Islam menetapkan undang-undang terkait hubungan sosial dan memerintahkan masyarakat agar menerapkan undang-undang itu saat berselisih pendapat. Tapi pada saat yang sama mengingatkan semua untuk mendahulukan perdamaian dan persahabatan ketimbang berselisih dan bertikai. "Perdamaian itu lebih baik..." (QS. An-Nisa: 128)
Sekaitan dengan masalah ini, Ayatullah Makarem Shirazi secara umum mengisyaratkan, "Jelas, ayat ini menjelaskan undang-undang universal, dimana yang menjadi prinsip utama adalah berdamai, keakraban dan persahabatan, sementara perselisihan, pertikaian dan perpisahan bertentangan dengan tabiat manusia yang sehat dan kehidupan manusia yang tenang. Oleh karenanya, selain dalam kondisi darurat dan pengecualian, manusia tidak boleh bertumpu pada perselisihan, pertikaian dan perpisahan."[1]
Metode Islam saat menghadapi pengikut agama lain senantiasa berlandaskan perdamaian dan saling menghormati. Islam juga menghormati kebebasan akidah mereka dan tidak pernah menyeru mereka dengan paksa untuk memeluk agama Islam. Atas dasar ini, Islam hidup berdampingan secara damai dan memiliki hubungan saling menghormati dengan pemeluk agama yang memiliki kitab samawi dan sesuai dengan kondisi khusus. Tentu saja Islam tidak membolehkan aktivitas yang menunjukkan kesyirikan dan penyembahan berhala. Karena keduanya termasuk khurafat dan penyimpangan, bahkan sejenis penyakit pemikiran dan moral yang harus cabut hingga ke akar-akarnya.
Sangat disayangkan akibat propaganda yang dilakukan musuh-musuh Islam muncul kesalahpahaman dan penafsiran dengan pendapat sendiri terhadap sebagian ayat-ayat al-Quran, sehingga salah satu fokus serangan musuh kepada Islam adalah menebarkan kerancuan berpikir soal akidah Islam soal Ahli Kitab dan Kuffar. Mereka memilih dan mengambil potongan ayat-ayat al-Quran serta menyalahgunakan sebagian teks-teks agama lalu menyoroti dan membesarkan pengertian yang tidak ada hubungannya dengan al-Quran.
Sebagai contoh, hukum Islam tentang Kafir Harbi dan Musyrikin telah disalahgunakan musuh untuk melemparkan kerancuan dan mereka yang salah memahaminya. Mereka memolotisasi sebagian ayat-ayat al-Quran dan menafsirkannya seakan-akan Islam berperang dengan semua orang kafir dan Ahli Kitab. Dengan cara ini, mereka kemudian menyebarkan isu Islamphobia di kalangan non Muslim. Padahal ayat-ayat al-Quran menjelaskan bahwa hukum jihad terhadap orang-orang Kafir hanya terkait dengan orang kafir yang tengah berperang dengan umat Islam. Pemahaman ini jelas memberi hak kepada umat Islam untuk berjihad melawan musuh yang tengah memeranginya.
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu..." (QS. al-Baqarah: 190)
Ayatullah Makarem Shirazi dalam tafsirnya mengatakan, "Kalimat al-Ladzina Yuqatilunakum secara transparan memerintahkan secara khusus menghadapi orang yang mengangkat senjata dan selama musuh tidak melakukan serangan, umat Islam tidak boleh menyerang. Prinsip ini harus dihormati dan ditaati dalam setiap kondisi, kecuali ada sebagian pengecualian yang akan dijelaskan."[2]
Dengan demikian, jihad dengan non Muslim hanya dibolehkan dalam kondisi khusus. Sebagai contoh, dalam sebagian ayat lain dijelaskan alasan berjihad terhadap orang kafir dikarenakan mereka menyebarkan fitnah dan melakukan konspirasi terhadap umat Islam.
"Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah)..." (QS. al-Baqarah: 191)
Setelah itu ayat 191 surat al-Baqarah ini menjelaskan sebab jihad dan perang ini dengan menyebutkan, "... Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan..."
Contoh lainnya lagi yang menunjukkan umat Islam bukan bangsa yang suka berperang adalah perilaku Imam Ali as. Sebelum dimulainya perang Shiffin, beliau berkata kepada pasukannya dan mengeluarkan satu perintah.
"Jangan kalian memulai perang, sampai mereka yang memulainya. Alhamdulillah, sesungguhnya kalian berada dalam kebenaran. Ketika kalian membiarkan mereka yang memulai perang, itu menunjukkan kebenaran lain kalian atas mereka. Bila kalian menang dalam perang, maka jangan bunuh mereka yang lari dari medan perang, orang-orang yang sudah lemah dan mereka yang terluka. Jangan mengganggu para perempuan, sekalipun mereka mencaci kalian dan pemimpinmu."[3]
Dengan demikian, tuduhan yang dialamatkan kepada umat Islam sebagai pelaku kekerasan dan suka berperang dengan non Muslim merupakan kebohongan. Dengan sedikit melihat kenyataan, siapa saja dapat memahami bahwa segala bentuk tuduhan itu tidak sesuai dengan satupun dari ajaran Islam. Bila Islam memerintahkan perang, maka itu hanya dilakukan terhadap orang yang tidak mau berhenti melakukan kezaliman dan senantiasa ingin menyebar fitnah. Islam tidak memerintahkan jihad dengan orang-orang seperti ini agar memaksa mereka memeluk Islam, tapi jihad yang dilakukan untuk menghentikan kejahatannya.
Sumber: Dousti va Doust Dashtan dar Quran va Rivayat, Mohammad Hemmati, Markaz Pezhouhesh-ha Eslami Seda Va Sima, Qom, 1392 Hs.