Operasi Tufan Al Aqsa yang tercatat sebagai serangan militer Palestina terbesar terhadap rezim Zionis Israel dalam 75 tahun lalu, memiliki berbagai poin strategis.
Batalion Ezzeddine Al-Qassam, sayat militer Hamas sejak 7 Oktober 2023 melancarkan operasi anti-Zionis yang diberi sandi Taufan Al Aqsa. Tak diragukan lagi, sampai saat ini banyak dimensi operasi Taufan Al Aqsa yang belum terkuak, tapi sejumlah dimensi strategis operasi ini yang telah tampak adalah sebagai berikut:
Batalion Ezzeddine Al-Qassam tidak melancarkan sebuah operasi yang sederhana kali ini terhadap Israel, tapi operasi Al Aqsa dalah sebuah perang hibrida dengan dimensi militer, intelijen dan media. Pejuang Hamas melancarkan perang baik dari udara, darat dan bawah tanah. Roket, paralayang, quadcopter dan drone kali ini dimanfaatkan dalam serangan udara.
Roket-roket tersebut melewati sistem Iron Dome dan menghantam daerah-daerah dan kota-kota strategis, pasukan terjun payung Palestina menggunakan paraglider (paralayang) untuk menyusup ke permukiman Zionis, quadcopter digunakan untuk menghancurkan tank Merkava, drone bunuh diri juga digunakan untuk menyerang peralatan militer dan kekuatan rezim Zionis. Pada saat yang sama, pejuang Palestina bentrok dengan tentara Israel di darat dan menggunakan terowongan tersebut untuk memasuki pemukiman dan merebut pangkalan Israel.
Selain itu, para pejuang Palestina dalam operasi Tufan Al Aqsa memiliki keterikatan media. Dengan kata lain, bersamaan dengan serangan militer hebat yang mereka lakukan terhadap Zionis, mereka mempublikasikan gambar-gambar kekalahan tersebut menggunakan ponsel, termasuk penghancuran tank Merkava, penangkapan tentara Zionis, penangkapan militer, perebutan pangkalan dan pelarian para pemukim.
Abdul Bari Atwan, seorang analis Palestina terkemuka, mengatakan: “Gambar langsung, audio dan video tidak berbohong. Pejuang Palestina telah membunuh ratusan Zionis dan melukai lebih dari dua ribu orang, dan tak terhitung banyaknya dari mereka yang ditangkap hidup atau mati dan disimpan di tempat yang aman untuk digunakan sebagai kartu kuat untuk pembebasan semua pahlawan dan pejuang Palestina dari penjara rezim penjajah. Gambar-gambar ini didokumentasikan sepenuhnya dan telah dipublikasikan di semua jejaring sosial. Ini sendiri merupakan perang lain dalam bentuk perang media yang mempunyai dampak negatif yang tinggi terhadap moral tentara rezim pendudukan dan pemukimnya.”
Kekalahan militer paling besar dalam sejarah Israel
Poin strategis kedua adalah operasi Tufan Al Aqsa menorehkan kekalahan militer paling parah dalam sejarah rezim Zionis. Alasan utama hal ini adalah jumlah korban tewas dan teluka dari pihak Zionis. Berdasarkan data terbaru yang diumumkan media Israel, 750 Zionis terbunuh dalam operasi ini, padahal dalam perang 12 hari Pedang Al Quds tahun 2021, hanya 14 Zionis yang terbunuh.
Sementara itu, lebih dari 2000 Zionis terluka dalam operasi Tufan Al Aqsa. Dalam operasi ini, lebih dari 5.000 roket ditembakkan ke wilayah pendudukan hanya dalam waktu 8 jam, sedangkan 4.500 roket ditembakkan dalam 12 hari dalam operasi Pedang Al Quds. Hal penting lainnya adalah tertangkapnya puluhan tentara Israel dalam operasi Tufan Al Aqsa, sebuah hal yang bisa mempunyai konsekuensi penting, termasuk fakta bahwa hal itu bahkan bisa berujung pada pembebasan seluruh 5.000 tahanan Palestina karena Israel sebelumnya sudah membuktikannya bahwa Tel Aviv bahkan rela membebaskan ratusan tahanan Palestina dengan imbalan pembebasan satu tahanan Zionis di tangan pejuang Palestina. Selain itu, dalam Tufan Al Aqsa, 912 kilometer persegi wilayah pendudukan dibebaskan, yaitu tiga kali luas Jalur Gaza.
