Pengaruh Haji

قَالَ الْإِمَامُ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «مَا مِنْ سَفَرٍ أَبْلَغَ فِيْ لَحْم وَلاَ دَمٍ وَلاَ جِلْد وَلاَ شَعْر مِنْ سَفَرِ مَكَّةَ وَ مَا أَحَدٌ يَبْلُغُهُ حَتَّى تَنَالَهُ الْمَشَقَّةُ».

Hisyâm bin Hakam meriwayatkan bahwa Imam ash-Shâdiq as berkata, “Tiada perjalanan yang lebih berpengaruh terhadap daging, darah, kulit, dan rambut seseorang daripada perjalanan menuju ke Mekkah dan tak seorang pun berhasil mencapainya kecuali dengan kesulitan.”[14]

Peranan Niat Dalam Haji

قَالَ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «لَمَّا حَجَّ مُوْسَى (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) نَزَلَ عَلَيْهِ جَبْرَئِيلُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) فَقَالَ لَهُ مُوسَى يَا جَبْرَئِيلُ: ’... مَا لِمَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ بِنِيَّةٍ صَادِقَةٍ وَ نَفَقَة طَيِّبَة؟‘ فَرَجَعَ إِلَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ، فَأَوْحَى اللهَ تَعَالَى إِلَيْهِ: ’قُلْ لَهُ أَجْعَلُهُ فِي الرَّفِيْقِ الْأَعْلَى مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ، وَ حَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقاً‘».

Imam ash-Shâdiq as berkata, “Ketika Musa as sedang melaksanakan ibadah haji, malaikat Jibril turun kepadanya. Musa bertanya kepadanya, ‘Wahai Jibril, pahala apakah yang diterima oleh orang yang telah melakukan haji ke rumah ini dengan niat yang bersih dan nafkah yang suci?’

(Tanpa menjawab pertanyaannya) malaikat Jibril kembali menghadap kepada Alah ‘Azza Wajalla (dengan tujuan untuk mencari jawaban). Allah mewahyukan kepadanya seraya berfirman, ‘Katakanlah kepadanya, ‘Aku akan menempatkannya di malakût yang tinggi bersama para nabi, shiddîqîn, orang-orang syahid, dan orang-orang yang saleh. Mereka adalah teman dan sahabat yang sangat baik.’”[15]

Masuk ke Dalam Cahaya

Abdurrahman bin Samurah berkata, “Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah saw. Beliau bersabda, ‘Tadi malam melihat aku hal-hal yang menakjubkan.’

Kami bertanya, ‘Semoga jiwa, keluarga, dan anak-anak kami menjadi tebusan Anda. Apakah yang Anda lihat?’

Beliau menjawab,

«رَأَيْتُ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ ظُلْمَةٌ وَ مِنْ خَلْفِهِ ظُلْمَةٌ وَ عَنْ يَمِيْنِهِ ظُلْمَةٌ وَ عَنْ شِمَالِهِ ظُلْمَةٌ وَ مِنْ تَحْتِهِ ظُلْمَةٌ مُسْتَنْقِعًا فِيْ ظُلْمَةٍ فَجَاءَهُ حَجُّهُ وَ عُمْرَتُهُ فَأَخْرَجَاهُ مِنَ الظُّلْمَةِ وَ أَدْخَلاَهُ فِي النُّوْرِ».

‘Aku melihat salah seorang dari umatku yang terselimuti kegelapan dari arah depan, belakang, sebelah kanan, sebelah kiri, dan dari arah bawahnya. Tiba-tiba ibadah haji dan umrahnya datang seraya mengeluarkannya dari kegelapan itu dan memasukkannya ke dalam cahaya ....’”[16]

Masuk ke Haribaan Allah

قَالَ عَلِيٌّ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «الحَاجُّ وَ الْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللهِ، وَ حَقٌّ عَلَى اللهِ أَنْ يُكْرِمَ وَفْدَهُ وَ يَحْبُوَهُ بِالْمَغْفِِرَةِ».

Imam Ali as berkata, “Orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah adalah utusan khusus Allah, dan selayaknya bagi Allah untuk memuliakan utusan khusus-Nya dan mencurahkan ampunan kepadanya.”[17]

Allah adalah Tuan Rumah

قَالَ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «إِنَّ ضَيْفَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ رَجُلٌ حَجَّ وَ اعْتَمَرَ، فَهُوَ ضَيْفُ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى مَنْزِلِهِ».

Imam ash-Shâdiq as berkata, “Sesungguhnya tamu Allah adalah orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah. Ia senantiasa menjadi tamu Allah sehingga ia pulang kembali ke rumah sendiri.”[18]

Haji dan Jihad

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «جِهَادُ الْكَبِيْرِ وَ الصَّغِيْرِ وَ الضَّعِيْفِ وَ الْمَرْأَةِ الْحَجُّ وَ الْعُمْرَةُ».

Rasulullah saw bersabda, “Jihad (yang dapat dilakukan oleh) orang besar, anak kecil, orang yang lemah, dan kaum wanita adalah ibadah haji dan umrah.”[19]

Haji, Lebih Utama Daripada Umrah

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «اِعْلَمْ أَنَّ الْعُمْرَةَ هِيَ الْحَجُّ الْأَصْغَرُ، وَ أَنَّ عُمْرَةً خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَ مَا فِيْهَا وَ حَجَّةً خَيْرُ مِنْ عُمْرَةِ».

Rasulullah saw pernah bersabda kepada Utsman bin Abil ‘آsh, “Ketahuilah bahwa umrah adalah haji yang kecil, dan satu umrah adalah lebih baik daripada seluruh dunia dan seisinya. Satu ibadah haji adalah lebih baik daripada umrah.”[20]

Peleburan Dosa

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «أَيُّ رَجُلٍ خَرَجَ مِنْ مَنْزِلِهِ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا، فَكُلَّمَا رَفَعَ قَدَمًا وَ وَضَعَ قَدَمًا، تَنَاثَرَتِ الذُّنُوْبُ مِنْ بَدَنِهِ كَمَا يَتَنَاثَرُ الْوَرَقُ مِنَ الشَّجَرِ، فَإِذَا وَرَدَ الْمَدِيْنَةَ وَ صَافَحَنِيْ بِالسَّلاَمِ صَافَحَتْهُ الْمَلاَئِكَةُ بِالسَّلاَمِ، فَإِذَا وَرَدَ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَ اغْتَسَلَ طَهَّرَهُ اللهُ مِنَ الذُّنُوْبِ، وَ إِذَا لَبِسَ ثَوْبَيْنِ جَدِيْدَيْنِ جَدَّدَ اللهُ لَهُ الْحَسَنَاتِ، وَ إِذَا قَالَ: ’لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ‘ أَجَابَهُ الرَّبُّ عَزَّ وَ جَلَّ: ’لَبَّيْكَ وَ سَعْدَيْكَ، أَسْمَعُ كَلاَمَكَ وَ أَنْظُرُ إِلَيْكَ‘، فَإِذَا دَخَلَ مَكَّةَ وَ طَافَ وَ سَعَى بَيْنَ الصَّفَا وَ الْمَرْوَةِ وَصَلَ اللهُ لَهُ الْخَيْرَاتِ».

Rasulullah saw bersabda, “Setiap orang yang keluar dari rumahnya untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah, dosa-dosanya akan berguguran dari tubuhnya untuk setiap langkah yang ia langkahkan sebagaimana dedaunan rontok dari ranting-rantingnya. Ketika ia memasuki Madinah dan berjabatan tangan denganku melalui ucapan salam kepadaku, para malaikat akan berjabatan tangan dengannya dengan cara menjawab salam kepadanya. Ketika ia memasuki Dzul Hulaifah (masjid Syajarah) dan melakukan mandi, Allah akan menyucikannya dari segala dosa. Ketika ia memakai dua lembar kain (ihram) yang masih baru, Allah akan memperbaharui kebaikan-kebaikan baginya. Ketika ia mengucapkan, ‘Labbaikallâhumma labbaik’, Allah ‘Azza Wajalla akan menjawab, ‘Labbaik wa sa‘daik. Aku mendengar ucapanmu dan aku juga melihat kepadamu.’ Ketika ia memasuki kota Mekkah, melakukan tawaf dan sa‘i antara bukit Shafa dan Marwah, Allah senantiasa akan menurunkan kebaikan kepadanya ....”[21]

Pengabulan Doa

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «أَرْبَعَةٌ لاَ تُرَدُّ لَهُمْ دَعْوَةٌ حَتَّى تُفْتَحَ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَ تَصِيْرَ إِلَى الْعَرْشِ: اَلْوَالِدُ لِوَلَدِهِ، وَ الْمَظْلُوْمِ عَلَى مَنْ ظَلَمَهُ، وَ الْمُعْتَمِرُ حَتَّى يَرْجِعَ، وَ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ».

Rasulullah saw bersabda, “Doa empat orang tidak akan ditolak dan pintu-pintu langit akan dibuka bagi mereka sehingga doa itu akan sampai ke ‘Arsy (Ilahi): doa ayah untuk anaknya, doa seorang yang terzalimi demi kebinasaan orang yang menzaliminya, doa seorang yang sedang melakukan ibadah umrah hingga ia kembali pulang, dan doa seorang yang sedang berpuasa hingga ia berbuka puasa.”[22]

Menggapai Dunia dan Akhirat

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةَ فَلْيَؤُمَّ هَذَا الْبَيْتَ، فَمَا أَتَاهُ عَبْدٌ يَسْأَلُ اللهَ دُنْيًا إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ مِنْهَا وَلاَ يَسْأَلُهُ آخِرَةً إِلاَّ ادَّخَرَ لَهُ مِنْهَا».

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa menghendaki dunia dan akhirat, hendaklah ia mendatangi rumah ini. Tidak akan datang kepada rumah ini seorang hamba yang memohon dunia kepada Allah kecuali Dia akan memberikannya kepadanya dan tidak pula seorang hamba yang memohon akhirat kepada-Nya kecuali Dia akan menyimpannya untuknya.”[23]

Haji yang Disertai Kesadaran Penuh

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) فِيْ خُطْبَتِهِ يَوْمَ الْغَدِيْرِ: «مَعَاشِرَ النَّاسِ، حَجُّوا الْبَيْتَ بِكَمَالِ الدِّيْنِ وَ التَّفَقُّهِ، وَلاَ تَنْصَرِفُوا عَنِ الْمَشَاهِدِ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ وَ إِقْلاَعٍ».

Ketika berpidato di hari Ghadir Khum, Rasulullah saw bersabda, “Wahai umat manusia, berziarahlah ke rumah Allah ini dengan pengetahuan penuh dan agama yang sempurna dan janganlah kamu kembali dari tempat-tempat suci itu kecuali dengan taubat dan kebebasan dari dosa.”[24]

Syarat Berziarah ke Baitullah

قَالَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): كَانَ أَبِيْ يَقُوْلُ: «مَنْ أَمَّ هَذَا الْبَيْتَ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا مُبَرَّأً مِنَ الْكِبْرِ رَجَعَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَهَيْئَةِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ».

Abu Abdillah as berkata, “Ayahku sering berkata, ‘Barang siapa mendatangi rumah ini dalam kondisi melakukan haji atau umrah dan terbebaskan dari rasa sombong, maka ia akan terbebaskan dari dosa-dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.’”[25]

Berkah-Berkah Ibadah Haji

عَنْ أَبِيْ عَبِدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: قَالَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «حَجُّوْا وَ اعْتَمِرُوْا تَصِحَّ أَبْدَانُكُمْ وَ تَتٍّسِعْ أَرْزُاقُكُمْ وَ تُكْفَوْا مَؤُوْنَاتِ عِيَالِكُمْ». و قال: «اَلْحَاجُّ مَغْفُوْرٌ لَهُ وَ مَوْجُوْبٌ لَهُ الْجَنَّةُ وَ مُسْتَأْنَفٌ لَهُ الْعَمَلُ وَ مَحْفُوْظٌ فِيْ أَهْلِهِ وَ مَالِهِ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Ali bin Husain as berkata, ‘Lakukanlah ibadah haji atau umrah, niscaya tubuhmu akan sehat, rezekimu akan lapang, dan segala kebutuhan hidup keluargamu akan terpenuhi.’ Ia melanjutkan, ‘Seorang haji akan diampuni dosanya, diwajibkan baginya surga, ditulis dari permulaan surat amalnya, dan terjaga keluarga dan hartanya.’”[26]

Haji yang Tertolak

عَنْ أَبِيْ جَعْفَر الْبَاقِرِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «مَنْ أَصَابَ مَالاً مِنْ أَرْبَع لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فِيْ أَرْبَع: مَنْ أَصَابَ مَالاً مِنْ غُلُوْلٍ أَوْ رِبًا أَوْ خِيَانَةٍ أَوْ سَرِقَةٍ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فِيْ زَكَاة وَلاَ صَدَقَةٍ وَلاَ حَجٍّ وَلاَ عُمْرَةٍ».

Imam Abu Ja‘far al-Bâqir as berkata, “Barang siapa mendapatkan harta melalui empat cara, niscaya empat amalannya tidak akan diterima; barang siapa mendapatkan harta melalui cara penipuan, riba, pengkhianatan, atau pencurian, maka zakat, sedekah, ibadah haji, dan ibadah umrahnya tidak akan diterima.”[27]

Melakukan Ibadah Haji dengan Harta Haram

قَالَ أَبُوْ جَعْفَرِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «لاَ يَقْبَلُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ حَجًّا وَلاَ عُمْرَةً مِنْ مَالٍ حَرَاٍم».

Abu Ja‘far as berkata, “Allah ‘Azza Wajalla tidak akan menerima sebuah ibadah haji atau umrah yang dilakukan dengan harta haram.”[28]

Etika Seorang Haji

عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «مَا يُعْبَأُ مَنْ يَسْلُكُ هَذَا الطَّرِيْقَ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ ثَلاُثُ خِصَالٍ: وَرَعٌ يَحْجُزُهُ عَنْ مَعَاصِي اللهِ، وَحِلْمٌ يَمْلِكُ بِهِ غَضَبَهُ، وَ حُسْنُ الصُّحْبَةِ لِمَنْ صَحِبَهُ».

