Hari-hari Fatimiyyah adalah sebuah momen yang diisi oleh para pengikut Syiah dengan acara duka untuk mengenang hari kesyahidan Sayidah Fatimah az-Zahra as.
Tanggal kesyahidan Sayidah Fatimah tidak diketahui secara jelas dan ada perbedaan riwayat mengenai hal ini. Di Iran, ada dua hari berkabung untuk memperingati syahadah wanita mulia ini yaitu tanggal 13 Jumadil Awal dan 3 Jumadil Akhir. Hari-hari ini disebut dengan hari-hari Fatimiyah pertama dan Fatimiyah kedua.
Kedudukan Sayidah Fatimah dalam Surat an-Nur
Sosok Sayidah Fatimah az-Zahra disebut sebagai sebuah pelita bagi pecinta Ahlul Bait dalam ayat Misykat (ayat 35 surat an-Nur), sementara para imam maksum yang lahir dari keturunannya adalah pemberi petunjuk kepada umat manusia.
"Allah adalah cahaya seluruh langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah tempat pelita yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu berada dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang penuh berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api (lantaran minyak itu sangat bening berkilau). Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nur, ayat 35)
Para mufassir telah menafsirkan ayat Nur dengan berbagai metode dan secara khusus menyebutkan beberapa objek mengenai kata misykat (tempat pelita). Muhammad Ali ibn Ibrahim Qummi dalam bukunya, Tafsir al-Qummi menulis, "Maksud dari kata misykat adalah Fatimah az-Zahra dan arti dari kalimat Fiha Misbah al-Misbahu adalah dua putra mulianya, Imam Hasan dan Imam Husein."
Beberapa kitab tafsir dengan mengutip sebagian riwayat, menafsirkan kata zujajah sebagai Imam Ali as dan kalimat Nurun Ala Nur adalah para imam Syiah yang datang silih berganti dan memiliki cahaya ilmu dan hikmah.
Seorang ulama besar Syiah, Allamah al-Majlisi ketika menafsirkan kalimat Nurun Ala Nur, mengutip sebuah riwayat dari Imam Jakfar Shadiq as yang berkata, "Di tengah Ahlul Bait, terdapat para imam yang datang silih berganti dan masing-masing dari mereka adalah pemberi petunjuk ke jalan makrifat."
Iya, Allah adalah pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Sosok Sayidah Fatimah as merupakan misykat yang darinya lahir para imam maksum. Semua makrifat Ilahi terpancar dalam wujudnya dan ia adalah penjaga cahaya tauhid, dan mereka semua berasal dari nur (cahaya) yang satu.
Ilustrasi peringatan hari syahadah Sayidah Fatimah az-Zahra as.
Kedudukan Sayidah Fatimah dalam Surat Ibrahim
Sekarang kita akan mengkaji tafsir ayat 24 dan 25 surat Ibrahim, dan secara khusus menafsirkan maksud dari kalimat syajarah thayyibah (pohon yang baik) dalam ayat tersebut.
Allah Swt berfirman, "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat." (QS. Ibrahim, ayat 24-25)
Menurut berbagai riwayat, maksud dari kalimat syajarah thayyibah adalah Rasulullah Saw, Imam Ali, Sayidah Fatimah as, dan kedua putra mereka.
Sallam Ibn Mustanir mengatakan, "Aku bertanya kepada Imam Muhammad al-Baqir as tentang firman Allah, 'seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.'
Imam menjawab, "Pohon itu adalah Rasulullah yang garis keturunannya tertancap kokoh di Bani Hasyem. Batang pohon itu adalah Ali as, dan akarnya adalah Fatimah, cabang-cabangnya adalah para imam maksum, dan daun-daunnya adalah para pengikut Syiah. Jika ada satu orang Syiah meninggal dunia, maka satu daun dari pohon itu akan jatuh, dan jika ada satu kelahiran, maka satu daun baru akan tumbuh."
Kedudukan Sayidah Fatimah dalam Surat al-Baqarah
Allah Swt mengajarkan beberapa kalimat kepada Nabi Adam as dan kalimat tersebut membuat taubatnya diterima.
Setelah termakan godaan syaitan dan turunnya perintah keluar dari surga, Nabi Adam menyadari bahwa ia telah menzalimi dirinya dan dengan penuh penyesalan bertaubat kepada Allah. Dia mendengar permohonan taubat Nabi Adam as dan mengajarkan beberapa kalimat kepadanya sebagai syarat penerimaan taubat.
"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah ayat 37)
Para mufassir berbeda pendapat mengenai "kalimat-kalimat" yang diajarkan Allah kepada Nabi Adam untuk bertaubat. Berbagai riwayat yang dinukil dari Ahlul Bait menyebutkan bahwa maksud dari "kalimat-kalimat" adalah mengajarkan nama-nama manusia yang paling mulia yaitu Muhammad Saw, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein as.
Nabi Adam bertawassul kepada nama-nama tersebut untuk memohon ampunan dari Allah dan Dia pun menerima taubatnya. Kalimat-kalimat tersebut juga membuat Nabi Ya'qub memperoleh kembali penglihatannya setelah menangis terus-menerus karena perpisahan dengan Yusuf, kapal Nabi Nuh as terselamatkan dari badai dan bersandar di sebuah bukit, dan padamnya kobaran api yang dinyalakan untuk membakar Nabi Ibrahim as.
Kedudukan Sayidah Fatimah dalam Surat ar-Rahman
Allah Swt dalam surat ar-Rahman ayat 19-22 berfirman, "Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan."
Dalam sebuah riwayat dari Sa'id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas disebutkan, "Makna dari dua lautan asin dan tawar yang keduanya kemudian bertemu adalah Ali dan Fatimah. Maksud dari batas pemisah yang tidak melampaui masing-masing adalah kasih sayang abadi yang terjalin di antara kedua sosok mulia ini, dan maksud dari mutiara dan marjan yang keluar dari lautan tersebut adalah Hasan dan Husein as."
Sebuah riwayat lain dari Ibnu Abbas, telah memperjelas penafsiran dari kalimat, "antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing" yaitu bahwa di antara kedua pribadi mulia tersebut, terdapat cinta dan kasih sayang yang sedemikian rupa sehingga menjauhkan segala bentuk emosi dan dendam.
Samudera kasih sayang Sayidah Fatimah dan suaminya adalah tidak bertepi, demikian juga dengan makrifat dan keutamaan mereka berdua.
Ayat tersebut berbicara tentang keutamaan besar dan kedudukan tinggi Ahlul Bait Nabi as. Allah Swt menjadikan mereka sebagai sumber keberkahan, gudang ilmu pengetahuan, teladan akhlak yang mulia, simbol ketakwaan dan kesucian, serta simbol kedermawanan.
Anak-anak mereka merupakan mutiara yang berharga, yang tumbuh besar di tengah samudera kasih sayang Sayidah Fatimah dan Imam Ali as. Hasan dan Husein as mewarisi keindahan fisik dan batin, ilmu, dan takwa dari kedua orang tuanya.