Derajat keridhoan dari Allah merupakan salah satu derajat tertinggi yang dapat diraih manusia melalui pengenalan sempurna akan pencipta, hikmah dan rahamat-Nya. Tak hanya itu, derajat ini juga membutuhkan pengenalan sempurna akan dunia dan hakikatnya. Adapun Karbala adalah manifestasi dari kerdihoan manusia akan ketentuan (qadha) Tuhan.
Imam Sadiq as bersabda, “Bacalah surat al-Fajr di shalat wajib dan sunnah, karena surat ini berkenaan dengan Husain bin Ali as. Kalian juga harus memiliki kecintaan lebih terhadap surat ini.” Salah satu sahabat Imam bertanya, Bagaimana surat ini khusus berkenaan dengan Imam Husain? Imam Sadiq berkata, Apakah kamu tidak tahu bahwa di akhir surat al-Fajr Allah berfirman “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku”. Husain adalah pemilik jiwa yang tenang, ia ridho kepada Allah dan Allah pun ridho kepadanya. Sementara para sahabatnya dan keluarga Nabi lainnya juga ridho kepada Allah.
Imam Husain sejak awal perjalanannya ketika keluar dari Madinah, terlebih dahulu berziarah ke makam kakeknya, Rasulullah Saw dan setelah shalat beliau berdoa, “Ya Allah! Atas nama orang yang dimakamkan di kuburan ini, tentukan jalan bagiku yang Kamu ridhoi dan Rasulullah pun ridho jalan tersebut. Selama perjalananya tersebut Imam Husain hanya memikirkan jalan yang dirihoi Tuhan. Ketika menuju Karbala dari Mekkah, Imam Husain di depan sahabatnya menyampaikan pidato dan mengisyaratkan akhir dari perjalannya ini, bahwa ia dan para sahabatnya akan gugur. Imam berkata, keridhoan Tuhan adalah keridhoan kami Ahlul Bait.
Sesorang mengirim surat kepada Imam Husain dan bertanya, “Kebaikan dunia dan akhirat terletak di mana? Imam menjawab, “Mereka yang mengharap keridhoan Tuhan meski manusia membenci mereka. Allah akan menganggap cukup hubungan orang tersebut dengan manusia lain dan siapa saja yang berani melanggar ketentuan Allah demi meraih keridhoan manusia, maka Allah akan membiarkannya di tengah masyarakat.”
Farazdaq, penyair ulung Arab berkata, Aku bertemu dengan Imam Husain di dekat Mekkah, Imam kemudian bertanya tentang kondisi warga Kufah. Aku berkata, Wahai tuanku! Hati-hari mereka bersamamu, namun pedang mereka melawanmu. Imam Husain berkata, benar apa katamu, segala sesuatu ada di tangan Allah. Jika qadha dan ketentuan Allah sesuai dengan apa yang kita inginkan, maka kita akan bersyukur atas nikmat tersebut dan kami akan meminta pertolongan-Nya untuk menunaikan rasa syukur tersebut. Adapun jika ketentuan Allah tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, mereka yang niatnya benar dan benar-benar bertakwa tidak akan jauh dari keridhoan Allah dan tidak pula akan rugi.
Di detik-detik akhir usianya dan ketika sendirian serta kehausan dan badannya penuh dengan luka, Imam Husain as jatuh dari kudanya dan berkata, “Ya Allah! Kerelaanku sesuai dengan keridhoanku dan Aku berserah diri terhadap perintah-Mu.
Karbala manifestasi keridhoan manusia terhadap ketentuan Allah. Oleh karena itu, Sayidah Zainab setelah mengalami berbagai penderitaan dan kesedihan berpisah dengan orang yang dicintainya, berkata kepada kriminal terbesar dunia yang berencana menghina dan melecehkannya. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak menyaksikan sesuatu di Karbala kecuali keindahan dan apa yang saksiksan seluruhnya indah.
Dalam dialog antara Sayyidah Zainab dan Ibn Ziyad disebutkan bahwa saat itu Ibn Ziyad bertanya kepada putri Imam Ali as ini, ”Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah Allah lakukan terhadap saudara dan keluargamu?” Sayyidah Zainab berkata, “Aku tidak melihat ketentuan Allah kecuali Indah. Mereka adalah sekelompok orang yang telah di taqdirkan oleh Allah untuk mati terbunuh. Mereka pun bergegas menuju kematian itu. Allah kelak akan mempertemukanmu dengan mereka. Kelak kau akan dihujani pertannyaan dan disudutkan. Lihatlah, siapa pemenang hari itu! Semoga ibumu memakimu, hai anak Marjanah!”
Musibah datang menimpa hamba-hamba pilihan Allah. Ada riwayat mengatakan “Musibah diperuntukkan bagi para kekasih Allah." Sehingga dapat dikatakan, tiada musibah yang menimpa kaum pria seperti musibah yang menimpa Imam Husain as. Dan tiada musibah yang menimpa kaum wanita seperti musibah yang menimpa Sayyidah Zainab. Rasulullah saw. bersabda, ”Siapa saja yang menangisi musibah yang menimpa anak gadis ini (Zainab), maka ia seperti orang yang menangisi musibah yang menimpa dua orang saudaranya (Hasan dan Husain).