Imam Abu Ja‘far al-Bâqir as berkata, “Orang yang menjalani jalan ini (dan melakukan ibadah haji), tetapi ia tidak memiliki tiga kriteria ini, ia tidak layak untuk mendapatkan perhatian: (1) wara’ yang dapat mencegahnya dari bermaksiat kepada Allah, (2) kesabaran yang dapat meredam amarahnya, dan (3) bertindak lemah lembut terhadap orang-orang yang bersamanya.”[29]

Ibadah Haji yang Berhasil

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «مَنْ حجَّ أوِ اعْتَمَرَ فَلَمْ يَرْفَثْ وَلَمْ يَفسُقْ يَرْجِعُ كَهَيئَةِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ اُمُّهُ».

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa melakukan ibadah haji atau umrah dan ia tidak mencaci-maki dan tidak juga berbuat kefasikan, maka ia akan kembali pulang seperti pada hari pertama ia dilahirkan oleh ibunya.”[30]

Macam-Macam Haji

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «اَلْحَجُّ حَجَّانِ: حَجٌّ لِلَّهِ وَ حَجٌّ لِلنَّاسِ، فَمَنْ حَجَّ لِلَّهِ كَانَ ثَوَابُهُ عَلَى اللهِ الْجَنَّةَ، وَ مَنْ حَجَّ لِلنَّاسِ كَانَ ثَوَابُهُ عَلَى النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Ibadah haji ada dua macam: haji demi Allah dan haji demi manusia. Barang siapa melakukan ibadah haji hanya demi Allah semata, maka pahalanya dari Allah adalah surga dan barang siapa melakukan ibadah haji demi manusia, maka pahalanya ditanggung oleh manusia pada hari kiamat.”[31]

Klasifikasi Orang-Orang yang Melakukan Ibadah Haji

قَالَ الْإِمَامُ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «اَلْحَاجُّ يَصْدُرُوْنَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَصْنَافٍ: فَصِنْفٌ يُعْتَقُوْنَ مِنَ النَّارِ، وَ صِنْفٌ يَخْرُجُ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ، وَ صِنْفٌ يُحْفَظُ فِيْ أَهْلِهِ وَ مَالِهِ، فَذَلِكَ أَدْنَى مَا يَرْجِعُ بِهِ الْحَاجُّ».

Mu‘âwiyah bin ‘Ammâr mengatakan bahwa Imam ash-Shâdiq as berkata, “Orang-orang yang melakukan ibadah haji dibagi dalam tiga klasifikasi: (1) satu golongan akan diselamatkan dari api neraka, (2) satu kelompok akan dibersihkan dari dosa seperti pada hari pertama ia dilahirkan oleh ibunya, dan (3) satu golongan lagi, keluarga dan hartanya akan dijaga. Dan ini adalah pahala tersedikit yang akan diterima oleh orang-orang yang melakukan ibadah haji.”[32]

Jamaah Haji yang Tidak Berhasil

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «يَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَحُجُّ أَغْنِيَاءُ أمَّتِيْ لِلنُّزْهَةِ، وأوْساطُهُمْ لِلتِجارةِ، وقُرَّاؤُهُمْ للرِيَاءِ والسُّمْعَةِ وفُقَرَائُهُم لِلْمَسْأَلَةِ».

Rasulullah saw bersabda, “Akan datang sebuah masa atas umat manusia ini di mana orang-orang kaya dari umatku akan melakukan ibadah haji dengan tujuan rekreasi dan berfoya-foya, golongan menengah dari kalangan mereka akan melakukan ibadah haji untuk tujuan berdagang, para qârî mereka akan melaksanakan ibadah haji untuk riya’ dan menggapai ketenaran, dan orang-orang fakir dari kalangan mereka akan melakukan ibadah haji untuk meminta-minta.”[33]

Tindakan Terhadap Sahabat Seperjalanan

قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «وَطِّنْ نَفْسَكَ عَلَى حُسْنِ الصِّحَابَةِ لِمَنْ صَحِبْتَ فِيْ حُسْنِ خُلْقِكَ، وَ كُفَّ لِسَانَكَ، وَ اكْظِمْ غَيْظَكَ، وَ أَقِلَّ لَغْوَكَ، وَ تَفْرُشُ عَفْوَكَ، وَ تَسْخُو نَفْسَكَ».

Imam ash-Shâdiq as berkata, “Persiapkan dirimu untuk menjadi sahabat yang baik bagi orang yang bersamamu, tahanlah lidahmu, redamlah amarahmu, persedikitlah kesalahan-kesalahanmu, hamparkanlah permadani maafmu, dan berjiwalah dermawan.”[34]

Gangguan di Pertengahan Jalan

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «مَنْ أَمَاطَ أَذًى عَنْ طَرِيْقِ مَكَّةَ كَتَبَ اللهَ لَهُ حَسَنَةً وَ مَنْ كَتَبَ لَهُ حَسَنَةً لَمْ يُعَذِّبْهُ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Barang siapa menyingkirkan sebuah gangguan dari jalan Mekkah, maka Allah akan menulis satu kebaikan baginya, dan barang siapa yang telah ditulis sebuah kebaikan oleh Allah baginya, maka Dia tidak akan menyiksanya.”[35]

Meninggal Dunia di Tengah Jalan

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سِنَانَ عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «مَنْ مَاتَ فِيْ طَرِيْقِ مَكَّةَ ذَاهِباً أَوْ جَائِيًا أَمِنَ مِنَ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ».

Diriwayatkan dari Abdullah bin Sinân, dari Abu Abdillah as bahwa beliau berkata, “Barang siapa meninggal dunia di jalan menuju Mekkah, baik ketika ia sedang pergi maupun ketika sedang kembali pulang (ke negerinya), maka ia akan terjaga dari kedahsyatan dan ketakutan pada hari kiamat.”[36]

Berinfak Untuk Melakukan Ibadah Haji

قَالَ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «دِرْهَمٌ فِي الْحَجِّ أَفْضَلُ مِنْ أَلْفَيْ أَلْفٍ فِيْمَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ سَبِيْلِ اللهِ».

Imam ash-Shâdiq as berkata, “Satu Dirham (yang diinfakkan) untuk melakukan ibadah haji adalah lebih utama daripada dua juta Dirham dan diinfakkan di jalan Allah selain ibadah haji.”[37]

Filsafat Ihram

عَنِ الرِّضَا (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «فَإِنْ قَالَ: فَلِمَ أُمِرُوْا بِالْإِحْرَامِ؟ قِيْلَ: لِأَنْ يَتَخَشَّعُوْا قَبْلَ دُخُوْلِ حَرَمِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ أَمْنِهِ وَ لِئَلاَّ يَلْهُوْا وَ يَشْتَغِلُوْا بِشَيْءٍ مِنْ أمْرِ الدُّنْيَا وَزِيْنَتِهَا وَ لَذَّاتِهَا وَ يَكُوْنُوْا جَادِّيْنَ فِيْمَا هُمْ فِيْهِ قَاصِدِيْنَ نَحْوَهُ، مُقْبِلِيْنَ عَلَيْهِ بِكُلِّيَّتِهِمْ، مَعَ مَا فِيْهِ مِنَ التَّعْظِيْمِ لِلَّهِ تَعَالَى وَ لِبَيْتِهِ، وَ التَّذَلُّلِ لِأَنْفُسِهِمْ عِنْدَ قَصْدِهِمْ إِلَى اللهِ تَعَالَى وَوِفَادَتِهِمْ إِلَيْهِ، رَاجِيْنَ ثَوَابَهُ رَاهِبِيْنَ مِنْ عِقَابِهِ مَاضِيْنَ نَحْوَهُ مُقْبِلِينَ إِلَيْهِ بِالذُّلِّ وَ الْإِسْتِكَانَةِ وَ الْخُضُوْعِ».

Imam ar-Ridhâ as berkata, “Jika seseorang menanyakan mengapa mereka (jamaah haji) diperintahkan untuk berihram, jawabannya adalah supaya mereka khusyuk sebelum memasuki haram Allah ‘Azza Wajalla dan negeri-Nya yang aman, supaya mereka tidak lalai dan menyibukkan diri dengan urusan dunia, hiasan, dan kelezatannya, supaya mereka bersungguh-sungguh mengerjakan amalan yang mereka inginkan ketika mereka datang kepadanya, dan menghadapkan diri kepadanya dengan seluruh raga disertai dengan rasa pengagungan kepada Allah SWT dan rumah-Nya dan merasa hina diri ketika mereka menuju kepada Allah dan datang ke haribaan-Nya dengan mengharapkan pahala-Nya, merasa takut terhadap siksa-Nya, berjalan menuju ke arah-Nya, dan menghadapkan diri kepada-Nya dengan penuh kehinaan diri, kekhusyukan, dan kerendahan diri.”[38]

Tata Krama Ihram

قَالَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «إِذَا أَحْرَمْتَ فَعَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَ ذِكْرِ اللهِ كَثِيْراً وَ قِلَّةِ الْكَلاَمِ إِلاَّ بِخَيْرٍ، فَإِنَّ مِنْ تَمَامِ الْحَجِّ وَ الْعُمْرَةِ أَنْ يَحْفَظَ الْمَرْءُ لِسَانَهُ إِلاَّ مِنْ خَيْرٍ».

Abu Abdillah as berkata, “Jika engkau telah berihram, maka bertakwalah kepada Allah, perbanyaklah mengingat Allah, dan persedikitlah berbicara kecuali dalam kebaikan, karena termasuk kesempurnaan ibadah haji dan umrah adalah hendaknya seseorang menjaga lidahnya kecuali dalam kebaikan.”[39]

Labbaik yang Hakiki

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «مَا مِنْ مُلَبٍّ يُلَبّيْ إِلاَّ لَبَّى مَا عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ مِنْ حَجَرٍ اَوْ شَجَرٍ اَوْ مَدَرٍ حَتّى تَنْقَطِعَ الْأَرْضُ مِنْ هَاهُنَا وَ هَاهُنَا».

Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada seorang pun yang membaca talbiah kecuali segala sesuatu yang berada di sisi kanan dan kirinya dari kerikil, pepohonan, dan tanah liat juga akan mengucapkan talbiah bersamanya sehingga bumi dari segala sisinya terlewatkan olehnya.”[40]

Syiar Ibadah Haji

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): أَتَانِيْ جَبْرَئِيْلُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) فَقَالَ: «إِنَّ اللهَ عَزّ َوَ جَلَّ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْمُرَ أَصْحَابَكَ أَنْ يَرْفَعُوْا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ، فَإِنَّهَا شِعَارُ الْحَجِّ».

Rasulullah saw bersabda, “Malaikat Jibril pernah datang kepadaku seraya berpesan, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk memerintahkan para sahabatmu mengeraskan suara mereka dengan bacaan talbiah, karena talbiah itu adalah syiar ibadah haji.’”[41]

Memasuki Baitullah dengan Penuh Kesadaran

قَالَ الباقِرُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «مَنْ دَخَلَ هذَا الْبَيْتَ عَارِفًا بِجَمِيْعِ مَا أَوْجَبَهُ اللهُ عَلَيْهِ كَانَ آمِنًا فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْعَذَابِ الدَّائِمِ».

Imam al-Bâqir as berkata, “Barang siapa memasuki rumah Allah ini dengan mengetahui seluruh kewajiban yang telah Allah wajibkan atasnya, maka ia akan terjaga di akhirat dari siksa yang pedih.”[42]

Aman dari Murka Allah

Abdullah bin Sinân berkata, “Aku pernah bertanya kepada Imam ash-Shâdiq, ‘Allah ‘Azza Wajalla berfirman, ‘Dan barang siapa memasukinya, maka ia akan berada dalam keamanan.’[43] Apakah yang dimaksud adalah memasuki Baitullah atau daerah haram?’

Beliau menjawab,

«مَنْ دَخَلَ الْحَرَمَ مِنَ النَّاسِ مُسْتَجِيْرًا بِهِ فَهُوَ آمِنٌ مِنْ سَخَطِ اللهِ...».

‘Barang siapa memasuki daerah haram dengan berlindung kepadanya, maka ia akan aman dan terjaga dari murka Allah.’”[44]

Mekkah, Haram Allah dan Haram Rasulullah

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «مَكَّةُ حَرَمُ اللهِ وَ حَرَمُ رَسُوْلِهِ وَ حَرَمُ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِينَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ)، الصَّلاَةُ فِيْهَا بِمِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ، وَ الدِّرْهَمُ فِيْهَا بِمِائَةِ أَلْفِ دِرْهَم، وَ الْمَدِيْنَةُ حَرَمُ اللهِ وَ حَرَمُ رَسُوْلِهِ وَ حَرَمُ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِينَ ـ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمَا، الصَّلاةُ فِيْهَا بِعَشَرَةِ آلاَفِ صَلاَةٍ وَ الدِّرْهَمُ فِيْهَا بِعَشَرَةِ آلاَفِ دِرْهَمٍ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Mekkah adalah haram Allah, Rasul-Nya, dan Amirul Mukminin. (Pahala) mengerjakan salat di dalam haram ini adalah sama dengan seratus ribu kali salat dan (pahala) memberikan sedekah satu Dirham adalah sama dengan seratus ribu Dirham. Dan Madinah adalah haram Allah, Rasul-Nya, dan Amirul Mukminin as. (Pahala) mengerjakan salat di dalam haram ini adalah sama dengan sepuluh ribu salat dan (pahala) memberikan sedekah satu Dirham adalah sama dengan seratus ribu Dirham.”[45]

Tata Krama Memasuki Masjidil Haram

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «إِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ فَادْخُلْهُ حَافِيًا عَلَى السَّكِيْنَةِ وَ الْوَقَارِ وَ الْخُشُوعِ...».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Jika engkau memasuki Masjidil Haram, maka masuklah dengan kaki telanjang, tenang, sopan, dan khusyuk ....”[46]

Istana-Istana Surgawi

قَالَ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «أَرْبَعَةٌ مِنْ قُصُوْرِ الْجَنَّةِ فِي الدُّنْيَا: الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ، وَ مَسْجِدُ الرَّسُوْلِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ)، وَ مَسْجِدُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَ مَسْجِدُ الْكُوفَةِ».

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Empat tempat ini adalah istana-istana surgawi di dunia ini: (1) Masjidil Haram, (2) Masjid Nabawi, (3) Masjidil Aqsha, dan (4) masjid Kufah.”[47]

Salat di Dua Haram

عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ شَيْبَةَ قَالَ: كَتَبْتُ إِلَى أَبِيْ جَعْفَرٍ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) أَسْأَلُهُ عَنْ إِتْمَامِ الصَّلاَةِ فِي الْحَرَمَيْنِ، فَكَتَبَ إِلَيَّ: «كَانَ رَسُوْلُ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) يُحِبُّ إِكْثَارَ الصَّلاَةِ فِي الْحَرَمَيْنِ فَأَكْثِرْ فِيْهِمَا وَ أَتِمَّ».

