Amerika Serikat terus meningkatkan kebijakan anti-Republik Islam dengan menekan ekonomi negara itu. Setelah mengembargo perusahaan-perusahaan Eropa dan Asia yang bertransaksi dengan Tehran, kini giliran perusahaan minyak pemerintah Suriah, Sytrol, disanksi Washington karena menjalin hubungan dagang dengan Iran.
Keputusan tersebut diambil ketika Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri AS berkunjung ke Turki dalam rangka mengintensifkan kebijakan anti-Iran dan Suriah.
Usai pertemuan dengan mitranya dari Turki Ahmet Davutoglu di Istanbul, Clinton dalam konferensi pers bersama Davutoglu mengatakan, pemberlakuan berbagai sanksi anti-Suriah bertujuan mengganggu hubungan antara Tehran, Gerakan Muqawama Islam Lebanon (Hizbullah) dan Damaskus. Hubungan yang menurut Menlu AS sebagai penyebab berlanjutnya pemerintahan Bashar al-Assad, Presiden Suriah.
Sebelumnya, Menteri Keuangan AS Timothy Geithner mengatakan, Hizbullah dimasukkan ke dalam daftar hitam organisasi-organisasi yang termasuk ke dalam sanksi anti-Suriah karena memiliki hubungan dekat dengan Iran dan negara Arab itu.
Pemberlakuan sanksi anti-Tehran oleh Washington bukan hal yang baru. Oleh karena itu, pernyataan Clinton dapat disimpulkan sebagai kekhawatiran Gedung Putih atas berlanjutnya perlawanan Iran dan Suriah terhadap tekanan yang dilancarkan oleh Amerika, Barat dan sekutu regional mereka termasuk Turki, Qatar dan Arab Saudi.
Peningkatan langkah-langkah anti-Iran oleh Amerika khususnya selama sebulan terakhir ini, yang berbarengan dengan krisis di Suriah bertujuan melemahkan Tehran. Langkah Washington yang memasukkan Suriah dan Hizbullah ke dalam daftar sanksi tak lebih hanya sebuah "lelucon"apabila dibandingkan dengan kebijakan makro Amerika terhadap poros Muqawama yang melawan rezim Zionis Israel. Meskipun, mungkin dari satu sisi, sikap tersebut menguntungkan Barack Obama, Presiden AS dalam persaingan pemilu presiden mendatang.
Sebenarnya, keputusan tersebut terpaksa diambil Amerika karena kekhawatiran Gedung Putih atas kegagalan semua rencana dan ambisi mereka di Timur Tengah. Kekhawatiran itu muncul akibat resistensi Iran, Suriah dan Hizbullah dalam menghadapi tekanan Amerika dan rezim Zionis.
Pada dasarnya, AS tidak ingin krisis di Suriah berakhir. Kemarahan Washington juga semakin memuncak ketika Tehran menggelar pertemuan konsultatif di tingkat internasional untuk membantu menyelesaikan krisis di Suriah. Pernyataan yang dirilis di akhir pertemuan tersebut menegaskan penyelesaian krisis Suriah harus berdasarkan standar internasional, tanpa intervensi dari pihak asing dan menghormati hak kedaulatan nasional dan teritorial negara itu.
Tak diragukan lagi, statemen itu membuat pejabat-pejabat Washington geram karena berdasarkan agenda Gedung Putih, pemerintah Damaskus harus digulingkan dengan cara apa pun.Tujuan lawatan Menlu AS ke Turki tak lain dalam rangka menjatuhkan pemerintahan Assad yang didukung rakyatnya dengan cara mendukung secara terbuka kepada teroris bersenjata di Suriah dan bekerjasama dengan sejumlah negara Arab di kawasan.
Dengan demikian, amat jelas bahwa langkah Amerika yang memasukkan Suriah dan Hizbullah ke dalam sanksi minyak Iran hanya sebuah permainan politik dan propaganda untuk mempengaruhi opini publik bahwa AS adalah sebuah kekuatan dunia yang menginginkan demokrasi dan mendukung rakyat di kawasan. Amerika seakan-akan bersikap membela rakyat Suriah padahal Washington berambisi menebarkan dominasinya di kawasan.
Sebenarnya, AS adalah sumber utama masalah di kawasan. Bukti menunjukkan bahwa Washington sebelum bulan September berupaya mengintervensi militer di Suriah dan krisis yang disulut oleh musuh-musuh Damaskus merupakan ancaman bagi keamanan regional dan internasional.
Dalam kondisi saat ini, negara-negara di kawasan diharapkan bersikap bijak dalam menghadapi krisis Suriah. Sebab, jika krisis tersebut terus berlanjut, maka instabilitas akan menjalar ke negara-negara tetangga dan pada akhirnya akan menjadi masalah bagi semua pihak. (IRIB Indonesia/RA/NA)