Perawi berkata: Demi Allah, aku masih ingat bagaimana Zainab bin Ali meratapi Al-Husain as dan menjerit dengan suara parau dan hati yang hancur. “Oh Muhammad! Salam sejahtera dari Tuhan penguasa langit untukmu. Lihatlah! Ini Husainmu tengah terbujur kaku di alam terbuka dengan tubuh bersimbah darah. Badannya terpotong-potong. Oh sungguh malang! kini putri-putrimu menjadi tawanan musuh Allah. Hanya kepada Allah dan RasulNya, Muhammad Mustafa, Ali Murthada, Fatimah Zahra, dan Hamzah Sayyidusy Syuhada, kuadukan penderitaan ini.
Wahai Muhammad! Ini Husainmu, terbaring di alam terbuka, menjadi sasaran terpaan angin timur. Inilah korban kebiadaban anak-anak sundal. Oh malangnya! Betapa beratnya penderitaan yang kau alami, Wahai Abu Abdillah. Hari ini adalah hari kematian kakekku Rasullulah saw.
Dua Putra Sayyidah Zainab syahid di karbala, sehingga ia dapat merasakan kepedihan yang dirasakan para syuhada karbala dan saudra tercintanya Husain as. Diriwayatkan bahwa di hari Asyura, Sayyidah Zainab mempersiapkan dua putranya, Aoun dan Mohammad ke medan perang. Beliau dengan tangannya mengenakan pakaian baru dan bersih kepada anak-anaknya, mempersiapkan pedang dan tameng. Kemudian Sayyidah Zainab membawa anak-anaknya ke hadapan Imam Husain dan meminta ijin bagi mereka untuk turun ke medan laga membela cucu Rasulullah.
Awalnya Imam Husain tidak bersedia memberi ijin, namun Sayyidah Zainab bersikeras dan akhirnya imam pun memeri ijin kepada keponakannya tersebut. Dengan tangannya sendiri Sayyidah Zainab melepas buah hatinya ke medan perang. Dua bersaudara ini bahu membahu berperang dengan musuh. Keduanya tampil gagah berani membantai musuh Allah dan Rasul-Nya, hingga Mohammad meneguk cawan syahadah. Menyaksikan saudaranya gugur, Aoun berdiri di sampingnya dan berkata, “Sabar sedikit saudaraku, aku akan menyusulmu.”
Aoun pun melanjutkan pertempuran hingga menyusul saudaranya bergabung dengan kakek dan keluarganya di surga. Imam Husain dengan penuh kesedihan merangkul jenazah dua remaja dan keponakannya tersebut serta membawanya ke kemah. Para wanita Ahlul Bait keluar menyambut dua jenazah syuhada Karbala, namun anehnya Sayyidah Zainab tetap berada di dalam kemah dan tidak keluar menyambut jenazah anaknya. Hal ini karena beliau takut, Imam Husain malu melihat kondisi dirinya dan tidak mampu memberi jawaban.
Dalam rombongan tawanan, Zainab bertindak sebagai penanggung jawab rombongan. Dia berusaha sedapat mungkin menyediakan segala kebutuhan kaum wanita dan anak-anak. Sayyidah Zainab menghibur mereka dalam setiap kesulitan, seperti kelaparan, kehausan dan mengalami tindakan pemukulan.
Sayyidah Zainab mulai dari awal hingga akhir memandang peristiwa Asyura sebagai keindahan. Khutbah Imam Husain, ungkapan loyalitasn para pengikut cucu Rasulullah ini, malam yang penuh dengan untaian doa dan bacaan al-Quran semuanya menunjukkan penghambaan tinggi dan derajat keridhoan (maqom ridho).
Darah suci tertumpah di Karbala dan sendi-sendi kelaliman hancur. Mereka yang menciptakan tragedi Karbala berpikir bahwa dengan membantai Ahlul Bait Nabi dan para penyeru kebenaran, akan dapat mencapai ambisinya. Namun dalam pandangan Sayyidah Zainab justru mereka telah mengungkap esensinya sendiri dan membuat citra Ahlul Bait semakin gemilang serta namanya menjadi abadi.
Kendati beliau harus kehilangan kakak yang amat dicintainya, anggota keluarga, sanak famili dan sahabat-sahabat setianya namun pada tragedi Karbala yang sangat memilukan hati itu, Sayyidah Zainab sa berkata: “Ya Allah, hamba bersabar atas segala ketentuan-Mu”. Setelah kesyahidan Imam Husain as beserta pasukannya yang berjumlah sangat sedikit itu dan rombongan tawanan akan diarak ke Kufah, beliau sempat berkata kepada Sang Kekasih sejatinya dengan ungkapan: “Ya Allah, terimalah persembahan ini dari kami”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa Sayyidah Zainab berada di maqom ridho dan menerima segala takdir dan qadha Allah Swt.