Abdul Bari Atwan mengatakan, “Ini adalah pukulan mematikan militer, politik dan psikologis terbesar terhadap institusi militer, keamanan dan politik penting rezim Zionis dalam 50 tahun terakhir, terutama sejak perang Oktober 1973; Karena para pejuang perlawanan mengincar kedalaman keamanan penjajah. Kita melihat bagaimana para pemukim zionis lari ketakutan dan meminta bantuan kepada militer, polisi, tentara Israel dan aparat keamanan, namun tidak ada yang menjawab, inilah puncak keruntuhan tentara Israel yang tergolong sebagai tentara terkuat keempat di dunia."
Hasan Hanizadeh, pakar Asia Barat menyebutkan, "Dalam waktu kurang dari 8 jam, setidaknya 5.000 rudal berpemandu presisi dan 100 drone penghindar radar diluncurkan oleh Hamas menuju fasilitas militer dan ekonomi Israel di wilayah pendudukan, dan Iron Dome Israel gagal mencegat rudal-rudal tersebut. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, tentara Zionis mengerahkan seluruh pasukan cadangannya dan ini menunjukkan bahwa situasi di wilayah pendudukan sangatlah kritis."
Sebuah syok besar dan kejutan informasi bagi rezim Zionis
Prinsip kejutan bisa dikatakan sebagai salah satu prinsip militer terpenting yang ditampilkan pejuang Hamas dalam Tufan Al Aqsa. Liputan media mengenai operasi Tufan Al Aqsa sukses besar dan menunjukkan bahwa waktu berbulan-bulan telah dihabiskan untuk operasi ini. Tidak diragukan lagi, para pejuang Hamas dilatih untuk melakukan operasi ini, termasuk penggunaan paralayang dan quadcopter, namun Zionis tidak dapat memperoleh tanda-tanda apapun mengenai hal ini. Oleh karena itu, operasi Tufan Al Aqsa jelas telah menimbulkan keterkejutan dan kebingungan bagi Zionis dan telah menimbulkan guncangan besar bagi otoritas politik dan militer rezim ini. Yang membuat kegagalan intelijen rezim Zionis ini semakin berat adalah rezim ini mempunyai banyak mata-mata, termasuk di jalur Gaza, namun mata-mata tersebut tidak bisa berbuat apa-apa.
Dalam sebuah laporan mengenai operasi pasukan perlawanan Palestina melawan posisi rezim Zionis, majalah Inggris The Guardian menulis, “Serangan mendadak Hamas terhadap Israel akan dikenang sebagai kegagalan intelijen selama berabad-abad. Dalam beberapa jam, puluhan pejuang Gaza menyerbu pagar perbatasan di selatan Israel dan mengejutkan militer setempat. Orang-orang bersenjata menculik dan membunuh warga Israel di wilayah perbatasan selatan dan memfilmkan serangan tersebut ketika mereka maju di beberapa lokasi. Jika operasi Hamas mengejutkan, itu karena mekanisme Israel di wilayah Palestina sangat kompleks dan agresif, dan memantau aktivitas Hamas adalah salah satu tugas terpenting lembaga keamanan Israel."
Media Inggris ini menambahkan,“Meskipun industri teknologi mata-mata Israel adalah salah satu yang paling maju di dunia, seperti yang ditunjukkan dalam kasus perangkat lunak mata-mata Pegasus, industri tersebut tidak mengidentifikasi operasi Hamas. Hal ini menunjukkan bahwa Hamas, meski selalu bertekad dan mampu melakukan perencanaan jangka panjang, kini jauh lebih mahir dalam menghadapi tantangan militer dan telah melakukan banyak upaya dalam perencanaan dan mengidentifikasi kerentanan Israel.”
