Ini adalah pekan kedua serangan berturut-turut rezim Zionis terhadap lebih dari dua juta penduduk Gaza yang diblokade, dan serangan ini semakin gencar dan luas.
Israel juga menorehkan namanya dalam sejarah sebagai pelaku Holocaust abad dengan menjatuhkan bom satu ton hadiah Amerika ke Rumah Sakit Al Ahli Baptist di Jalur Gaza. Sementara Amerika Serikat juga tercatat sebagai mitra kejahatan Israel dan Netanyahu, baik dengan veto terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB atau pun melalui kunjungan Presiden Joe Biden ke Tel Aviv.
Penjajah Zionis Selasa malam lalu dalam sebuah aksi kriminal dan kejahatan membombardir RS Al Ahli Baptist di Jalur Gaza dan menggugurkan lebih dari seribu warga tertindas Palestina termasuk ratusan anak-anak.
Serangan brutal Zionis ke RS Al Ahli Baptist di Gaza, serta pembantaian sadis perempuan dan anak-anak serta pria merupakan kejahatan perang terbesar dan holocaust abad.
Menyusul kejahatan mengerikan rezim penjajah al-Quds terhadap RS Al Ahli Baptist di Jalur Ghaza, kantor media pemerintah di Gaza mengumumkan, kejahatan yang dilakukan Israel terhadap RS Al Ahli sebuah holocaust sejati dan kejahatan abad 21.
Kepala-kepala yang terpotong dan badan yang hancur anak-anak, serta badan tanpa tangan, kaki atau kepala bercampur menjadi satu, seluruhnya adalah gambar yang sulit diterima dan akhir zaman hasil dari kejahatan bersejarah Zionis di RS Al Ahli Baptist di Jalur Gaza.
Para korban ini tengah berada di rumah sakit tersebut untuk berobat, atau mengingat hukum internasional, mereka menganggap akan aman dari serangan rezim Zionis.
Menurut keterangan Departemen Kesehatan Palestina, seluruh korban serangan brutal Zionis ke RS Al Ahli di Gaza adalah warga sipil.
Sepanjang sejarah, negara-negara yang tengah berperang seluruhnya mematuhi hukum internasional paling minim, termasuk tidak menyerang rumah sakit dan balai pengobatan, tapi rezim Israel tidak mematuhi hukum mana pun, dan menyusul respon komunitas global, Tel Aviv ingin melepaskan diri dari tanggung jawab serangan tersebut.
Seakan-akan Zionis berargumentasi dengan Talmud untuk melakukan kejahatannya, di mana di kitab tersebut ditulis, "Selain Yahudi, meski mereka orang baik dan saleh, tapi tetap harus dibunuh."
Salah satu karakteristik operasi Badai Al Aqsa adalah sejak awal operasi tingkat korban, baik korban terbunuh, atau terluka, maupun tawanan perang, seluruhnya menguntungkan Palestina. Oleh karena itu, salah satu tujuan Zionis sejak awal adalah membuat korban sebanyak-banyaknya dari pihak Palestina, sehingga keseimbangan akan berubah menguntungkan mereka.
Untuk mencegah refleksi kejahatannya di Gaza, yang nantinya dapat menjadi dokumen untuk mengutuk para pejabat militer dan politik rezim ini, terutama anggota kabinet ekstrem Netanyahu, rezim Zionis sengaja menyasar jurnalis, sehingga lebih dari 18 jurnalis dari media berbeda telah dibunuh.
Dengan demikian, untuk mengambil lebih banyak korban di pihak Palestina, kabinet Netanyahu yang ekstrem dan sayap kanan, selain menggunakan bom berat dan pembakar, juga dengan sengaja menargetkan para penyelamat dan pada saat yang sama mencegah masuknya fasilitas dan peralatan medis ke Gaza.
