Imam Husein keluar dari Madinah saat malam tiba. Mengingat ancaman teror yang ada, akhirnya Imam Husein memilih Mekah sebagai tujuannya. Selama perjalannya ini, Imam membawa seluruh keluarganya, karena jika beliau meninggalkan Madinah tanpa keluarganya, maka Yazid akan menggunakan keluarganya untuk menekan cucu Rasulullah ini.
Setiap perilaku dan tindakan para Imam maksum merupakan lautan nasehat seperti mutiara berharga. Salah satu sirah terindah para Maksum adalah sikap mereka terhadap keluarganya. Cara berliau bersikap terhadap istri dan anak-anaknya dapat menjadi pembuka simpul banyak kesulitan dan kendala yang dihadapi manusia serta masyarakat.
Imam Husain dengan tingkatan tinggi irfan dan derajatnya yang tinggi di sisi Tuhan, tidak pernah menolak untuk mengungkapkan kecintaannya kepada istri serta anak-anaknya. Sebuah syair terkenal dari Imam Husain terkait istrinya, Rabab dan putrinya Sakinah banyak diriwayatkan oleh para sahabat. Syair ini menyebutkan, “Aku mencintai rumah yang dihuni oleh Sakinah dan Rabab. Aku mencintai keduanya. Aku akan menyerahkan seluruh hartaku demi kecintaanku. Selama hidupku Aku tidak pernah bersedia menerima celaan orang, kecuali Aku terkubur di tanah.”
Sebaliknya Rabab, pasca syahadahnya Imam Husain melantunkan syair, “Wahai cahaya yang menerangiku, Kini terbujur di Karbala tanpa dikubur, Bagiku kamu adalah gunung kokoh yang menjadi tempat perlindunganku. Kamu memperlakukan kami dengan penuh rahmat. Setelah dirimu, siapa yang menyantuni anak yatim, siapa yang memenuhi kebutuhan orang miskin, siapa menjadi tempat perlindungan kaum papa.” Unsur kecintaan, kebaikan dan persahabatan juga ditunjukkan oleh Sakinah.
Imam Husain memiliki perhatian khusus terhadap keinginan dan kecantikan istrinya. Hal ini terkadang mendorong para sahabatnya mengkritik beliau. Namun begitu Imam Husain menghormati keinginan alami dan tak berlebihan istrinya serta memberikan pelajaran hidup kepada pengikutnya. Di sebuah riwayat disebutkan, sekelompok orang mendatangi Imam Husain. Ketika masuk mereka memandang peralatan rumah Imam terlalu indah. Kemudian mereka berkata, Wahai anak Rasulullah! Kami menyaksikan sesuatu di rumahmu yang tidak menyenangkan kami. Imam berkata, istri-istri kami membeli sesuatu dengan maharnya dan sesuai dengan seleranya. Apa yang kamu saksikan bukan dari kami.
Melalui jawaban ini, Imam Husain ingin menunjukkan kepada pengikutnya bahwa memperhatikan spirit dan keinginan tak berlebihan istri merupakan kelaziman kehidupan serta memperkokoh sebuah keluarga. Di hari kesepuluh bulan Muharram (Asyura), ketika berperang, Imam Husain tidak pernah melupakan keluarganya yang berada di kemah. Di tengah-tengah peperangan, Imam menyempatkan diri untuk menjenguk mereka serta menenangkannya serta menyeru mereka untuk bersabar.
Di hari Asyura, ketika mengucapkan perpisahan, Sukainah, putri Imam Husain menangis dan Imam pun merangkul putri tercintanya tersebut, menciumnya dan menghapus air matanya. Kemudian Imam melantunkan Syair, Wahai Sukainah! Setelah kesyahidanku kamu akan sering menangis. Jangan kamu bakar hati kami dengan penyesalan melalui air matamu, selama hayat masih di kandung badan. Ketika aku meninggal, kamu akan menjadi orang paling dekat dengan tubuhku. Maka saat itu menangislah sepuasmu.
Imam Husain hanya memiliki dua jalan, membaiat Yazid yang berlumuran dosa sebagai khalifah umat Islam atau terbunuh. Imam kemudian meninggalkan Madinah di tengah malam menuju Mekah, kota yang dijanjikan Tuhan sebagai kota aman. Namun ternyata di kota tersebut, Imam juga terus mendapat ancaman teror. Takut kesucian Mekah ternoda dengan pembunuhan terhadap dirinya, Imam akhirnya meninggalkan Mekah menuju Kufah. Selama perjalanannya ini, Imam membawa seluruh keluarganya karena takut Yazid akan menyandera mereka untuk menekan dirinya. Oleh karena itu, Imam Husain melindungi seluruh keluarnya dengan segenap raganya dan tidak pernah berpisah dengan mereka.
Warga Syam mengenal Islam melalui sosok seperti Muawiyah. Anak Abu Sufyan ini memerintah Syam sekitar 42 tahun dan salama periode tersebut, ia mendidik warga tanpa kesadaran atas agama. Akhirnya yang muncul adalah sebuah komunitas yang sangat patuh terhadap Muawiyah. Mereka akan melakukan apa saja demi dirinya dengan membabi buta. Warga Syam saat itu sangat jauh dari Islam sebenarnya.