Operasi Tufan Al Aqsa selain merupakan kekalahan besar rezim Zionis, juga menunjukkan perencanaan cerdas Hamas. Rezim Zionis ketika mengalami kekalahan militer, intelijen dan keamanan terhadap Hamas dan bangsa Palestina, juga pada dasarnya Palestina lebih lemah dari sisi intelijen dan militer di banding dengan kubu muqawama lainnya seperti Hizbullah.
Terlepas dari pelatihan yang diterima pasukan Hamas tanpa disadari oleh Zionis, waktu pelaksanaan operasi juga sangat penting. Operasi ini dilakukan dalam situasi banyak kekuatan rezim Zionis yang sedang libur hari raya. Dikatakan bahwa 1.000 pasukan Hamas memasuki pemukiman dan bahkan menangkap tentara senior Israel. Selain itu, kecerdasan Hamas sebelum melakukan operasi dan selama dua tahun terakhir menjadi penting karena Hamas membiarkan rezim Zionis membayangkan bahwa gerakan ini tidak lagi percaya pada perlawanan dan perjuangan serta menginginkan kompromi dengan rezim Zionis dan memiliki perselisihan dengan Jihad Islam Palestina.
Kesan yang ditimbulkan oleh Zionis ini membuat mereka bahkan tidak membayangkan serangan militer yang dilakukan Hamas, apalagi melakukan serangan militer terbesar terhadap Israel sepanjang sejarah rezim ini. Serangan ini memberikan garis yang salah mengenai perbedaan antara Hamas dan Jihad Islam dan membuktikan bahwa perlawanan Palestina telah menjadi lebih kuat dari sebelumnya dan telah berubah dari intifada dengan batu menjadi perang dengan peralatan militer modern.
Potensi Keruntuhan Kabinet Netanyahu
Perang terjadi ketika rezim Zionis dalam kondisi paling rentan secara internal. Tahun 2018, kekalahan terhadap Gaza juga membuat keruntuhan kabinet Israel, dan terbentukan pemilu parlemen tanpa akhir (selama lima kali pemilu). Kini salahs atu dampak dari perang ini adalah potensi kian kuatnya friksi di dalam bumi pendudukan, dan keruntuhan kembai kabinet Netanyahu, dan bahkan berakhirnya umur dan aktivitas politik perdana menteri Israel ini, karena kekalahan politik terparah dalam sejarah Israel akan tercatat atas nama Netanyahu.
Faktanya, Tufan Al Aqsa membuktikan perilaku rasis dan ekstremis kabinet Netanyahu, dan operasi ini membuktikan bahwa kekerasan dan rasisme yang berlebihan terhadap warga Palestina tidak hanya akan menyebabkan mereka mundur, tetapi juga membuat perlawanan semakin kuat, dan runtuhnya kabinet Israel serta intensifikasi perselisihan internal.
Masa Depan Kelam bagi Normalisasi Hubungan dengan Israel
Poin lain adalah perang meletus ketika Israel dan Amerika Serikat terus memajukan proyek normalisasi hubungan dengan Arab Saudi. Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dalam statemennya seraya mengkritik rezim Zionis menyatakan bahwa perang ini akibat dari kekerasan rezim Israel. Dalam statemen ini disebutkan, Arab Saudi mengulangi peringatannya yang berulang-ulang tentang bahaya ledakan situasi akibat pendudukan yang terus berlanjut dan perampasan hak-hak sah rakyat Palestina, serta pengulangan tindakan provokatif yang ditargetkan terhadap tempat-tempat suci mereka. Secara umum, Tufan Al Aqsa dapat dikatakan menghidupkan kembali semangat anti-Israel di kawasan Asia Barat.
Poin terakhir adalah, Tufan Al Aqsa dilancarkan kurang dari sepekan dari statemen terbaru Rahbar atau Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei yang mengatakan, "Pemerintah-pemerintah yang melakukan pertaruhan (berjudi) normalisasi dengan rezim Zionis harus menyadari bahwa, seperti yang dikatakan orang-orang Eropa, mereka bertaruh pada pihak yang akan kalah."