Meskipun jumlah korban warga Palestina kini telah mencapai beberapa kali lipat jumlah korban di Israel, baik rezim Zionis maupun pendukung Baratnya tidak puas dengan hal ini.
Selama beberapa hari terakhir, rezim Zionis telah menuntut kepergian lebih dari satu juta penduduk Jalur Gaza utara dari daerah ini guna mempersiapkan serangan darat di Jalur Gaza, namun karena penduduk Gaza menolak untuk meninggalkan wilayah ini, dan pada saat yang sama Mesir tidak mengizinkan mereka memasuki wilayahnya, oleh karena itu, rezim pembantai anak ini sengaja menyerang rumah sakit Al Ahli Baptist untuk memaksa warga Gaza keluar dari daerah ini.
Menurut Statuta Roma, ada empat tindakan kriminal atau kejahatan internasional yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, yang meliputi genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi.
Seluruh bukti dari empat kejahatan ini termanifestasi dalam serangan dua pekan lalu rezim Zionis.
Petinggi Zionis dengan terang-terangan menggunakan kata-kata atau mengambil sikap yang masuk dalam kewenangan ICC, dan jika ada tekad politik, maka mereka dapat diajukan ke meja hijau.
Selain itu, negara-negara Islam dapat membentuk pengadilan khusus untuk menindaklanjuti kejahatan rezim Zionis Israel.
Pengusiran duta besar Israel dari negara-negara Islam dan Arab, boikot produk Amerika dan Israel serta negara Barat lainnya yang menciptakan zona aman bagi berlanjutnya kejahatan di Gaza, termasuk langkah efektif lainnya di bidang ini.
Berdasarkan hal tersebut, Menteri Luar Negeri Iran, dalam pertemuan luar biasa Komite Eksekutif Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) terkait Palestina yang diselenggarakan di Jeddah pada hari Rabu dengan dihadiri para menteri luar negeri dari 57 negara Islam dari berbagai benua, mengajukan empat usulan antara lain: memutuskan hubungan negara-negara Islam dengan rezim Zionis, boikot total terhadap rezim ini, pengiriman tim pencari fakta Islam dan mengadakan pengadilan kejahatan perang atas kejahatan Zionis kepada anggota OKI untuk mengambil keputusan yang menentukan.
Meskipun sebagian dari cakupan dan intensitas tindakan rezim Zionis terhadap warga sipil Gaza berasal dari sifat rasis rezim ini dan pendekatan kabinet Netanyahu yang ekstremis dan sayap kanan, namun sebagian lagi berasal dari kelambanan negara- organisasi dan lembaga internasional serta regional, serta pendekatan ganda pemerintah Barat, yang membuka zona aman bagi berlanjutnya kejahatan israel dengan memveto resolusi yang diusulkan.
Dalam hal ini, meskipun Dewan Keamanan PBB mengadakan dua pertemuan dalam dua minggu terakhir setelah dimulainya babak baru serangan rezim Zionis di Gaza, kedua pertemuan tersebut tidak berhasil karena veto AS, sementara itu, isi resolusi tersebut sepenuhnya bersifat kemanusiaan dan berdasarkan prinsip dan hukum internasional, menekankan perlunya membantu warga sipil yang berada di bawah pengepungan Israel.
Tor Wennesland, Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, mengatakan pada pertemuan Dewan Keamanan PBB pada Rabu waktu setempat: Ini adalah salah satu momen tersulit yang dihadapi rakyat Israel dan Palestina dalam 75 tahun terakhir. Kita berada di tepi jurang yang dalam dan berbahaya yang dapat mengubah arah konflik Israel-Palestina, serta seluruh kawasan. Risiko meluasnya konflik “sangat nyata dan sangat berbahaya.”
