Sir Hamilton Alexander Rosskeen Gibb dikenal dengan singkatan H. A. R. Gibb (1895-1971) adalah salah satu peneliti dan orientalis terbesar yang menjadi pakar di bidang bahasa dan sastra Arab, sejarah Islam, serta budaya dan peradaban Islam. Untuk itu, ia aktif melakukan penelitian di bidang sejarah Islam dan meninggalkan banyak karya di bidang ini.
H. A. R. Gibb lahir pada tahun 1895 di Aleksandria, Mesir. Ayah dan ibunya berasal dari Skotlandia. Ia menimba ilmu di Skotlandia dan belajar bahasa Arab di School of Oriental and African Studies (SOAS), Universitas London, dan meraih gelar MA pada 1922.
Dalam perjalanan ke Timur Tengah pada 1926, H. A. R. Gibb memperluas studi dan penelitiannya tentang Islam dan bahasa Arab. Dengan demikian, ia menjadi akrab dengan orang-orang Muslim dan kehidupan mereka. Dia meninggalkan beberapa karya ilmiah di antaranya buku dengan judul, Mohammedanism: An Historical Survey, Whither Islam: Orientalism, dan Arab Conquests in Central Asia.
Buku Mohammedanism: An Historical Survey diterbitkan di London pada 1949 dan menjelaskan berbagai aspek Islam berdasarkan perkembangan sejarah. Di salah satu bab bukunya, H. A. R. Gibb menulis tentang Nabi Muhammad Saw dan berkata, "Harus diakui bahwa kepribadian Muhammad sangat menderita akibat kata-kata vulgar dan awam yang dialamatkan kepadanya oleh generasi baru dari pengikutnya."
Mengenai akhlak Nabi Muhammad Saw, H. A. R. Gibb menulis, "Seluruh konsentrasinya tertuju pada masalah pendidikan, pengajaran, dan penegakan disiplin di tengah masyarakat. Kepribadian Muhammad memiliki pengaruh di tengah para sahabatnya dan jika kepribadian ini tidak dimiliki, tentu mereka tidak akan peduli dengan klaimnya sebagai seorang pembawa risalah."
H. A. R. Gibb memiliki pandangan skeptis terhadap beberapa persoalan dalam sejarah Islam, yang merupakan karakteristik umum dari para orientalis, tetapi perlu diketahui bahwa pengenalannya tentang Muslim dan hidup bersama mereka, berpengaruh besar dalam pemahamannya tentang sejarah dan sirah Rasulullah Saw.
Pembelaan terhadap karakter spiritual dan politik Nabi Muhammad Saw – yang disebutnya sebagai kejeniusan dan kebijaksanaan – dapat ditemukan dalam karya-karya H. A. R. Gibb. Hal ini membedakannya dengan para peneliti biografi Barat lainnya. Kehidupan sosial Muhammad Saw selalu menjadi perhatian para peneliti dan secara khusus orientalis Barat, karena adanya banyak pasang surut sejarah.
Al-Quran – sebagai kitab langit terakhir – mengandung konsep, pengetahuan, dan metode-metode yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Mukjizat al-Quran baru bisa dipahami ketika tidak ada seorang pun mampu mendatangkan satu ayat yang semisal dengannya. Uniknya lagi, kitab langit ini dibawa oleh sosok yang tidak bisa membaca dan menulis serta tidak pernah belajar kepada siapa pun.
Sifat Rasulullah Saw yang paling unik adalah al-ummi artinya orang yang tidak tahu baca tulis. Tentu ada banyak penafsiran mengenai kata al-ummi, namun kebanyakan para ilmuwan Islam sepakat bahwa Rasulullah Saw hingga masa pengutusan, tidak bisa membaca dan menulis, dan ini merupakan salah satu sisi mukjizat al-Quran dan sosok penerima wahyu ini.
Salah satu dalil terpenting yang menjawab syubhah yang disampaikan oleh para pengingkar kebenaran adalah ayat 48 surat al-Ankabut yang menegaskan bahwa Nabi adalah seorang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis).
"Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Quran) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu)."
Namun, para orientalis tetap mencari-cari celah dan secara sadar ingin menciptakan keraguan tentang kepribadian Rasulullah Saw dan mukjizat al-Quran.
H. A. R. Gibb mencatat bahwa di tangan Rasul yang ummi ini, hukum ditegakkan yang membuat semua hal di Madinah berubah. Namun, lanjutnya, hal yang paling mengherankan adalah kecepatan pembukaan wilayah baru. Di sepanjang perang ini sudah tentu ada banyak kerusakan, tetapi kaum Muslim tidak menyisakan kehancuran, mereka membuka jalan bagi persatuan berbagai etnis dan budaya.
Peletakan undang-undang dan pemerintahan yang diwarisi Muhammad Saw kepada penerusnya, telah membuktikan bobotnya dalam mengawasi kinerja pasukan Baduwi ini.
Menurut H. A. R. Gibb, Islam tidak dikenal sebagai ajaran takhayul dari suku penjarah di tengah dunia asing yang beradab, tetapi sebagai sebuah kekuatan moral yang mengundang penghormatan semua orang. Agama rasional ini dapat mengajak Kristen Romawi Timur dan Zoaraster di Iran bertarung di tanah kelahiran mereka sendiri.
Oritentalis kontemporer Barat ini menuturkan, "Tetapi Islam tetap memiliki kekuatan untuk memberikan pelayanan yang besar dan berharga bagi umat manusia. Tidak ada agama selain Islam yang dapat mempersatukan semua ras manusia atas dasar gagasan persamaan dalam sebuah wadah. Universitas besar Islam di Afrika, India, Indonesia, dan universitas kecil di Cina, dan universitas kecil lainnya di Jepang, semuanya bersaksi bahwa ajaran Islam masih dapat mempengaruhi orang-orang dari berbagai kelas sosial dan gender."
"Ketika hal yang dibahas adalah konflik besar antara pemerintah Timur dan Barat, maka mereka harus merujuk kepada Islam untuk menyelesaikan konflik tersebut. Islam adalah agama pertama yang mempromosikan kesetaraan antar umat manusia…," tambahnya.
H. A. R. Gibb mencatat bahwa tak satu pun dari masyarakat besar religius yang pernah memiliki sebuah semangat yang universal, atau siap untuk memberikan kebebasan tertinggi kepada anggota dan pendukungnya, dengan syarat mereka – setidaknya secara lahiriyah – menerima perintah-perintah agama.
Menurutnya, komunitas religius baru percaya bahwa misi dari pengutusan nabi tidak lain adalah untuk membentuk pemerintahan religius. Bukan hanya kedua hal ini (agama dan pemerintahan) saling terkait, tetapi di semua pemerintahan kontemporer pada masa itu, pemerintah ditegakkan di atas agama.