Kemegahan di istana Muawiyah, penggelapan uang rakyat, pembangunan gedung dan istana megah, pembuangan, penjara atau pembunuhan para penentang penguasa merupakan hal biasa bagi warga Syam. Bahkan mereka menganggap hal seperti ini juga terjadi di zaman Rasulullah dan pemerintahan Islam. Oleh karena itu, pemerintah Bani Umayyah dengan mudah berhasil menyelewengkan kebangkitan Imam Husain dan syahadahnya cucu Rasulullah ini. Sebagian dari mereka bahkan berani berbohong terkain gugurnya Imam Husain dan mengatakan, Husain meninggal akibat penyakit paru-paru basah.
Di kondisi seperti ini, seorang pria saat menyaksikan konvoi tawanan keluarga Rasulullah di Damaskus berkata kepada Imam Sajjad, “Kami bersyukur kepada Allah yang membunuh, menghancurkan kalian dan membebaskan kaum lelaki kami dari kejahatan kalian! Mendengar perkatan pria tersebut, Imam berhenti sejenak dan kemudian membacakan ayat 33 Surat al-Ahzab yang artinya “...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” dan kemudian berkata, ayat ini turun berkenaan dengan kami. Saat itulah pria tersebut memahami apa yang ia ketahui tentang tawanan ini tidak benar. Mereka bukan orang asing, namun anak dan keturuan Rasulullah. Kemudian ia menyesal atas perkataannya dan bertaubat.
Dengan demikian melalui khutbah dan perkataan keluarga Imam Husain dan pencerahan Imam Sajjad serta Sayidah Zainab, penyelewengan dan penyesatan selama beberapa tahun Bani Umayyah, bahkan di Syam yang menjadi pusat pemerintahan mereka, berhasil digagalkan.
Ia masih sangat muda, memiliki semangat penuh dan bahkan belum mencapai usia balig. Ketika Imam Husain di malam Asyura mengabarkan kesyahidan pengikut dan sahabtnya, Qasim mendatangi Imam dan berkata, Wahai Pamanku! Apakah besok aku juga akan syahid. Imam Husain kemudian merangkulnya dan berkata, Anakku! Bagaimana kamu memandang kematian. Qasim berkata, lebih manis dari madu. Imam yang mendengar jawaban keponakannya tersebut sangat gembira dan berkata, kamu akan terbunuh dan Ali Asghar pun akan syahid.
Qasim di hari Asyura menyiapkan diri untuk berperang dan pedangnya pun tak lupa ia bawa. Namun mengingat usinya yang masih belia dan postur tubuhnya pun tidak tinggi, pedang tersebut masih menyentuh tanah dan meninggalkan garis ketika ia berjalan. Imam Husain kemudian mengikat beberapa kali sarung pedang Qasim supaya tidak menyentuh tanah. Kemudian Imam merangkul keponakannya tersebut sambil menangis. Saat itu, Qasim meminta ijin turun ke medan laga. Sambil merangkul keponakannya, Imam tidak mengijinkannya untuk berperang. Namun karena desakan Qasim, akhirnya Imam mengijinkannya untuk berperang.
Qasim kemudian turun ke medan perang dan seperti tradisi perang saat itu, ia pun mulai mengenalkan dirinya dan berkata, Wahai musuh Allah! Kalian tidak mengenaliku, Aku adalah putra Hasan bin Ali bin Abi Talib. Pria yang tengah kalian kepung adalah pamanku, Husain bin Ali. Di medan perang Qasim berperang dengan gagah berani. Di medan perang ia mencerminkan keberanian ayahnya, Hasan bin Ali.
Hamid bin Muslim, salah satu tentara meriwayatkan, dari kemah Husain muncul seorang remaja ke medan perang, wajahnya bersinar bak purnama. Ia memegang pedang di tangannya dan memakai pakaian kebesaran. Umar Azdi mengatakan, Aku bersumpah bahwa sangat sulit memerangi remaja ini. Aku berkata, aneh! Apa yang kamu lakukan di usia remaja seperti ini. Aku bersumpah, jika ia memukulku, aku tidak akan memiliki kesempatan untuk membalas. Aku kemudian berkata, biarkan ia terus berada dikepungan, hingga ia terbunuh.
Umar Saad berkata, Aku bersumpah harus menyerangnya (Qasim). Saat itu Qasim tengah sibuk berperang dan tidak memperhatikan niat serta serangan menyelinap Umar Saad. Kemudian Umar menyerangnya dengan sengit dan memukul kepala Qasim. Qasim pun jatuh ke tanah dan berteriak, Paman! Ketika Imam Husain mendengar panggilan keponakannya tersebut, tanpa ragu-ragu Imam melesat ke medan pertempuran. Imam Husain duduk di samping Qasim dan memeluk kepalanya, saat itu Imam berkata, Aku bersumpah! Sangat sulit bagi pamanmu ini ketika mendengar panggilannya, namun tidak dapat memenuhi panggilanmu, atau jika pun dapat memenuhi panggilanmu, namun saat itu sudah tidak berguna bagimu. Imam Husain merangkul jenazah Qasim dan membawanya ke kemah. Imam membaringkan jenazah Qasim di samping Ali Akbar.