Ibrahim bin Syaibah berkata, “Aku pernah menulis surat kepada Imam Abu Ja‘far al-Bâqir as untuk menanyakan tentang menyempurnakan (baca: tidak mengqashar) salat di dua haram itu. Beliau menjawab suratku yang isinya, ‘Rasulullah saw sangat senang mengerjakan salat di dalam kedua haram itu. Oleh karena itu, perbanyaklah mengerjakan salat di dalam kedua haram itu dan sempurnakanlah.’”[48]

Salat Berjamaah di Mekkah

عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ نَصْرٍ، عَنْ أَبِي الْحَسَنِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يُصَلِّيْ فِيْ جَمَاعَةٍ فِيْ مَنْزِلِهِ بِمَكَّةَ أَفْضَلُ أَوْ وَحْدَهُ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ: «وَحْدَهُ».

Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr berkata, “Aku pernah bertanya kepada Imam Abul Hasan ar-Ridhâ as tentang seseorang apakah mengerjakan salat secara berjamaah di rumahnya yang berada di Mekkah adalah lebih utama atau mengerjakan salat sendirian di Masjidil Haram? Beliau menjawab, ‘Mengerjakan salat sendirian.’”[49]

Mengerjakan Salat Bersama Ahlusunah

عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَمَّارٍ، قَالَ: «قَالَ لِيْ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «يَا إِسْحَاقُ أَتُصَلِّيْ مَعَهُمْ فِي الْمَسْجِدِ؟» قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: «صَلِّ مَعَهُمْ فَإِنَّ الْمُصَلِّيْ مَعَهُمْ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ كَالشَّاهِرِ سَيْفَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ».

Ishâq bin ‘Ammâr berkata, “Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as pernah bertanya kepadaku, ‘Hai Ishâq, apakah engkau mengerjakan salat bersama mereka di masjid?’

Aku menjawab, ‘Iya.’

Beliau melanjutkan, ‘Kerjakanlah salat bersama mereka, karena orang yang mengerjakan salat bersama mereka di shaf pertama adalah seperti orang yang menghunus pedangnya di jalan Allah.’”[50]

Mengapa Berbentuk Segi Empat?

رُوِيَ أَنَّهُ إِنَّمَا سُمِّيَتْ كَعْبَةً لِأَنَّهَا مُرَبَّعَةٌ وَ صَارَتْ مُرَبَّعَةً لِأَنَّهَا بِحِذَاءِ الْبَيْتِ الْمَعْمُوْرِ وَ هُوَ مُرَبَّعٌ وَ صَارَ الْبَيْتُ الْمَعْمُوْرُ مُرَبَّعًا لِأَنَّهُ بِحِذَاءِ الْعَرْشِ وَ هُوَ مُرَبَّعٌ، وَ صَارَ الْعَرْشُ مُرَبَّعًا، لِأَنَّ الْكَلِمَاتِ الَّتِيْ بُنِيَ عَلَيْهَا الْإِسْلاَمُ أَرْبَعٌ، وَ هِيَ سُبْحَانَ اللهِ، وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَ اللهُ أَكْبَرُ.

Syaikh ash-Shadûq berkata, “Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ka‘bah dinamakan Ka‘bah karena ia berbentuk persegi empat. Dan Ka‘bah dibentuk persegi empat karena ia berada di bawah Baitul Ma‘mûr yang juga berbentuk persegi empat. Dan Baitul Ma‘mûr berbentuk persegi empat karena ia berada di bawah ‘Arsy (Ilahi) yang juga berbentuk persegi empat. ‘Arsy (ilahi) berbentuk persegi empat karena seluruh kalimat yang menjadi pondasi Islam adalah empat kalimat, yaitu subhânallôh, alhamdu lillâh, lâ ilâha illallôh, dan Allôhu Akbar.”[51]

Memandang Ka‘bah

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «مَنْ نَظَرَ إِلَى الْكَعْبَةِ لَمْ يَزَلْ تُكْتَبُ لَهُ حَسَنَةٌ وَتُمْحَى عَنْهُ سَيِّئَةٌ حَتَّى يَنْصَرِفَ بِبَصَرِهِ عَنْهَا».

Imam Abu Abdillah as-Shâdiq as berkata, “Barang siapa memandang Ka‘bah, maka kebaikan akan senantiasa ditulis baginya dan keburukan akan dihilangkan darinya sehingga ia memalingkan matanya dari Ka‘bah.”[52]

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «اَلنَّظَرُ إِلَى الْكَعْبَةِ عِبَادَةٌ، وَ النَّظَرُ إِلَى الْوَالِدَيْنِ عِبَادَةٌ، وَ النَّظَرُ إِلَى الْإِمَامِ عِبَادَةٌ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as juga berkata, “Memandang Ka‘bah adalah ibadah, memandang kedua orang tua adalah ibadah, dan memandang imam adalah ibadah.”[53]

Saat-saat Ilahiah

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «إِنَّ لِلْكَعْبَةِ لَلَحْظَةً فِيْ كُلِّ يَوْمٍ يُغْفَرُ لِمَنْ طَافَ بِهَا أَوْ حَنَّ قَلْبُهُ إِلَيْهَا أَوْ حَبَسَهُ عَنْهَا عُذْرٌ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Pada setiap hari, Ka‘bah memiliki sebuah saat yang dosa orang yang—pada saat itu—melakukan tawaf di sekelilingnya, hatinya rindu kepadanya, atau orang yang ingin berziarah kepadanya, tapi tidak dapat pergi lantaran kesulitan menghadangnya akan diampuni.”[54]

Kucuran Berkah

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى حَوْلَ الْكَعْبَةِ عِشْرِيْنَ وَ مِائَةَ رَحْمَةٍ مِنْهَا سِتُّوْنَ لِلطَّائِفِيْنَ وَ أَرْبَعُوْنَ لِلْمُصَلِّيْنَ وَ عِشْرُوْنَ لِلنَّاظِرِيْنَ».

Imam Abu Abdillah as ash-Shâdiq as berkata, “Allah SWT memiliki seratus dua puluh rahmat di sekeliling Ka‘bah; enam puluh rahmat darinya untuk orang-orang yang melakukan tawaf, empat puluh darinya untuk orang-orang yang mengerjakan salat, dan dua puluh yang tersisa untuk orang-orang yang memandangnya.”[55]

Hubungan antara Agama dan Ka‘bah

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ قَائِمًا مَا قَامَتِ الْكَعْبَةُ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Agama akan senantiasa tegak selama Ka‘bah masih tegak.”[56]

Larangan Mengambil

قَالَ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «لاَ يَنْبَغِيْ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ تُرْبَةِ مَا حَوْلَ الْكَعْبَةِ، وَ إِنْ أَخَذَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئاً رَدَّهُ».

Muhammad bin Muslim berkata, “Aku pernah mendengar Imam ash-Shâdiq as berkata, ‘Tidak selayaknya bagi seseorang untuk mengambil tanah yang ada di sekitar Ka‘bah. Jika ia terlanjur mengambilnya, maka ia harus mengembalikannya ke tempat semula.’”[57]

Tabir Ka‘bah

عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيْهِ: «أَنَّ عَلِيًّا (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) كَانَ يَبْعَثُ بِكِسْوَةِ الْبَيْتِ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ مِنَ الْعَراقِ».

Imam al-Bâqir as berkata, “Ali bin Abi Thalib selalu mengirimkan tabir Ka‘bah dari Irak pada setiap tahun.”[58]

Kehadiran Imam Mahdi as di Samping Ka‘bah

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَر الْحِمْيَرِيِّ أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ مُحَمَّدَ بْنَ عُثْمَانَ الْعَمْرِيَّ ـ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ ـ فَقُلْتُ لَهُ: رَأَيْتَ صَاحِبَ هَذَا الاَْمْرِ؟ فَقَالَ: نَعَمْ وَ آخِرُ عَهْدِيْ بِهِ عِنْدَ بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ وَ هُوَ يَقُولُ: «اَللَّهَمَّ أَنْجِزْ لِيْ مَا وَعَدْتَنِيْ»

Abdullah bin Ja‘far al-Himyarî berkata, “Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Utsman al-‘Amrî ra, ‘Apakah engkau pernah melihat Imam Mahdi?’

Ia menjawab, ‘Iya. Kali terakhir, aku melihatnya beliau berada di samping Ka‘bah sedang berdoa, ‘Ya Allah, wujudkanlah janji yang telah Kau janjikan kepadaku.’”[59]

Hajarul Aswad

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ): «اَلْحَجَرُ يَميْنُ اللهِ فِي الْأَرْضِ، فَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى الْحَجَرِفَقَدْ بَايَعَ اللهَ أَنْ لاَ يَعْصِيَهُ».

Rasulullah saw bersabda, “Hajarul Aswad adalah tangan Allah di bumi ini. Barang siapa mengusapkan tangannya di atas Hajarul Aswad itu, maka ia telah berbaiat kepada-Nya untuk tidak melakukan maksiat terhadap-Nya.”[60]

Mencium dari Jauh

عَنْ سَيْف التَّمَّارِ قَالَ: قُلْتُ لِأَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): أَتَيْتُ الْحَجَرَ الْأَسْوَدَ فَوَجَدْتُ عَلَيْهِ زِحَامًا فَلَمْ أَلْقَ إِلاَّ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِنَا فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ: لاَبُدَّ مِنِ اسْتِلاَمِهِ فَقَالَ: «إِنْ وَجَدْتَهُ خَالِيًا وَ إِلاَّ فَسَلِّمْ مِنْ بَعِيْدٍ».

Saif at-Tammâr berkata, “Aku pernah bercerita kepada Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as bahwa aku pernah mendatangi Hajarul Aswad. Tetapi, aku melihat orang-orang sedang berdesak-desakan. Aku tidak menemukan orang lain (untuk bertanya) kecuali salah seorang dari sahabat kita. Aku bertanya kepadanya (tentang mencium Hajarul Aswad). Ia menjawab, ‘Hajaraul Aswad harus dicium.’

Imam ash-Shâdiq as berkata, ‘Betul, jika dalam kondisi sepi. Jika tidak, maka ciumlah dari jauh.’”[61]

Nampaknya Keadilan

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «أَوَّلُ مَا يُظْهِرُ الْقَائِمُ مِنَ الْعَدْلِ أَنْ يُنَادِيَ مُنَادِيْهِ أَنْ يُسَلِّمَ صَاحِبُ النَّافِلَةِ لِصَاحِبِ الْفَرِيْضَةِ الْحَجَرَ الْأَسْوَدَ وَ الطَّوَافَ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Keadilan pertama yang akan ditampakkan oleh al-Qâ’im adalah, bahwa juru bicaranya akan berseru supaya orang-orang yang sedang melakukan tawaf sunah dan ingin mencium Hajarul Aswad memberikan (kesempatan) kepada orang-orang yang memiliki kewajiban tawaf wajib untuk bertawaf dan mencium Hajarul Aswad.”[62]

Lebih Mementingkan Orang Lain di Haram

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): أَبْلِغُوْا أَهْلَ مَكَّةَ وَ الْمُجَاوِرِيْنَ أَنْ يُخَلُّوْا بَيْنَ الحُجَّاجِ وَ بَيْنَ الطَّوَافِ وَ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ وَ مَقَامِ إِبْرَاهِيْمَ و الصَّفِّ الْأَوَّلِ مِنْ عَشْرٍ تَبْقَى مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ إِلَى يَوْمِ الصَّدْرِ».

Rasulullah saw bersabda, “Sampaikanlah kepada penduduk Mekkah dan orang-orang yang berdomisili di sekitarnya untuk mengosongkan tempat tawaf, Hajarul Aswad, Maqâm Ibrahim, dan shaf pertama salat bagi orang-orang yang melakukan ibadah haji dari tanggal sepuluh Dzulqa‘dah hingga mereka pergi kembali.”[63]

Dilarang Mengganggu

عَنْ حَمَّادِ بْنِ عُثْمَانَ قَالَ: كَانَ بِمَكَّةَ رَجُلٌ مَوْلًى لِبَنِيْ أُمَيَّةَ يُقَالُ لَهُ ابْنُ أَبِيْ عَوَانَةَ. لَهُ عِنَادَةٌ، وَ كَانَ إِذَا دَخَلَ إِلَى مَكَّةَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) أَوْ أَحَدٌ مِنْ أَشْيَاخِ آلِ مُحَمَّدٍ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) يَعْبَثُ بِهِ، وَ إِنَّهُ أَتَى أَبَا عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) وَ هُوَ فِي الطَّوَافِ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِي اسْتِلاَمِ الْحَجَرِ؟ فَقَالَ: «اِسْتَلَمَهُ رَسُوْلُ اللهِ(صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ)». فَقَالَ لَهُ: مَا أَرَاكَ اسْتَلَمْتَهُ. قَالَ: «أَكْرَهُ أَنْ أُوْذِيَ ضَعِيْفًا أَوْ أَتَأَذَّى». فَقَالَ: قَدْ زَعَمْتَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) اسْتَلَمَهُ. قَالَ: «نَعَمْ وَلَكِنْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) إِذَا رَأَوْهُ عَرَفُوْا لَهُ حَقَّهُ وَ أَنَا فَلا يَعْرِفُوْنَ لِيْ حَقِّيْ».

Hammâd bin Utsman bercerita, “Di Mekkah, ada seseorang dari pengikut Bani Umaiyah. Namanya adalah ‘Awânah. Ia sangat membenci Ahlulbait as. Setiap kali Imam ash-Shâdiq as atau salah seorang pembesar keluarga Rasulullah saw datang ke Mekkah, ia senantiasa menghinanya. Pada suatu hari, ia menjumpai Imam ash-Shâdiq as ketika beliau sedang melakukan tawaf. Ia bertanya kepada beliau, ‘Bagaimana pendapatmu berkenaan dengan mencium dan mengusap Hajarul Aswad?’

Beliau menjawab, ‘Rasulullah saw selalu mencium dan mengusapnya.’

Ia menyergah, ‘Aku tidak pernah melihat engkau menciumnya.’

Beliau menjawab, ‘Aku tidak ingin menyakiti orang yang lemah atau aku sendiri tersakiti (gara-gara ingin meniciumnya).’

