Setiap tahun di bulan Ramadhan, manusia memiliki peluang yang paling ideal untuk lebih membersihkan jiwa dan raganya. Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei terkait hal ini mengatakan, "Bulan Ramadhan peluang yang tepat untuk membentuk diri. Kita semua adalah bahan mentah, jika kita mampu membentuk bahan mentah ini menjadi bentuk yang unggul, maka kita telah melakukan hal yang semestinya dalam kehidupan ini. Ini adalah tujuan hidup."
Bulan Ramadhan, bulan membersihkan diri, bulan mensucikan jiwa, bulan melepaskan diri dari belenggu setan dan ketergantungan hewani, bulan yang siang dan malamnya paling mulia, bulan yang terbaik setiap jamnya. Di bulan Ramadhan, atmosfer spiritual terbuka lebar, sehingga manusia sibuk membenahi diri. Dengan mensucikan diri dan intropeksi terhadap diri, ia akan mampu melawan sifat-sifat buruk. Selama bulan Ramadhan menyepi dan munajat kepada Tuhan mencapai puncaknya dan ibadah individu serta massal untuk mencapai kesempurnaan semakin meningkat.
Tazkiyah an-Nafs merupakan pembahasan penting yang sangat ditekankan oleh al-Quran. Menurut perspektif al-Quran, jiwa manusia pada mulanya seputih kertas dan kosong, memiliki potensi untuk tetap suci dan bersih serta meraih kesempurnaan dan juga berpotensi tercemar. Keduanya terjadi dengan pilihan manusia.
Al-Quran di Surat al-Syams setelah 11 kali bersumpah, menyebut tazkiyah an-nafs sebagai satu-satunya faktor untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian seseorang serta dekadensi moral sumber kesengsaraan dan kerugian. Surat al-Shams ayat 9-10 menyebutkan, "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya."
Membangun dan menyucikan jiwa merupakan sebuah perkara yang diterima dan terpuji dalam pandangan syariat. Akan tetapi harus dikatakan bahwa titik mula pembangunan jiwa dan penyucian jiwa berbeda bagi setiap orang. Untuk nonmuslim tingkatan pertama adalah memeluk Islam. Para ulama Tasawuf dalam mengklasifikasi tingkatan ini, mengatakan bahwa titik-mula adalah Islam, kemudian iman dan pada tingkatan berikutnya adalah hijrah, dan setelah itu berjihad di jalan Allah.
Akan tetapi, terkait orang-orang yang telah memeluk Islam, beriman dan menjadi obyek ayat-ayat Alquran seperti pada ayat, Al-Nisa :136 bahwa tingkatan-tingkatan perdana penyucian jiwa bagi mereka adalah tanabbuh dan keterjagaan. Ia sepenuhnya sadar bahwa ia harus memulai dan membersihkan dirinya dari segala noda dan kotoran. Setelah tingkatan tanabbuh dan kesadaran ini, maka beranjak pada tingkatan taubat; artinya menebus segala sesuatu yang telah berlalu.
Menebus dan memenuhi hak-hak orang yang telah dilanggar. Serta menebus dan memenuhi hak-hak Tuhan yang belum tertunaikan atau yang ditinggalkan. Akan tetapi tingkatan taubat ini disertai dengan tekad. Bertaubat dari apa yang telah kita lakukan dan bertekad untuk mencapai apa yang ingin kita capai. Atas dasar ini, sebagian ulama menetapkan tingkatan taubat sebagai stasiun kedua dan sebagian lainnya memandang tekad (‘azam) sebagai tingkatan berikutnya setelah tingkatan tanabbuh.
Terkait dengan ‘azam adalah, bertekad untuk menjauhi maksiat dan mengerjakan segala kewajiban serta menebus segala yang telah ditinggalkan (segala yang telah lewat) dan bertekad untuk menjadikan segala yang lahir dan bentuknya sejalan dengan manusia berakal dan seiring dengan syariat Islam.
