Iran dan Ekonomi Politik Islam: Bagian Pertama

Rate this item
(0 votes)

Revolusi Islam dan Ilmu Sosial

Tiga puluh tiga tahun yang lalu sebuah revolusi berbasis agama meletus di kawasan Timur Tengah. Para ilmuwan sosial terperangah. Heran. Tidak percaya. Terlalu sulit memercayai adanya seorang sosok ulama tua memimpin gerakan rakyat menggulingkan sebuah rezim kuat dukungan Barat. Ketika itu, bahkan hingga kini, teramat sedikit pemikir sosial yang percaya bahwa kekuatan sosial berbasis agama bisa menumbangkan kekuasaan monarki berusia ribuan tahun. Dari yang sedikit itu, Foucault tampil nyaring berbicara berbeda dari mainstream pemikir sosial era itu.

Pemikir Perancis ini menyinggung adanya sebuah sistem sosial baru yang mampu resisten menghadapi derasnya modernisme Iran yang digagas secara belum tuntas oleh Reza Shah. Tokoh posmoderisme ini, memotret kedekatan erat antara rakyat dan seorang agamawan kharismatik sebagai bangunan ikatan sosial model baru di Iran pasca Revolusi Islam. "Keperibadian Khomeini mampu meruntuhkan legenda Dinasti Pahlevi. Tidak ada pemimpin negara dan politik, meski mereka mendapat dukungan penuh media, yang berani mengklaim bahwa rakyatnya memiliki hubungan emosional yang begitu tinggi seperti ikatan yang terjalin antara Khomeini dengan rakyat Iran," tutur Foucault lebih dari tiga dekade silam.

Kini, setelah berlalu lebih dari tiga dekade, ilmu sosial mainstream tetap saja masih begitu sulit menerima eksistensi sistem sosial baru yang berjalan dan diterapkan di Iran selama ini.

Tampaknya, ilmu sosial mainstream masih gamang mengakui Islam sebagai sistem alternatif. Misalnya, dalam disiplin ilmu ekonomi, para pemikir masih saja meletakkan frame dualisme Kapitalisme-Sosialisme ketika membaca sistem ekonomi politik sebuah negara Islam semacam Iran. Mereka melihat model perekonomian Islam di Iran sebagai penerapan sistem ekonomi campuran antara dua mainstream besar dunia itu. "Sebuah kombinasi antara sistem Kapitalisme (Liberalisme ekonomi) dan Sosialisme yang mencoba diharmoniskan dengan aturan syariah Islam," tutur seorang alumnus sebuah universitas terkemuka di negara Barat, yang saya temui di Tehran.

 

Quo Vadis Ilmu Sosial Modern

Lalu mengapa bisa terjadi demikian. Pertama, keberadaan Iran sebagai negara berbasis agama masih belum bisa diterima sebagai sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual. Kedua, minimnya literatur yang menjelaskan masalah yang terjadi di Iran dari pendekatan ilmu sosial modern.

Ketiga, adanya vested interest yang sangat besar di dalam ilmu sosial sendiri. Benar kata Foucault, kekuasaan dan pengetahuan itu seperti dua gambar dalam sebuah mata uang. Selalu ada efek kuasa dan pengetahuan. Dan begitu sebaliknya. Teori sosial yang berlawanan dengan arus besar sulit untuk bisa berkembang dan mengemuka.

Tampaknya, terjadi apa yang disebut oleh Foucault sebagai klaim kebenaran pengetahuan, yang tidak memberikan ruang bagi yang lain. Mazhab ekonomi politik mainstream, terutama Merkantilisme dan Liberalisme ekonomi di ranah filsafat pengetahuan merupakan bagian dari era modern yang mendorong munculnya peradababan baru dengan dua basis; rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme Rene Descartes dan Empirisisme Francois Bacon menjadi landasan ide yang berkembang pada masa renaisance, dan inilah pendorong munculnya peradababan baru bernama modernisme.

Bagi Foucault, pengetahuan moderen telah menciptakan kebenaran melalui produksi pengetahuan ilmiah yang disebarkan melalui institusi-institusi seperti Universitas, angkatan bersenjata, dan media.

Faktanya, di level disiplin ilmu ekonomi politik (dan ekonomi politik Internasional) hanya berpijak pada tiga pendekatan utama yaitu: Markantilisme, Liberalisme dan Sosialisme. Padahal dalam kasus Iran, (dan mungkin juga negara lain) ketiga pendekatan itu tidak memadai untuk menjelaskan basis ekonomi politik Republik Islam itu.