Ia menyergah lagi, ‘Engkau sendiri mengatakan bahwa Rasulullah saw selalu mencium dan mengusapnya.’

Beliau menjawab, ‘Iya. Ketika mereka melihat Rasulullah, mereka mengetahui haknya (dan membukakan jalan baginya). Tetapi, mereka tidak mengetahui hakku.’”[64]

Mengisyaratkan dengan Tangan

Muhammad bin ‘Ubaid berkata, “Para sahabat pernah bertanya kepada Imam Ali bin Musa ar-Ridhâ as, ‘Jika banyak kerumunan orang di sekitar Hajarul Aswad, apakah kita harus berdorong-dorongan dengan mereka demi mencium dan mengusap Hajarul Aswad itu?’

Beliau menjawab,

«إِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَأَوْمِ إِلَيْهِ إِيْمَاءً بِيَدِكَ».

‘Jika demikian, cukup kamu mengisyaratkan kepadanya dengan tanganmu.’”[65]

Perlu Diperhatikan oleh Jamaah Wanita

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ وَضَعَ عَنِ النِّسَاءِ أَرْبَعًا: اَلْإِجْهَارَ بِالتَّلْبِيَةِ، وَ السَّعْيَ بَيْنَ الصَّفَا وَ الْمَرْوَةِ، يَعْنِي الْهَرْوَلَةَ، وَ دُخُوْلَ الْكَعْبَةِ، وَ اسْتِلاَمَ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla telah menghapus empat hal dari kaum wanita di dalam haji: (1) mengucapkan talbiah dengan suara keras, (2) berlari-lari kecil ketika melakukan sa‘i antara bukit Shafa dan Marwah, (3) memasuki Ka‘bah, dan (4) mencium dan mengusap Hajarul Aswad.”[66]

Kebanggaan Allah

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «إِنَّ اللهَ يُبَاهِيْ بِالطَّائِفِيْنَ».

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah merasa bangga dengan orang-orang yang melakukan tawaf.”[67]

Tawaf dan Kebebasan

عَنْ رَسُوْلِ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) قَالَ: «... فَإِذَا طُفْتَ بِالْبَيْتِ أُسْبُوعاً كَانَ لَكَ بِذَلِكَ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ وَ ذِكْرٌ يَسْتَحْيِيْ مِنْكَ رَبُّكَ أَنْ يُعَذِّبَكَ بَعْدَهُ ...».

Rasulullah saw bersabda, “Jika engkau telah melakukan tawaf di sekeliling Ka‘bah sebanyak tujuh kali, engkau akan memiliki janji dan nama baik di sisi Allah di mana dengan janji dan nama baik itu Dia akan merasa malu untuk menyiksamu.”[68]

Dilarang Banyak Bicara

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «إِنَّمَا الطَّوافُ صَلاَةٌ، فَإِذَا طُفْتُمْ فَأَقِلُّوا الْكَلاَمَ».

Rasulullah saw bersabda, “Tawaf adalah (seperti) salat. Jika kamu sedang melakukan tawaf, maka persedikitlah bicara.”[69]

Filsafat Tawaf

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَ بَيْنَ الصَّفا وَ الْمَرْوَةِ وَ رَمْىُ الْجِمَارِ لِإِقامَةِ ذِكْرِ اللهِ».

Rasulullah saw bersabda, “Tawaf di sekeliling Baitullah, sa‘i antara bukit Shafa dan Marwah, dan melontar Jumrah disyariatkan untuk mengingat Allah.”[70]

Pengaruh Niat Dalam Amal

عنْ زِيَادٍ الْقَنْدِيِّ قال: قُلْتُ لِأَبِي الْحَسَنِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): جُعِلْتُ فِدَاكَ، إِنِّيْ أَكُوْنُ فِي المَسْجِدِ الْحَرَامِ وأنْظُرُ إِلَى النّاسِ يَطُوْفُوْنَ بِالْبَيْتِ وَ أَنَا قَاعِدٌ فاغْتَمُّ لِذلكَ، فَقَالَ: «يَازِيَادُ لاَ عَلَيْكَ، فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ يَؤُمُّ الْحَجَّ لاَ يَزَالُ فِيْ طَوَافٍ وَ سَعْيٍ حَتَّى يَرْجِعَ».

Ziyâd al-Qandî—seorang sahabat yang sudah tidak mampu lagi berdiri—bercerita, “Aku pernah berkata kepada Imam Abul Hasan al-Kâzhim as, ‘Semoga aku menjadi tebusan Anda! Kadang-kadang aku berada di Masjidil Haram dan melihat orang-orang sedang melakukan tawaf. Tetapi, aku tidak mampu untuk melakukan itu. Sedih rasanya aku melihat diriku.’

Beliau menjawab, ‘Wahai Ziyâd, kamu tidak memiliki kewajiban (untuk bertawaf dan janganlah bersedih). Karena jika seorang mukmin keluar dari rumahnya dengan niat untuk melakukan haji, maka ia senantiasa dalam kondisi bertawaf dan melakukan sa‘i hingga ia kembali pulang.’”[71]

Menjaga Nilai-nilai Kemanusiaan

عَنْ سَمَاعَة بْنِ مِهْرَانَ عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): سَأَلْتَهُ عَنْ رَجُلٍ لِيْ عَلَيْهِ مَالٌ فَغَابَ عَنّيْ زَمَانًا فَرَأَيْتُهُ يَطُوْفُ حَوْلَ الْكَعْبَةَ أَفَأَتَقَاضَاهُ مَالِيْ؟ قَالَ: «لاَ، لاَ تُسَلِّمْ عَلَيْهِ وَلاَ تُرَوِّعْهُ حَتَّى يَخْرُجَ مِنَ الْحَرَمِ».

Samâ‘ah bin Mihrân berkata, “Aku pernah bertanya kepada Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as, ‘Seseorang memiliki utang kepadaku. Aku tidak berjumpa dengannya selama beberapa waktu. Tiba-tiba aku melihatnya sedang melakukan tawaf di sekeliling Ka‘bah. Bolehkah aku menagih tagihan utangku itu kepadanya?’

Beliau menjawab, ‘Jangan. Bahkan, jangan pula engkau mengucapkan salam kepadanya dan jangan juga menakut-nakutinya (dengan tagihan utang itu) sehingga ia keluar dari haram.’”[72]

Mengerjakan Salat di Dekat Maqâm Ibrahim

عَنْ رَسُوْل اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) قال: «... فَإِذَا طُفْتَ بِالْبَيْتِ أُسْبُوْعًا لِلزِّيَارَةِ وَ صَلَّيْتَ عِنْدَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ ضَرَبَ مَلَكٌ كَرِيْمٌ عَلَى كَتِفَيْكَ فَقَالَ: أَمَّا مَا مَضَى فَقَدْ غُفِرَ لَكَ فَاسْتَأْنِفِ الْعَمَلَ فِيْمَا بَيْنَكَ وَ بَيْنَ عِشْرِيْنَ وَ مِائَةِ يَوْمٍ».

Rasulullah saw bersabda, “Jika engkau telah melakukan tawaf di sekeliling Baitullah sebanyak tujuh kali untuk ziarah dan mengerjakan salat sebanyak dua rakaat di dekat Maqâm Ibrahim, seorang malaikat yang mulia akan menepuk pundakmu seraya berkat, ‘Seluruh dosa yang pernah kau lakukan telah diampuni. Oleh karena itu, mulailah amalan baru dari sekarang hingga seratus dua puluh hari mendatang.’”[73]

Husain bin Ali di Samping Maqâm Ibrahim

رُئِيَ الحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) يَطُوفُ بِالْبَيْتِ، ثُمَّ صار اِلَى الْمَقامِ فَصَلَّى، ثُمَّ وَضَعَ خَدَّهُ عَلَى الْمَقامِ فَجَعَلَ يَيْكيْ وَ يَقُوْلُ: «عُبَيْدُكَ بِبابِكَ، سَائِلُكَ بِبابِكَ، مِسْكيْنُكَ بِبابِكَ». يُرَدِّدُ ذلِكَ مِراراً.

Beberapa orang melihat Husain bin Ali as sedang melakukan tawaf di sekeliling Baitullah. Setelah itu, ia berdiri di belakang Maqâm Ibrahim dan mengerjakan salat. Setelah salatnya usai, ia meletakkan wajahnya di atas Maqâm seraya menangis dan berseru lirih, “(Ya Allah), hamba-Mu yang kecil ini berada di depan pintu-Mu, pemohon-Mu berada di ambang pintu-Mu, dan orang miskin-Mu berada di depan pintu-Mu.” Ia mengilangi ucapan itu berkali-kali.[74]

Menolong Teman Seperjalanan

عَنْ إِبْرَاهِيْمَ الْخَثْعَمِيِّ قَالَ: قُلْتُ لِأَبِيْ عَبْدِاللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): إِنَّا إِذَا قَدِمْنَا مَكَّةَ ذَهَبَ أَصْحَابُنَا يَطُوْفُوْنَ وَ يَتْرُكُوْنِّيْ أَحْفَظُ مَتَاعَهُمْ، قَالَ: «أَنْتَ أَعْظَمُهُمْ أَجْرًا».

Ismail al-Khats‘amî berkata, “Aku pernah bercerita kepada Imam ash-Shâdiq as, ‘Pada waktu kami sampai di Mekkah, teman-teman seperjalanan kami pergi untuk melakukan tawaf dan meninggalkan aku menjaga barang-barang mereka.’

Beliau menjawab, ‘Pahalamu adalah lebih besar daripada pahala mereka.’”[75]

Zamzam, Obat Bagi Segala Penyakit

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «مَاءُ زَمْزَمَ دَوَاءٌ لِمَا شُرِبَ لَهُ».

Rasulullah saw bersabda, “Air Zamzam adalah obat bagi setiap penyakit jika dengan niat demi kesembuhan penyakit itu diminum.”[76]

Air Terbaik di Bumi

قَالَ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «مَاءُ زَمْزَمَ خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ».

Amirul Mukminin Ali as berkata, “Air Zamzam adalah air terbaik yang ada di muka bumi ini.”[77]

Hijir Ismail

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «اَلْحِجْرُ بَيْتُ إِسْمَاعِيْلَ وَ فِيْهِ قَبْرُ هَاجَرَ وَ قَبْرُ إِسْمَاعِيْلَ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Hijir adalah rumah Ismail dan di dalam rumah itu terdapat kuburan Hajar dan kuburannya sendiri.”[78]

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «إِنَّ إِسْمَاعِيْلَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) تُوُفِّيَ وَ هُوَ ابْنُ مائَةٍ وَ ثَلاَثِيْنَ سَنَةً وَ دُفِنَ بِالحِجْرِ مَعَ أُمِّهِ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as juga berkata, “Ismail meninggal dunia pada usia seratus tiga puluh tahun dan dikuburkan di Hijir bersama ibudanya.”[79]

Hathîm

Mu‘âwiyah bin ‘Ammâr berkata, “Aku pernah bertanya kepada Imam ash-Shâdiq tentang Hathîm. Beliau menjawab, ‘Hathîm terletak antara Hajarul Aswad dan pintu Ka‘bah.’

Aku bertanya lagi, ‘Mengapa tempat itu dinamakan Hathîm?’

Beliau menjawab,

«لِأَنَّ النَّاسَ يَحْطِمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا هُنَاكَ».

‘Karena orang-orang berdesak-desakan di tempat itu.’”[80]

Multazam

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «بَيْنَ الرُّكْنِ وَ الْمَقَامِ مُلْتَزَمٌ، ما يَدْعُوْ بِهِ صَاحِبُ عَاهَةٍ إِلاَّ بَرِئَ».

Rasulullah saw bersabda, “Di antara Rukun Hajarul Aswad dan Maqâm Ibrahim terdapat Multazam. Tidak ada orang sakit yang berdoa di tempat itu kecuali ia akan memperoleh kesembuhan.”[81]

Mustajâr

قَالَ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «بَنَى إبْرَاهِيْمُ الْبَيْتَ ... وَ جَعَلَ لَهُ بَابَيْنِ بَابٌ إِلَى الْمَشْرِقِ وَ بَابٌ إِلَى الْمَغْرِبِ، وَالْبَابُ الَّذِيْ إِلَى الْمَغْرِبِ يُسَمَّى الْمُسْتَجَارَ».

Imam ash-Shâdiq as berkata, “Ibrahim membangun Baitullah ... dan ia membuat dua pintu untuknya; satu pintu menghadap ke arah timur dan satu pintu lagi menghadap ke arah barat. Pintu yang menghadap ke arah barat adalah Mustajâr.”[82]

Rukun Yamânî

‘Athâ’ mengatakan bahwa seorang sahabat pernah berkata kepada Rasulullah saw,

رَأَيْناكَ تُكْثِرُ اسْتِلاَمَ الرُّكْنِ الْيَمَانِيِّ فَقالَ: «مَا أَتَيْتُ عَلَيْهِ قَطُّ إِلاَّ و جَبْرَئيْلُ قَائِمٌ عِنْدَهُ يَسْتَغْفِرُ لِمَنْ اسْتَلَمَهُ».

“Kami melihat Anda sering kali mencium dan mengusap Rukun Yamânî.” Beliau menjawab, “Aku tidak pernah mendatanginya kecuali malaikat Jibril berdiri di sampingnya memintakan ampun bagi orang yang mencium dan mengusapnya.”[83]

Tempat Sa‘i

عَنْ أَبِيْ بَصِيْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) يَقُولُ: «مَا مِنْ بُقْعَةٍ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمَسْعَى لِأَنَّهُ يُذِلُّ فِيْهَا كُلَّ جَبَّارٍ».

Abu Bashîr berkata, “Aku pernah mendengar Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, ‘Tidak ada tempat di muka bumi ini yang lebih dicintai oleh Allah daripada tempat sa‘i, karena Dia akan menghinakan setiap orang yang zalim di tempat itu.’”[84]

Syafaat yang Diterima

قَالَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «اَلسَّاعِيْ بَيْنَ الصَّفَا وَ الْمَرْوَةِ تَشْفَعُ لَهُ الْمَلاَئِكَةُ فَتُشَفَّعُ فِيْهِ بِالْإِيْجَابِ».