Pada mulanya alasan veto terhadap rancangan resolusi pertama dianggap karena presentasi Rusia, namun veto terhadap rancangan resolusi yang diajukan Brazil menunjukkan bahwa negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Biden sendiri, sepenuhnya bermain di lapangan Netanyahu demi kebutuhan internal mereka sendiri, seperti menutupi ketidakmampuan menghadapi operasi al-Aqsa atau menciptakan persatuan internal ilusi untuk membendung perpecahan internal, ia telah menempatkan pembunuhan yang disengaja dan pembantaian serta pemindahan paksa lebih dari sekedar dua juta penduduk Jalur Gaza dalam agenda tersebut dan hal itu dilakukan dengan segala cara, bahkan jika dia harus melakukan kejahatan perang.
Resolusi yang diusulkan oleh Brasil mendapat suara dari 12 negara, Albania, Brasil, Cina, Ekuador, Prancis, Gabon, Ghana, Jepang, Malta, Mozambik, Swiss, dan Uni Emirat Arab, satu suara menentang Amerika Serikat, dan dua negara, Rusia dan Inggris, juga abstain.
Dengan hasil suara menentangnya, Amerika memveto resolusi yang menyerukan “jeda kemanusiaan” untuk mengirimkan bantuan penting kepada jutaan orang di Gaza.
Di sisi lain, Joe Biden yang sebelumnya menolak bertemu dengan Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, tapi akhirnya perdana menteri Israel ini melakukan sesuatu yang memaksa Biden menangguhkan seluruh aktivitasnya dan di usianya yang tua terpaksa berkunjung ke bumi Palestina pendudukan.
Kunjungan ini digelar ketika Israel menggunakan bom satu ton hadiah dari Amerika untuk membantai warga sipil yang berlindung di Rumah Sakit Al Ahli Baptist. Warga ini setelah mendengar jaminan Israel menganggap akan aman dari serangan udara rezim ilegal ini. Selain itu, berdasarkan prinsip dan hukum internasional, serangan terhadap warga sipil dan pusat-pusat publik seperti rumah sakit adalah sebuah kejahatan perang.
Meski demkian mengingat standar ganda yang menguasai lembaga internasional, dan juga karena dukungan pemerintah Barat khususnya AS, kejahatan rezim Zionis tidak pernah dikejar atau diadili. Oleh karena itu, Israel dengan tenang dan kian berani melakukan kejahatan. Dari sudut pandang ini, maka sebagian tanggung jawab kejahatan Israel berada di pundak pemerintah Barat dan otoritas politik serta keamanan internasional seperti Dewan HAM dan juga otoritas internasional seperti Pengadilan Kriminal Internasional.
Presiden Amerika dalam pidatonya di akhir kunjungannya ke bumi Palestina pendudukan mengonfirmasi kesepakatan Israel untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, tapi Reuters mengutip kantor Netanyahu menulis bahwa masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza tidak mungkin tanpa pembebasan para sandera (tawanan Zionis).
Presiden Amerika juga mengatakan, "Kami tidak akan bersikap netral terhadap peristiwa 7 Oktober. Apa yang terjadi di Israel (Wilayah Pendudukan Palestina) adalah 15 kali lipat dari apa yang terjadi pada 11 September. Orang Israel dan Amerika disandera. Saya akan mendorong Kongres untuk meningkatkan bantuan, termasuk senjata, kepada Israel."
Dalam hal ini, kunjungan Biden ke Palestina pendudukan, di tengah-tengah pembantian besar-besaran warga Gaza, khususnya anak-anak dan perempuan, bukan saja mengubah Amerika menjadi mitra kejahatan Netanyahu, karena bukan saja pembantaian dengan Jet tempur F-16 dan bom satu ton Amerika, bahkan kunjungan ini akan mendorong rezim Zionis melanjutkan kejahatan dan melancarkan serangan darat untuk menghancurkan total Jalur Gaza. Dari sudut pandang ini, sepertinya hasil dari kunjungan Biden ke Israel adalah berlanjutnya serangan Zionis dan kian gencarnya brutalitas rezim penjajah Al Quds.