Artikel ini menyoroti kontroversi penerbitan buku Islamophobia di Jerman, dan meningkatnya serangan terhadap komunitas Muslim, terutama perempuan Muslim di Belgia dan Swiss.
Pertumbuhan gerakan ekstrem kanan menyeret Jerman ke arah Islamophobia dan sentimen anti-Islam. Padahal, warga Muslim Jerman termasuk di antara minoritas agama yang paling sopan.
Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa insiden di Jerman menyebabkan imigran Muslim menjadi sasaran kelompok ekstrem kanan dan anti-Islam, seperti PEGIDA. Gerakan anti-Islam juga sudah merebak di tingkat elit dan media-media Jerman.
Seorang mantan pegawai senior di Kementerian Keuangan Negara Bagian Berlin dan mantan Direktur Bundesbank, Thilo Sarrazin menerbitkan sebuah buku dengan judul, “Hostile Takeover: How Islam Hinders Progress and Threatens Society.” Ini adalah buku terlaris dan memberikan angin segar bagi gerakan anti-imigran dan anti-Islam di Jerman.
Sarrazin bukanlah seorang pakar Islam atau pun seorang teolog. Dia tidak mengerti bahasa Arab dan membaca al-Quran dalam terjemahan Jerman. Namun, ini tidak menghentikannya untuk menerbitkan buku setebal 495 halaman untuk melawan Islam dan penganutnya.
Dia menggambarkan masyarakat Islam sebagai terbelakang, tidak demokratis, penghasut perang, dan kurangnya rasa ingin tahu. Menurutnya, semua karakter ini akan menuju ke arah fundamentalisme.
Pendekatan reduktif yang sama juga diterapkan pada kondisi imigran Muslim di Jerman. Dalam serangkaian generalisasi, Sarrazin mengklaim bahwa mereka tidak belajar bahasa Jerman dengan baik atau berintegrasi secara sosial, tidak tertarik pada budaya tuan rumah, cenderung radikal, dan berperilaku jahat.
Berdasarkan argumen tendensius yang dibangunnya, Sarrazin memperingatkan bahwa jika tidak ada perubahan pada kebijakan imigrasi, kaum Islam akan membentuk mayoritas populasi Jerman dalam dua hingga tiga generasi mendatang dan kemudian mengatur tentang Islamisasi lembaga-lembaga sekuler.
Untuk mencegah hal ini, ia berkesimpulan bahwa Jerman harus melarang imigrasi Muslim, mengubah Konvensi Jenewa, dan mendeportasi semua pencari suaka yang ditolak.
Aksi protes menentang gerakan Islamophobia di Eropa.
Di tengah protes anti-imigran oleh kelompok ekstrem kanan di Jerman Timur, buku anti-Islam lainnya diterbitkan untuk memperingatkan "bahaya Islam dan Muslim" terhadap budaya, identitas, dan ekonomi Eropa dan Jerman.
Gerakan sentimen anti-imigran dan anti-Muslim sekarang meningkat di semua negara Eropa. Partai-partai sayap kanan sedang memperluas basis sosial mereka dan sekaligus berusaha agar tidak dituduh sebagai kelompok anti-imigran dan rasisme.
Partai-partai sayap kiri juga mengadopsi kebijakan konservatif agar tidak kehilangan basis massa dalam menghadapi isu-isu seperti, imigran dan xenophobia.
Menteri Dalam Negeri Jerman Horst Seehofer, menyebut imigran sebagai akar dari semua masalah di Jerman. Ia adalah anggota senior Partai Uni Sosial Kristen Bayern dan termasuk deretan orang yang paling gencar menentang kebijakan imigrasi Kanselir Angela Merkel. Menurut Seehofer, pemerintah Jerman harus memberikan batasan untuk imigran yang akan memasuki negara itu.