Imam Ali bin Husain as-Sajjâd as berkata, “Para malaikat akan memberikan syafaat kepada orang yang melakukan sa‘i antara bukit Shafa dan Marwah, dan syafaat mereka akan dikabulkan.”[85]

Harwalah (Lari-Lari Kecil)

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «صَارَ السَّعْىُ بَيْنَ الصَّفَا وَ الْمَرْوَةِ لِأَنَّ إِبْرَاهِيْمَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) عَرَضَ لَهُ إِبْلِيْسُ فَأَمَرَهُ جَبْرَئِيْلُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ)، فَشَدَّ عَلَيْهِ فَهَرَبَ مِنْهُ، فَجَرَتْ بِهِ السُّنَّةُ ـ يَعِْنيْ بالْهَرْوَلَة.

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “(Anjuran) lari-lari kecil (harwalah) antara bukit Shafa dan Marwah terwujud karena Iblis pernah menampakkan dirinya kepada Ibrahim as. Lalu malaikat Jibril memerintahkannya untuk menyerangnya, dan Iblis itu pun lari. Oleh karena itu, lari-lari kecil itu menjadi sunah.”[86]

Duduk di Pertengahan Jalan

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «لاَ يَجْلِسُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ إِلاَّ مَنْ جَهَدَ».

Imam Abu Abdillah as berkata, “Hendaknya tidak duduk (baca: istirahat) di pertengahan jalan antara Shafa dan Marwah kecuali orang yang sudah lelah.”[87]

Membanggakan Orang-Orang yang Berada di Arafah

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يُبَاهِيْ مَلاَئِكَتَهُ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ بِأَهْلِ عَرَفَةَ فَيَقُوْلُ: اُنْظُرُوْا إِلَى عِبَادِيْ أتَوْنِيْ شُعْثاً غُبْراً».

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ‘Azza Wajalla membanggakan orang-orang yang hadir di Arafah pada waktu sore hari kepada para malaikat-Nya seraya berfirman, ‘Lihatlah hamba-hamba-Ku itu. Mereka telah mendatangi-Ku dengan rambut yang awut-awutan dan bermandikan debu.’”[88]

Masy‘arul Haram

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) ـ وَهُوَ بِمِنًى ـ: «لَوْ يَعْلَمُ أَهْلُ الجَمْعِ بِمَنْ حَلُّوْا أَوْ بِمَنْ نَزَلُوْا لاَسْتَبْشَرُوا بالفَضْلِ مِنْ رَبِّهِمْ بَعْدَ المَغْفِرَةِ».

Ketika berada di Mina, Rasulullah saw bersabda, “Seandainya orang-orang yang hadir di Masy‘arul Haram itu tahu di mana mereka diam atau kepada siapa mereka mampir, niscaya mereka—setelah pengampunan dosa—akan memberikan berita gembira dengan keutamaan Ilahi kepada sesama mereka.”[89]

Mina

قَالَ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «إِذَا أَخَذَ النَّاسُ مَوَاطِنَهُمْ بِمِنًى، نَادَى مُنَادٍ مِنْ قِبَلِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ: إِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ أَرْضَى فَقَدْ رَضِيْتُ».

Imam ash-Shâdiq as berkata, “Ketika para jamaah haji telah menempati tempat masing-masing di Mina, seorang penyeru yang datang dari sisi Allah ‘Azza Wajalla menyeru, ‘Jika kamu sekalian menginginkan supaya Aku rida atasmu, maka kini Aku telah rida.’”[90]

Melempar Setan

قَالَ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «إنَّ عِلَّةَ رَمْيِ الجَمَراتِ أَنَّ إبْرَاهِيْمَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) تَرَاءَى لَهُ إبْلِيْسُ عِنْدَهَا فَأَمَرَهُ جَبْرَائِيْلُ بِرَمْيِه بِسَبعِ حَصَيَاتٍ وَ أَنْ يُكَبِّرَ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ فَفَعَلَ وَ جَرَتْ بِذلِكَ السُّنَةِ».

Imam ash-Shâdiq as berkata, “Sebab disyariatkannya melempar Jumrah adalah, bahwa Iblis pernah menampakkan dirinya kepada Ibrahim as di situ. Malaikat Jibril memerintahkan kepada Ibrahim untuk melemparinya dengan kerikil sebanyak tujuh kali dan mengucapkan takbir pada setiap kali lemparan. Ibrahim melakukan perintah tersebut, dan dengan ini melempar Jumrah menjadi sebuah sunah.”[91]

Menyembelih Binatang Kurban

عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «إِنَّمَا جَعَلَ اللهُ هَذَا الاَْضْحَى لِتَشْبَعَ مَسَاكِيْنُهُمْ مِنَ اللَّحْمِ فَأَطْعِمُوْهُمْ».

Diriwayatkan dari Imam Abu Ja‘far al-Bâqir as bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan menyembelih binatang kurban supaya orang-orang miskin mereka memanfaatkan dagingnya dan tidak tertimpa kelaparan. Oleh karena itu, berikanlah mereka makan (dengan daging itu).”[92]

Memohon Ampunan

قَالَ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «اِسْتَغْفَرَ رَسُوْلُ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) لِلْمُحَلِّقِيْنَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ».

Imam ash-Shâdiq as berkata, “Rasulullah saw memintakan ampun kepada Allah bagi orang-orang yang mencukur kepalanya (di Mina).”[93]

Rahasia Ibadah Haji

Di dalam sebuah kitabnya, Syarah an-Nukhbah, Sayid Abdullah, salah seorang cucu Muhaddits Jazâ’irî menulis, “Di dalam beberapa buku referensi hadis yang kuakui kebenarannya diriwayatkan sebuah riwayat mursal yang ditulis oleh tangan pada ahli hadis. Riwayat ini menceritakan bahwa Syiblî menjumpai Imam Zainul Abidin as setelah ia melaksanakan ibadah haji. Beliau bertanya kepadanya,

«حَجَجْتَ يَا شَبْلِيُّ؟»، قَالَ: نَعَمْ يَا ابْنَ رَسُوْلِ اللهِ، فَقَالَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «أَنَزَلْتَ الْمِيْقَاتَ وَ تَجَرَّدْتَ عَنْ مَخِيْطِ الثِّيَابِ وَ اغْتَسَلْتَ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَحِيْنَ نَزَلْتَ الْمِيْقَاتَ نَوَيْتَ أَنَّكَ خَلَعْتَ ثَوْبَ الْمَعْصِيَةِ وَلَبِسْتَ ثَوْبَ الطَّاعَةِ؟»، قَالَ: لا، قَالَ: «فَحِيْنَ تَجَرَّدْتَ عَنْ مَخِيْطِ ثِيَابِكَ نَوَيْتَ أَنَّكَ تَجَرَّدْتَ مِنَ الرِّيَاءِ وَ النِّفَاقِ وَ الدُّخُوْلِ فِي الشُّبُهَاتِ؟»، قَالَ: لا، قَالَ : فَحِيْنَ اغْتَسَلْتَ نَوَيْتَ أَنَّكَ اغْتَسَلْتَ مِنَ الْخَطَايَا وَ الذُّنُوبِ؟»، قَالَ: لا، قَالَ: «فَمَا نَزَلْتَ الْمِيْقَاتَ وَلاَ تَجَرَّدْتَ عَنْ مَخِيْطِ الثِّيَابِ وَلاَ اغْتَسَلْتَ».

ثُمَّ قَالَ: «تَنَظَّفْتَ وَ أَحْرَمْتَ وَ عَقَدْتَ بِالْحَجِّ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَحِيْنَ تَنَظَّفْتَ وَ أَحْرَمْتَ وَ عَقَدْتَ الْحَجَّ نَوَيْتَ أَنَّكَ تَنَظَّفْتَ بِنُوْرَةِ التَّوْبَةِ الْخَالِصَةِ لِلَّهِ تَعَالَى؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَحِيْنَ أَحْرَمْتَ نَوَيْتَ أَنَّكَ حَرَّمْتَ عَلَى نَفْسِكَ كُلَّ مُحَرَّم حَرَّمَهُ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَحِيْنَ عَقَدْتَ الْحَجَّ نَوَيْتَ أَنَّكَ قَدْ حَلَلْتَ كُلَّ عَقْد لِغَيْرِ اللهِ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ لَهُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «مَا تَنَظَّفْتَ وَلاَ أَحْرَمْتَ وَلاَ عَقَدْتَ الْحَجَّ».

قَالَ لَهُ: «أَدَخَلْتَ الْمِيْقَاتَ وَ صَلَّيْتَ رَكْعَتَيِ الْإِحْرَامِ وَ لَبَّيْتَ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَحِيْنَ دَخَلْتَ الْمِيْقَاتَ نَوَيْتَ أَنَّكَ بِنِيَّةِ الزِّيَارَةِ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَحِيْنَ صَلَّيْتَ الرَّكْعَتَيْنِ نَوَيْتَ أَنَّكَ تَقَرَّبْتَ إِلَى اللهِ بِخَيْرِ الْأَعْمَالِ مِنَ الصَّلاَةِ وَ أَكْبَرِ حَسَنَاتِ الْعِبَادِ؟»، قَالَ: لا، قَالَ: «فَحِيْنَ لَبَّيْتَ نَوَيْتَ أَنَّكَ نَطَقْتَ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ بِكُلِّ طَاعَةٍ وَ صُمْتَ عَنْ كُلِّ مَعْصِيَة؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ لَهُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «مَا دَخَلْتَ الْمِيْقَاتَ وَلاَ صَلَّيْتَ وَلاَ لَبَّيْتَ».

ثُمَّ قَالَ لَهُ: «أَدَخَلْتَ الْحَرَمَ وَ رَأَيْتَ الْكَعْبَةَ وَصَلَّيْتَ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَحِيْنَ دَخَلْتَ الْحَرَمَ نَوَيْتَ أَنَّكَ حَرَّمْتَ عَلَى نَفْسِكَ كُلَّ غِيبَة تَسْتَغِيْبُهَا الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ أَهْلِ مِلَّةِ الْإِسْلاَمِ؟»، قَالَ: لا، قَالَ: «فَحِيْنَ وَصَلْتَ مَكَّةَ نَوَيْتَ بِقَلْبِكَ أَنَّكَ قَصَدْتَ اللهَ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): فَمَا دَخَلْتَ الْحَرَمَ وَلاَ رَأَيْتَ الْكَعْبَةَ وَلاَ صَلَّيْتَ».

ثُمَّ قَالَ: «طُفْتَ بِالْبَيْتِ وَ مَسَسْتَ الْأَرْكَانَ وَ سَعَيْتَ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «فَحِيْنَ سَعَيْتَ نَوَيْتَ أَنَّكَ هَرَبْتَ إِلَى اللهِ وَ عَرَفَ مِنْكَ ذَلِكَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَمَا طُفْتَ بِالْبَيْتِ وَلاَ مَسِسْتَ الْأَرْكَانَ وَلاَ سَعَيْتَ».

ثُمَّ قَالَ لَهُ: «صَافَحْتَ الْحَجَرَ وَ وَقَفْتَ بِمَقَامِ إِبْرَاهِيْمَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) وَ صَلَّيْتَ بِهِ رَكْعَتَيْنِ؟»، قَالَ: نَعَمْ، فَصَاحَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) صَيْحَةً كَادَ يُفَارِقُ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ: «آهِ آهِ»، ثُمَّ قَالَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «مَنْ صَافَحَ الْحَجَرَ الْأَسْوَدَ فَقَدْ صَافَحَ اللهَ تَعَالَى، فَانْظُرْ يَا مِسْكِينُ لاَ تُضَيِّعْ أَجْرَ مَا عَظُمَ حُرْمَتُهُ وَ تَنْقُضِ الْمُصَافَحَةَ بِالْمُخَالَفَةِ وَ قَبْضِ الْحَرَامِ نَظِيرَ أَهْلِ الْآثَامِ». ثُمَّ قَالَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «نَوَيْتَ حِيْنَ وَقَفْتَ عِنْدَ مَقَامِ إِبْرَاهِيْمَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) أَنَّكَ وَقَفْتَ عَلَى كُلِّ طَاعَة وَ تَخَلَّفْتَ عَنْ كُلِّ مَعْصِيَة؟»، قَالَ: لا، قَالَ: «فَحِيْنَ صَلَّيْتَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ نَوَيْتَ أَنَّكَ صَلَّيْتَ بِصَلاَةِ إِبْرَاهِيْمَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) وَ أَرْغَمْتَ بِصَلاَتِكَ أَنْفَ الشَّيْطَانِ؟»، قَالَ: لا، قَالَ لَهُ: «فَمَا صَافَحْتَ الْحَجَرَ الْأَسْوَدَ وَلاَ وَقَفْتَ عِنْدَ الْمَقَامِ وَلاَ صَلَّيْتَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ».

ثُمَّ قَالَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) لَهُ: «أَشْرَفْتَ عَلَى بِئْرِ زَمْزَمَ وَ شَرِبْتَ مِنْ مَائِهَا؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «نَوَيْتَ أَنَّكَ أَشْرَفْتَ عَلَى الطَّاعَةِ وَغَضَضْتَ طَرْفَكَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ؟»، قَالَ: لا، قَالَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «فَمَا أَشْرَفْتَ عَلَيْهَا وَلاَ شَرِبْتَ مِنْ مَائِهَا».

ثُمَّ قَالَ لَهُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «أَسَعَيْتَ بَيْنَ الصَّفَا وَ الْمَرْوَةِ وَ مَشَيْتَ وَ تَرَدَّدْتَ بَيْنَهُمَا؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ لَهُ: «نَوَيْتَ أَنَّكَ بَيْنَ الرَّجَاءِ وَ الْخَوْفِ؟»، قَالَ: لا، قَالَ: «فَمَا سَعَيْتَ وَلاَ مَشَيْتَ وَلاَ تَرَدَّدْتَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ».

ثُمَّ قَالَ: «أَخَرَجْتَ إِلى مِنًى؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «نَوَيْتَ أَنَّكَ آمَنْتَ النَّاسَ مِنْ لِسَانِكَ وَ قَلْبِكَ وَ يَدِكَ؟»، قَالَ: لا، قَالَ: «فَمَا خَرَجْتَ إِلى مِنًى».

