Beberapa lama syahadahnya Imam Ali as telah berlalu. Muawiyah waktu itu menguasai pemerintahan Islam dan mengangkat Marwan sebagai gubernur Madinah. Suatu hari Muawiyah menulis surat untuk Marwan. Dalam surat itu memerintahkan Marwan yang tertulis, “...Hai Marwan! Lamarlah Putri Abdullah bin Ja’far [keponakan Imam Ali as] untuk putraku [Yazid] dan katakan kepada ayahnya, seberapapun dia meminta mahar, aku akan terima. Seberapapun dia mempunyai hutang, aku akan membayarnya. Selain itu, ikatan perkawinan ini akan menjadi perdamaian antara Bani Umayyah [keluarga Muawiyah] dan Bani Hasyim [keluarga Rasulullah Saw].
Setelah membaca surat tersebut, Marwan pergi menemui Abdullah dan melamar putrinya. Abdullah menjawab, “Untuk urusan wanita-wanita kami ada di tangan Hasan bin Ali. Kita harus menemuinya.”
Marwan pergi menemui Imam Hasan as dan menjelaskan perkaranya. Imam Hasan as berkata, “Ikatan perkawinan ini berhubungan dengan dua kabilah Bani Umayah dan Bani Hasyim. Oleh karena itu, kumpulkan dua kabilah ini di masjid sehingga aku sampaikan pendapatku di tengah-tengah mereka.
Para pembesar kabilah berkumpul di masjid. Imam meminta Marwan untuk menjelaskan keinginan Muawiyah. Marwan berdiri dan berkata, “Wahai warga Madinah! Wahai para pembesar Bani Hasyim dan Bani Umayah! Amirul Mukminin Muawiyah memerintahkan saya melamar Zainab, putri Abdullah bin Ja’far untu Yazid bin Muawiyah...perkawinan dua orang ini akan memiliki kebaikan dan keberkahan. Karena;
1. Maharnya, seberapun besarnya kami akan menerima.
2. Kami akan membayar hutang-hutang ayahnya.
3. Ikatan perkawinan ini akan menyebabkan perdamaian dan persabatan dua kabilah Bani Umayah dan Bani Hasyim.
4. Yazid putra Muawiyah akan menjadi menantu yang tidak ada duanya bagi Bani Hasyim dan perkawinan dua orang ini, sebelum menjadi kebanggaan bagi Yazid, telah menjadi kebanggaan juga bagi kalian. Yazid adalah orang yang karena keberkahan wujudnya, hujan turun dari kumpulan awan dan ...”
Kemudian diam dan duduk di sebuah sudut. Sekarang giliran Imam Hasan as berbicara. Beliau berdiri. Setelah mengucapkan pujian kepada Allah Yang Maha Pengasih, beliau berkata, “Marwan melamar putri Abdullah untuk Yazid. Namun sebagai jawabannya, saya katakan:
1. Terkait mahar, pendapat kami adalah pendapat dan Sunnah Rasulullah Saw dan mahar yang kami inginkan tidak akan berupa mahar yang telah menjadi tradisi sebelum zaman Rasulullah Saw.
2. Apakah selama ini merupakan sebuah tradisi bahwa wanita-wanita kami harus membayar hutang-hutang ayahnya?
3. Terkait perdamaian dua kabilah; permusuhan kami dan kalian karena Allah dan di jalan-Nya. Dengan demikian, kami tidak akan berdamai dengan kalian karena dunia.
4. Bila kedudukan khilafah lebih tinggi dari nubuwah [kenabian], maka kami harus bangga pada Yazid. Tapi bila posisi nubuwah lebih tinggi dari posisi khilafah, maka ia harus bangga pada wujud kami. Karena kami adalah bagian dari keluarga nubuwah.
Hai Marwan! Ketahuilah bahwa karena wujudnya keluarga Rasulullah Saw awan turun sebagai hujan ke bumi, bukan karena Yazid...namun tidak masalah bila engkau ketahui bahwa kami telah memutuskan untuk menikahkan Zainad dengan putra pamannya Qasim bin Muhammad dan saya menetapkan tanah ladang pertanian yang saya miliki di Madinah sebagai maharnya. Dan tanah inilah yang akan menjamin kehidupan mereka dan tidak memerlukan pemberian orang lain!”
Marwan yang benar-benar merasa malu berkata, “Wahai Bani Hasyim! Beginikah kalian menjawabku? Layakkah sikap kalian yang demikian ini pada gubernur Madinah dan kalian menjawab satu-satu setiap dari ucapannya?”
Imam Hasan as berkata, “Iya. Setiap dari ucapan Anda memerlukan jawaban yang tepat.”
Marwan yang benar-benar telah putus asa menulis surat untuk menjawab surat Muawiyah dan menjelaskan semua kejadian untuknya. Ketika Muawiyah membaca surat Marwan, berkata, “Kami telah melamar mereka, mereka menolak. Tapi bila mereka melamar kami, maka kami akan menerima!”