Di level teori sosial terjadi terjadi reduksi metodologis terhadap realitas sosial, jika memaksakan harus menjelaskan fenomena sistem ekonomi politik Iran dengan tiga pendekatan itu.

Menggunakan salah satu atau campuran dari tiga pendekatan itu jelas akan mereduksi sistem ekonomi politik Islam yang diterapkan di Iran. Sebab, Merkantilisme, Liberalisme ekonomi, dan Marxisme tidak memberikan ruang bagi kebijakan ekonomi politik sebuah negara yang mengambil prinsip nilai-nilai yang yang dianut bangsa Iran, termasuk nilai-nilai agama.

Dalam konsepsi filsafat sosial, ekonomi politik Merkantilisme dan Liberalisme yang dijadikan pijakan hingga saat ini mengadopsi prinsip Unilitarianisme yang menilai manusia ditimbang berdasarkan ukuran kebahagiaan yang diperolehnya. Sebuah tindakan seseorang dikatakan baik, jika mampu meningkatkan kepuasan bagi dirinya. Namun jika tidak, maka harus ditinggalkan. Berdasarkan pandangan ini, kepuasaan berbanding lurus dengan utilitas yang diperolehnya.

Pondasi pemikiran utilitarianisme hanya mempertimbangkan tujuan materil saja. Untuk memenuhi kepuasan puncak, dibentuklah lingkaran sistemik mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi produk dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Pandangan ini, menempatkan ekonomi sebagai tujuan final.

Tidak seperti Merkantilisme, ekonomi politik Islam menilai kekayaan alam seperti logam mulia, minyak hanyalah alat, dan bukan ukuran kesejahteraan maupun kekuasaan sebuah negara tersebut. Mazhab ekonomi politik Islam juga tidak sependapat dengan Merkantilisme yang memandang perekonomian internasional sebagai ajang konflik dari pada kerjasama yang saling menguntungkan.

Menurut Jackson dan Sorensen, dalam bukunya Introduction to International Relations: Theories And Approaches,(2005: 232)Merkantilisme melihat perekonomian internasional sebagai arena zero-sum game. Keuntungan sebuah negara dianggap sebagai kerugian bagi negara lainnya. Teori ini tidak berlaku dalam kebijakan negara yang mengadopsi nilai-nilai Islam seperti Iran. Sebab, keuntungan selain punya sisi nilai kuantitatif, juga mengandung aspek kualitatif. Kedua, keuntungan di satu pihak bisa jadi keuntungan di pihak lain. Ketiga, di sini terjadi pembatasan pada definisi keuatungan hanya pada material saja.

Ketika Benign Mercantilism atau Merkantilisme ramah memandang negara berupaya untuk memelihara kepentingan nasional yang dianggap sebagai unsur penting bagi keamanan dan ketahanan negara. Mazhab ekonomi politik Islam memasukan kepentingan universal kemanusiaan yang berdampingan dengan kepentingan nasional. Ada kepentingan religiusitas maupun keumatan, selain kepentingan nasional belaka.

Bantuan luar negeri Iran terhadap gerakan perlawanan Islam Palestina semacam Hamas dalam kacamata Merkantilisme sebagai upaya Iran meningkatkan pengaruhnya di Palestina. Tentu saja penjelasan dengan kacamata Merkantilisme Ramah itu jelas tidak memadai. Karena ada faktor lain dari tujuan Iran membantu Palestina yaitu dimensi religiusitas dan kemanusian. Bagi Republik Islam membantu Palestina merupakan kepentingan nasional mendukungan terhadap bangsa yang tertindas di dunia yang dijiwai spirit religiusitas.

Merkantilisme yang menggunakan pondasi pemikiran utilitarianisme hanya mempertimbangkan tujuan materil saja. Untuk memenuhi kepuasan puncak, dibentuklah lingkaran sistemik mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi produk dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Pandangan ini, menempatkan ekonomi sebagai tujuan final. Maka, pembangunan ekonomi dijadikan acuan bagi seluruh bidang lainnya.

Melampaui pandangan utilitarianisme, manusia menurut Imam Khomeini adalah makhluk yang memiliki dua dimensi. Di satu sisi, sebagai materi yang memiliki karakter hewani. Sedangkan di lain sisi, merupakan dimensi non materi, spiritual, rasional dan ilahi. Kedua dimensi ini bergradasi; bisa terus tumbuh dan berkembang atau mengalami penurunan. Bersambung (IRIB Indonesia/PH)

 

Read 2885 times