ثُمَّ قَالَ لَهُ: «أَوَقَفْتَ الْوَقْفَةَ بِعَرَفَةَ، وَ طَلَعْتَ جَبَلَ الرَّحْمَةِ، وَ عَرَفْتَ وَادِيَ نَمِرَةَ، وَ دَعَوْتَ اللهَ سُبْحَانَهُ عِنْدَ الْمِيْلِ وَالْجَمَرَاتِ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «هَلْ عَرَفْتَ بِمَوْقِفِكَ بِعَرَفَةَ مَعْرِفَةَ اللهِ سُبْحَانَهُ أَمْرَ الْمَعَارِف وَ الْعُلُوْمِ وَ عَرَفْتَ قَبْضَ اللهِ عَلى صَحِيْفَتِكَ وَ اطِّلاَعَهُ عَلَى سَرِيْرَتِكَ وَ قَلْبِكَ؟»، قَالَ: لا، قَالَ: «نَوَيْتَ بِطُلُوْعِكَ جَبَلَ الرَّحْمَةِ أَنَّ اللهَ يَرْحَمُ كُلَّ مُؤْمِنْ وَ مُؤْمِنَةْ وَ يَتَوَلَّى كُلَّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَنَوَيْتَ عِنْدَ نَمِرَةَ أَنَّكَ لاَ تَأْمُرُ حَتَّى تَأْتَمِرَ، وَلاَ تَزْجُرُ حَتَّى تَنْزَجِرَ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَعِنْدَ مَا وَقَفْتَ عِنْدَ الْعَلَمِ وَ النَّمِرَاتِ، نَوَيْتَ أَنَّهَا شَاهِدَةٌ لَكَ عَلَى الطَّاعَاتِ حَافِظَةٌ لَكَ مَعَ الْحَفَظَةِ بِأَمْرِ رَبِّ السَّمَاوَاتِ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَمَا وَقَفْتَ بِعَرَفَةَ، وَلاَ طَلَعْتَ جَبَلَ الرَّحْمَةِ، وَلاَ عَرَفْتَ نَمِرَةَ، وَلاَ دَعَوْتَ، وَلاَ وَقَفْتَ عِنْدَ النَّمِرَاتِ».

ثُمَّ قَالَ: «مَرَرْتَ بَيْنَ الْعَلَمَيْنِ، وَ صَلَّيْتَ قَبْلَ مُرُوْرِكَ رَكْعَتَيْنِ، وَ مَشَيْتَ بِمُزْدَلِفَةَ، وَ لَقَطْتَ فِيْهَا الْحَصَى، وَ مَرَرْتَ بِالْمَشْعَرِ الْحَرَامِ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَحِيْنَ صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ، نَوَيْتَ أَنَّهَا صَلاَةُ شُكْرٍ فِيْ لَيْلَةِ عَشْرٍ، تَنْفِيْ كُلَّ عُسْرٍ، وَتُيَسِّرُ كُلَّ يُسْرٍ؟»، قَالَ: لا، قَالَ: «فَعِنْدَ مَا مَشَيْتَ بَيْنَ الْعَلَمَيْنِ وَ لَمْ تَعْدِلْ عَنْهُمَا يَمِيْنًا وَ شِمَالاً، نَوَيْتَ أَنْ لاَ تَعْدِلَ عَنْ دِيْنِ الْحَقِّ يَمِيْنًا وَشِمَالاً، لاَ بِقَلْبِكَ، وَلاَ بِلِسَانِكَ، وَلاَ بِجَوَارِحِكَ»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَعِنْدَ مَا مَشَيْتَ بِمُزْدَلِفَةَ وَ لَقَطْتَ مِنْهَا الْحَصَى، نَوَيْتَ أَنَّكَ رَفَعْتَ عَنْكَ كُلَّ مَعْصِيَةٍ وَجَهْلٍ، وَثَبَّتَّ كُلَّ عِلْمٍ وَ عَمَلٍ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَعِنْدَ مَا مَرَرْتَ بِالْمَشْعَرِ الْحَرَامِ، نَوَيْتَ أَنَّكَ أَشْعَرْتَ قَلْبَكَ إِشْعَارَ أَهْلِ التَّقْوَى وَ الْخَوْفَ لِلَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَمَا مَرَرْتَ بِالْعَلَمَيْنِ، وَلاَ صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ، وَلاَ مَشَيْتَ بِالْمُزْدَلِفَةِ، وَلاَ رَفَعْتَ مِنْهَا الْحَصَى، وَلاَ مَرَرْتَ بِالْمَشْعَرِ الْحَرَامِ».

ثُمَّ قَالَ لَهُ: «وَصَلْتَ مِنًى، وَ رَمَيْتَ الْجَمْرَةَ، وَ حَلَقْتَ رَأْسَكَ، وَ ذَبَحْتَ هَدْيَكَ، وَ صَلَّيْتَ فِيْ مَسْجِدِ الْخَيْفِ، وَ رَجَعْتَ إِلَى مَكَّةَ، وَطُفْتَ طَوَافَ الْإِفَاضَةِ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَنَوَيْتَ عِنْدَ مَا وَصَلْتَ مِنًى وَ رَمَيْتَ الْجِمَارَ، أَنَّكَ بَلَغْتَ إِلَى مَطْلَبِكِ، وَ قَدْ قَضَى رَبُّكَ لَكَ كُلَّ حَاجَتِكَ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَعِنْدَ مَا رَمَيْتَ الْجِمَارَ نَوَيْتَ أَنَّكَ رَمَيْتَ عَدُوَّكَ إِبْلِيْسَ وَغَضِبْتَهُ بِتَمَامِ حَجِّكَ النَّفِيْسِ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَعِنْدَ مَا حَلَقْتَ رَأْسَكَ نَوَيْتَ أَنَّكَ تَطَهَّرْتَ مِنَ الْأَدْنَاسِ، وَمِنْ تَبِعَةِ بَنِيْ آدَمَ، وَخَرَجْتَ مِنَ الذُّنُوْبِ كَمَا وَلَدَتْكَ أُمُّكَ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَعِنْدَ مَا صَلَّيْتَ فِيْ مَسْجِدِ الْخَيْفِ نَوَيْتَ أَنَّكَ لاَ تَخَافُ إِلاَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ وَ ذَنْبَكَ، وَلاَ تَرْجُوْ إِلاَّ رَحْمَةَ اللهِ تَعَالَى؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَعِنْدَ مَا ذَبَحْتَ هَدْيَكَ نَوَيْتَ أَنَّكَ ذَبَحْتَ حَنْجَرَةَ الطَّمَعِ بِمَا تَمَسَّكْتَ بِهِ مِنْ حَقِيْقَةِ الْوَرَعِ، وَأَنَّكَ اتَّبَعْتَ سُنَّةَ إِبْرَاهِيْمَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) بِذَبْحِ وَلَدِهِ وَ ثَمَرَةِ فُؤَادِهِ وَرَيْحَانِ قَلْبِهِ، وَ حَاجَّهُ سُنَّتُهُ لِمَنْ بَعْدَهُ، وَقَرَّبَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى لِمَنْ خَلْفَهُ؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَعِنْدَ مَا رَجَعْتَ إِلَى مَكَّةَ وَ طُفْتَ طَوَافَ الْإِفَاضَةِ نَوَيْتَ أَنَّكَ أَفَضْتَ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ تَعَالَى، وَرَجَعْتَ إِلَى طَاعَتِهِ، وَتَمَسَّكْتَ بِوُدِّهِ، وَأَدَّيْتَ فَرَائِضَهُ، وَتَقَرَّبْتَ إِلَى اللهِ تَعَالَى؟»، قَالَ: لاَ، قَالَ: لَهُ زَيْنُ الْعَابِدِيْنَ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) فَمَا وَصَلْتَ مِنًى وَلاَ رَمَيْتَ الْجِمَارَ، وَلاَ حَلَقْتَ رَأْسَكَ، وَلاَ أَدَّيْتَ نُسُكَكَ، وَلاَ صَلَّيْتَ فِيْ مَسْجِدِ الْخَيْفِ، وَلاَ طُفْتَ طَوَافَ الْإِفَاضَةِ، وَلاَ تَقَرَّبْتَ. اِرْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَحُجَّ».

فَطَفِقَ الشِّبْلِيُّ يَبْكِيْ عَلَى مَا فَرَّطَهُ فِيْ حَجِّهِ، وَ مَا زَالَ يَتَعَلَّمُ حَتَّى حَجَّ مِنْ قَابِلٍ بِمَعْرِفَةٍ
وَ يَقِيْنٍ.

‘Wahai Syiblî, apakah engkau telah melaksanakan ibadah haji?’

Ia menjawab, ‘Iya, wahai putra Rasulullah.’

Beliau bertanya, ‘Apakah engkau telah pergi ke mîqât, lalu kau lepaskan seluruh pakaianmu yang berjahit dan melakukan mandi?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau sampai di mîqât, apakah engkau telah berniat untuk menanggalkan baju kemaksiatan dan mengenakan baju ketaatan?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau menanggalkan pakaianmu yang berjahit, apakah engkau telah berniat untuk menanggalkan riya’, kemunafikan, dan melakukan hal-hal yang tidak jelas (syubhah)?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau melakukan mandi, apakah engkau telah berniat untuk mandi dari segala kesalahan dan dosa?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata, ‘Jika demikian, engkau belum pergi ke mîqât, belum menanggalkan pakaianmu yang berjahit, dan belum juga melakukan mandi.’

Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau telah membersihkan dirimu, melakukan ihram, dan mengikat niat melakukan haji?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau membersihkan dirimu, melakukan ihram, dan mengikat niat untuk melakukan haji, apakah engkau berniat ingin membersihkan dirimu dengan cahaya taubat yang murni hanya untuk Allah SWT?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau melakukan ihram, apakah engkau telah mengharamkan bagi dirimu segala sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah ‘Azza Wajalla?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau mengikat niat untuk melakukan haji, apakah engkau telah menguraikan setiap ikatan untuk selain Allah?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata kepadanya, ‘Ini berarti engkau belum membersihkan dirimu, belum melakukan ihram, dan belum pula mengikat niat untuk melakukan haji.’

Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau telah memasuki mîqât, mengerjakan salat dua rakaat untuk ihram, dan mengucapkan talbiah?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau memasuki mîqât, apakah engkau telah berniat untuk ziarah?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau mengerjakan dua rakaat salat, apakah engkau telah berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan terbaik, yaitu salat, dan dengan kebajikan para hamba yang teragung?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau mengucapkan talbiah, apakah engkau telah berniat dengan menyatakan kepada Allah untuk melakukan setiap ketaatan dan berpuasa dari setiap maksiat?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata, ‘Jika demikian, berarti engkau belum memasuki mîqât, belum mengerjakan salat, dan belum juga mengucapkan talbiah.’

Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau telah memasuki haram, melihat Ka‘bah, dan mengerjakan salat?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau memasuki haram, apakah engkau telah berniat untuk mengharamkan atas dirimu setiap ghibah dan menjelek-jelekkan para pengikut agama Islam?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau sampai di Mekkah, apakah engkau telah berniat untuk menuju Allah?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata, ‘Ini berarti engkau belum memasuki haram, belum melihat Ka‘bah, dan belum mengerjakan salat.’

Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau telah melakukan tawaf di sekeliling Baitullah, menyentuh Rukun-Rukun Baitullah, dan melakukan sa‘i?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau melakukan sa‘i, apakah engkau telah berniat untuk melarikan diri menuju kepada Allah dan niat ini sudah diketahui oleh Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata, ‘Ini berarti engkau belum melakukan tawaf di sekeliling Baitullah, belum menyentuh Rukun-Rukun Baitullah, dan belum juga melakukan sa‘i?’

Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau sudah mengusap Hajarul Aswad, berdiri di sisi Maqâm Ibrahim, dan mengerjakan salat di situ sebanyak dua rakaat?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Di sini beliau menjerit lirih seakan-akan hendak meninggalkan dunia ini. Setelah itu, beliau berkata, ‘Ah ... ah!’ Beliau melanjutkan, ‘Barang siapa mengusap Hajarul Aswad, ia telah berjabatan tangan dengan Allah. Perhatikanlah, hai orang miskin. Janganlah kamu menyia-siakan sesuatu yang kehormatannya besar dan janganlah kamu musnahkan jabatan tangan itu dengan penentangan dan melakukan hal-hal yang haram seperti yang biasa dilakukan oleh para pendosa.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau berdiri di sisi Maqâm Ibrahim, apakah engkau telah berniat untuk berdiri tegak di atas setiap ketaatan dan meninggalkan setiap kemaksiatan?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau mengerjakan salat sebanyak dua rakaat di situ, apakah engkau telah berniat untuk melakukan salat seperti salat Ibrahim as dan dengan salat itu engkau berniat ingin menghinakan setan?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata, ‘Ini berarti engkau belum mengusap Hajarul Aswad, belum berdiri di sisi Maqâm Ibrahim, dan belum juga mengerjakan salat di situ sebanyak dua rakaat.’

Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau telah memasuki sumur Zamzam dan meminum airnya?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Beliau bertanya, ‘Apakah engkau telah berniat untuk memasuki ketaatan dan menutup matamu dari kemaksiatan?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata, ‘Ini berarti engkau belum memasukinya dan belum juga meminum airnya.’

Kemudian beliau bertanya lagi kepadanya, ‘Apakah engkau telah melakukan sa‘i antara Shafa dan Marwah dengan melakukan perjalanan bolak-balik antara kedua bukit itu?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Beliau bertanya, ‘Apakah engkau telah berniat untuk selalu berada dalam kondisi takut dan berharap?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata, ‘Ini berarti engkau belum melakukan sa‘i antara Shafa dan Marwah dengan melakukan perjalanan bolak-balik antara kedua bukit itu.’

Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau telah keluar menuju Mina?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Beliau bertanya, ‘Apakah engkau telah berniat untuk menjamin keamanan manusia dari lidah, hati, dan tanganmu?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata, ‘Ini berarti engkau belum keluar ke Mina.’

Beliau bertanya, ‘Apakah engkau telah melakukan wukuf di Arafah, naik ke atas gunung Rahmah, mengenal lembah Namirah, dan berdoa kepada Allah SWT di Jumrah?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Beliau bertanya, ‘Apakah dengan wukuf di Arafah tersebut engkau telah mengetahui bahwa Allah SWT mengetahui seluruh ilmu dan pengetahuan? Apakah engkau mengetahui bahwa surat amalanmu berada di dalam genggaman-Nya dan bahwa Dia mengetahui segala yang berada di dalam pikiran dan hatimu?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau naik ke atas gunung Rahmah, apakah engkau telah berniat (baca: memahami) bahwa Allah mengucurkan rahmat atas setiap mukmin laki-laki dan perempuan dan membimbing setiap orang muslim laki-laki dan perempuan?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau berada di lembah Namirah, apakah engkau telah berniat untuk tidak akan memerintah (orang lain) kecuali jika engkau sendiri telah berhasil melaksanakan perintah (Allah) dan tidak akan melarang (orang lain) kecuali jika engkau sendiri telah berhasil melarang dirimu (dari bermaksiat kepada Allah)?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau melakukan wukuf di al-‘alam (tanda) dan dua lembah Namirah, apakah engkau berniat (baca: memahami) bahwa semua tempat itu menyaksikan seluruh ketaatanmu dan memeliharamu bersama para malaikat pemelihara dengan perintah Tuhan semesta alam?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata, ‘Ini berarti bahwa engkau belum melakukan wukuf di Arafah, belum naik ke atas gunung Rahmah, belum mengetahui lembah Namirah, dan belum juga berdoa dan melakukan wukuf di dua lembah Namirah.’