Pernyataan Seehofer tentang imigran telah memicu banyak kritikan di Jerman. Ketua fraksi kelompok kiri di Parlemen Jerman, mengatakan pemerintah Jerman harus menunjukkan reaksi terhadap komentar Seehofer dan menyampaikan bahwa sikap dia berbeda dengan kebijakan resmi pemerintah.
Gerakan xenofobia dan Islamphobia telah menyatu di Eropa, karena sebagian besar pengungsi yang datang ke benua itu berasal dari negara-negara Muslim di Timur Tengah. Warga Muslim terutama wanita, lebih sering menjadi sasaran tindakan rasis dan tidak manusiawi daripada imigran.
Partai-partai ekstrem kanan tidak berbicara tentang pengusiran imigran dari negara mereka, tapi menuntut penutupan masjid dan mengusir warga Muslim dari Eropa. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mempersempit ruang kehidupan warga Muslim melalui diskriminasi rasial dan perilaku rasis.
Asosiasi Belgia untuk Pencegahan Islamophobia (CCIB) menerbitkan sebuah laporan yang mendokumentasikan pernyataan dari para korban Islamophobia. Laporan itu menyatakan bahwa serangan yang dipicu oleh sentimen anti-Islam meningkat secara dramatis dengan menargetkan tempat-tempat ibadah, kekerasan fisik, dan memposting ujaran kebencian di media sosial.
Mereka mencatat bahwa sekitar 76 persen serangan Islamophobia di Belgia pada 2017 menargetkan wanita Muslim. "Ada serangan Islamophobia di Belgia setiap dua hari," kata laporan itu.
Sekitar 29 persen serangan Islamophobia terjadi di dunia maya. Dunia maya adalah area yang paling rentan terhadap serangan seperti ini. Ruang publik (17 persen), lembaga pendidikan (16 persen), tempat kerja (14 persen), dan kancah politik (8 persen).
CCIB mengatakan laporan tersebut didasarkan pada informasi yang dikumpulkan dari orang-orang yang diserang. Wanita Muslim diserang lebih karena jilbab mereka. Laporan ini mencatat sebagian besar penyerang adalah laki-laki.
Uni Eropa menyaksikan meningkatnya sentimen anti-Islam dan kebencian terhadap imigran dalam beberapa tahun terakhir, yang dipicu oleh propaganda dari kubu sayap kanan dan populis. Mereka telah mengeksploitasi kekhawatiran mengenai krisis pengungsi dan terorisme.
Di Swiss, sebagian besar artikel di surat kabar negara itu menyampaikan narasi negatif tentang warga Muslim. Sejak 2015, lebih dari setengah (54%) dari semua artikel di surat kabar utama Swiss tentang kelompok minoritas agama, menyajikan laporan mengenai radikalisasi dan terorisme.
Sebaliknya, topik seperti integrasi yang sukses dan kehidupan sehari-hari warga Muslim hanya mendapat sorotan kurang dari 2 persen di semua artikel, yang terbit di media-media Swiss.
Studi ini dilakukan oleh Universitas Zurich, dan menganalisis artikel cetak dan online tentang warga Muslim dari 18 surat kabar di seluruh negeri antara tahun 2009 dan pertengahan 2017.
Kebanyakan artikel itu fokus pada keretakan antara warga Muslim dan masyarakat umum di Swiss. Mereka bahkan tidak memberikan peluang kepada perwakilan Muslim untuk melakukan pembelaan.
Kelompok anti-Islam bahkan menanamkan kebencian terhadap Islam sejak usia dini melalui game komputer. Mereka mendorong anak-anak untuk berburuk sangka dan membenci Islam sejak kecil. Dalam game ini, kaum Muslim digambarkan sebagai teroris yang harus diperangi.
Sebulan sebelum invasi Amerika Serikat ke Afghanistan, sebuah game komputer bernama "Delta Force" diluncurkan, di mana menceritakan tentang invasi AS ke Afghanistan dan mengesankan Afghanistan sebagai negara teroris. Akhirnya, publik Amerika memandang invasi seperti ini perlu dilakukan.