Di sisi lain, agama Islam memiliki perintah khusus untuk mencegah permusuhan dan rasa dendam yang tidak pada tempatnya dalam masyarakat Islam. Karena perbedaan sifat manusia dari sisi etnis, agama dan budaya sosial. Keragaman ini berpotensi memunculkan perselisihan dan permusuhan dalam masyarakat. Agama Islam dengan memberi penekanan khusus akan kedamaian dan keakraban memperingatkan manusia untuk tidak terperangkap dalam sifat Jahiliah dan berusaha memusnahkan segala bentuk perselisihan dan konflik.
Imam Ali as ketika menasihati Malik al-Asytar mengatakan, "Wahai Malik! Jangan terlalu memikirkan rasa dengki yang berasal dari masyarakat."[1]
Agama Islam sangat memperhatikan keteraturan dan keamanan di tengah masyarakat dan mengajak semua anggota masyarakat untuk menjaganya. Pada saat yang sama Islam menyebut orang-orang yang memusuhi umat Islam sebagai orang jahat.
Nabi Muhammad Saw bersabda, "Orang yang paling jahat adalah yang memusuhi orang-orang Mukmin dan hati umat Islam juga membenci mereka."[2]
Di masa Nabi Saw, ada dua orang pemuda yang bertengkar. Yang satu berasal dari kaum Muhajirin dan yang kedua dari Anshar. Pemuda Muhajirin berteriak, "Wahai Muhajirin! Tolong saya." Pada saat yang sama, pemuda Anshar juga berteriak, "Wahai Anshar! Bantu saya." Mendengar teriakan keduanya, Nabi Saw keluar dan berkata, "Ada apa dengan teriakan Jahiliah ini?" Orang-orang yang ada di sana menjawab, "Wahai Nabi Allah! Tidak demikian. Ada dua anak muda yang bertengkar dan ada seorang yang menyerang dari belakang."
Nabi Saw bersabda, "Tidak ada yang penting dalam pertikaian ini. Tapi setiap orang harus menolong saudaranya, baik itu penindas atau tertindas. Bila saudaranya pezalim, maka hendaknya mencegah perbuatannya. Inilah upaya dalam membantunya. Sementara bila saudaranya orang yang dizalimi, maka tolonglah dia."[3]
Nabi Saw dan Imam Maksum as senantiasa berusaha agar masyarakat Islam tidak menjadi sasaran para pelaku fitnah dan perselisihan. Mereka berusaha menciptakan perdamaian di antara masyarakat. Dari sini, Imam Ali as pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw tidak bersikeras menuntut hak khilafah dikarenakan melihat pentingnya maslahat seluruh masyarakat Islam. Dengan demikian segala bentuk perselisihan sampai pertumpahan darah dapat dihindari.
Imam Ali as dalam khutbahnya menyinggung masalah ini:
"Sesungguhnya Allah Swt ketika mengambil ruh Nabi-Nya, Quraisy dengan percaya diri mendahulukan dirinya dari kami. Akhirnya, kami yang lebih layak dari semua dalam memimpin umat tidak dapat meraih hak kami. Tapi aku menyaksikan bahwa sesungguhnya bersabar bagiku lebih utama ketimbang terjadinya perselisihan di antara umat Islam dan terjadi pertumpahan darah. Karena masyarakat baru saja menerima Islam, sementara agama seperti tempat air yang penuh dengan susu yang hampir rusak dan sedikit kelemahan dan kelalaian akan merusaknya."[4]
Sumber: Dousti va Doust Dashtan dar Quran va Rivayat, Mohammad Hemmati, Markaz Pezhouhesh-ha Eslami Seda Va Sima, Qom, 1392 Hs.
[1] . Mustadrak al-Wasail, jilid 13, hal 147.
[2] . Syeikh Hurr al-?Amili, Wasail as-Syiah, jilid 12, hal 19.
[3] . Muslim bin Hajjaj Naisyaburi, Sahih Muslim, jilid 4, hal 1998.
[4] . Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahju al-Balaghah, jilid 1, hal 308.