Tingkatan selanjutnya adalah menjauhi maksiat dan mengerjakan segala kewajiban sepanjang hidup. Karena itu dalam tingkatan ini seluruh kewajiban Ilahi harus ditunaikan berdasarkan ilmu yang kita miliki.
Meninggalkan segala yang haram juga berdasarkan kadar pengetahuan yang kita miliki tentang hal-hal yang haram. Masalah ini akan menjadi penyebab Tuhan menganugerahkan berbagai macam pengetahuan kepada kita. Sehingga dengan perantara jalan ini, kita dapat meraup kemajuan dalam mengayunkan langkah di jalan Ilahi.
Tazkiyah an-Nafs artinya membersihkan dan berkembang. Bulan Ramadhan termasuk program pendidikan efektif dan mendidik Islam serta penyempurna manusia yang akan memajukan kebaikan dan keutamaan manusia. Sejak dahulu puasa menjadi sarana membentuk diri dan berinteraksi dengan alam universal. Menurut urafa (arif) dan orang bijak, Ramadhan landasan bagi makrifat dan hikmah.
Puasa di seluruh agama memiliki arti menahan diri. Manusia dengan ibadah ini diseru untuk mengenal Tuhan, membersihkan diri dan memperkuat tekad. Allamah Syahid Murtadha Muthahhari terkait hal ini menulis, programnya dalah manusia yang cacat di bulan ini akan menjadi manusia sehat, sementara manusia sehat akan menjadikan dirinya sempurna. Agenda bulan Ramadhan adalah tazkiyah an-Nafs, memperbaiki kepribadian dan menghapus segala bentuk kekurangan. Agenda akal, iman dan kehendak untuk mengalahkan syahwat nafsani. Bulan Ramadhan, bulan menuju Tuhan dan meningkatkan jiwa. Jika manusia di bulan ini harus menahan makan dan minum selama tiga puluh hari, tapi tidak ada perbedaan dengan sebelumnya, maka puasa seperti ini tidak ada manfaatnya bagi dirinya."
Allamah Muthahhari menyimpulkan bahwa puasa sebuah amalan ibadah dan pembina jiwa manusia. Jika puasa dilakukan dengan pemahaman yang benar dan dengan memperhatikan kondisi khusus, makan akan diraih hasil yang bernilai dari sisi spiritual, moral, sosial dan ekonomi bagi seseorang ataupun masyarakat.
Al-Quran menyebut hasil terbaik puasa adalah takwa. Takwa yakni menjahui dosa dan takwa dihasilkan melalui tazkiyah nafs. Takwa tak ubahnya pelita yang menerangi jalan manusia dan menyelamatkannya dari ombak mematikan pemberontakan. Menurut wasiat Rasulullah Saw kepada Abu Dzar, takwa sumber seluruh kebaikan.
Para pemuka agama menilai takwa sebagai tangga bagi kesempurnaan manusia dan untuk itu diperlukan kontrol terhadap nafs. Mengingat puasa membuat manusia mampu mengalahkan nasfu, maka dengan sendirinya puasa menjadi sarana penting untuk meraih keutamaan takwa.
Di riwayat disebutkan bahwa jiwa yang mengalami polusi akan mencegah manusia mencapai kesempurnaan dan berkah Ilahi. Di sisi lain, tazkiyah dan penyucian diri merupakan syarat untuk mendapat rahmat Ilahi.
Ketika manusia mengawasi perilakunya, maka hal ini menjadi peluang yang tepat baginya untuk memiliki kecenderungan melakukan perbuatan baik dan berperilaku yang benar sehingga tidak memicu kemarahan Tuhan.
Mereka yang meyakini bahwa Tuhan Maha Mengetahui dan Mengawasi segala urusan, maka ia akan berusaha meninggalkan perbuatan buruk dan melakukan perbuatan baik.