Kemudian beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau telah melalui dua tanda (al-‘alamain), telah mengerjakan dua rakaat salat sebelum melalui dua tanda itu, telah berjalan kaki menuju ke Muzdalifah dan mengumpulkan kerikil di situ, dan telah melalui Masy‘arul Haram?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau mengerjakan dua rakaat salat tersebut, apa engkau telah berniat bahwa salat itu adalah salat syukur pada malam kesepuluh yang dapat memusnahkan setiap kesulitan dan memudahkan setiap kemudahan?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau melewati antara dua tanda itu dan engkau tidak condong ke sisi kanan atau sisi kirinya, apakah engkau telah berniat untuk tidak menyimpang dari agama yang benar dan lebih condong ke kanan atau ke kiri, tidak dengan hatimu, tidak dengan lidahmu, dan tidak pula dengan anggota tubuhmu?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau berjalan kaki menuju ke Muzdalifah dan memilih kerikil di situ, apakah engkau telah berniat untuk membebaskan dirimu dari setiap kemaksiatan dan kebodohan dan mengambil keputusan untuk menetapkan ilmu dan amal (di dalam dirimu)?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau melalui Masy‘arul Haram, apakah engkau telah berniat untuk menghiasi hatimu dengan kepribadian orang-orang yang bertakwa dan dengan rasa takut kepada Allah ‘Azza Wajalla?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata, ‘Ini berarti engkau belum melalui dua tanda itu, belum mengerjakan dua rakaat salat, belum berjalan kaki menuju ke Muzdalifah, belum mengumpulkan kerikil, dan belum juga melalui Masy‘arul Haram.’

Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau telah sampai ke Mina dan melontar Jumrah, telah mencukur kepalamu, telah menyembelih binatang korbanmu, telah mengerjakan salat di masjid Khaif, dan telah kembali ke Mekkah dan melakukan tawaf Ifâdhah?’

Ia menjawab, ‘Iya.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau sampai di Mina dan melontar Jumrah, apakah engkau telah berniat (baca: memahami) bahwa engkau telah sampai kepada harapanmu dan Tuhanmu telah mengabulkan setiap hajatmu?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau melontar ketiga Jumrah tersebut, apakah engkau telah berniat untuk melempari musuhmu, Iblis dan membuatnya marah dengan seluruh ibadah hajimu yang sangat berharga itu?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau mencukur kepalamu, apakah engkau telah berniat untuk menyucikan dirimu dari segala kotoran dan dosa-dosa Bani Adam dan bahwa engkau telah keluar dari dosa-dosamu sebagaimana engkau dilahirkan oleh ibumu?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau mengerjakan salat di masjid Khaif, apakah engkau telah berniat untuk tidak akan takut kecuali kepada Allah dan dosamu dan tidak akan mengharapkan kecuali rahmat Allah SWT?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau menyembelih binatang kurbanmu, apakah engkau telah berniat untuk memotong leher ketamakan dengan berpegang teguh kepada hakikat wara‘ dan untuk mengikuti Ibrahim as yang telah rela menyembelih putranya, buah hati dan bunga wangi kalbunya, dan menjadikan hal ini sebagai sunah dan sarana untuk ber-taqarub kepada Allah bagi orang-orang yang akan datang?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau bertanya, ‘Ketika engkau kembali ke Mekkah dan melakukan tawaf Ifâdhah, apakah engkau telah berniat bahwa engkau telah berangkat dari rahmat Allah dan kembali kepada ketaatan-Nya, berpegang teguh kepada kecintaan-Nya, melaksanakan seluruh kewajiban-Nya, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT?’

Ia menjawab, ‘Tidak.’

Beliau berkata, ‘Ini berarti engkau belum sampai ke Mina, belum melontar ketiga Jumrah, belum mencukur kepalamu, belum melaksanakan manasik hajimu, belum mengerjakan salat di masjid Khaif, belum melakukan tawaf Ifâdhah, dan belum ber-taqarub kepada Allah. Kembalilah, karena engkau belum melakukan ibadah haji.’

Syiblî menangis lantaran keteledorannya dalam melaksanakan ibadah haji. Ia akhirnya belajar sungguh-sungguh, dan pada tahun berikutnya, ia melaksanakan ibadah haji dengan penuh pengetahuan dan keyakinan.”[94]

Mengkhatamkan Al-Qur’an

قَالَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «تَسْبِيحَةٌ بِمَكَّةَ أَفْضَلُ مِنْ خَرَاجِ الْعِرَاقَيْنِ يُنْفَقُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ»، وَ قَالَ: «مَنْ خَتَمَ الْقُرْآنَ بِمَكَّةَ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى رَسُوْلَ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) وَ يَرَى مَنْزِلَهُ فِي الْجَنَّةِ».

Imam Ali bin Husain as as-Sajjâd berkata, “(Pahala) membaca tasbih sekali di Mekkah adalah lebih utama daripada pajak Bashrah dan Kufah yang diinfakkan di jalan Allah.”

Beliau juga berkata, “Barang siapa mengkhatamkan Al-Qur’an di Mekkah, ia tidak akan meninggal dunia sehingga melihat Rasulullah saw dan melihat rumahnya di surga.”[95]

Meninggalkan Ka‘bah

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ مَكَّةَ وَ تَأْتِيَ أَهْلَكَ فَوَدِّعِ الْبَيْتَ وَ طُفْ بِالْبَيْتِ أُسْبُوْعًا».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Jika engkau ingin keluar dari Mekkah dan kembali pulang ke keluargamu, maka ucapkanlah selamat tinggal kepada Baitullah dan bertawaflah sebanyak tujuh kali.”[96]

Tanda Pengabulan

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «آيَةُ قَبُوْلِ الْحَجِّ تَرْكُ مَا كَانَ عَلَيْهِ الْعَبْدُ مُقِيْمًا مِنَ الذُّنُوْبِ».

Rasulullah saw bersabda, “Tanda terkabulnya haji seorang hamba adalah ia meninggalkan dosa yang selama ini selalu dilakukannya.”[97]

Cahaya Ibadah Haji

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «اَلْحَاجُّ لاَ يَزَالُ عَلَيْهِ نُوْرُ الْحَجِّ مَا لَمْ يُلِمَّ بِذَنْبٍ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Seorang haji akan senantiasa bergelimang dalam cahaya ibadah hajinya selama ia belum terkotori oleh dosa.”[98]

Niat Untuk Kembali

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةَ فَلْيَؤُمَّ هَذَا الْبَيْتَ، وَ مَنْ رَجَعَ مِنْ مَكَّةَ وَ هُوَ يَنْوِيْ الْحَجَّ مِنْ قَابِلٍ زِيْدَ فِيْ عُمُرِهِ».

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa menghendaki dunia dan akhirat, hendaknya ia mendatangi rumah ini, dan barang siapa kembali dari Mekkah dengan niat ingin melakukan ibadah haji pada tahun berikutnya, maka usianya akan ditambah.”[99]

Kesempurnaan Ibadah Haji

قَالَ الصَّادِقُ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «إِذَا حَجَّ أَحَدُكُمْ فَلْيَخْتِمْ حَجَّهُ بِزِيَارَتِنَا لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ تَمَامِ الحَجِّ».

Imam ash-Shâdiq as berkata, “Jika seseorang dari kamu melakukan ibadah haji, maka hendaknya ia menutup ibadah hajinya itu dengan berziarah kepada kami, karena hal itu adalah (syarat) kesempurnaan haji.”[100]

Berziarah Kepada Rasulullah Saw

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «مَنْ حَجَّ فَزارَ قَبْرِيْ بَعْدَ مَوْتِيْ كَانَ كَمَنْ زَارَنِيْ فِيْ حَيَاتِي».

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa melakukan ibadah haji dan menziarahi kuburanku setelah aku meninggal dunia, maka ia adalah seperti orang yang menziarahiku pada saat aku masih hidup.”[101]

Melakukan Ibadah Haji Bersama Rasulullah

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «إِنَّ زِيَارَةَ قَبْرِ رَسُوْلِ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) تَعْدِلُ حَجَّةً مَعَ رَسُوْلِ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) مَبْرُورَةً».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Sesungguhnya (pahala) berziarah ke makam Rasulullah saw adalah sama dengan satu ibadah haji mabrur yang dilakukan bersama Rasulullah saw.”[102]

Ziarah yang Disertai Cinta Kasih

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «مَنْ جَاءَنِي زَائِرًا لاَ يَعْمَلُهُ حاجَةً إِلاَّ زِيارَتِيْ، كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ».

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa datang berziarah kepadaku dan ia tidak memiliki hajat lain kecuali berziarah kepadaku, maka selayaknya aku memberikan syafaat kepadanya pada hari kiamat.”[103]

Tugas Para Malaikat

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «خَلَقَ اللهُ تَعَالَى لِيْ مَلَكَيْنِ يَرُدَّانِ السَّلاَمَ عَلى مَنْ سَلَّمَ عَلَىَّ مِنْ شَرْقِ الْبِلاَدِ وَ غَرْبِها، إِلاَّ مَنْ سَلَّمَ عَلَىَّ فِيْ دَارِيْ فَإِنِّيْ أَرُدُّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ بِنَفْسِيْ».

Rasulullah saw bersabda, “Allah SWT telah menciptakan dua malaikat untukku yang bertugas menjawab salam orang yang berada di timur dan barat dunia ini yang mengucapkan salam kepadaku, kecuali orang yang mengucapkan salam kepadaku di dalam rumahku. Akulah yang akan menjawab salamnya.”[104]

Mengerjakan Salat di Masjid Nabi Saw

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «صَلاَةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هَذَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ عَشَرَةَ آلاَفِ صَلاَةٍ فِيْ غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، فَإِنَّ الصَّلاَةَ فِيْهِ تَعْدِلُ مِائَةَ أَلْفِ صَلاَةٍ».

Rasulullah saw bersabda, “(Pahala) satu salat di masjidku ini di sisi Allah adalah sama dengan sepuluh ribu salat di masjid-masjid lain, kecuali Masjidil Haram, karena (pahala) satu salat di masjid ini adalah sama dengan seratus ribu salat.”[105]

Kebun Surga

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «مَا بَيْنَ قَبْرِيْ وَ مِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ، وَ مِنْبَرِيْ عَلَى تُرْعَةٍ مِنْ تُرَعِ الْجَنَّةِ».

Rasulullah saw bersabda, “Di antara makam dan mimbarku terdapat sebuah kebun (raudhah) dari kebun-kebun surga, dan mimbarku berdiri di atas sebuah jendela dari jendela-jendela surga.”[106]

Salam atas Fathimah

Yazîd bin Abdul Malik pernah mendengar dari ayahnya bahwa kakeknya berkata, “Aku pernah bertamu ke rumah Fathimah as. Beliau mengucapkan salam kepadaku. Setelah itu beliau bertanya, ‘Mengapa gerangan engkau datang ke sini?’

Aku menjawab, ‘Demi memohon berkah.’

Beliau menimpali,

«أَخْبَرَنِيْ أَبِيْ وَ هُوَ ذَا هُوَ أَنَّهُ مَنْ سَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَيَّ ثَلاثَةَ أَيَّام أَوْجَبَ اللهَ لَهُ الْجَنَّةَ».

‘Ayahku pernah memberitahukan kepadaku bahwa barang siapa mengucapkan salam kepadanya dan kepadaku selama tiga hari, maka Allah akan mewajibkan surga atasnya.’

Aku bertanya, ‘Pada waktu beliau dan Anda masih hidup?’

Beliau menjawab, ‘Iya, dan juga setelah kami meninggal dunia.’”[107]

Salam atas Para Imam

قَالَ أَبُوْ جَعْفَرٍ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) وَ نَظَرَ النَّاسَ فِي الطَّوَافِ قَالَ: «أُمِرُوْا أَنْ يَطُوْفُوْا بِهَذَا ثُمَّ يَأْتُوْنَا فَيُعَرِّفُوْنَا مَوَدَّتَهُمْ ثُمَّ يَعْرِضُوْا عَلَيْنَا نَصْرَهُمْ».

Imam Abu Ja‘far al-Bâqir as—ketika sedang melihat orang-orang sedang melakukan tawaf—berkata, “Mereka telah diperintahkan untuk bertawaf di sekeliling rumah ini. Kemudian, hendaknya mereka mendatangi kami untuk menyatakan kecintaan kepada kami dan mengikrarkan kesiapan mereka untuk menolong kami.”[108]

Mengirimkan Salam Kepada Para Syahid

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «إِنَّ فَاطِمَةَ (عَلَيْهَا السَّلاَمُ) كَانَتْ تَأْتِيْ قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ فِيْ كُلِّ غَدَاةِ سَبْتٍ فَتَأْتِيْ قَبْرَ حَمْزَةَ وَ تَتَرَحَّمُ عَلَيْهِ وَ تَسْتَغْفِرُ لَهُ».

Imam Abu Abdillah ash-Shâdiq as berkata, “Sayidah Fathimah selalu mendatangi kuburan para syahid pada setiap pagi hari Sabtu. Ia mendatangi kuburan Hamzah seraya memohonkan rahmat dan ampunan baginya.”[109]

Berziarah Kepada Para Imam

قَالَ الرِّضَا (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «إِنَّ لِكُلِّ إِمَامٍ عَهْدًا فيْ عُنُقِ أَولِيَائِهِ وَ شِيْعَتِهِ وَ إِنَّ مِنْ تَمَامِ الوَفَاءِ بالْعَهْدِ وَ حُسْنِ الْأَدَاءِ زِيَارَةُ قُبُوْرِهِمْ، فَمَنْ زَارَهُم رَغْبَةً فِيْ زِيَارَتِهِمْ و تَصْدِيْقًا بِمَا رَغِبُوْا فِيْهِ كَانَ أَئِمَّتُهُم شُفَعائَهُمْ يَوْمَ القِيامَةِ».

