Abdul Karim atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Abi al-Auja' di hari lain kembali mendatangi Imam Shadiq as untuk berdialog. Tapi ketika tiba, ia melihat ada sekelompok orang tengah mengelilingi beliau. Dengan tenang ia mendekati Imam Shadiq as dan duduk diam menyaksikan apa yang tengah terjadi.
Tiba-tiba Imam Shadiq as berkata, "Tampaknya engkau datang lagi untuk membicarakan kembali sebagian masalah yang kita bahas sebelumnya."
Ibnu Abi al-Auja' menjawab, "Benar, saya datang dengan alasan ini, wahai anak Nabi!
Imam Shadiq as berkata kepadanya, "Aku benar-benar takjub tentang engkau, bagaimana bisa engkau mengingkari Tuhan. Tapi pada saat yang sama engkau mengakui bahwa aku adalah anak Nabi dengan ucapanmu itu."
Ibnu Abi al-Auja' menjawab, "Kebiasaan. Hanya kebiasaan yang membuatku mengatakan demikian."
"Lalu mengapa engkau terdiam," tanya Imam.
Ibu Abi al-Auja' berkata, "Keagungan dan wibawamu yang membuat lisanku tidak mampu membantuku menghadapi Anda. Saya banyak melihat ilmuwan dan orator serta berbicara dengan mereka, tapi tidak ada yang pernah membuatku merasa minder. Sebaliknya, keagunganmu begitu membuatku minder."
"Bila engkau diam, maka biarlah aku yang berbicara," kata Imam.
Setelah itu Imam Shadiq bertanya kepadanya, "Apakah engkau ini diciptakan atau tidak?"
Ibnu Abi al-Auja' menjawab, "Saya tidak dibuat dan diciptakan."
Baiklah, kata Imam. Sekarang tolong katakan, "Bila Engkau dibuat atau diciptakan, maka bentukmu seperti apa?"
Untuk beberapa waktu Ibu Abi al-Auja' tertunduk dan memainkan kayu yang berada di tangannya. Kemudian ia mulai menjelaskan sifat-sifat benda yang dibuat; memiliki panjang, lebar, dalam, pendek, bergerak, tidak bergerak, dan sejumlah sifat lainnya.
Imam kembali berkata, "Bila untuk sesuatu yang dibuat atau dicipta, hanya sifat-sifat ini yang engkau ketahui, maka dengan sendirinya engkau juga sesuatu yang dibuat. Engkau harus mengakui bahwa engkau dibuat. Karena seluruh sifat-sifat yang engkau sebutkan itu juga terdapat dalam dirimu."
Ibnu Abi al-Auja' berkata, "Pertanyaan yang engkau ajukan kepadaku belum pernah ditanyakan seorangpun sebelum ini, dan di masa depan pun aku yakin tidak akan ada orang yang akan bertanya kepadaku."
Imam Shadiq as berkata, "Kita asumsikan bahwa sebelum ini belum pernah ada orang yang bertanya semacam ini kepadamu, tapi dari mana engkau tahu bahwa di masa depan ada orang yang akan menanyakan pertanyaan ini kepadamu?" Pada waktu itu engkau akan menarik kembali ucapanmu. Karena engkau berkeyakinan semua; baik masa lalu, sekarang dan akan datang setara. Dengan demikian, bagaimana engkau mendahulukan satu dan mengakhirkan yang lain, sementara dalam ucapanmu engkau membawakan tentang masa lalu dan masa depan."
Imam menambahkan, "Wahai Abdul Karim! Aku ingin lebih banyak menjelaskan kepadamu. Bila saat ini engkau punya kantung uang yang penuh dengan logam emas dan seseorang berkata kepadamu bahwa di dalam kantung ini terdapat banyak logam emas. Engkau menjawabnya bahwa dalam kantung ini tidak terdapat apa-apa. Ia akan berkata kepadamu, "Coba tolong definisikan apa itu logam emas." Bila engkau tidak mengetahui ciri-ciri logam emas, maka engkau dapat berkata tanpa mengetahui bahwa emas tidak ada di dalam kantung ini."
Ibnu Abi al-Auja' berkata, "Tidak, bila saya tidak tahu, maka saya tidak dapat mengatakan tidak ada."
Imam kemudian berkata, "Bila engkau berpikir demikian, lalu bagaimana dengan dunia yang sedemikian luas? Dunia yang luasnya tidak dapat dibandingkan dengan apa yang ada di dalam kantung itu. Baiklah, sekarang aku akan bertanya kepadamu, "Apakah mungkin di dunia yang luas ini ada sesuatu yang dibuat dan diciptakan? Karena engkau tidak mengetahui ciri-ciri sesuatu yang diciptakan dari yang tidak diciptakan."
Ketika Imam berkata demikian, Ibnu Abi al-Auja' hanya bisa terdiam dan tidak dapat berpikir apa-apa. Sebagian dari orang-orang yang punya pemikiran sama dengannya kemudian masuk Islam dan sebagian lainnya tetap dalam kekufurannya. (IRIB Indonesia / SL)