Hak Hidup

Rate this item
(0 votes)

Hak hidup termasuk hak yang paling alami dan utama, Allah SWT berfirman, Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang padamu.[1] Dan, Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.[2]

Islam memperhatikan hak hidup ini sejak awal munculnya nuthfah (sperma) yang merupakan materi penciptaan. Karena itu, syariat Islam melarang untuk membunuhnya, dan barang siapa yang membunuhnnya akan mendapatkan balasan material setimpal (madi).

Ishaq bin ‘Ammar meriwayatkan, aku bertanya kepada abu Hasan (Imam Ridha as), tentang seorang wanita yang takut hamil, lantas ia minum obat pengugur kandungan lalu mengenai apa yang di dalam rahimnya.

Imam as bersabda, “Tidak! (Itu tidak boleh).”

Aku berkata, “Itu hanya sebuah nuthfah!”

Beliau as menjawab, “Sesungguhnya materi pertama yang diciptakan adalah nuthfah.”[3]

Atas dasar itu, maka hak hidup menempati posisi yang amat penting dalam ajaran Ahlulbait as. Hal ini Nampak sejelas-jelasnya bagi orang yang mengkaji riwayat-riwayat hadis yang berkaitan dengan bab Qishash, dan akan didapati sebuah pandangan yang lebih mendalam mengenai hak ini; sebuah tanggapan tegas bahwa semua sebab yang dibuat (dengan sengaja) atau secara langsung membunuh nutfah dan membunuh jiwa serta menumpahkan darah secara haram dianggap sebuah pelanggaran hak hidup manusia, yang konsekuensinya adalah hukuman berat di dunia dan di akhirat.

Salah satu dalil naqli (tekstual; al-Qur’an & hadis) yang menunjukan atas haramnya membunuh secara tidak langsung, antara lain Muhammad bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far (Imam Baqir) as yang berkata, “Akan datang seorang pria pada hari kiamat sedang di tangannya terdapat kantung yang berisi darah, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak membunuh dan tidak pula ikut andil dalam (menumpahkan) darah ini!”

Lantas diberitahukan (kepadanya), “Memang benar, tapi kamu telah menyebut (tentang) si fulan hamba-Ku, yang menyebabkan ia terancam (fataraqqa dzalika)[4] dan terbunuh. Sehingga daranya tertumpah karenamu.”[5]

Dalam Hadis lain sisebutkan, Rasulullah saww, “Allah Swt mencintai dusta demi kemaslahatan, dan membenci kejujuran demi kemaksiatan.”

Begitu pula terdapat riwayat-riwayat tentang larangan bunuh diri, yang ringkasnya seorang mukmin akan diuji dengan segala cobaan dan akan mati dengan berbagai cara kematian (meninggal secara alamiah) selain (dengan cara) bunh diri. Dan barang siapa yang membunuh dirinya dengan sengaja, maka kelak ia berada di neraka jahanam selama-lamanya.

Mengenai hal ini, ada sebagaian orang yang dangkal pandangannya atau buta hatinya, mencela dan meragukan prinsip taqiyah pengikut Ahlulbait as. Ia bodoh atau pura-pura bodoh akan kedalaman hikamh di balik perumusan prinsip ini sebagai sebuah dasar solusi alternative tanpa pertumpahan darah.

Muhaqqiq al-Hili berkata, “Jika ia (seorang) dipaksa membunuh, maka hukum qishash jatuh pada si pembunh, bukan orang lain.”

Dalam riwayat Ali bin Ri’ab, “Dalam pembunuh harus dipenjara sampai mati, jika yang dipaksa membunuh sudah baligh dan berakal.”[6]

Dalam Hadis lain dari Aimah as, “Nabi-nabi sebelum Rasulullah saww melakukan taqiyah untuk melindungi umatnya.”

Taqiyah memiliki syarat-syarat dan batasan-batasan yang harus diperhatikan, terutama ketika sebuah kasus telah sampai pada batas membahayakan nyawa orang lain. Sesuai dengan kandungan hadits, “Taqiyah dibuat untuk mencegah pertumpahan darah. Artinya, jika darah tertumpuh, tiada taqiyah.”[7]

 

[1] QS. An-Nisa: 29

[2] QS. Al-Maidah: 32

[3] Man la Yahdhuruhul Faqih IV, 126/440 & al-Wasail 29:25 /1, Bab VII, al-Qishash fin-Nafs

[4] Fataraqqa dzalika, maksudnya mengangkat. Hadis ini menerangkan keharusan merahasiakan sesuatu ketika ada kemungkinan bahaya dilakukan.

[5] Wasailusy Syi’ah, 29:17/1, Bab 2, al-Qishas fin-Nafs.

[6] Syarayi’il Islam Bab al-Qishash, 4:975, Dar al-Huda, Qum cet. 3

[7] Al-Kafi, 2:228/16, Bab Taqiyah.

Read 2442 times