Penghinaan mantan Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson terhadap perempuan Muslim pada Agustus 2018 telah meningkatkan gelombang Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Inggris.
Menurut laporan surat kabar The Independent, kelompok pemantau kejahatan rasial, Tell Mama menyatakan sentimen anti-Muslim meningkat tajam setelah Johnson menyamakan wanita Muslim yang mengenakan burqa dan niqab seperti “perampok bank” atau “kotak surat.”
Mereka mencatat ada hubungan langsung antara komentar mantan menlu Inggris dan peningkatan serangan terhadap wanita Muslim yang mengenakan niqab. Setidaknya empat wanita disebut "kotak surat" di depan umum sejak Johnson menulis artikel kontroversialnya di surat kabar Daily Telegraph pada 5 Agustus 2018.
Pendiri Tell Mama, Fiyaz Mughal menutukan wanita yang mengenakan niqab dikenal jarang melaporkan kasus kebencian anti-Muslim. Oleh karena itu, jumlah kasus serangan rasial terhadap mereka sebenarnya lebih besar dari laporan resmi.
Surat kabar The Guardian mencatat bahwa Islamophobia kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kredibilitas politik arus utama Inggris. Johnson bisa saja berkata "Islam adalah masalahnya" dan ia hanya menghadapi sedikit dampak politik, sementara wanita Muslim harus menanggung lonjakan kasus serangan verbal dan fisik terhadap mereka di ruang publik.
Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Inggris merupakan sebuah masalah serius dan serangan terhadap warga Muslim secara rutin terjadi, namun serangan itu sekarang telah memasuki babak baru. Dewan Muslim Inggris meminta Perdana Menteri Theresa May untuk membuka penyelidikan disiplin setelah Boris Johnson menghina wanita Muslim.
Dewan Muslim Inggris mengatakan kasus Islamophobia telah meningkat sejak artikel kontroversial Johnson diterbitkan. Oleh sebab itu, Partai Konservatif perlu memulai langkah yang lebih serius terhadap Johnson. “Kami berharap partai ini tidak membiarkan penyelidikan ini berhenti di tengah jalan. Tidak seorang pun berhak mengorbankan minoritas dengan membiarkan pelaku kebal dari hukuman,” tulis Dewan kepada PM Inggris.
Britain First, organisasi politik fasis Inggris.
Theresa May menyerukan Johnson untuk meminta maaf karena membandingkan wanita yang mengenakan burqa dan cadar dengan perampok bank dan kotak surat. Namun, dia belum meminta maaf atas komentarnya itu dan mengatakan kepada wartawan yang meliput di luar rumahnya, "Saya tidak punya sesuatu untuk disampaikan tentang kasus ini, kecuali menawarkan secangkir teh kepada Anda.”
Johnson akhirnya tunduk pada penyelidikan disipliner oleh Partai Konservatif, setelah menerima puluhan pengaduan terkait komentar rasisnya terhadap wanita Muslim. Seorang penilai independen sedang memeriksa pengaduan untuk memutuskan apakah sebuah panel – yang terdiri dari tiga orang – perlu dibentuk untuk membuka penyelidikan secara formal.
Abdel Bari Atwan, seorang analis terkenal Arab dalam artikelnya di surat kabar Rai al-Youm, menyoroti pelecehan yang dilakukan Johnson terhadap kaum Muslim dan menulis, “Ini adalah mata rantai baru dari Islamophobia yang melanda sebagian dari negara Eropa dan (sentimen anti-Muslim) ini meningkat drastis setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS serta keputusannya melarang warga dari tujuh negara Muslim datang ke Amerika.”
“Wanita Muslim yang mengenakan niqab bukanlah kotak pos dan mereka bukan perampok bank, seperti yang dikatakan oleh Johnson. Kita menghargai perempuan untuk memilih pakaian yang sesuai dengannya, dan keyakinannya adalah sebuah hak yang sah, di mana dijamin oleh konstitusi Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, sebagaimana konstitusi ini menjamin penggunaan pakaian yang mendekati telanjang di pantai-pantai,” tegasnya.
Menurut Atwan, pernyataan rasis ini akan menguntungkan kelompok-kelompok ekstrem dan memudahkan mereka untuk merekrut pemuda Muslim untuk tujuan merusak stabilitas di negara-negara tempat mereka tinggal.
Anggota Parlemen Inggris, David Lammy termasuk salah satu politisi yang mengkritik keras komentar rasis Johnson. Dia mengatakan, “Johnson berharap dengan pernyataan provokatif ini dapat mencapai posisi ketua Partai Konservatif dan kemudian kursi perdana menteri.”
“Di jalan-jalan negara kita, sekelompok orang sedang memaksa mencopot burqa dari wajah wanita Muslim, tapi respon Johnson justru menghina mereka dan menyamakan mereka seperti kotak surat,” ujarnya.
Di Amerika, gerakan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim juga semakin membara setelah Donald Trump berkuasa. Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) mencatat bahwa kasus sentimen anti-Muslim di California naik 82 persen pada 2017 atau selama tahun pertama Trump menjabat.
Cabang CAIR di California mengatakan mereka menerima 2.259 pengaduan terkait serangan anti-Muslim pada 2017, di mana sebagian besar pengaduan terkait dengan masalah larangan perjalanan atau hak-hak imigran, menyusul keluarnya perintah kontroversial Trump.
Jumlah pengaduan meningkat drastis setelah Trump melarang warga dari beberapa negara dengan mayoritas Muslim memasuki wilayah Amerika.
CAIR mengatakan bahwa insiden bias anti-Muslim dan kejahatan rasial secara nasional telah melonjak masing-masing 83 persen dan 21 persen pada kuartal kedua tahun 2018 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Warga Amerika memprotes kebijakan larangan perjalanan yang dikeluarkan Trump.
Di Kanada, masyarakat Muslim diperlakukan tidak adil dan diskriminatif hanya karena mereka seorang Muslim. Dalam sebuah kasus, seorang mahasiswa Muslim di Kanada meninggal dunia karena tidak mendapatkan pertolongan medis pada waktunya.
Seorang mahasiswa jurusan kedokteran, Yosif al-Hasnawi (19 tahun) ditembak di luar Islamic Center al-Moustafa di Kanada setelah ia berusaha menolong seorang pria tua, yang sedang diancam dibunuh oleh dua orang pria. Namun al-Hasnawi ditembak oleh salah satu pria tersebut.
Menurut para saksi mata, mahasiswa Muslim itu meninggal dunia karena tidak mendapatkan pertolongan pertama yang cukup dari tim paramedis. Mereka mengulur waktu dan tidak segera membawa korban ke rumah sakit.
Penyelidikan diluncurkan terhadap dua paramedis yaitu Christopher Marchant dan Steve Snively. Mereka didakwa tidak memberikan pertolongan yang cukup kepada al-Hasnawi. Kasus ini menunjukkan bahwa kedua paramedis ini menolak menyelamatkan korban dari warga Muslim di kota Hamilton, Kanada.
Sayangnya, Islamophobia di Barat sedang mengakar di dalam tatanan sosial negara-negara tersebut. Ini merupakan perkembangan yang buruk dan suram bagi negara-negara yang mengaku dirinya mendukung pluralisme dan hidup rukun serta menghormati kebebasan beragama.