Imam ar-Ridhâ as berkata, “Sesungguhnya setiap imam memiliki sebuah janji di atas pundak seluruh pencinta dan pengikutnya dan menepati janji itu secara sempurna adalah dengan menziarahi kuburan mereka. Oleh karena itu, barang siapa menziarahi kuburan mereka dengan didorong oleh rasa kecintaan terhadap ziarah kepada mereka dan membenarkan rasa cinta tersebut, maka para imam itu akan memberikan syafaat kepadanya pada hari kiamat.”[110]

Mengerjakan Salah di Masjid Qubâ

قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ): «الصَّلاَةُ فِيْ مَسْجِدِ قُبَاءَ كَعُمْرَةٍ».

Rasulullah saw bersabda, “(Pahala) mengerjakan salat di masjid Qubâ adalah seperti (pahala) umrah.”[111]

Mengadakan Hubungan Baik Dengan Muslimin dari Negara Lain

زَيْدٌ الشَّحَّامُ عَنِ الصّادِق (عَلَيْهِ السَّلاَمُ)، أَنَّهُ قَالَ: «يَا زَيْدُ خَالِقُوا النَّاسَ بِأَخْلاَقِهِمْ، صَلُّوْا فِيْ مَسَاجِدِهِمْ وَ عُوْدُوْا مَرْضَاهُمْ وَ اشْهَدُوْا جَنَائِزَهُمْ وَ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَكُوْنُوا الْأَئِمَّةَ وَ الْمُؤَذِّنِيْنَ فَافْعَلُوْا، فَإِنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَالُوْا هَؤُلاَءِ الْجَعْفَرِيَّةُ، رَحِمَ اللهَ جَعْفَرًا مَا كَانَ أَحْسَنَ مَا يُؤَدِّبُ أَصْحَابَهُ وَ إِذَا تَرَكْتُمْ ذَلِكَ قَالُوْا هَؤُلاَءِ الْجَعْفَرِيَّةُ، فَعَلَ اللهَ بِجَعْفَر مَا كَانَ أَسْوَأَ مَا يُؤَدِّبُ أَصْحَابَهُ».

Zaid asy-Syahhâm meriwayatkan dari Imam ash-Shâdiq as bahwa beliau berkata, “Wahai Zaid, bergaullah dengan orang lain dengan akhlak yang bagus, kerjakanlah salat di masjid-masjid mereka, jenguklah orang-orang yang sakit di kalangan mereka, dan hantarkanlah jenazah-jenazah mereka. Jika memungkinkan bagimu, jadilah imam salat jamaah dan muazin mereka. Jika kamu melakukan hal ini, niscaya mereka akan berkata, ‘Mereka adalah pengikut mazhab Ja‘fariah. Semoga Allah melimpahkan rahmat atas Ja‘far. Alangkah baiknya ia mendidik para pengikutnya.’ Jika kamu tidak bertindak demikian, mereka akan berkata, ‘Mereka adalah pengikut mazhab Ja‘fariah. Semoga Allah memperlakukan Ja‘far seburuk-buruknya. Alangkah buruknya ia mendidik para pengikutnya.’”[112]

Menyambut Orang-Orang yang Telah Melakukan Ibadah Haji

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) قَالَ: «كَانَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ (عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ) يَقُوْلُ: يَا مَعْشَرَ مَنْ لَمْ يَحُجَّ اسْتَبْشِرُوا بِالْحَاجِّ وَ صَافِحُوْهُمْ وَعَظِّمُوْهُمْ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَجِبُ عَلَيْكُمْ، تُشَارِكُوْهُمْ فِي الْأَجْرِ».

Imam ash-Shâdiq as berkata, “Ali bin Husain as selalu berpesan, ‘Hai orang-orang yang belum melaksanakan ibadah haji, sambutlah orang yang telah melaksanakan ibadah haji dengan penuh bahagia, berjabatan tanganlah dengannya, dan agungkanlah dia. Karena hal ini adalah suatu kewajiban atasmu. Dengan demikian, kamu akan memiliki pahala seperti pahalanya.’”[113]

Pahala Membantu Keluarga Orang yang Berangkat Haji

قَالَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ): «مَنْ خَلَفَ حَاجًّا فِيْ أَهْلِهِ وَ مَالِهِ كَانَ لَهُ كَأَجْرِهِ حَتَّى كَأَنَّهُ يَسْتَلِمُ الْأَحْجَارَ».

Imam Ali bin Husain as berkata, “Barang siapa membantu mengurusi keluarga dan harta orang yang berangkat haji, ia akan memiliki pahala seperti pahalanya, dan sampai-sampai ia seperti telah mengusap batu-batu (Ka‘bah).”[114]

Selamat Atas Anda

عَنْ يَحْيَى بْنِ يَسَارٍ قَالَ: حَجَجْنَا فَمَرَرْنَا بِأَبِيْ عَبْدِ اللهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) فَقَالَ: «حَاجُّ بَيْتِ اللهِ وَ زُوَّارُ قَبْرِ نَبِيِّهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ) وَ شِيعَةُ آلِ مُحَمَّد هَنِيْئًا لَكُمْ».

Yahya bin Yasâr berkata, “Kami telah melakukan ibadah haji. Tiba-tiba kami berjumpa dengan Imam ash-Shâdiq as. Beliau berkata, ‘Orang yang telah melakukan haji ke rumah Allah, para penziarah kuburan Rasulullah saw, dan para pengikut keluarga Muhammad, selamat atas kamu.’”[115]

 


[1] Nahjul Balâghah, pidato ke-1.

[2] Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 11, hal. 15; Nahjul Balâghah, pidato ke-1.

[3] Nahjul Balâghah, pidato ke-1.

[4] Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 11, hal. 15; Nahjul Balâghah, pidato ke-1.

[5] Nahjul Balâghah, pidato ke-1.

[6] Bihâr al-Anwâr, jilid 75, hal. 183.

[7] Mustadrak Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 8, hal. 18; al-Mahajjah al-Baidhâ’, jilid 2, hal. 145.

[8] Al-Mahajjah al-Baidhâ’, jilid 2, hal. 145.

[9] Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 11, hal. 103; ‘Ilal asy-Syarâ’i‘, jilid 1, hal. 411.

[10] Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 11, hal. 110; Tahdzîb al-Ahkâm, jilid 5, hal. 23.

[11] Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jilid 2, hal. 620, hadis ke-3214.

[12] Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 11, hal. 109; Tsawâb al-A‘mâl, jilid 2, hal. 70.

[13] Sunan at-Tirmidzî, jilid 3, hal. 175, hadis ke-8190.

[14] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 262, hadis ke-2.

[15] Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jilid 2, hal. 235, hadis ke-287.

[16] Amâlî ash-Shadûq, hal. 301, hadis ke-342; Mustadrak Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 8, hal. 39.

[17] Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 4, hal. 116; Tuhaf al-‘Uqûl, hal. 123.

[18] Al-Khishâl, hal. 127; Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 14, hal. 586.

[19] Sunan an-Nasa’î, jilid 5, hal. 114.

[20] Al-Mu‘jam al-Kabîr, karya ath-Thabarânî, jilid 9, hal. 44, hadis ke-8336.

[21] Al-Haj wa al-‘Umrah fî Al-Qur’an wa al-Hadîts, hal. 325, hadis ke-325.

[22] Al-Kâfî, jilid 2, hal. 510, hadis ke-6.

[23] Musnad Imam Zaid, hal. 197.

[24] Al-Haj wa al-‘Umrah fî Al-Qur’an wa al-Hadîts, hal. 257, hadis ke-718.

[25] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 252, hadis ke-2.

[26] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 252, hadis ke-1.

[27] Al-Amâlî, karya Syaikh Shadûq, hal. 442; Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 11, hal. 145.

[28] Bihâr al-Anwâr, jilid 93, hal. 120.

[29] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 286, hadis ke-2.

[30] Sunan ad-Dâruquthnî, jilid 2, hal. 284.

[31] Tsawâb al-A‘mâl, jilid 74, hal. 16.

[32] Tahdzîb al-Ahkâm, jilid 5, hal. 21, hadis ke-59.

[33] Târîkh Baghdad, jilid 10, hal. 296; Al-Haj wa al-‘Umrah fî Al-Qur’an wa al-Hadîts, hal. 244, hadis ke-672.

[34] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 286, hadis ke-3.

[35] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 547, hadis ke-34.

[36] Tahdzîb al-Ahkâm, jilid 5, hal. 23, hadis ke-68.

[37] Tahdzîb al-Ahkâm, jilid 5, hal. 22.

[38] ‘Uyûn Akhbâr ar-Ridhâ, jilid 2, hal. 258; Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 12, hal. 314.

[39] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 337, hadis ke-3.

[40] Sunan Ibn Mâjah, jilid 2, hal. 975, hadis ke-2921.

[41] Mustadrak Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 9, hal. 177; Sunan ad-Dârimî, jilid 1, hal. 462, hadis ke-1755.

[42] ‘Awâlî al-La’âlî, jilid 2, hal. 84, hadis ke-227.

[43] QS. Ali ‘Imran [3]:96.

[44] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 226, hadis ke-1.

[45] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 586, hadis ke-1.

[46] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 401.

[47] Al-Amâlî, karya Syaikh ath-Thûsî, hal. 369; Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 5, hal. 282.

[48] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 524, hadis ke-1.

[49] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 527.

[50] Al-Wâfî, jilid 2, hal. 182.

[51] Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jilid 2, hal. 190; ‘Ilal asy-Syarâ’i‘, hal. 396 dan 398.

[52] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 240, hadis ke-4.

[53] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 240, hadis ke-5.

[54] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 240, hadis ke-3.

[55] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 240, hadis ke-2.

[56] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 271, hadis ke-4.

[57] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 229.

[58] Qurb al-Isnâd, hal. 139, hadis ke-496.

[59] Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jilid 2, hal. 520; al-Ghaibah, karya Syaikh ath-Thûsî, hal. 363

[60] Al-Haj wa al-‘Umrah fî Al-Qur’an wa al-Hadîts, hal. 102, hadis ke-185.

[61] Tahdzîb al-Ahkâm, jilid 5, hal. 103, hadis ke-33.

[62] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 427, hadis ke-1.

[63] Kanz al-‘Ummâl, jilid 5, hal. 54, hadis ke-12024.

[64] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 409, hadis ke-17.

[65] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 405, hadis ke-7.

[66] Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jilid 2, hal. 326, hadis ke-2580.

[67] Mustadrak Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 9, hal. 376; Târîkh Baghdad, jilid 5, hal. 369.

[68] Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jilid 2, hal. 202, hadis ke-2138.

[69] Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 5, hal. 256, hadis ke-15423.

[70] Sunan Abi Daud, jilid 2, hal. 179, hal. 188.

[71] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 428, hadis ke-8.

[72] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 241, hadis ke-1.

[73] Tahdzîb al-Ahkâm, jilid 5, hal. 20, hadis ke-57; Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jilid 2, hal. 202.

[74] Târîkh Dimasyq, jilid 41, hal. 380.

[75] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 545, hadis ke-26.

[76] Al-Mahâsin, jilid 2, hal. 399, hadis ke-2395; al-Kâfî, jilid 6, hal. 387.

[77] Al-Mahâsin, jilid 2, hal. 399, hadis ke-2394.

[78] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 210, hadis ke-14.

[79] Al-Haj wa al-‘Umrah fî Al-Qur’an wa al-Hadîts, hal. 107, hadis ke-199.

[80] Ilal asy-Syarâ’i‘,hal. 400.

[81] Al-Mu‘jam al-Kabîr, karya ath-Thabarânî, jilid 11, hal. 254, hadis ke-11873.

[82] Mustadrak Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 9, hal. 323; Tafsir al-Qomî, jilid 1, hal. 62.

[83] Ahkbâr Makkah, driwayatkan dari Riqqî, jilid 1, hal. 338.

[84] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 434, hadis ke-3.

[85] Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jilid 2, hal. 208, hadis ke-2168.

[86] ‘Ilal asy-Syarâ’i‘, jilid 1, hal. 432; Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 13, hal. 450.

[87] Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jilid 2, hal. 417, hadis ke-2854.

[88] Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 692, hadis ke-7111.

[89] Al-Mu‘jam al-Kabîr, karya ath-Thabarânî, jilid 11, hal. 45, hadis ke-11021.

[90] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 262, hadis ke-42.

[91] ‘Ilal asy-Syarâ’i‘, jilid 1, hal. 437; Kanz al-Fawâ’id, jilid 2, hal. 82.

[92] Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 14, hal. 166.

[93] Tahdzîb al-Ahkâm, jilid 5, hal. 243. hadis ke-823.

[94] Mustadrak Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 10, hal. 166.

[95] Tahdzîb al-Ahkâm, jilid 5, hal. 468. hadis ke-1640.

[96] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 530, hadis ke-1.

[97] Mustadrak Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 10, hal. 165.

[98] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 255, hadis ke-11.

[99] Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jilid 2, hal. 141, hadis ke-64.

[100] ‘Ilal asy-Syarâ’i‘, jilid 1, hal. 459.

[101] Al-Mu‘jam al-Awsath, karya ath-Thabarânî, jilid 3, hal. 351, hadis ke-3376.

[102] Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 14, hal. 335; Kâmil az-Ziyârât, hal. 47.

[103] Al-Mu‘jam al-Kabîr, karya ath-Thabarânî, jilid 12, hal. 225, hadis ke-13149.

[104] Kanz al-‘Ummâl, jilid 12, hal. 256, hadis ke-34929.

[105] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 556, hadis ke-11; Tsawâb al-A‘mâl, jilid 1, hal. 50.

[106] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 554, hadis ke-3.

[107] Tahdzîb al-Ahkâm, jilid 6, hal. 9, hadis ke-18.

[108] Mustadrak Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 10, hal. 189.

[109] Tahdzîb al-Ahkâm, jilid 1, hal. 465, hadis ke-168.

[110] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 567.

[111] Sunan at-Tirmidzî, jilid 2, hal. 145, hadis ke-324.

[112] Al-Wâfî, jilid 2, hal. 182; Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jilid 1, hal. 383.

[113] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 264, hadis ke-48.

[114] Al-Mahâsin, jilid 1, hal. 147, hadis ke-206; Wasâ’il asy-Syi‘ah, jilid 11, hal. 430.

[115] Al-Kâfî, jilid 4, hal. 549.

Read 6279 times