Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan kunjungan sehari ke Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi pada hari Rabu.
Fokus pembicaraan Putin dengan para pejabat kedua negara Arab ini mengenai hubungan bilateral dan isu-isu internasional, termasuk perang Gaza.
Lawatan sehari Putin ke UEA dan Saudi menjadi kunjungan pertamanya ke negara-negara Asia Barat sejak awal epidemi COVID-19. Sebelumnya Putin mengunjungi UEA dan Arab Saudi pada tahun 2019. Meskipun demikian, Putin secara rutin menghubungi para pemimpin Arab di sela-sela acara internasional lainnya.
Kunjungan Putin ke Asia Barat dan pertemuannya dengan para pemimpin dua negara Arab penting di kawasan ini mengandung pesan dan konsekuensi penting.
Pertama, meskipun ada upaya Barat, terutama Amerika Serikat, untuk mengisolasi Rusia, khususnya Putin di arena internasional, tapi kunjungannya ke dua negara Arab ini menunjukkan bahwa sekutu regional Amerika pun tidak memperhatikan tuntutan Washington.
Faktanya, meskipun ada upaya Barat untuk mengisolasi Putin, terutama dikeluarkannya surat perintah penangkapan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap presiden Rusia, tapi Putin masih memiliki kehadiran yang efektif di kancah internasional dan perjalanan ke negara lain masih terus berlanjut.
Di satu sisi, penyambutan unik Putin di Uni Emirat Arab menunjukkan pentingnya kunjungan Presiden Rusia ke negara ini bagi Abu Dhabi. Di sisi lain, menunjukkan pengabaian terhadap tuntutan dan peringatan Amerika Serikat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam perluasan hubungan dengan Rusia.
Pada saat yang sama, Saudi juga menyambut hangat Putin, yang menunjukkan pandangan Riyadh terhadap Rusia sebagai negara yang berpengaruh dan efektif di kancah regional dan global.
Fyodor Lukyanov, Kepala Dewan Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Rusia percaya bahwa kunjungan Putin ke dua kekuatan utama Asia Barat tersebut sebagai indikasi yang jelas bahwa Rusia sedang bangkit dari isolasi internasionalnya.
Kunjungan ini sejalan dengan tujuan Rusia untuk memberikan pengaruh di Timur Tengah, sekaligus menunjukkan bahwa UEA dan Arab Saudi, sebagai dua sekutu lama Amerika Serikat, berkeinginan untuk menyeimbangkan kebijakan luar negeri mereka.
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, bersama Rusia, merupakan anggota OPEC+, yang dalam dua tahun terakhir telah mengambil keputusan penting untuk mengurangi jumlah produksi dan ekspor minyaknya, yang bertentangan dengan keinginan dan tujuan Amerika Serikat.
Keputusan negara-negara anggota OPEC+ untuk terus mengurangi pasokan minyak ke pasar dunia sebenarnya merupakan reaksi atas tindakan permusuhan Barat terhadap Rusia.
Uni Eropa, G7 dan beberapa negara blok Barat seperti Australia, yang menetapkan batas harga tertinggi sebesar 60 dolar untuk satu barel minyak Rusia, percaya bahwa hal ini akan signifikan mengurangi pendapatan minyak Rusia, sehingga bisa membuat mesin perang Rusia bangkrut. Namun, faktanya masih jauh panggang dari api. Tindakan pihak Barat ini praktis tidak efektif dan tidak berdampak negatif terhadap kehadiran Rusia di pasar minyak global.
Selain itu, interaksi negara-negara Arab seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dengan Rusia menunjukkan bahwa mereka memiliki keinginan yang jelas untuk memperluas hubungan dengan Moskow dan Beijing, karena menurunnya pengaruh dan otoritas global Amerika menghadapi kekuatan saingan Barat, seperti Rusia dan Cina.
Pada hari Senin, Menteri Energi Arab Saudi, Abdulaziz bin Salman menekankan tingkat kepercayaan dan kerja sama antara Riyadh dan Moskow di bidang kebijakan minyak dan menyebut hubungan antara kedua negara ini sebagai tulang punggung OPEC+.
Dmitry Peskov, Juru Bicara Kremlin mengumumkan bahwa dalam pertemuan tersebut, Presiden Rusia akan secara khusus membahas masalah konflik antara Israel dan Palestina, serta pengurangan produksi minyak dalam kerangka OPEC+, di mana Rusia sebagai anggotanya.
Palestina menjadi Isu penting dalam kunjungan Putin ke UEA dan Arab Saudi. Mengingat Amerika, sebagai sekutu tanpa syarat Israel, alih-alih berusaha melakukan gencatan senjata dalam perang Gaza, AS justru mengirimkan senjata dan dukungan politik yang menjadi pemicu utama perang tersebut dan menghalangi diadopsinya resolusi tersebut di Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan serangan Israel ke Gaza.
Kini beberapa negara Arab ingin mencari solusi lain melalui kerja sama kekuatan internasional lainnya, termasuk Rusia, untuk memaksa rezim Zionis melakukan gencatan senjata dalam perang berdarah di Gaza.
Sejak awal perang Gaza, Vladimir Putin telah berulang kali mengkritik Israel dan mengutuk bencana kemanusiaan di Gaza serta menyerukan pembentukan negara merdeka Palestina.